Tampilkan postingan dengan label Adaptasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Adaptasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : AVENGERS: INFINITY WAR

REVIEW : AVENGERS: INFINITY WAR


“The entire time I knew him, he only ever had one goal. To wipe out half the universe. If he gets all the Infinity Stones, he can do it with the snap of his fingers. Just like that.” 

Pertempuran terakbar di sejarah perfilman dunia dalam satu dekade terakhir telah tiba. Para pahlawan dengan kekuatan adidaya milik Marvel Studios yang pertama kali bahu membahu menyelamatkan dunia (atau New York?) dari kegilaan Loki melalui The Avengers (2012), lalu bereuni dalam Avengers: Age of Ultron (2015) tatkala mereka mendapat tugas dinas bersama di Sokovia yang terancam hancur lebur dari serangan Ultron, dan sempat pecah kongsi karena perbedaan ideologi di Captain America: Civil War (2016), akhirnya memperoleh perlawanan yang tidak lagi bisa dipandang sebelah mata lewat Avengers: Infinity War yang merupakan film ke-19 dalam rangkaian Marvel Cinematic Universe (MCU). Ya, di perayaan menapaki usia ke-10 sejak MCU pertama kali diperkenalkan dalam Iron Man (2008) ini, pertaruhannya benar-benar nyata dan berada di tingkatan sangat tinggi. Betapa tidak, para anggota Avengers kini mesti menghadapi Thanos yang digadang-gadang sebagai supervillain yang amat sulit untuk ditaklukkan. Dibandingkan dengan Thanos, Loki dan Ultron tidak lebih dari sebatas remah-remah renggingang. Dia mengoleksi enam batu akik, eh maksud saya, Batu Keabadian alias Infinity Stones, yang memungkinkannya untuk menguasai jagat raya dengan mudah semudah menjentikkan jari. Berbekal batu-batu tersebut, si Mad Titan ini akan melenyapkan separuh dari populasi galaksi yang dianggapnya telah berkontribusi terhadap kekacauan alam semesta sehingga suatu keseimbangan dapat dicapai. Gila, kan? 

Gila memang satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan Avengers: Infinity War disamping ambisius serta epik. Duo sutradara Anthony dan Joe Russo (Captain America: The Winter Soldier, Captain America: Civil War) memastikan bahwa penantian khalayak ramai selama satu dekade tidaklah sia-sia. Mereka berupaya untuk mengkreasi Avengers: Infinity War sebagai sebuah pemuncak yang layak dikenang dan lebih gegap gempita dibandingkan dengan dua predesesornya. Salah satu caranya adalah dalam penceritaan yang merentang panjang hingga 149 menit, duo ini tidak mempersilahkan para penonton untuk memalingkan muka barang sejenak dari layar bioskop maupun mengambil jeda satu dua menit untuk ngacir ke toilet demi menuntaskan panggilan alam. Ya bagaimana bisa melepaskan atensi saat film telah mencengkram perhatian secara erat sedari menit pertama. Russo bersaudara yang mengejawantahkan naskah kreasi Christopher Markus dan Stephen McFeely ini tidak banyak berbasa-basi kala memulai alunan penceritaan dari Avengers: Infinity War. Mereka seketika menempatkan kita dalam situasi mendebarkan yang merupakan kelanjutan dari adegan bonus di Thor: Ragnarok (2017) yang memperlihatkan nasib para pengungsi Asgard selepas para penumpang dari sebuah kapal ruang angkasa misterius dengan ukuran raksasa tiba-tiba menyantroni kapal mereka. Kita mengetahui bahwa salah satu penumpang kapal tersebut adalah Thanos (Josh Brolin) dan kita mengetahui bahwa Batu Keabadian koleksinya telah bertambah.


Itu artinya, alam semesta tengah terancam bahaya. Bruce Banner (Mark Ruffalo) yang kebetulan menjadi saksi mata kala Thanos merebut Space Stone dari genggaman Thor (Chris Hemsworth) seketika mengabarkan ke bumi bahwa ada ancaman besar yang segera datang dalam wujud Thanos beserta kroni-kroninya yang dikenal dengan sebutan Black Order. Saya tidak perlu menjabarkan proses bersatunya kembali para anggota inti Avengers seperti Tony Stark (Robert Downey Jr.), Steve Rogers (Chris Evans), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), Rhodey (Don Cheadle), Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen), Vision (Paul Bettany), serta Sam Wilson (Anthony Mackie) secara detil karena akan sedikit merusak kesenangan dalam menyaksikan Avengers: Infinity War. Yang jelas, mereka berkenan menyingirkan ego masing-masing dan memutuskan untuk bersatu sekali lagi lantaran dihadapkan pada satu musuh besar yang sama, yakni Thanos. Mengingat sang lawan sama sekali tidak bisa diremehkan – terlebih lagi jika dia sudah berhasil mengumpulkan keenam Batu Keabadian secara komplit – maka bala bantuan pun dibutuhkan oleh para personil Avengers yang sekali ini berasal dari Stephen Strange si penyihir (Benedict Cumberbatch), Peter Parker si remaja laba-laba (Tom Holland), T’Challa si Raja Wakanda (Chadwick Boseman), Bucky Barnes (Sebastian Stan) yang merupakan sohib kental Steve Rogers, sampai para bandit galaksi berhati mulia dari dwilogi Guardians of the Galaxy yang salah satu anggotanya memiliki keterkaitan secara langsung dengan Thanos. 

Semenjak adegan pembuka yang membuat diri ini terhenyak, daya cengkram memang tidak pernah sedikitpun mengendur sampai Avengers: Infinity War benar-benar mengakhiri gelarannya. Film ini memenuhi segala ekspektasi yang disematkan untuknya. Sepanjang durasi merentang, si pembuat film mengisinya dengan serentetan sekuens laga bombastis, humor yang efektif mengocok perut, serta momen emosional yang membuat mata sembab, yang menjadikan perjalanan panjang selama 2,5 jam terasa berlangsung dengan begitu cepat sampai-sampai kita tidak menyadari bahwa film telah tutup durasi. Seperti telah saya singgung di dua paragraf sebelumnya, mengalihkan pandangan dari layar dan melenggang ke toilet di sela-sela rangkaian konfrontasi adalah suatu hal yang hampir mustahil dilakukan selama menyaksikan Avengers: Infinity War. Ini tentu saja terdengar hiperbolis, tapi setidaknya begitulah situasi di bioskop tempat saya menyaksikan reuni para pahlawan bertubuh atletis ini. Penonton duduk anteng menyaksikan intrik yang menggeliat dalam film (jika ada suara tak diinginkan, akan terdengar ‘sssttt’ berjamaah), lalu gregetan dan harap-harap cemas ketika pertarungan antara Avengers melawan Black Order maupun Thanos mulai berlangsung, kemudian tertawa terbahak-bahak begitu mendengar celetukan atau tindakan kocak para karakter (favoritku secara personal: tatapan Okoye (Danai Gurira) saat melihat Hulkbuster terjerembab di medan tempur. Priceless!), sampai akhirnya menyeka air mata yang tidak nyana-nyana bakal mengalir di beberapa titik. Epik! 


Keberhasilan Russo bersaudara dalam melibatkan emosi penonton ini tentu berkat kombinasi dari pengarahan, naskah, elemen teknis (efek visualnya jempolan!), serta performa pemeran yang bekerja secara semestinya. Saat hendak menyaksikan Avengers: Infinity War, ada satu pertanyaan yang pastinya mencuat di benak sebagian penonton. Pertanyaan tersebut berbunyi, “bagaimana cara si pembuat film memberi mereka jatah tampil yang layak sementara jumlah mereka sangat banyak?.” Tidak bisa dipungkiri memang ada kekhawatiran bahwa beberapa pahlawan kesayangan kita akan terpinggirkan porsinya mengingat durasi film begitu terbatas sementara ada lusinan superhero dan satu penjahat besar yang mengambil peran. Namun kekhawatiran tersebut lenyap tak bersisa usai film menjalankan penceritaannya secara resmi. Pengarahan beserta naskah yang solid ditunjang oleh penyuntingan rapi dan akting jajaran pemain yang apik memungkinkan setiap karakter memiliki kesempatan untuk bersinar sekaligus berkontribusi nyata terhadap penceritaan termasuk pendatang baru macam Stephen Strange beserta para penjaga galaksi dan sang supervillain, Thanos, yang tak saja intimidatif tetapi juga menyimpan kompleksitas pada karakternya (dia bukanlah penjahat satu dimensi dengan motif dangkal) sehingga membuat kita berada di posisi serba salah; kita membencinya karena destruksi yang diciptakannya dan di saat bersamaan kita bersimpati kepadanya karena dibalik perangainya yang bengis, dia masih memiliki hati. 

Bagusnya, para karakter yang jumlahnya bejibun ini dimunculkan karena mereka memang dibutuhkan untuk menggerakkan kisah, bukan sebatas untuk memeriahkan film semata. Demi menegaskan peranan masing-masing, film berjalan sedikit pelan di paruh pertama – itupun sudah sarat laga dan humor jadi tak ada kesempatan untuk menguap. Ketika job description telah dipaparkan dengan jelas, Avengers: Infinity War seketika lepas landas di satu jam terakhir yang bersinonim erat dengan ‘kegilaan’. Pertaruhannya meningkat diikuti dengan pertempuran yang keseruannya mengalami eskalasi dan tonjokkan pada sisi emosi. Selepas film berakhir kita memang tidak akan langsung bertepuk tangan (momen itu telah muncul di adegan ‘kembalinya Thor’ yang disambut sorak sorai), tetapi muncul satu perasaan yang membuat kita pada perenungan. Memandang ke layar bioskop yang telah kosong seraya berusaha mencerna tontonan yang baru saja kita saksikan. Bahkan perasaan ini masih menghinggapi hingga beberapa jam kemudian. Sebuah perasaan yang hanya bisa muncul saat film yang baru saja kita saksikan telah meninggalkan impak yang sangat kuat pada emosi. 


