Tampilkan postingan dengan label True Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label True Story. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : TERBANG MENEMBUS LANGIT

REVIEW : TERBANG MENEMBUS LANGIT


“Beranikan hati. Raihlah kebebasan kau. Terbang, terbang setinggi-tingginya.” 

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, nama Onggy Hianata memang tidak terdengar familiar. Membutuhkan jasa teknologi canggih yang disebut Google untuk mengetahui latar belakang dan profesi dari pemilik nama tersebut. Dari hasil berselancar ke dunia maya – mengunjungi satu demi satu web dan blog yang membahas tentang Onggy – saya memperoleh satu kesimpulan bahwa Onggy merupakan seorang motivator keturunan Tionghoa asal Tarakan, Kalimantan Utara, yang menyebarkan pengalamannya selama merintis karir sebagai pebisnis melalui program bernama Value Your Life: A Life Changing Bootcamp. Beliau telah melanglang buana (ruang lingkupnya telah berada di taraf internasional) demi memotivasi para pebisnis pemula agar mereka mendapatkan kepercayaan diri dan keberanian dalam membangun kerajaan bisnis. Yaaaa kurang lebih seperti Merry Riana atau Mario Teguh lah. Kepenasaran saya untuk mengetahui sosoknya dilandasi oleh keputusan Demi Istri Production menitahkan Fajar Nugros (Moammar Emka’s Jakarta Undercover, 7/24) untuk menggarap film bertajuk Terbang: Menembus Langit yang guliran penceritaannya didasarkan pada kisah hidup Onggy Hianata. Saya dibuat bertanya-tanya, “apa sih yang begitu istimewa dari kehidupan sang motivator sampai-sampai dirasa perlu untuk diangkat ke dalam format film layar lebar?.” 

Well, jalan hidup Onggy Hianata (Dion Wiyoko) yang penuh lika-liku harus diakui merupakan sebuah materi yang seksi untuk difilmkan. Seorang pebisnis sukses yang memulai karirnya dari nol. Dia berasal dari sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang miskin di Tarakan, memiliki delapan saudara, dan nyaris tidak dapat mengenyam bangku pendidikan karena kedua orang tuanya terhimpit secara finansial. Sang ayah (Chew Kin Wah) hanyalah pekerja di toko kelontong, sementara ibunya (Aline Adita) mengurus rumah tangga. Selepas meninggalnya sang ayah, kedua kakak Onggy (Baim Wong dan Delon Thamrin) yang bertugas dalam menafkahi keluarga. Onggy sendiri memilih untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari jurang kemiskinan dengan cara mencari peruntungan di perantauan. Bermodal nekat, Onggy pun meninggalkan kampung halamannya dan bertolak menuju Surabaya – suatu kota yang sering dijadikan sebagai destinasi andalan oleh para perantau di kotanya. Tanpa uang saku dari kedua kakaknya, Onggy membiayai kuliah sekaligus menyambung hidup dengan menjadi distributor apel ke toko buah, menjual jagung bakar, memproduksi kerupuk, sampai akhirnya bekerja sebagai pegawai di pabrik pembuatan benang. Penghasilan tetap yang diperolehnya di pabrik ini nyatanya tak lantas membuat Onggy bahagia karena dia menyadari bahwa menjadi budak korporat bukanlah mimpinya. Dia ingin memperoleh kebebasan penghasilan dari usaha yang dibangunnya sendiri, bukan bergantung dari usaha yang dibangun oleh orang lain.


Menyoroti sepak terjang Onggy dalam mengentaskan dirinya, keluarganya di Tarakan, dan keluarga kecil yang baru dibinanya bersama sang istri, Candra (Laura Basuki), dari penderitaan hidup yang disebabkan kemiskinan, bahan obrolan yang disodorkan Terbang: Menembus Langit berkisar pada keberanian dalam menggapai mimpi, kekuatan tekad, serta kerja keras. Ini adalah modal utama yang dibutuhkan untuk mengkreasi sebuah film biopik yang inspiratif. Entah kalian suka atau tidak dengan pilihan kata ‘inspiratif’ yang kerap digunakan secara sembrono oleh sineas-sineas Indonesia demi jualan film asal bikin, kata ini nyatanya terasa tepat untuk mendeskripsikan seperti apa Terbang: Menembus Langit. Sebuah film yang akan menggugah semangatmu saat melangkahkan kaki ke luar bioskop untuk memperbaiki kualitas diri sekaligus mengoreksi etos kerja demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Penceritaannya memang tidak selalu mulus, seperti kehidupan subjeknya. Problematika paling mencolok kentara terasa kala menjelang klimaks yang cenderung tergesa seolah-olah ingin cepat tuntas sampai lupa menjabarkan satu pekerjaan baru yang dikejar-kejar oleh Onggy termasuk bagaimana sistem penggajiannya (karena ada kalanya dia tampak tak menerima hasil apapun) dan meminggirkan subplot terkait kerusuhan Mei 1998 yang sejatinya memiliki potensi dramatik menarik saat dikulik (semacam, apa impak peristiwa ini pada Onggy dan keluarganya?) terlebih film pun sejatinya ingin berceloteh soal kebhinekaan Indonesia. 