Note : Avengers: Infinity War hanya memiliki satu adegan bonus di penghujung durasi, tapi penting untuk disimak.

Outstanding (4,5/5)
REVIEW : ANANTA

REVIEW : ANANTA


“Kita dipertemukan karena ikatan jodoh yang kuat.” 

Para pembaca blog yang budiman, izinkanlah saya untuk menyampaikan satu kabar gembira sebelum mengulas Ananta keluaran MD Pictures. Kabar gembira tersebut adalah (jreng-jreng) Michelle Ziudith sudah terlepas dari film-film romantis picisan garapan Screenplay Films, saudara-saudara!... meski kemungkinan hanya untuk sementara sih. Tapi jangan langsung bersedih karena paling tidak, untuk sesaat kita tidak melihatnya memerankan perempuan tajir melintir yang hobi merajuk, remaja yang mengemis-ngemis cinta seolah dia akan tewas jika terlalu lama menjomblo, atau gadis yang gemar bersabda dengan kata-kata mutiara di setiap hembusan nafasnya. Ini tetap patut dirayakan. Kenapa? Karena saya selalu percaya bahwa Michelle Ziudith memiliki bakat dalam berakting (apalagi kalau sudah akting banjir air mata, saingan deh sama Acha Septriasa!) dan dia sangat perlu kesempatan untuk membuktikannya. Melalui Ananta yang didasarkan pada novel bukan horor bertajuk Ananta Prahadi rekaan Risa Saraswati (seri Danur), aktris yang akrab disapa Miziu ini mendapatkan kesempatan tersebut. Memang sih kalau ditengok dari segi genre, Ananta masih bermain-main di jalur andalan Miziu yakni drama percintaan yang sekali ini membawa muatan komedi cukup pekat. Hanya saja yang membuat film ini berbeda dan boleh jadi merupakan tiket emas baginya adalah Ananta mempunyai penggarapan beserta performa pemain yang baik sehingga menempatkannya berada di level lebih tinggi dibanding film-film Miziu terdahulu. 

Dalam Ananta, Michelle Ziudith berperan sebagai Tania yang dideskripsikan sebagai remaja SMA yang kesulitan dalam berinteraksi secara sosial sehingga dia memilih untuk membenamkan diri dengan dunianya sendiri: lukis melukis. Akibat sikapnya yang jauh dari kata bersahabat, Tania hidup dalam kesendirian. Dia tidak memiliki satupun teman bermain di sekolah, dia juga tidak memiliki satupun teman berbicara di rumah. Satu-satunya orang yang dipersilahkan Tania memasuki kehidupannya adalah Bik Eha (Asri Welas) – itupun sebatas berurusan dengan makanan. Kehidupan Tania yang terbilang sunyi dan monoton ini lantas mengalami perubahan saat Ananta Prahadi (Fero Walandouw), murid pindahan asal Subang yang memiliki logat Sunda kental, hadir di sisinya. Ini bisa diartikan secara harfiah karena Ananta duduk sebangku dengan Tania. Karakteristiknya yang periang jelas bertolak belakang dengan Tania yang muram. Pun begitu, Ananta berupaya memahami rekan sebangkunya ini termasuk memasakannya nasi kerak yang merupakan makanan favorit Tania dan membantunya menjual lukisan-lukisannya. Tania yang semula apatis perlahan tapi pasti bersedia membuka diri pada Ananta sehingga hubungan persahabatan sekaligus hubungan bisnis pun terbentuk. Kesedihan yang selama ini menggelayuti diri Tania pun memudar tergantikan oleh kebahagiaan sampai kemudian Ananta tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan Tania menyambut datangnya pria lain dalam kehidupannya, Pierre (Nino Fernandez). 



Seperti halnya jutaan umat manusia di luar sana, saya pun sebetulnya menganggap sepele Ananta. Satu-satunya yang berkontribusi terhadap tergeraknya hati dan kaki ke bioskop untuk menjajalnya adalah sang sutradara, Rizki Balki, yang memulai debutnya dengan apik melalui Aku, Benci, dan Cinta (2017). Michelle Ziudith? Kepercayaan saya sudah mulai meluntur. Membawa sikap skeptis ke dalam ruang pemutaran, diri ini merasa tertampar saat tanpa disangka-sangka Ananta ternyata mampu tersaji sebagai tontonan yang jenaka (ya, film ini lucu sekali!) sekaligus hangat, manis, dan menyentuh di waktu bersamaan. Rizki yang gaya penuturannya terasa sekali terpengaruh dari film-film romantis asal Korea Selatan membuktikan bahwa debutnya tersebut bukanlah suatu kebetulan pemula belaka dan Michelle Ziudith menunjukkan bahwa dia memang layak untuk diberikan kesempatan. Lanjutkan, Miziu! Michelle Ziudith berhasil melebur dengan baik ke dalam sosok Tania yang ajaib, sengak, dan temperamental. Berada di pengarahan maupun interpretasi pemain kurang tepat, Tania berpotensi menjadi karakter yang sukar diberi simpati. Namun performa Michelle Ziudith ditunjang chemistry padu bersama Fero Walandouw sebagai karakter tituler membuat saya cukup mampu memafhumi karakteristiknya yang kian meletup-letup tak terkontrol karena faktor duka. Adegan Tania terpuruk lalu menangis di pundak Ananta usai melempar lukisan-lukisannya ke luar jendela menjadi momen terbaik di film ini yang sekaligus menandai pertama kalinya simpati dapat disematkan secara resmi pada kedua karakter utama tersebut khususnya Ananta yang kebaikan dan kepolosannya membuat diri ini ingin memberinya pelukan hangat.  

Tidak hanya Michelle Ziudith yang membuktikan bahwa dia sanggup menunjukkan atraksi akting yang kejut nyata tatkala memperoleh peran beserta pengarahan yang tepat, tetapi juga Fero Walandouw. Merupakan kejutan terbesar dari Ananta, Fero adalah rekanan akting yang sesuai bagi Miziu. Chemistry yang dibina Miziu bersama Fero jauh lebih meyakinkan ketimbang saat dia beradu akting dengan Dimas Anggara maupun Rizky Nazar. Berkat performa keduanya, kita bisa menerima kenyataan bahwa Tania kelewat ngeselin dan Ananta kelewat mulia, lalu menikmati setiap momen kebersamaan mereka yang sebagian besar diantaranya mengundang gelak tawa – seperti berlari-larian di bawah guyuran ‘air hujan’ – dan menggoreskan rasa hangat di hati. Keberadaan Asri Welas yang kentara difungsikan sebagai comic relief jelas membantu meningkatkan level kelucuan yang sejatinya telah cukup kuat hanya dari interaksi Fero bersama Miziu. Sayangnya, segala kenikmatan menyaksikan Ananta yang ditimbulkan di satu jam pertama ini tak benar-benar bertahan hingga ujung durasi. Memang di separuh akhir masih ada sekelumit rasa manis dari benih-benih asmara antara Tania dengan Pierre atau terenyuh melihat kepedulian Ananta yang amat besar pada Tania, tapi upaya untuk menghadirkan kejutan yang membawa film ke ranah melodrama pada klimaks justru menurunkan greget. Andai si pembuat film (dan Risa sebagai pemilik materi sumber) tidak menjerumuskan Ananta pada tangis-tangisan klasik – plus misi Ananta tidak dipaksakan melibatkan perasaan – maka bukan tidak mungkin momen ‘perpisahan dan pertemuan’ di ujung film akan terasa lebih menohok. Andai ya…


Exceeds Expectations (3,5/5)
REVIEW : DEADPOOL 2

REVIEW : DEADPOOL 2


“You're no hero. You're just a clown, dressed up like a sex toy.” 
“So dark. You sure you're not from the DC universe?” 

Ditengah-tengah riuhnya film superhero yang menjunjung tinggi kebajikan, Deadpool (2016) yang diproduksi oleh 20th Century Fox berdasarkan komik berseri terbitan Marvel Comics menawarkan sebuah alternatif yang nyeleneh. Dia menjadi antitesis dari para pahlawan yang tergabung dalam Marvel Cinematic Universe berkat tutur kata dan tindakannya yang tak mengenal kompromi. Menerabas habis batasan-batasan rating yang biasanya membelenggu kreativitas dari film sejenis. Mengingat film ini dijual sebagai tontonan dewasa (jangan bilang belum diperingatkan, wahai para orang tua tukang ngeluh!), sang superhero dengan kostum ketat berwarna merah pekat ini pun mendapat keleluasaan dari pihak studio untuk menghabisi lawan-lawannya menggunakan cara yang berdarah-darah, berasyik masyuk dengan perempuan pujaannya, sampai melontarkan nyinyiran pedas penuh dengan referensi ke budaya populer yang tidak sedikit diantaranya mencakup F-word. Komponen-komponen yang amat sangat jarang dijumpai di film superhero belakangan ini, bukan? Pendekatannya yang berani ditambah gaya tuturnya yang nyentrik – merobohkan dinding keempat (berinteraksi dengan penonton) – ini menjadi sebuah kejutan manis sekaligus membuat Deadpool tampil menjulang. Tidak mengherankan jika kemudian sekuelnya yang bertajuk Deadpool 2 kembali mengaplikasikan formula yang terbukti berhasil ini meski tentunya bakal mengundang satu pertanyaan besar; akankah sensasi yang diberikannya kepada penonton masih sama seperti predesesornya? 