Andai Terbang: Menembus Langit berkenan memperpanjang durasinya, lalu mengupas ini lebih tuntas, memperlihatkan bagaimana Onggy sebagai keturunan Tionghoa dapat bertahan di masa orde baru yang sarat diskriminasi, dan memberi kita gambaran lebih utuh mengenai pekerjaan yang membawa Onggy pada masa kejayaannya, film bisa jadi akan tersaji lebih menggigit. Bahkan dengan adanya ganjalan di penghujung pun, Terbang: Menembus Langit masih mampu terhidang sebagai film biopik yang cukup memuaskan berkat kombinasi serba apik dari pengarahan Fajar Nugros, elemen teknis yang menyokongnya, serta performa jajaran pelakonnya. Di sini, kamu akan mendapati nuansa pekat dari era 80-90’an yang dipancarkan melalui pilihan busana, tata rias, sampai artistik, dan atraksi akting mengagumkan yang menggerakkan film. Dion Wiyoko sebagai Onggy yang dikenal gigih dalam memperjuangkan keinginannya adalah pilihan yang tepat karena dia sanggup membawa kita melewati berbagai fase emosi; kita kecewa dan terpuruk bersamanya, kemudian kita yakin dan bersorak kepadanya. Keinginan kita pun sejalan dengannya, yakni melihat Onggy mencicipi manisnya buah kerja keras. Beruntung bagi Dion, dia mempunyai lawan main yang mumpuni seperti Chew Kin Wah bersama Aline Adita sebagai orang tuanya yang menyuplai sisi haru berikut rasa hangat, lalu kuartet penghuni kos-kosan (Dayu Wijanto, Indra Jegel, Mamat Alkatiri, Fajar Nugra) yang memberi sejumput gelak tawa mengasyikkan pada film, dan Laura Basuki yang merupakan bintang sesungguhnya dari film ini.


Laura bertransformasi dengan amat meyakinkan sebagai Candra – lengkap dengan aksen Cina Suroboyoannya – yang menyediakan harapan hidup bagi Onggy. Sesosok perempuan kuat yang senantiasa memberi dorongan untuk suaminya sekalipun keputusan Onggy yang berani (kalau tak mau disebut nekat) seringkali menempatkan mereka pada posisi sulit. Adegan yang berlangsung di kontrakan, seperti saat Candra meluapkan kekecewaannya yang begitu mendalam atas pilihan suaminya atau ketika kandungannya bermasalah atau kala Rich (putra mereka yang masih bayi) merengek kepanasan, menunjukkan range emosi seorang Laura yang luas. Apakah ini akting terbaik sepanjang karirnya? Dapat dikatakan demikian. Chemistry yang dirajutnya bersama Dion pun tak kalah apiknya. Membuat kita cukup bisa memaafkan pergerakan kisah yang tergesa di paruh akhir (sungguh ini sayang sekali), membuat kita bersedia mendengarkan kisah hidup Pak Onggy beserta Bu Candra, membuat kita rela dihanyutkan ke dalam kisah mereka yang terkadang hangat terkadang lucu terkadang pilu, membuat kita berharap mereka berhasil menggapai mimpi mereka, dan pada akhirnya membuat kita terinspirasi untuk mencetak kisah sukses yang serupa. Performa Dion-Laura yang mempunyai emosi sedemikian kuat jelas berkontribusi banyak terhadap Terbang: Menembus Langit sehingga film dapat terbang cukup tinggi meninggalkan film-film sejenis seperti Menebus Impian (2010) atau Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar (2014) misalnya.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Jumat, 02 Maret 2018

REVIEW : THE POST

REVIEW : THE POST


“If the government wins, The Washington Post will cease to exist.” 