Berlatar dua tahun selepas peristiwa di film pertama, Wade Wilson (Ryan Reynolds) digambarkan telah menikmati kehidupannya sebagai pahlawan pembasmi kejahatan bernama Deadpool. Hubungannya dengan Vanessa (Morena Baccarin) pun kian mesra, bahkan keduanya telah berencana untuk memiliki momongan. Jika segalanya berjalan sesuai rencana seperti ini, lalu apa pemantik konflik dalam Deadpool 2 yang membuat penonton tertarik mengikuti guliran penceritaannya? Demi menghindari spoiler – saya peduli dengan kenyamanan kalian semua, para pembaca yang budiman! – rasa-rasanya tak perlu menjlentrehkan secara detil apa yang kemudian terjadi. Yang jelas, menginjak menit belasan, Deadpool mengalami goncangan hebat dalam hidupnya sampai-sampai mendorong Colossus (Stefan Kapičić) untuk turun tangan dan menyeretnya ke markas X-Men. Pertemuannya dengan para anggota X-Men yang sebagian besar diantaranya tidak terkenal (menurut si karakter tituler yang tak tahu sopan santun ini, tentu saja) perlahan tapi pasti membuat Deadpool menemukan kembali tujuan hidupnya. Bersama dengan sejumlah karakter baru, salah satunya adalah Domino (Zazie Beetz) yang kekuatan utamanya adalah ‘keberuntungan’, Deadpool membentuk kelompok superhero bernama X-Force. Misi besar yang mereka jalankan yakni menyelamatkan seorang mutan remaja bernama Russell (Julian Dennison) yang memiliki kekuatan dalam menyulut api dari mutan penjelajah waktu, Cable (Josh Brolin yang juga memerankan Thanos di Avengers: Infinity War), yang berniat untuk mencabut nyawanya. 



Tidak ada perubahan signifikan yang bisa dijumpai dalam Deadpool 2 sekalipun kursi penyutradaraan kini bergeser ke David Leitch (John Wick, Atomic Blonde). Leitch bersama dengan tiga penulis skrip memahami betul, tidak ada gunanya memperbaiki sesuatu yang tidak rusak. Oleh karena itu, Deadpool 2 dihidangkan sesuai dengan ekspektasi penonton yang telah menyaksikan jilid pertamanya; kekerasannya berada di level ‘pedas’, humornya yang nakal banyak mencuplik referensi ke budaya populer. Walau unsur kejutannya tak lagi besar, sensasi yang disalurkan kepada penonton kurang lebih masihlah sama. Deadpool 2 tetaplah sebuah sajian eskapisme gila-gilaan yang menghibur. Demi memenuhi aturan tidak tertulis untuk sekuel, cakupan skalanya pun sekali ini ditingkatkan. Si pembuat film mengkreasi lebih banyak laga di seri ini – dimulai dari menit pembuka yang membangkitkan semangat sampai klimaks yang lebih menggigit – begitu pula dengan lawakan-lawakan khas Deadpool yang makin tak terkontrol dan kian bejibun. Semuanya menjadi sasaran empuk nyinyirannya, terlebih jika namamu terafiliasi dengan semesta yang diciptakan oleh Marvel Cinematic Universe atau DC Extended Universe. Deadpool menyentil para personil Avengers sekaligus mencibir DC (duo Martha yang ikonik tentu tak terlewatkan). Dia juga tidak ragu-ragu mempertanyakan orisinalitas lagu ‘Do You Want to Build a Snowman?’ dari Frozen (2013), kebingungan dengan penulisan nama Kirsten Dunst yang benar (saya memahamimu, Deadpool!), mengeluhkan keputusan Logan (2017) untuk ikut-ikutan menjadi film superhero dewasa, menghujat karir aktor berkebangsaan Kanada bernama Ryan Reynolds (!), hingga paling meta: mengkritisi penulis skrip Deadpool 2 yang terlampau malas menciptakan konflik rumit. 

Tak pelak, kekuatan utama Deadpool 2 berada pada materi ngelabanya yang harus diakui cerdas dan kreatif. Ini masih belum ditambah dengan lelucon yang dikembangkan dari situasi-situasi yang berlangsung di sepanjang durasi. Saya juga tidak akan menyebutkannya satu demi satu karena lelucon merupakan bagian dari kejutan yang dimiliki oleh Deadpool 2. Hitung-hitung sebagai bentuk kompensasi atas jalinan kisah yang cenderung lurus-lurus saja, minim kelokan yang digemari sebagian penonton. Leitch mengombinasikan banyolan-banyolan dengan hidangan laga yang lebih gahar (plus sadis) dibandingkan film pertama. Menilik fakta bahwa Deadpool 2 tidak digelontori bujet sejor-joran Avengers: Infinity War, maka sebaiknya hempaskan bayangan adegan laganya bakalan segegap gempita film tersebut. Sebagian diantaranya memang tidak menawarkan pembaharuan (kamu telah melihatnya beberapa kali di film laga), tapi Leitch sanggup meniupkan excitement kedalamnya sehingga tak peduli seberapa pun seringnya kamu menjumpai adegan ini, tetap ada kesenangan tersendiri kala menyaksikannya. Malah, Deadpool 2 mempunyai momen klimaks membekas (sayangnya tak ada guyonan merujuk ke Carrie (1976)!) yang turut mengonfirmasi pelabelan ‘film keluarga’ oleh Deadpool di permulaan film – sekadar info, film pertama disebut ‘film percintaan’. Tentu ini bukan memiliki makna bahwa si pembuat film mempersilahkan penonton-penonton cilik memenuhi gedung bioskop, melainkan menunjukkan bahwa si pahlawan bermulut kotor ini tak lagi berjuang sendirian. Dia menjalin pertemanan dengan karakter-karakter baru yang mengisi kekosongan hatinya.


Pertemanan ini memungkinkan Deadpool 2 untuk menghadirkan sederet momen mengharu biru yang menghangatkan hati. Tidak semuanya bekerja dengan baik – ada kalanya diruntuhkan oleh guyonannya sendiri – seperti persahabatan Deadpool dan Russell yang tak segreget perkiraan, tapi paling tidak masih ada senyum mengembang di penghujung film ketika kita melihat sejauh mana Wade Wilson telah berkembang sebagai seorang manusia. Ryan Reynolds mampu menangani momen dramatik seiring bergejolaknya batin Wade seapik dia menangani momen komedik yang mengharuskannya melontarkan nyinyiran secara cepat seraya bertingkah nyeleneh. Chemistry yang dibangunnya bersama Julian Dennison berlangsung cukup baik, sementara pemeran-pemeran pendukung mampu mengimbangi performa ciamik dari Reynolds. Zazie Beetz mencuri perhatian sebagai Domino yang keberuntungannya tak pernah habis, Karan Soni sebagai Dopinder yang memiliki obsesi menjalani misi bersama Deadpool, dan Josh Brolin menunjukkan sisi rapuh dari Cable dibalik tampilan fisiknya yang sangar. Disamping kombinasi mulus antara banyolan, laga, beserta performa pemain, elemen lain yang membantu menciptakan kesenangan dalam Deadpool 2 adalah pilihan lagu pengiring di setiap adegannya. Bukan lagu-lagu beraliran rap, metal, atau rock yang menghentak-hentak melainkan tembang-tembang lembut dengan sisi emosional tinggi yang mungkin tak pernah terbayangkan akan menghiasi film superhero ‘ngaco’ semacam ini. Tembang-tembang tersebut antara lain ‘Take on Me’ milik A-Ha, ‘We Belong’ oleh Pat Benatar, ‘All Out of Love’-nya Air Supply, ‘Tomorrow’ dari drama musikal Annie (1977), sampai lagu tema film ini, ‘Ashes’, yang dibawakan Celine Dion bak lagu tema dari James Bond. Gokil!

Note : 1) Jangan terburu-buru tinggalkan gedung bioskop karena ada dua adegan bonus yang sangat layak buat dinanti. Keduanya terletak di sela-sela credit title jadi kamu tidak perlu menunggu terlalu lama.
2) Pastikan kamu menuntaskan urusan belakang sebelum film dimulai karena salah satu poin kejutan Deadpool 2 terletak pada cameo. Kemunculannya sangat cepat sehingga jika kamu keluar atau terlalu sibuk mengecek ponsel saat menonton, hampir bisa dipastikan akan terlewat. Blink, and you'll miss it

Outstanding (4/5)


Jumat, 13 April 2018

REVIEW : RAMPAGE

REVIEW : RAMPAGE


“It’s weird you like hanging out with animals more than people.” 

“Well, animals gets me.” 

Wahai generasi 80 dan 90-an yang gemar memainkan konsol permainan, apakah kalian masih ingat dengan sebuah video game berjudul Rampage? Itu lho, permainan yang misi utamanya menghancur-hancurkan gedung bertingkat. Ingat, kan? Kita menjelma menjadi monster raksasa berbentuk gorila, kepiting, tikus atau hewan buas lainnya akibat terpapar serum eksperimen. Aturan mainnya pun sederhana saja. Seraya menghindari tembakan-tembakan dari pihak militer jika ingin nyawa tetap utuh, kita mesti giat memporakporandakan seisi kota demi mengumpulkan poin. Kalau perlu, manusia-manusia pengganggunya dimakan juga! Menilik betapa mudahnya (dan serunya) memainkan game ini, tidak mengherankan jika kemudian Rampage terbilang populer di kalangan khalayak ramai sampai-sampai pihak Midway Games merilis beberapa seri kelanjutan. Dan seperti kebanyakan video game terkenal, tidak mengherankan juga jika kemudian ada petinggi studio di Hollywood yang meliriknya untuk diadaptasi ke film layar lebar. Demi merealisasikan Rampage versi layar lebar ini, maka duo Brad Peyton (sutradara) dan Dwayne Johnson (aktor) yang sebelumnya berkolaborasi untuk meluluhlantakkan pesisir barat Amerika Serikat dalam San Andreas (2015) pun direkrut. Tugas mereka sekali ini adalah mentranslasi kehancuran total yang dimunculkan versi game ke dalam tontonan popcorn yang mampu melepas kepenatan penonton. 