Hanya berpatokan pada siapa-siapa yang terlibat, The Post sebetulnya telah terdengar begitu menggiurkan. Betapa tidak, film ini mengawinkan dua aktor besar, Tom Hanks dengan Meryl Streep, di garda terdepan departemen akting dan dibesut oleh Steven Spielberg yang telah memberi kita film-film legendaris seperti E.T. the Extra-Terrestrial (1982), Jurassic Park (1993), serta Saving Private Ryan (1998). Seolah ini belum cukup untuk membuat kita buru-buru memesan tiket bioskop, The Post turut menyodorkan materi cerita yang seksi terkait keterlibatan media massa di Amerika Serikat – khususnya The Washington Post – dalam mengungkap skandal militer yang berlangsung dibawah pemerintahan Richard Nixon pada awal dekade 70-an. Bukan, bukan mengenai Watergate yang menghebohkan itu, melainkan bocornya dokumen-dokumen rahasia setebal 4000 halaman lebih yang disebut Pentagon Papers. Dalam dokumen yang mencakup data-data dari tahun 1945 hingga 1967 tersebut, terpapar analisa mendalam yang menyatakan bahwa negeri Paman Sam sejatinya tidak memiliki kans untuk berjaya dalam Perang Vietnam. Alasan terbesar yang lantas membuat Amerika Serikat kekeuh bertahan dan enggan menarik pasukan dari medan tempur adalah ketidakrelaan untuk menanggung rasa malu karena kekalahan atau dengan kata lain, gengsi. 

Jatuhnya dokumen negara super rahasia ini ke tangan para jurnalis di The New York Times menjadi cikal bakal bagi The Post dalam memulai guliran pengisahannya. Dari sini, Steven Spielberg membagi fokus penceritaan menjadi dua cabang yang masing-masing dikomandoi oleh Katherine Graham (Meryl Streep) selaku penerbit dan Ben Bradlee (Tom Hanks) selaku editor eksekutif. Melalui sosok Katherine, penonton mendapati cerita cenderung personal mengenai perempuan pertama yang menempati posisi tertinggi dalam bidang penerbitan surat kabar di Amerika Serikat. Katherine mewarisi The Washington Post usai suami dan mertuanya berpulang. Meski memiliki kemampuan bersosialisasi yang mumpuni – terbukti dari lingkaran pertemanannya yang meliputi politikus-politikus besar, namun Katherine tidak cukup luwes dalam berbisnis. Keputusan-keputusan yang diambilnya, termasuk saat menjual saham perusahaan secara terbuka, acapkali dipengaruhi oleh penasehat-penasehatnya yang seluruhnya laki-laki. Sedangkan melalui sosok Ben, penonton memperoleh cerita mengenai upaya para jurnalis untuk mengangkat derajat The Washington Post yang selama ini dianggap sebatas koran lokal receh. Pasca mengetahui The New York Times memiliki materi berita yang berpotensi menggemparkan seluruh negara, Ben pun menitahkan anak buahnya untuk mengejar sang sumber berita sehingga mereka tidak saja dapat meningkatkan reputasi surat kabar tetapi juga menjalankan kewajiban untuk memberitakan kebenaran kepada masyarakat.

Tatkala menonton The Post, ada dua hal yang mesti banget dipersiapkan, yakni kesabaran dan konsentrasi. Selepas disuguhi sajian berupa para tentara negeri adidaya kewalahan dalam melayani serbuan Vietkong lalu dilanjut pembobolan berkas-berkas penting milik Departemen Pertahanan terkait relasi Amerika Serikat dengan Vietnam yang menciptakan intensitas di permulaan film, The Post mulai menstabilkan lajunya di level ‘pelan’. Letupan-letupan besar disisihkan terlebih dahulu demi memberi ruang bagi penonton untuk berkenalan secara intim dengan dua karakter kunci dalam film; Katherine dan Ben, sekaligus memahami secara utuh rentetan peristiwa yang tengah dihadapi oleh The Washington Post. Ya, sebelum bergerak lebih jauh, Spielberg selaku tukang cerita mencoba untuk memastikan bahwa penonton benar-benar memahami tentang posisi Katherine, urgensi dalam meyakinkan para investor saham, obsesi Ben, serta kebohongan-kebohongan yang disembunyikan pemerintah melalui Pentagon Papers. Kelihaian Spielberg dalam bercerita membuat materi dongeng yang rada-rada njelimet ini terasa menarik buat disimak alih-alih menjemukan. Ketertarikan memang tidak serta merta terbentuk melainkan muncul sedikit demi sedikit seiring bergilirnya durasi. Seiring didapatnya gambaran lebih utuh mengenai apa yang sejatinya hendak disampaikan oleh The Post

The Post bukanlah Spotlight (2016) yang meletakkan sebagian besar fokus penceritaannya pada pengejaran berita. Di sini, duo penulis skrip, Liz Hannah dan Josh Singer, turut memecah fokusnya ke pergulatan batin si penerbit yang dihadapkan pada pilihan dilematis: memilih teman-teman politikusnya yang jelas merupakan pilihan aman atau mempersilahkan para jurnalisnya untuk mempublikasikan kebohongan yang ditutup rapat oleh pemerintah selama bertahun-tahun meski konsekuensinya adalah dijauhi oleh investor serta dipenjara lantaran dianggap menyalahi UU spionase. Tentu dibutuhkan keahlian bercerita yang tinggi agar dua cabang ini tidak terasa penuh sesak atau timpang sebelah. Spielberg, seperti telah diperkirakan, mampu menyeimbangkan dua fokus penceritaan tersebut sehingga keduanya dapat berjalan beriringan dan saling menopang. Cerita milik Ben memang mesti diakui lebih menggigit karena menyoroti pada jurnalisme investigasi. Akan tetapi, cerita milik Katherine tidak lantas melempem sekalipun cakupannya personal terkait upayanya memperoleh kepercayaan dari dirinya sendiri maupun laki-laki alpha di sekelilingnya. Ditunjang oleh akting gemilang Meryl Streep, kita bisa memahami keragu-raguannya, ketakutannya untuk berbuat kesalahan, harapannya untuk mendapatkan respek dari pria-pria di sekitarnya yang memandangnya sepele, kemauannya belajar dari kesalahan, serta keberaniannya dalam mengambil keputusan. 

Ndilalah, Meryl Streep memiliki lawan main yang tak kalah piawainya dalam berolah peran, Tom Hanks. Sosok Ben yang menyala-nyala memberi keseimbangan di saat sosok Katherine cenderung lebih kalem. Keduanya mulai sering bertatap muka tatkala dua cabang cerita saling beririsan yang sekaligus menandai terdeteksinya eskalasi ketegangan dalam The Post. Ketegangan dapat tercium dengan jelas pasca anak buah Ben menginformasikan bahwa dia telah mendapatkan materi berita yang dibutuhkan. Yang tidak disangka-sangka, adegan conference call yang berlangsung di rumah Katherine dan Ben demi mencapai mufakat mampu membuat diri ini berada dalam fase “dag dig dug” sekaligus meremas-remas kursi bioskop. Terhitung sedari momen emas ini, The Post secara konstan menghadirkan guliran pengisahan yang mencekam serta mencengkram. Kita mungkin telah mengetahui kemana muara film ini, tapi kita tidak ambil pusing karena yang diinginkan adalah menyaksikan proses para jurnalis di The Washington Post mencapai muara tersebut. Bagaimana mereka menyusun artikel bernas dari dokumen negara setebal ribuan halaman, bagaimana mereka memperjuangkan kebebasan pers di saat sang presiden mengancam akan membredel tempat mereka mencari penghasilan, dan bagaimana mereka menunjukkan tanggung jawab kepada masyarakat yang dianggap perlu mengetahui kebohongan-kebohongan pemerintah. Mengusung isu yang begitu relevan dengan dewasa ini yang mana kebebasan pers tengah terancam dan berita bohong kian marak dijumpai, tak salah kiranya menyebut The Post sebagai film yang penting disimak oleh siapapun.



Note : Satu lagi yang berkesan dari The Post, film ini memberi kita detil kecil mengagumkan tentang cara kerja mesin cetak surat kabar. Ya, kita tidak hanya diajak berkeliling ruang kerja jurnalis tetapi juga diajak mengunjungi percetakan!

Outstanding (4/5)

Senin, 24 Juli 2017

REVIEW : LET'S GO, JETS!

REVIEW : LET'S GO, JETS!


“Ada beberapa hal yang tidak bisa kita ubah begitu saja. Tapi kita harus tetap berusaha.” 

Tidak banyak film remaja/olahraga yang secara spesifik membicarakan perjuangan tim pemandu sorak SMA. Keberadaan ekstrakurikuler ini dalam film remaja buatan Hollywood memang nyaris tak pernah luput dari radar, hanya saja fungsinya sebatas gimmick atau sekadar memanfaatkan satu dua anggotanya sebagai karakter berstereotip “perempuan kejam”. Yang benar-benar peduli menyoroti jatuh bangunnya para cheerleader untuk mencetak prestasi dengan memenangkan kompetisi bisa dihitung dengan jari jemari, salah satu paling terkenal adalah Bring It On (2000) yang turut berjasa melambungkan karir Kirsten Dunst serta mempunyai serentetan sekuel tak penting yang diterjunkan langsung ke format home video. Meski Bring It On sendiri tak pernah usang menjadi bahan perbincangan di kalangan para penikmat film sampai sekarang, anehnya film bertema serupa masih sukar dijumpai. Setidaknya butuh lebih dari dua dekade untuk akhirnya mendapati sebuah film dengan cita rasa mirip. Yang tidak disangka-sangka, datangnya film termutakhir menyoal perjuangan tim pemandu sorak SMA bukan berasal dari Amerika Serikat melainkan dari Jepang. Menggunakan tajuk internasional Let’s Go, Jets!, film arahan Hayato Kawai ini didasarkan pada kisah nyata sebuah tim pemandu sorak dari Fukui Commercial High School yang berjaya dalam NDA National Championsip di negeri Paman Sam pada tahun 2009 hanya tiga tahun setelah resmi dibentuk. 