Dalam Rampage versi film, sosok monster yang mengamuk hebat di tengah kota bukan lagi manusia yang terpapar serum salah uji melainkan binatang-binatang buas. Salah satu korbannya adalah seekor gorila albino bernama George yang mendiami San Diego Zoo. George tertimpa kemalangan selepas sebuah stasiun luar angkasa milik Energyne meledak dan meluncurkan serum berbahaya bernama CRISPR ke beberapa titik di Amerika Serikat, termasuk tempat George bermukim. Reaksi dari serum ini terpampang nyata hanya dalam waktu semalam saja yang ditandai dengan ukuran tubuh si gorila yang membesar secara tidak wajar. Hal ini tentu mengejutkan ahli primata sekaligus sahabat baik George, Davis Okoye (Dwayne Johnson), lebih-lebih karena sahabatnya tersebut sanggup menumbangkan beruang grizzly dengan mudah. Ditengah kebingungannya melihat perubahan fisik dan sikap dari George yang mendadak, Davis mendapat kunjungan dari seorang ilmuwan, Dr. Kate Caldwell (Naomie Harris), yang mengaku tahu mengenai akar permasalahannya sekaligus obat penawarnya. Sebelum rencana untuk menyelamatkan si gorila selesai disusun, George tiba-tiba menggila lalu berkomplot dengan seekor serigala raksasa beserta buaya raksasa dan berlari menuju Chicago. Tujuan mereka sudah teramat jelas: menghancurkan gedung-gedung pencakar langit. Dibantu oleh seorang agen pemerintah bernama Harvey Russell (Jeffrey Dean Morgan), Davis dan Kate harus berpacu dengan waktu untuk menghentikan George sebelum semuanya terlambat. 



Apabila kamu pernah memainkan Rampage – kalaupun tidak, kamu bisa menerkanya dari penjabaran di paragraf awal – tentu mengetahui bahwa inti dari permainan ini hanyalah menghancurkan gedung sebanyak mungkin. Smash, smash, smash. Tidak ada misi yang mengharuskannya memiliki jalinan pengisahan (mencoba untuk) rumit dan diselaputi misteri. Kalaupun ada plot, itu sebatas latar belakang yang menceritakan tentang penyebab lahirnya monster-monster ini. Maka bisa dipahami jika kemudian Rampage garapan Brad Peyton yang mengerahkan empat penulis skenario ini tidak mempunyai plot yang bergizi tinggi. Lagipula, apa kamu benar-benar mengharapkan jalan cerita yang tertata dengan baik dari sebuah film yang diadaptasi dari video game? Video game-nya tentang monster penghancur gedung pula. Plot di sini hanya berfungsi untuk menjustifikasi munculnya serentetan sekuens laga sehingga tidak terkesan ujug-ujug. Jadi kamu mesti membiasakan diri bakal menerima ‘keajaiban’ dan ‘kekonyolan’ di sepanjang durasi Rampage yang bikin ngikik-ngikik geli di kursi bioskop karena memang, film ini tak pernah menganggap dirinya serius. Well, kamu tentu tidak menganggap film yang menampilkan serigala terbang secara serius, kan? Tujuan utamanya hanyalah mengajak penonton bersenang-senang melalui spektakel yang gegap gempita. Spektakel seru yang mengajak penonton melupakan kepenatan hidup selepas dihajar pekerjaan di kantor atau usai mendapat setumpuk tugas kuliah dan sekolah. Dan berdasarkan tujuannya tersebut, Rampage bisa dikatakan sukses. 

Rampage sendiri tidak menghabiskan banyak waktu untuk babak introduksi. Kita mendapatkan sekelumit penjelasan mengenai CRISPR, berkenalan dengan George dan karakter-karakter manusia seperti Davis, Kate, beserta duo villain dari Energyne, lalu tanpa banyak basa-basi, konflik perlahan mulai mengemuka menyusul jatuhnya serum-serum dari luar angkasa. Selepas tubuh George membesar seketika yang membuat dirinya merasa tidak nyaman, kita mendapati rangkaian peristiwa yang menjabarkan definisi dari ‘seru’ dan ‘menyenangkan’. Kita melihat George membobol kandangnya, mengamuk hebat di pesawat yang mengangkutnya sehingga menciptakan kekacauan di udara, bergabung dengan rekan-rekan mutannya yakni Ralph si serigala yang sebelumnya telah menghabisi sejumlah pasukan khusus dan Lizzie si buaya yang mengintai dari bawah air, sampai akhirnya yang telah kita nanti-nantikan selama durasi mengalun, memporakporandakan seisi Chicago. Menghancurkan gedung! Pertarungan antara monster dengan manusia! Pertarungan antara sesama monster! Woo hoo! Dihantarkan dengan laju pengisahan yang bergegas, mempunyai setumpuk sekuens laga dengan polesan efek visual meyakinkan yang dilontarkan nyaris tanpa henti, dan disokong karisma Dwayne Johnson yang memancar kuat sebagai jagoan tangguh (dia memang cocok dengan peran semacam ini), Rampage berhasil membuat saya seolah-olah terikat erat di kursi bioskop. Tak jarang pula, film membuat saya kegirangan seperti bocah yang baru pertama kalinya memainkan Rampage. Sisipan humornya yang berfungsi untuk mencairkan ketegangan pun bekerja dengan cukup baik sehingga disela-sela situasi serba genting, kita masih bisa terkekeh-kekeh. Asyik!

Exceeds Expectations (3,5/5)


Jumat, 06 April 2018

REVIEW : ARINI

REVIEW : ARINI


“Kenapa kamu selalu optimis, Nick?” 

“Karena kamu selalu pesimis. Dan karena itu pula Tuhan menciptakanku untuk mendampingimu.” 

Ada banyak alasan mengapa seseorang memiliki ketertarikan untuk menyaksikan rilisan terbaru dari MAX Pictures, Arini. Bisa jadi dia memang menyukai film-film percintaan yang membuat baper. Bisa jadi dia penasaran karena strategi promosinya amat gencar apalagi trailernya memang bagus. Bisa jadi dia ingin melihat garapan terbaru dari seorang Ismail Basbeth selepas dibuat terkesima oleh Mencari Hilal (2015), salah satunya seperti saya. Bisa jadi dia adalah penggemar sejati dari duo pemain utama, Aura Kasih-Morgan Oey. Bisa jadi dia terpikat oleh premis ceritanya yang terbilang tidak umum untuk ukuran film romansa tanah air terkait hubungan asmara dua sejoli yang memiliki perbedaan umur cukup jauh. Dan bisa jadi pula, dia adalah generasi lawas yang ingin menyaksikan interpretasi baru dari novel rekaan Mira W bertajuk Masih Ada Kereta yang Akan Lewat yang sebelumnya telah diadaptasi ke format film layar lebar di tahun 1987 dengan bintang Widyawati dan Rano Karno. Ya, Arini memang memiliki banyak sekali alasan untuk menarik perhatian seseorang sehingga saat digoreskan di atas kertas membuatnya tampak seperti tontonan percintaan yang menjanjikan… sampai kamu melihat sendiri hasil akhirnya yang penuh dengan masalah. Alhasil, materi bagus dan tim dengan jejak rekam tidak main-main yang diusungnya pun tersia-siakan begitu saja. 

Duo sejoli yang dimabuk asmara dalam Arini adalah Arini (Aura Kasih) dan Nick (Morgan Oey) yang bertemu untuk pertama kalinya dalam sebuah perjalanan menggunakan kereta api di Jerman. Nick yang tidak membawa tiket mencari celah agar tidak bermasalah dengan kondektur dan melihat Arini sebagai dewi penyelamat. Lebih dari itu, Nick yang masih menimba ilmu di London sebagai mahasiswa, jatuh hati pada pandangan pertama dengan Arini yang usianya 15 tahun diatasnya. Berbagai topik obrolan dilontarkan demi menarik minat Arini yang senantiasa menanggapi setiap celotehan Nick secara dingin. Dari pertemuan perdana yang janggal tersebut, berharap bisa melihat dua manusia ini bersatu memang tampak mustahil. Terlebih, Arini menyimpan luka lama akibat dikhianati oleh mantan suaminya, Helmi (Haydar Saliz), dan sahabatnya, Ira (Olga Lydia), sehingga dia tidak lagi mempercayai apa yang disebut dengan ‘cinta’. Meski kerap mendapat penolakan dari Arini yang ketusnya bukan main ini, Nick tidak menyerah begitu saja. Segala upaya dia kerahkan agar hati perempuan pujaannya ini luluh termasuk mendatangi apartemennya, mengajaknya jalan-jalan, mengobrol panjang lebar (lebih tepatnya menggombal sih), sampai menghadapi langsung Helmi yang tiba-tiba kembali masuk ke dalam kehidupan Arini setelah sebuah rahasia besar terbongkar.