Tokoh utama dalam Let’s Go, Jets! adalah seorang siswi tingkat pertama di Fukui Chuo High School bernama Hikari Tomonaga (Suzu Hirose). Motivasi utama Hikari untuk bergabung ke dalam klub pemandu sorak Jets sebetulnya sedangkal ingin menarik perhatian dari seorang laki-laki yang kini bergabung dengan klub sepakbola, Kosuke Yamashita (Mackenyu). Namun rencana awal Hikari seketika berubah tatkala mendapati pelatih baru klubnya, Kaoruko Saotome (Yuki Amami), mengaplikasikan aturan ketat mengenai larangan memiliki kekasih dan menetapkan target ambisius untuk memenangkan sebuah kejuaraan tari pemandu sorak di Amerika Serikat. Mengingat klub ini baru saja mengalami transisi dari sebelumnya gimnastik memutar tongkat menuju tari pemandu sorak dan sebagian besar anggota anyarnya tidak memiliki kemampuan dasar menari, tentu target ini terkesan muluk-muluk. Tapi Kaoruko enggan begitu saja menyerah dan guna merealisasikan tujuannya, dia lantas meminta tiga anggota paling berbakat; Ayano (Ayami Nakajo), Yui (Hirona Yamazaki), dan Reika (Yurina Yanagi), untuk melatih anggota lain. Belum juga klub ini dapat berdiri dengan stabil, cobaan lain datang hasil dari kombinasi antara tekanan, ego, serta kekecewaan. Di tengah keterpurukan, Hikari yang digambarkan mempunyai kemampuan hebat soal membagi kebahagiaan, meminta uluran bantuan dari Ayano dan Yui demi mengembalikan kembali semangat anggota Jets yang tersisa untuk merengkuh impian berjaya di Amerika Serikat.


Sejatinya, Let’s Go, Jets! tidak menawarkan sesuatu yang baru untuk ranah film olahraga maupun coming of age. Pola penceritaan yang dianutnya pun masih tidak jauh-jauh dari ‘from zero to hero’ dengan fokus kisahnya berada di upaya sebuah klub pemandu sorak SMA dari kota kecil yang kerap dipandang sebelah mata oleh sejumlah pihak – termasuk oleh anggotanya sendiri – dalam membuktikan kebenaran atas pernyataan ‘everything is possible’. Yang kemudian membuat Let’s Go, Jets! terasa begitu lezat buat dikudap, bahkan layak untuk disandingkan dengan Bring It On, adalah energi yang dibawanya. Hayato Kawai berhasil membentuk film arahannya ini menjadi salah satu film paling menyenangkan untuk ditonton pada tahun ini. Saat menyimak Let’s Go, Jets! di layar lebar beberapa waktu lalu, hati ini dibuatnya hangat dan bahagiaaaaa sekali. Sedari Hikari mengetahui jati diri sesungguhnya dari klub Jets yang diikutinya, atensi telah tertambat. Muncul ketidaksabaran untuk mengetahui bagaimana proses yang mesti dilewati klub pecundang ini hingga sampai pada titik dimana mereka dielu-elukan bukan saja oleh seantero sekolah, tetapi juga seantero Jepang sekaligus disegani oleh lawan-lawannya di Amerika Serikat. Ya, kamu telah mengetahui bagaimana film ini akan berakhir – cuplikan di awal film dan materi sumbernya telah membocorkannya – namun itu sama sekali tak menjadi soal karena kenikmatan menyaksikan Let’s Go, Jets! tidak berada di tujuan akhir melainkan pada proses yang akan menginspirasimu. Proses yang juga menegaskan bahwa kesuksesan tidak diperoleh secara cuma-cuma. 

Karena kita diposisikan sebagai saksi dari sebuah klub yang berproses, koreografi tari yang merupakan salah satu daya tarik Bring It On tak terlampau ditonjolkan di sini. Hayato memilih mendayagunakan kuota durasi untuk melihat beberapa karakter sentralnya berkembang, khususnya Hikari yang mulanya meyakini dirinya tidak memiliki bakat yang bisa membawa klub Jets memenangkan kompetisi dan Ayano sebagai pemimpin yang telaten memperhatikan perkembangan rekan-rekan satu timnya untuk bahan pembelajaran. Suzu Hirose dan Ayami Nakajo mampu menginterpretasi secara cantik peran masing-masing, mengomando barisan pemain muda lain yang mengisi formasi anggota klub Jets, dan bersinergi mulus dengan Yuki Amami. Mereka terlihat mudah untuk disukai – chemistry diantara mereka pun berada di level jempolan – sehingga penonton tidak keberatan memberikan dukungan penuh kepada Jets. Dilantunkan menggunakan nada penceritaan yang ceria bahkan ada kalanya sangat komikal seperti ketika ‘pelatih dari neraka’ Kaoruko menggembleng habis murid-muridnya yang sebagian besar masih hijau, turut memudahkan kita mengikuti sepak terjang Jets. Begitu penonton dirasa telah jalin keakraban bersama para personil, sang sutradara lantas melepas sentakan berwujud momen emosional yang berfungsi dalam merekatkan ikatan antara penonton dengan Jets. Adanya ikatan satu sama lain dapat dibuktikan melalui klimaks yang akan membuatmu beberapa kali menyeka air mata. Bukan karena sedih, akan tetapi karena kebanggaan, kebahagiaan dan kelegaan yang membuncah. Kita seperti seorang kawan yang bangga luar biasa ketika melihat kerja keras sang sahabat akhirnya menuai hasil. Bagus!

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1LvnC

Outstanding (4/5)


Rabu, 19 Juli 2017

REVIEW : THE CRUCIFIXION

REVIEW : THE CRUCIFIXION


“Sungguh memuakkan setiap kali tipu daya berlindung dibalik kemuliaan.” 

Diantara setumpuk tema yang bisa dipilih untuk menggulirkan penceritaan dalam khasanah film horor, sineas-sineas negeri barat terhitung paling getol dalam mengelupas tema eksorsisme. Keputusan untuk mengungkit tema ini sebetulnya amat wajar mengingat praktik pengusiran setan oleh rohaniawan utusan gereja maupun ‘orang pintar’ ini sendiri amat berbahaya dan beresiko menelan korban jiwa sehingga terdengar amat seksi apabila diaplikasikan ke dalam suatu film. Semenjak The Exorcist (1973) mendapat perhatian berbagai pihak dan pada akhirnya menyandang status klasik, serentetan judul film memedi turut menyentuh tema ini yang beberapa diantaranya mempunyai kualitas diatas rata-rata seperti The Exorcism of Emily Rose (2005) dan The Conjuring (2013), meski tidak sedikit pula yang berakhir tragis. Salah satu judul terbaru yang membicarakan tentang eksorsisme adalah The Crucifixion arahan sineas Prancis, Xavier Gens (The ABCs of Death; segmen X is for XXL, Frontier(s)). Guliran kisahnya dicuplik dari sebuah kasus nyata yang menghebohkan Romania pada tahun 2005 yang disebut-sebut oleh media dengan nama ‘Tanacu exorcism’. Dalam kasus tersebut, seorang pastor dan empat biarawati didakwa bersalah atas tewasnya seorang perempuan usai disalib selama beberapa hari dalam praktik eksorsisme. 

Melalui The Crucifixion, Xavier Gens mencoba untuk merekonstruksinya menggunakan pendekatan fiktif. Penonton tidak mengikuti investigasi nyata atas kasus kematian seorang perempuan bernama Adelina Marinescu (Olivia Nita) dari sudut pandang penyelidik sebelum vonis dijatuhkan kepada para tersangka dengan sesekali menengok ke masa-masa saat Adelina masih ‘bersih’, melainkan selepas sang pastor dijebloskan ke penjara. Yang mencoba memperoleh kebenaran dari peristiwa Tanacu adalah seorang reporter tanpa iman asal New York, Nicole Rawlins (Sophie Cookson). Telah sedari awal meyakini bahwa sang pastor merupakan psikopat dan praktik yang dijalankannya tidak lebih dari ritual sesat, membuat Nicole kesulitan mencerna informasi-informasi ‘ajaib’ yang diperolehnya dari teman baik Adelina, Vaduva (Brittany Ashworth), dan kakak Adelina, Stefan Marinescu (Ivan Gonzales). Di tengah upayanya menyatukan kepingan-kepingan bukti yang didapatnya, Nicole mendapati sejumlah peristiwa ganjil sulit dijabarkan. Kebingungan, Nicole pun meminta bantuan pada seorang pastor muda, Anton (Corneliu Ulici), yang lantas mengingatkan Nicole untuk meninjau ulang keimanannya. Berkat wejangan-wejangan dari Anton dan situasi ganjil yang sering dihadapinya selama di Romania, perlahan tapi pasti Nicole mulai meyakini bahwa iblis mempunyai andil besar dalam kasus Tanacu.