Menengok siapa-siapa yang berkontribusi terhadap Arini – berkaca pula pada materi sumber dan versi lawasnya yang disambut amat antusias baik oleh penonton maupun pengamat film – sudah barang tentu ada antusiasme tersendiri kala hendak menonton film ini. Terlebih, saya memang ‘kecanduan’ film romansa dan menggemari karya-karya Ismail Basbeth (termasuk film pendek buatannya). Akan tetapi, segala rasa bungah yang menyelimuti diri kala melangkahkan kaki ke dalam bioskop seketika rontok serontok-rontoknya hanya beberapa menit usai film memulai guliran pengisahannya. Cara si pembuat film mempertemukan kita dengan Arini dan Nick terasa janggal yang seketika menimbulkan pertanyaan, “kok si kondektur tidak mengecek toilet tempat Nick bersembunyi ya? Dan kenapa Nick mesti minta tolong ke Arini dengan menitipkan tas dan sebagainya jika pada akhirnya Arini juga tidak membantu apapun?”. Jangan harap pertanyaan ini akan terjawab dan jangan harap pula akan mendapat penjelasan memuaskan soal siapa mereka berdua karena film melaju secara tergesa-gesa. Apa benar saya sedang menonton Arini? Ini bukan remake dari Speed yang dulu dibintangi oleh Keanu Reeves dan Sandra Bullock kan? Oke, membandingkan Arini dengan Speed memang sangat berlebihan. Tapi mau bagaimana lagi, laju pengisahan dua film ini sama-sama ngebut. Wusss, wusss, wusss. Menonton Arini bak tengah menyaksikan film bergenre laga yang mengajak penonton melompat-lompat dari satu sekuens laga ke sekuens laga yang lain tanpa benar-benar memperhatikan perkembangan karakter. 

Belum sempat kita memahami sosok Arini, belum sempat kita memahami sosok Nick, kita ujug-ujug sudah diseret menuju sekuens rayu-rayuan atau marah-marahan yang lain tanpa ada kesinambungan berarti. Itulah mengapa ngikik dan “lha kok?” menjadi semacam reaksi langganan lantaran film sesak dengan adegan yang tidak sedikit diantaranya ‘kehilangan garis penyambung’ atau dieksekusi terlampau konyol (adegan telepon bocor. Ehem!) sampai-sampai sulit menganggapnya serius. Bahkan, hingga Arini mencapai penghujung durasi, saya masih belum kunjung mendapat jawaban atas pertanyaan, “apa sih yang membuat Nick sebegitu kesengsemnya dengan Arini?.” Arini memang paripurna dari segi fisik, tapi masa iya sih motivasi Nick untuk mendapatkan perempuan pujaannya ini (dia nguebet banget lho!) sedangkal itu? Jika ya, berarti keinginannya lebih didorong oleh hasrat semata dong? Saya kemudian benar-benar meyakininya setelah mereka berdua bertengkar hebat karena Arini menolak untuk diajak tidur bersama. Disamping naskah tipis dan penceritaan tergesa dari Ismail Basbeth yang membatasi pergerakan karakter, performa Aura Kasih yang cenderung datar juga tidak membantu sama sekali. Di tangannya, sosok Arini hanya terlihat seperti perempuan judes yang cemberut melulu, sangat menyebalkan dan sulit diberi simpati. Tidak pernah menunjukkan kompleksitas sedikitpun yang kemudian membuat kita mafhum atas tindakan-tindakannya. Morgan Oey yang tampil enerjik sebagai si berondong kasmaran sedikit banyak membantu menyelamatkan film, meski sebetulnya dia turut menjadi korban naskah. 

Ketiadaan motivasi yang jelas membuat Nick kadangkala lebih menyerupai seorang penguntit yang menyeramkan ketimbang pemuda yang charming. Bayangkan, dia ada dimanapun Arini berada (sekalipun telah ditolak!) termasuk menyelinap ke rumah pujaan hatinya tersebut yang berada di belahan dunia berbeda setelah sebelumnya mereka bertengkar hebat (yang kemudian diselesaikan begitu saja). Ini masih belum ditambah fakta bahwa dia selalu bisa menemukan keberadaan Arini tanpa menjumpai kesulitan berarti. Seram banget, nggak sih? Mempunyai dua karakter utama yang ajaib – masih ada pula karakter pendukung yang lagi-lagi jika diperhatikan akan mengundang kerutan lain di jidat – belum apa-apa telah menciptakan jarak antara penonton dengan film. Bisakah kita dibuat jatuh hati dengan dua karakter yang judesnya amit-amit (serius malah jadi pengen getok!) dan menyerupai seorang psikopat? Apabila didukung oleh performa berkelas dengan chemistry ciamik dan naskah yang tergarap baik, bisa saja. Tapi masalahnya di sini, ‘judes’ dan ‘psikopat’ itu sendiri muncul karena suatu kesalahan, bukan semata-mata diniatkan demikian. Sosok Arini dan Nick menjadi seperti itu akibat naskah yang tidak memberi latar belakang dan motivasi memadai. Tidak terlalu jelas, kalau tak mau disebut buram, penggambaran kedua karakter ini lebih-lebih Nick yang tidak pernah dijlentrehkan seperti apa kehidupan pribadinya sehingga dia bisa terobsesi kepada Arini. Yang lebih disayangkan lagi, Aura Kasih dan Morgan Oey pun tidak mampu menghadirkan chemistry yang membuat penonton yakin bahwa ada benih-benih cinta yang siap bermekaran dalam diri keduanya. Tidak ada pancaran di mata mereka yang menunjukkan rasa bernama cinta. Apabila hubungan ini sebatas nafsu belaka, masih agak bisa dipercaya. Namun jika dilandasi ketulusan hati? Masih sangat dipertanyakan.
 

Maka begitu mereka bermesra-mesraan, diri ini justru merasa geli-geli janggal ketimbang tersenyum-senyum gemas. Begitu pula saat big moment datang, tak ada rasa apapun yang hinggap kecuali rasa datar. Ya mau bagaimana lagi, lha wong kunci keberhasilan dari suatu film percintaan itu terletak pada dua karakter utama yang mampu membuat penonton bersedia untuk memberikan restunya. Jika kita tidak pernah benar-benar terhubung secara emosional dengan mereka lantas bagaimana mungkin sebuah restu bisa diberikan? Yekannn? Sayang banget lho ini. 

Poor (2/5)

Sabtu, 31 Maret 2018

REVIEW : READY PLAYER ONE

REVIEW : READY PLAYER ONE


“People come to the Oasis for all the things they can do, but they stay because of all the things they can be.” 

Steven Spielberg is back! 

Oke. Seruan ini mungkin terdengar agak berlebihan karena kita sama-sama tahu beliau tidak pernah pergi kemana-mana. Dalam satu dekade terakhir, Pak Spielberg masih sangat aktif menghasilkan karya, menempatkan filmnya di jajaran film laris, sampai wara-wiri ke berbagai ajang penghargaan. Hanya saja, film kreasinya dalam beberapa tahun terakhir ini semacam hanya mengincar Oscar beserta rekan-rekannya semata. Minim unsur hiburan. Kalaupun ada yang ditujukan sebagai sajian eskapisme seperti The Adventures of Tintin (2011) dan The BFG (2016), hasil akhirnya terasa kurang menggigit dan seolah-olah Pak Spielberg telah kehilangan sentuhan magisnya yang menjadi salah satu alasan mengapa beliau bisa memiliki nama besar di perfilman dunia. Terlalu sering dicekoki film-film serius garapannya, saya pun bertanya-tanya, “apa mungkin beliau akan kembali menghasilkan film semacam E.T. The Extra Terrestrial (1982) dan Jurassic Park (1993) yang sanggup membuat kita kegirangan sekaligus melongo kagum?”. Harapan itu sepertinya nyaris sirna sampai kemudian mendapati kabar bahwa Steven Spielberg memutuskan untuk kembali bersenang-senang dengan menyajikan tontonan eskapisme murni yang menjelajah teritori yang dikuasainya, fiksi ilmiah dan petualangan. Tontonan ini didasarkan pada novel rekaan Ernest Cline bertajuk Ready Player One. Walau agak skeptis berkaca pada dua film ‘hura-hura’ terakhirnya, tapi tidak bisa disangkal kalau hati ini merasa bungah karena bagaimanapun hasilnya, sebuah popcorn movies garapan sang maestro tetap harus disambut meriah. 

Melalui Ready Player One, Pak Spielberg memboyong kita untuk mengunjungi Columbus, Ohio, di masa depan atau secara spesifik pada tahun 2045. Populasi membludak, korupsi, polusi, serta perubahan iklim yang ekstrim menyebabkan masyarakat dunia hidup dalam kondisi finansial yang memprihatinkan. Itulah mengapa sang karakter utama, Wade Watts (Tye Sheridan), tinggal di sebuah tempat yang disebut ‘Tumpukan’ – well, maknanya pun harfiah karena ini memang tumpukan trailer – bersama bibi dan kekasihnya yang pemabuk. Demi menjauhkan diri dari kepenatan hidup, Wade beserta sebagian populasi masyarakat dunia memilih untuk menghabiskan waktu dengan memainkan game berbasis realitas maya bernama OASIS. Di sini, setiap orang bisa menjadi apapun yang mereka mau tanpa ada batasan-batasan yang mengekang. Wade yang menggunakan avatar bernama Parzival menjalin pertemanan dengan Aech (Lena Waithe), Sho (Philip Zhao), Daito (Win Morisaki), serta Art3mis (Olivia Cooke) yang juga ditaksirnya di OASIS. Mereka berlima membentuk komplotan dengan nama ‘High Five’ demi menuntaskan permainan kreasi James Halliday (Mark Rylance) yang disebut Anarok’s Quest yang mengiming-imingi hadiah berupa tampuk kepemimpinan di OASIS. Mulanya sih, Wade dan kawan-kawan memainkannya secara nothing to lose sampai kemudian tujuan mereka berubah kala Nolan Sorrento yang licik (Ben Mendelsohn), pemilik IOI yang merupakan perusahaan kompetitor OASIS, ikut bermain dan menghalalkan segala cara demi memenangkan permainan termasuk menyingkirkan High Five yang menghalangi jalannya dari dunia maya maupun dunia nyata.


Oke. Seruan “Steven Spielberg is back!” tidak lagi terdengar berlebihan usai menyaksikan apa yang telah beliau perbuat kepada Ready Player One. Setelah beberapa film kelas berat dan satu dua tontonan eskapisme yang mudah dilupakan, Pak Spielberg akhirnya kembali menghadirkan sajian spektakel yang layak untuk dirayakan besar-besaran. Sebuah sajian gegap gempita nan mengasyikkan yang sudah sangat lama tidak kita peroleh dari beliau sejak Jurassic Park (kamu boleh tidak sependapat soal hal ini karena sekuelnya yang dirlis pada tahun 1997 dan Minority Report (2002) juga masih asyik). Apabila kamu adalah penonton film biasa, dalam artian sekadar untuk membunuh waktu dan tidak pernah menganggap film sebagai ‘belahan jiwa’ atau menaruh ketertarikan sangat mendalam kepada budaya populer, Ready Player One mungkin akan terlihat seperti film seru pada umumnya yang kebetulan memiliki penggarapan setingkat lebih baik ketimbang film sejenis yang rilis dalam beberapa bulan belakangan ini. Sekadar disokong efek visual bombastis dan dipenuhi dengan sekuens laga yang (apiknya) senantiasa mengalami eskalasi dari segi intensitas pada setiap menitnya. Boleh jadi, tidak pernah lebih dari itu. Akan tetapi, apabila kamu memiliki kecintaan terhadap film, video game, dan budaya populer lainnya (itu berarti kamu adalah seorang ‘geek’), apa yang disajikan oleh Ready Player One akan membuatmu terperangah hebat dan menggeleng-geleng kepala berulang kali sepanjang durasi. Betapa tidak, referensinya bejibun! Dari yang sangat kentara sampai selewat-selewat saja yang sangat mungkin kamu lewatkan jika berkedip. 

Ada Batman! Ada King Kong! Ada Chucky si boneka iblis! Ada robot dari The Iron Giant (1999)! Ada motor yang ditunggangi Kaneda di Akira (1988)! Ada Mechagodzilla! Ada DeLorean dari trilogy Back to the Future! Ada Gundam! Ada hotel penuh teror dari The Shining (1980) yang penempatannya sungguh jenius serta tak terduga! Dan ‘ada-ada’ lainnya yang bakal panjang sekali apabila dijlentrehkan satu demi satu di sini terlebih ini belum mencakup referensi ke video game dan musik. Ready Player One memang tak ubahnya sebentuk surat cinta dari Pak Spielberg kepada budaya populer yang telah membawanya hingga ke titik ini. Beliau memperlakukannya dengan penuh hormat dan penuh perhitungan matang, bukan asal comot lalu diselipkan sekenanya. Keberadaannya melebur ke dalam plot secara tepat sehingga tidak mendistraksi narasi utama. Penonton awam tetap bisa mengikuti jalinan pengisahan yang ditawarkan oleh film tanpa pernah merasa teralienasi, sedangkan penonton jemaatnya Sheldon Cooper tetap bisa melompat-lompat kegirangan seraya mengikuti guliran penceritaan yang ditawarkan. Seperti telah saya singgung sebelumnya, dengan atau tanpa setumpuk referensi ke budaya populer, Ready Player One tetaplah sebuah sajian hiburan yang gemilang. Sebuah sajian yang mengingatkan kita kepada karya-karya akbar Steven Spielberg di era 70 hingga 90-an sekaligus mengingatkan kita sekali lagi mengapa namanya kerap dielu-elukan oleh para pecinta film.


Ready Player One mempunyai sense of wonder atau sensasi sinematik yang magis atau apalah itu sebutannya yang membuat pengalaman menyaksikan film di layar lebar terasa sulit untuk digantikan. Di film ini, Pak Spielberg membuktikan bahwa dia masih memiliki kemampuan untuk meramu sebuah tontonan spektakel yang menciptakan decak kagum. Visualnya yang mengawinkan animasi dan live action (saat beralih ke animasi, sensasinya seperti sedang bermain video game) tampak memukau, rentetan sekuens laganya yang menggenjot adrenalin tak pernah gagal menghadirkan fase ‘berdebar-debar’, guliran pengisahannya yang menarik membuat penonton tertambat untuk mengikuti misi pencarian ‘telur paskah’ sekaligus terusik untuk menggelar diskusi dengan topik pengaruh kemajuan teknologi pada masyarakat modern, dan lakon jajaran pemainnya apik terutama Mark Rylance yang senantiasa sendu, Ben Mendelsohn sebagai villain utama yang terkadang bengis terkadang lucu, serta Tye Sheridan yang membentuk chemistry apik dengan Olivia Cooke. Berkat kombinasi-kombinasi tersebut, petualangan mengarungi OASIS sepanjang 140 menit pun berlalu dengan begitu cepatnya sampai-sampai muncul keinginan untuk mengulanginya kembali sesaat setelah petualangan berakhir. Betapa tidak, selama bertualang bersama High Five, saya acapkali dibuat tergelak-gelak, bersemangat, melompat-lompat kegirangan bak bocah cilik yang baru diberi mainan baru, sampai menyeka air mata haru. Buagus!

Outstanding (4,5/5)

Jumat, 30 Maret 2018

REVIEW : TEMAN TAPI MENIKAH

REVIEW : TEMAN TAPI MENIKAH


“Cinta pertama itu susah dilupain. Apalagi kalau cinta pertama lo itu sahabat lo sendiri.” 

Apakah kamu pernah jatuh cinta dengan sahabat terdekatmu sendiri? Pernah? Tidak? Kalau saya pribadi sih belum pernah merasakannya dan mengingat saat ini masih bujangan (hello, ladies!), hanya Tuhan yang tahu apakah diri ini nantinya akan melangkahkan kaki ke pelaminan bersama seorang kawan baik atau seorang lain. Ehem. Satu yang jelas, beberapa hari silam, mata kepala saya menjadi saksi atas terwujudnya ‘teman tapi menikah’ di kehidupan nyata. Dua teman akrab saya sedari 10 tahun lalu yang tidak pernah terdeteksi menjalin hubungan asmara – semua orang tahu mereka bersahabat dekat – tiba-tiba menikah. Dari sini saya tersadar bahwa kisah kasih seperti ini sejatinya lumrah terjadi karena sebelumnya saya mendengar cerita serupa dari kakak kandung. Tak mengherankan jika novel rekaan Ayudia Bing Slamet dan Ditto Percussion yang mempopulerkan istilah ‘teman tapi menikah’ banyak diserbu khalayak ramai. Dalam novel tersebut, mereka berdua berbagi pengalaman nyata tentang bagaimana hubungan persahabatan keduanya yang telah dibina selama 12 tahun justru berlanjut ke jenjang pernikahan. Pengalaman nyata yang rupa-rupanya memiliki kedekatan representasi bagi banyak orang. Menyadari bawah novel ini memperoleh resepsi begitu hangat, pihak Falcon Pictures pun memutuskan untuk memvisualisasikannya ke bentuk film layar lebar dengan tajuk Teman Tapi Menikah, lalu menunjuk Rako Prijanto (Sang Kiai, 3 Nafas Likas) sebagai sutradara, dan mendapuk Vanesha Prescilla dan Adipati Dolken untuk menempati posisi pelakon utama.  

Dalam Teman Tapi Menikah versi layar lebar, kedua karakter sentralnya tetaplah Ayudia Bing Slamet (Vanesha Prescilla) dan Ditto (Adipati Dolken). Mereka diceritakan telah menjalin hubungan persahabatan sedari duduk di bangku SMP. Awalnya sih Ditto sebatas mengagumi Ayu yang sedari kecil telah dikenal sebagai aktris. Namun seiring berjalannya waktu, Ditto ingin memperlakukan Ucha – sapaan akrabnya untuk Ayu – sebagai seorang teman istimewa. Dimana ada Ditto, maka disitu ada Ayu. Mereka berdua sulit untuk dipisahkan sampai-sampai acapkali dikira berpacaran saking lengketnya satu sama lain. Persahabatan mereka terus berlanjut sampai ke jenjang SMA dimana Ditto mulai menunjukkan potensinya sebagai pemusik sekaligus playboy kelas teri. Pada titik ini, sebetulnya kedua belah pihak telah menyadari ada setitik rasa antara satu dengan lain. Namun mereka berdua memilih untuk tak terlalu mengindahkannya. Ayu memutuskan untuk berkencan dengan anak band bernama Darma (Rendi John) sementara Ditto terus berganti-ganti pacar seiring berjalannya waktu. Adanya rasa tidak bahagia tatkala menjalin hubungan dengan sejumlah perempuan perlahan menyadarkan Ditto bahwa hatinya sebetulnya hanya untuk Ayu. Masalahnya, bagaimana cara mengungkapkan isi hatinya ini? Terlebih Ayu seolah sebatas menganggapnya sebagai teman curhat belaka dan sepertinya tidak pernah menyadari bahwa segala kerja keras yang dilakukan oleh Ditto seperti membeli scooter menggunakan uang tabungan sendiri adalah upayanya untuk membahagiakan Ayu. Hubungan yang terjalin diantara keduanya ini semakin terasa rumit saat pilihan menimba ilmu di universitas memaksa mereka untuk berpisah jalan. 