Sejatinya tidak ada hal benar-benar baru yang coba ditawarkan oleh The Crucifixion. Penyampaian kisahnya sedikit banyak melayangkan ingatan kita pada The Exorcism of Emily Rose yang juga mengajak penonton untuk mengkaji kembali kebenaran dari suatu kasus nyata. Sederet pertanyaan dilontarkan oleh si pembuat film demi menghadirkan beberapa teori untuk kemudian menghasilkan suatu hipotesis. Apakah benar praktik eksorsisme dijalankan sang pastor semata-mata demi melampiaskan hasratnya untuk menyiksa? Apakah benar tindak tanduk nyeleneh Adelina dipantik oleh skizofrenia dan bukan sebab lain? Apakah benar tidak ada campur tangan iblis dibalik segala kejanggalan ini? Ketiga pertanyaan ini berguna pula dalam mengikat atensi penonton sehingga bersedia mengikuti Nicole untuk menyingkap suatu fakta. Usai berbincang-bincang dengan beberapa narasumber, beberapa fakta diperoleh: gereja menentang praktik eksorsisme yang dilakoni Pastor Dimitru karena dianggap sesat, kondisi kejiwaan Adelina tidak stabil usai kena tipu-tipu dari pria Jerman yang memintanya untuk merelakan keperawannya, dan iblis itu memang nyata adanya. Materi yang sungguh menjanjikan buat diolah, bukan? Sayangnya Xavier Gens agak kelimpungan dalam mengolahnya yang berdampak pada guliran pengisahan terhidang mentah dan ada kalanya menjemukan. Tidak menggugah selera penonton untuk mencicipinya. 

Dua elemen yang turut berkontribusi terhadap hasil akhir The Crucifixion yang kurang greget, naskah dan akting. Duo Chad Hayes dan Carey Hayes selaku penulis skrip terlalu fokus pada penjlentrehan proses investigasi sampai-sampai mengabaikan perkembangan karakter Nicole. Alhasil, sosoknya pun menjelma menjadi karakter satu dimensi yang sulit diberikan simpati. Performa lempeng Sophie Cookson dengan intonasi pada pengucapan dialog yang juga monoton jelas sama sekali tidak membantu. Lakon terbaik dalam film – seperti film eksorsisme pada umumnya – berasal dari si perempuan yang kesurupan, Olivia Nita. Dari karakter yang dimainkannya, Adelina, penonton peroleh kengerian. Berbincang mengenai kengerian dan urusan menakut-nakuti yang mana inti dari suatu film horor, The Crucifixion tergolong tidak buruk. Malah boleh dikata cukup berhasil. Sebagian besar diantaranya sih telah diobral dalam trailer (sebaiknya kamu tengok usai menonton saja, khusus melihat adegan ‘semut’ yang dipangkas gunting sensor), namun masih cukup efektif untuk membuatmu beberapa kali terlonjak dari kursi bioskop. Bulu kuduk juga acapkali meremang saat Nicole menghabiskan waktunya seorang diri di kamar hotel. Entah saat dia berselancar di dunia maya, berada di kamar mandi, atau beristirahat. Terasa ada sesuatu yang salah di sekitarnya seolah-olah ada yang mengawasi. Kemampuan The Crucifixion dalam menghadirkan ketidaknyamanan pada penontonnya ini sedikit banyak mengampuni lemasnya sektor lain. Paling tidak, para pecinta film horor yang datang ke bioskop dengan harapan untuk ditakut-takuti tidak mendapatkan sajian lempeng.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1lzoN

Acceptable (2,5/5)


Jumat, 31 Maret 2017

REVIEW : DANUR

REVIEW : DANUR


“Namaku Risa. Dan aku bisa melihat apa yang kalian sebut... hantu.” 

Setidaknya ada tiga alasan utama disodorkan oleh Danur produksi Pichouse Films (anak dari MD Pictures) yang cukup ampuh untuk menggelitik kepenasaran khalayak ramai agar menyimaknya di layar lebar. Pertama, topik obrolannya didasarkan pada buku populer bertajuk Gerbang Dialog Danur yang konon kabarnya berbasis pengalaman nyata dari seorang musisi indigo bernama Risa Saraswati. Kedua, pelakon utamanya adalah aktris muda dengan basis penggemar terhitung masif, Prilly Latuconsina, yang secara kualitas akting pun terhitung mumpuni seperti ditunjukkannya melalui Surat Untukmu dan Hangout, beserta Shareefa Daanish yang disinyalir bakal menjadi Ratu Horror semenjak Rumah Dara. Dan ketiga, promosi yang dikreasi MD Pictures terbilang gencar sekaligus jitu lantaran memanfaatkan unsur mistis yang amat dipercayai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan ketiga alasan tersebut – ditambah adanya keterlibatan Awi Suryadi (Badoet, Street Society) di kursi penyutradaraan – Danur jelas menguarkan aura menjanjikan di permukaan sehingga tidak mengherankan apabila ekspektasi membumbung. Pertanyaannya, apakah Danur sanggup memenuhi segala potensi yang dipunyainya? 