Ditengok dari premis, Teman Tapi Menikah sejatinya sederhana saja (kalau tak mau disebut klise ya). Tidak terhitung lagi sudah berapa banyak film romansa yang berceloteh mengenai hubungan persahabatan dua muda mudi yang berkembang menjadi hubungan percintaan. Dari zaman baheula sampai sekarang, kamu setidaknya akan menjumpai minimal satu film yang pokok kupasannya berkisar soal ‘teman tapi mesra’. Ya mau bagaimana lagi, kisah kasih semacam ini selalu memiliki sudut pandang baru untuk diceritakan sekalipun sudah teramat sering disampaikan. Teman Tapi Menikah pun demikian. Plotnya yang kelewat umum bisa saja membuat sebagian penonton memandangnya remeh, tapi film ini sanggup membuktikan bahwa jalinan penceritaan yang begitu sederhana dan terasa sangat familiar akan tetap menghasilkan tontonan yang meninggalkan kesan mendalam apabila mendapat penanganan yang tepat. Teman Tapi Menikah tidak berusaha mati-matian untuk tampil sophisticated demi menarik perhatian publik, melainkan hanya bergantung pada guliran kisahnya yang membumi dan tidak membentuk jarak terlampau jauh dengan penonton. Pertanyaan yang dilontarkan si pembuat film kepada penonton semacam “apakah kamu pernah jatuh cinta dengan teman baikmu sendiri?” dan “apakah kamu pernah melihat seseorang di dekatmu yang memiliki kisah seperti Ayu dengan Ditto?” merupakan bekal untuk membentuk keterikatan penonton kepada film. Kita merasa terikat karena kita pernah (atau sedang) berada di fase tersebut. Bukankah selalu mengasyikkan mendengar cerita mengenai pengalaman seseorang yang sama dengan kita? 

Ndilalah, tukang cerita Teman Tapi Menikah pun mampu menyusun potongan-potongan kisah kasih Ayu dengan Ditto sedari mereka masih belia sampai menikah di usia 20-an dengan amat baik. Rako Prijanto membuat kita tertambat lalu bersedia menyaksikan bagaimana hubungan dua sejoli ini mengalami transisi dari persahabatan menuju percintaan. Rako beruntung mendapat suplai naskah bagus yang dirancang oleh Johanna Wattimena beserta Upi. Rentetan konflik yang muncul secara silih berganti terhidang wajar namun tetap memikat, dialog-dialog yang dilontarkan terasa mengalir selayaknya percakapan sehari-hari namun tetap manis (tidak mencoba untuk berpuitis-puitis ria yang justru membuatnya janggal), dan karakterisasi untuk tokoh-tokoh sentral pun terbilang kuat. Sosok Ditto dan Ayu bukanlah karakter satu dimensi dengan perangai terlalu sempurna atau terlalu ajaib seperti kerap muncul di film-film percintaan. Mereka tidak ubahnya penonton yang sedang duduk di kursi bioskop seraya mencemil berondong jagung dan menyeruput minuman bersoda. Mereka adalah kita. Jika ada yang membuat Ayu terlihat agak berbeda dari perempuan sebayanya, itu karena dia menjalani profesi sebagai aktris sinetron. Tapi saat dia berada di lingkungan sekolah lalu berinteraksi dengan Ditto, dia tak ubahnya perempuan sebelah rumah yang kita kenal. Ditto yang dideskripsikan sebagai playboy pun senada, dia tidak lantas menjelma menjadi prince charming seutuhnya. Dia merasakan kegagalan, dia juga bekerja keras untuk menggapai mimpinya. Bukan tipe laki-laki berharta melimpah yang bisa memperoleh apapun yang dia mau dengan mudah.


Duo Ayu-Ditto ini dimainkan dengan sangat asyik oleh Vanesha Prescilla dan Adipati Dolken. Saat dipersatukan dalam satu layar, mereka membentuk ikatan kimia yang amat meyakinkan. Mencuat rasa percaya bahwa keduanya adalah sahabat baik yang saling peduli satu sama lain. Ini ditonjolkan melalui pertukaran dialog yang seru diantara keduanya sampai-sampai kita merasa betah untuk berlama-lama di dekat mereka. Seiring bergulirnya kisah, kita perlahan tapi pasti dapat mendeteksi bahwa sejatinya tersembunyi rasa lain dibalik hubungan persahabatan ini. Sesuatu yang tidak akan mungkin bisa kita rasakan apabila dua pelakon utamanya tidak memberi performa dan chemistry diatas rata-rata. Chemistry Vanesha-Adipati adalah aset berharga yang dimiliki oleh Teman Tapi Menikah. Berkat mereka, kita bisa bersimpati lalu memberikan restu kepada hubungan Ayu-Ditto. Siapapun telah mengetahui bagaimana kisah mereka akan berakhir di penghujung film, tapi penampilan bagus jajaran pemainnya – termasuk Denira Wiraguna sebagai mantan Ditto dan Refal Hady sebagai mantan Ayu – ditunjang oleh naskah berisi, pengarahan yang lancar, penyuntingan yang dinamis, tangkapan kamera yang cantik nan bergaya, serta iringan musik beraroma jazz yang melebur mulus ke setiap adegan sekaligus membantu menciptakan nuansa romantis-menggemaskan, membuat proses menuju bersatunya Ayu-Ditto terasa sangat mengasyikkan untuk diikuti. Kita ikut tertawa, tersenyum-senyum gemas, sampai menyeka air mata haru. Jarang-jarang ada film percintaan tanah air yang penceritaannya bisa sedemikian mengalirnya. Teman Tapi Menikah jelas merupakan salah satu film percintaan terbaik yang pernah dibuat di Indonesia.

Outstanding (4/5)

Kamis, 29 Maret 2018

REVIEW : DANUR 2: MADDAH

REVIEW : DANUR 2: MADDAH


“Apa yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada.” 

Pada kuartal pertama tahun lalu, Danur yang diadaptasi dari buku bertajuk sama rekaan Risa Sarasvati dilepas ke jaringan-jaringan bioskop tanah air. Guliran kisah yang didasarkan pada pengalaman nyata Risa kala bersentuhan dengan dunia gaib tersebut, nyatanya berhasil mengumpulkan 2,7 juta penonton sekaligus membangkitkan kembali tren film horror di perfilman Indonesia. Tidak mengherankan sebetulnya mengingat materi sumbernya laris manis di pasaran, pelakon utamanya adalah Prilly Latuconsina yang telah membentuk basis penggemar cukup besar, dan film arahan Awi Suryadi ini sendiri tergolong memiliki teknis penggarapan cukup baik. Satu hal yang lantas membuat saya terganggu sehingga Danur tidak pernah benar-benar meninggalkan kesan mendalam adalah trik menakut-nakutinya yang kelewat receh. Penggunaan skoring musik dan kemunculan si hantu terasa serampangan yang justru bikin sebal alih-alih ketakutan. Pokoknya penonton kaget, maka sudah selesai perkara (duh!). Gagal memperoleh pengalaman menonton sesuai pengharapan inilah yang lantas membuat saya kurang bersemangat untuk menonton jilid keduanya yang bertajuk Danur 2: Maddah. Namun rasa penasaran yang telah meredup itu perlahan mulai bangkit usai menengok materi promosinya (baca: trailer) yang tampak menjanjikan sampai-sampai satu pertanyaan pun terbentuk: apa mungkin si pembuat film telah belajar dari kesalahan sehingga sekuelnya ini mampu tersaji lebih baik? 

Dalam Danur 2: Maddah, teror yang dialami oleh Risa (Prilly Latuconsina) tidak lagi berlangsung di rumah sang nenek yang kini dikisahkan telah berpulang ke Yang Maha Satu. Kali ini, Risa mencium bau danur tatkala bertandang ke rumah Tante Tina (Sophia Latjuba) dan Om Ahmad (Bucek) yang dikisahkan baru saja pindah ke Bandung. Semenjak kedua orang tuanya dinas ke luar negeri, Risa beserta adiknya, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki), memang kerap mampir ke rumah kerabat mereka ini demi membunuh sepi. Yaaa, sekalian hitung-hitung menjaga tali silaturahmi. Namun ketenangan Risa mulai terusik tatkala sepupunya, Angki (Shawn Adrian), menaruh kecurigaan ada sesuatu yang tidak beres di rumah mereka apalagi ayahnya mulai bertingkah tidak wajar termasuk menanam bunga sedap malam di pekarangan rumah. Risa bisa merasakan itu, tapi anehnya, dia tidak bisa melihat apapun. Justru dia melihat Om Ahmad pergi berduaan bersama perempuan lain. Siapa dia? Apa dia ada keterkaitannya dengan semua keanehan yang terjadi di rumah? Benarkah Om Ahmad selingkuh? Demi mengetahui kebenaran di baliknya, Risa pun mulai mengorek informasi mengenai si perempuan misterius ini. Akan tetapi upayanya untuk mendapatkan informasi senantiasa mengalami hambatan karena sebuah kekuatan jahat yang entah darimana asalnya tiba-tiba memancar kuat di rumah kerabatnya ini dan tidak segan-segan melukai para penghuni rumah.


Menjawab pertanyaan yang tertinggal di penghujung paragraf pertama, saya bisa mengatakan bahwa Danur 2: Maddah adalah sebuah sekuel yang baik. Tidak ada tipu-tipu dalam materi promosinya. Dibandingkan dengan instalmen pertama yang terbilang berisik namun hampa, seri kedua ini mempunyai daya cekam yang lebih kuat. Kentara terlihat, si pembuat film telah mempelajari kesalahan-kesalahan apa saja yang telah mereka perbuat dari film terdahulu dan berusaha untuk memperbaikinya di sini. Ucapkan selamat tinggal kepada iringan musik yang memekakkan telinga serta hantu banci tampil yang tiap beberapa detik sekali memberi ‘cilukba’ kepada penonton. Sekali ini, Awi Suryadi menunjukkan sensitivitasnya dalam menangani film horor dengan lebih bersabar dalam membangun teror setapak demi setapak (bukan lagi asal ‘jrengggg!’ tanpa relevansi yang jelas) dan banyak mengandalkan atmosfer yang mengusik rasa nyaman. Pilihan ini mungkin akan terasa asing bagi penonton yang doyan dikageti dengan bejibun penampakan sekalipun tanpa makna, namun pilihan ini harus diakui tepat karena sejumlah jump scare di Danur 2: Maddah justru terasa cukup efektif. Memang sih tak sepenuhnya mulus – ada beberapa yang kemunculannya kurang diperlukan kecuali semata-mata demi membuat penonton terlonjak dari kursi bioskop – tapi paling tidak, terornya tak sampai kelewat repetitif dan berakhir menggelikan seperti film pertama yang seketika meruntuhkan rasa takut. 

Danur 2: Maddah juga memiliki satu dua adegan yang menggoreskan kesan baik seusai menontonnya di layar lebar. Salah satu paling membekas adalah sesosok hantu perempuan yang bersuka cita mengikuti lantunan dzikir Tante Tina. Ngeri nggak sih bayangin kita lagi berdzikir lalu di depan kita ternyata ada makhluk halus yang bergoyang-goyang mendengar dzikir kita? Kalau bagi saya sih, creepy as hell! Kemampuan Awi dalam menciptakan rasa ngeri ini mendapat sokongan bagus dari sinematografi yang menguarkan nuansa “ada sesuatu tak beres di sekitarmu”, rias wajah yang membuat kita enggan berlama-lama menatap wajah si hantu, dan performa ciamik dari Prilly Latuconsina yang kian menegaskan bahwa dia adalah salah satu aktris muda berbakat saat ini. Di tangannya, kita mampu merasakan kegundahan hati Risa lalu menyematkan setitik simpati kepada karakternya. Yang kemudian menghalangi Prilly untuk berkembang lebih jauh dan menghalangi pula kengerian untuk mencapai level maksimal adalah naskah yang sungguh tipis. Karakterisasi untuk Risa, Riri, Tante Tina, Om Ahmad, Angki, apalagi hantu-hantu sahabat Risa (masih dibuat bertanya-tanya dengan kontribusi mereka pada penceritaan), berjalan di tempat dan cenderung ‘satu nada’. Kita tidak pernah benar-benar mengenal mereka maupun membentuk ikatan emosi dengan mereka. Maka ketika satu dua karakter tertimpa bencana, rasa was-was urung hadir yang sedikit banyak menurunkan intensitas. Andai saja Danur 2: Maddah ini berkenan memperhatikan sisi naskah lebih mendalam lagi – tak sebatas trik menakut-nakuti sekalipun ini perlu juga – bukan tidak mungkin film akan tersaji lebih mencengkram dan mencekam karena potensinya sendiri terpampang nyata.



Acceptable (3/5)

Selasa, 20 Maret 2018

REVIEW : A WRINKLE IN TIME

REVIEW : A WRINKLE IN TIME


“You’re going to be tested every step of the way. Have faith in who you are.” 

Tidak ada yang menyalahkanmu apabila menaruh minat untuk menyaksikan A Wrinkle in Time di layar lebar. Siapa sih tidak tergoda saat bintang-bintang besar seperti Oprah Winfrey, Reese Witherspoon, sampai Chris Pine beradu akting dalam satu film yang materi penceritaannya diadaptasi dari literatur klasik rekaan Madeleine L'Engle? Menariknya lagi, film ini diproduksi oleh Walt Disney Pictures, mengambil jalur fiksi ilmiah, dan dikemas sebagai tontonan keluarga. Entah dengan kalian, namun saya memiliki ‘titik lemah’ terhadap film keluarga keluaran Disney sehingga nyaris tidak pernah sanggup untuk menolaknya (meski tidak jarang pula ini berakhir dengan kekecewaan). A Wrinkle in Time yang ditangani oleh pegiat sinema Ava DuVernay (Selma, 13th) pun terlihat telah mengantongi sejumlah syarat yang memungkinkannya untuk menjadi tontonan baik menengok jejak rekam siapa-siapa yang terlibat. Di atas kertas, satu-satunya tantangan yang mesti ditaklukkan film ini adalah mentransformasikan materi sumbernya yang konon kerap disebut “sulit difilmkan” ke bahasa gambar. Dibawah pengarahan sutradara terampil, tantangan ini sebetulnya bisa jadi perkara sepele – tengok saja Life of Pi garapan Ang Lee. Akan tetapi bagi sutradara yang kurang lihai bercerita, belum lagi masih gagap menangani film bujet besar, tantangan ini jelas sebuah masalah besar. Dan sayang beribu sayang untuk A Wrinkle in Time, Ava DuVernay tergolong ke dalam sutradara jenis kedua yang tidak mahir menyampaikan kisah kepada penonton. 

Karakter utama yang mesti kita beri perhatian lebih dalam A Wrinkle in Time adalah seorang remaja perempuan dengan otak encer bernama Meg Murry (Storm Reid). Sebelum memutuskan untuk mengisolasi diri dari pergaulan dan memasang muka masam sepanjang waktu yang membuatnya mengalami perisakan, Meg memiliki pribadi yang ceria serta tergolong siswi teladan di sekolahnya. Perubahan karakteristik yang sangat bertolak belakang ini disebabkan oleh menghilangnya sang ayah, Dr. Alexander Murry (Chris Pine), dalam misi memperbaiki alam semesta. Alex yang menaruh minat terhadap astrofisika, ditengarai telah menemukan tesseract – sebuah perjalanan lintas dimensi ruang dan waktu – dan kini tersesat di dimensi lain. Mencoba untuk percaya bahwa sang ayah masih hidup, Meg akhirnya perlahan tapi pasti kehilangan kepercayaannya setelah selama empat tahun tak kunjung mendapat kejelasan. Upaya Meg dalam menekan rasa duka atas kehilangan lantas mengubahnya menjadi pribadi bermasalah dan terpinggirkan. Satu-satunya siswa yang bersedia menjalin ikatan pertemanan dengannya adalah Calvin (Levi Miller). Kehidupan Meg yang kacau balau ini mulai menjumpai titik terangnya tatkala adik angkatnya, Charles Wallace (Deric McCabe), memperkenalkannya kepada tiga perempuan misterius; Mrs. Which (Oprah Winfrey), Mrs. Whatsit (Reese Witherspoon), serta Mrs. Who (Mindy Kaling), yang belakangan diketahui sebagai pelancong astral. Melalui mereka, Meg mendapati fakta bahwa ayahnya masih hidup dan satu-satunya orang yang dapat menyelamatkannya adalah Meg sendiri.


Berkaca pada sinopsis di atas maupun materi promosi yang telah digeber selama ini – terutama trailer, mudah untuk mengira bahwa A Wrinkle in Time adalah gelaran petualangan fiksi ilmiah tulen yang bisa dikudap beramai-ramai bersama seluruh anggota keluarga di waktu senggang. Jika kamu memiliki ekspektasi semacam ini, dan berharap film dapat membuatmu terhibur, saya menyarankan untuk cepat-cepat menghempaskannya. Karena kenyataan yang ada, A Wrinkle in Time cenderung lebih menyerupai film pengembangan diri ketimbang film eskapisme. Tentu bukan menjadi soal sama sekali tatkala film berusaha untuk menyampaikan pesan mengenai kekuatan cinta, penerimaan diri, dan berdamai dengan kehilangan. Dalam penanganan yang tepat, pesan-pesan klise semacam ini dapat menyentuh hati sekaligus menginspirasi penonton. Masalahnya, Ava DuVernay berusaha terlalu keras agar pesan tersebut dapat mengena sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa filmnya ini terasa begitu palsu. Dipaksakan. Dialog luar biasa ceriwisnya yang tidak jauh-jauh dari “kamu harus tetap menjadi dirimu sendiri!” atau “kamu itu penuh bakat!” muncul secara terus menerus seakan tidak tahu kapan harus berhenti. Alhasil, daun telinga serasa mau rontok saking capeknya mendengar pengulangan pesan. Ini mungkin tidak akan terdengar seburuk itu apabila A Wrinkle in Time memiliki guliran pengisahan mengikat maupun parade akting mumpuni yang memungkinkan kita seolah terlibat ke dalam film (ingat The Help?). Masalahnya (lagi! Film ini benar-benar penuh masalah!), dua-duanya tidak bisa kamu jumpai di sini. 

Ya, disamping dialog bak dilontarkan oleh motivator kelas teri, A Wrinkle in Time terasa sangat melelahkan untuk disimak lantaran penuturannya yang lambat dan hambar. Penonton cilik mungkin akan terkantuk-kantuk begitu mendapati laju film nyaris tak bergerak selama setengah jam awal, sedangkan penonton dewasa bakal garuk-garuk kepala ditengah-tengah upaya memahami kemauan si pembuat film sampai kemudian tiba pada kesimpulan: A Wrinkle in Time ini sungguh film yang pretensius. Berbicara kesana kemari, mengutarakan istilah-istilah rumit, hanya demi menegaskan tentang kekuatan cinta? Oh, come on! Ketimbang fokus pada “cara membuat film agar kelihatan pintar”, DuVernay semestinya lebih fokus pada “cara mempermainkan emosi penonton” karena A Wrinkle in Time hampir tidak mempunyainya yang sedikit banyak menyulitkan kita untuk menjalin ikatan kepedulian dengan karakter-karakternya. Terlebih lagi, barisan pemainnya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Storm Reid sebagai remaja bermasalah dan Deric McCabe sebagai adik angkat yang jenius memang menyumbangkan lakon apik ditengah segala keterbatasan yang melingkungi, akan tetapi trio Oprah Winfrey-Reese Witherspoon-Mindy Kaling terlihat begitu kikuk sampai-sampai berulang kali memunculkan ‘awkward moment’ tanpa disengaja. Kalau sudah begini, apa yang bisa diharapkan? Menengok gelontoran bujet yang tidak main-main, jawaban dari tanya tersebut adalah visual. Itupun jangan diharapkan banyak-banyak karena tidak jarang visualnya hanya sedikit lebih baik dari pemandangan di screensaver.


Poor (2/5)