Danur memperkenalkan penonton kepada gadis cilik berusia 8 tahun bernama Risa (Asha Kenyeri Bermudez). Mengingat kedua orang tuanya sibuk bekerja, Risa kerap dititipkan di rumah sang nenek utamanya kala libur sekolah. Risa yang kesepian karena tidak mempunyai teman sebaya untuk diajak bermain, melontarkan pengharapan di hari ulang tahunnya. Hanya membutuhkan waktu sekejap saja bagi Risa untuk menantikan pengharapannya terwujud. Tiga bocah berdarah Belanda; Peter (Gamaharitz), William (Wesley Andrew), dan Jansen (Kevin Bzezovski Taroreh), seketika datang menemani Risa bermain hari demi hari. Sang ibu, Elly (Kinaryosih), melihat adanya kejanggalan dalam diri putrinya terlebih dia tidak pernah bisa melihat secara langsung wujud teman-teman baru Risa. Meminta pertolongan kepada orang pintar, terungkap fakta bahwa Peter dan kedua saudaranya merupakan makhluk halus. Tidak ingin putrinya celaka, Elly pun membawa Risa pergi sampai kemudian Risa (Prilly Latuconsina) kembali menjejakkan kaki di rumah sang nenek usai beberapa tahun berselang bersama adiknya, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki), demi merawat sang nenek. Serentetan peristiwa janggal pun sekali lagi menyambut Risa terutama setelah mereka kedatangan perawat misterius, Asih (Shareefa Daanish), yang kentara menyimpan agenda terselubung dibalik kedatangannya.


Harus diakui, langkah Danur dimulai secara meyakinkan. Daya sentaknya di menit-menit awal acapkali bersumber pada bangunan atmosfirnya yang cukup efektif dalam menimbulkan kegelisahan di kursi penonton. Beberapa momen yang sempat membuat jantung ini berdebar-debar antara lain ketika Risa bermain piano untuk memanggil kawan-kawan hantunya, kamera mencermati sudut-sudut rumah gedongan sunyi senyapnya sang nenek yang dilengkapi dengan pernak pernik dari zaman Belanda, serta kemunculan pertama Asih yang gemar sekali memberikan tatapan mengerikan kepada Risa. Memperoleh sambutan yang cukup menggelisahkan semacam ini, hati jelas berbahagia karena sedikit banyak menunjukkan bahwa film telah berada di jalur yang semestinya. Melayangkan ingatan pada film horor terdahulu Awi, Badoet, yang juga banyak memanfaatkan atmosfir untuk membangkitkan bulu roma. Begitu keyakinan telah terkumpul – dan Danur sudah memperoleh kepercayaan dari penonton – film justru perlahan tapi pasti terus mengendur intensitasnya seiring berjalannya durasi. Rasa takut yang tadinya telah mendekat, malah mendadak berbalik arah dan kian menjauh sampai akhirnya tidak lagi tampak di paruh akhir. Dalam catatan saya, kesalahan terbesar dari Danur adalah keputusannya untuk mengeksploitasi penampakan habis-habisan yang seketika menyulap Danur tak ubahnya film horor generik. 

Alih-alih menaruh perhatian pada perkembangan karakter demi terbentuknya ikatan antara penonton dengan Risa maupun penonton dengan Peter, film lebih banyak menghabiskan waktunya untuk sekadar memikirkan trik menakut-nakuti penonton. Akibatnya, greget dalam alunan kisah pun tiada bisa dideteksi karena kita tidak pernah sekalipun terhubung lalu menaruh kepedulian kepada barisan karakternya. Sementara teror yang digeber nyaris saban menit, mula-mula sih berhasil saja karena Danur juga memiliki Shareefa Daanish yang bisa dikata jagoan dalam urusan menciptakan ekspresi yang bikin bergidik ngeri. Namun seperti halnya menyantap makanan dalam porsi berlebih, lama-lama kejenuhan tidak lagi terhindarkan sekalipun cita rasanya amat lezat. Terhitung sedari makin gemarnya Asih mejeng dengan berbagai pose di berbagai lokasi, film telah kehabisan tenaganya dan membuatnya cukup sulit untuk benar-benar bisa dinikmati. Kalaupun bisa dinikmati, itu disebabkan adanya serentetan unintentional comedy. Terornya berujung menggelikan yang mengundang derai tawa ketimbang menakutkan yang mengundang pekik ngeri. Dengan naskah dan pengarahan yang begitu lemah, jajaran pemain yang sejatinya telah bermain baik seperti Prilly Latuconsina maupun Shareefa Daanish urung menghadirkan atraksi akting yang maksimal. Tanpa adanya satupun sokongan kuat, potensi besar yang dipunyai Danur pun berakhir sia-sia belaka. Sungguh sangat disayangkan.

Note : Danur mempunyai adegan tambahan di sela-sela bergulirnya credit title. Jangan keburu-buru beranjak!

Acceptable (2.5/5)