Tampilkan postingan dengan label Jefri Nichol. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jefri Nichol. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 Juli 2018

JAILANGKUNG 2 (2018) REVIEW : Performa Sebuah Sekuel Yang Semakin
Menurun

JAILANGKUNG 2 (2018) REVIEW : Performa Sebuah Sekuel Yang Semakin Menurun


Memiliki raihan secara kuantitas hingga 2,5 juta penonton, tentu menjadi pertimbangan tersendiri bagi Screenplay Films untuk melanjutkan kisah tentang matianak. Meskipun, di akhir film Jailangkung pertama penonton sudah diberi petunjuk tentang adanya sekuel untuk film ini. Performa Jailangkung pertama yang belum matang tak menjadi alasan bagi proyek ini untuk berhenti. Mungkin, di film keduanya Jailangkung bisa membenarkan kesalahannya di film pertama.

Jailangkung 2 kembali ditangani oleh Rizal Mantovani bersamaan dengan Jose Purnomo untuk mengarahkan filmnya. Sama-sama memiliki jejak rekam menangani film horor dan bahkan berkecimpung di mitos yang sama, tentu menjadi alasan kenapa mereka berdua tetap menangani sekuel dari Jailangkung. Selain sutradara yang sama, tentu saja Jailangkung 2 kembali menggunakan dua pemain utamanya yaitu Jefri Nichol dan Amanda Rawles.

Bukan hanya itu, nama-nama besar seperti Hannah Al-Rashid, Lukman Sardi, bahkan almarhum Deddy Soetomo ikut menjadi bagian dari Jailangkung 2 ini. Untuk urusan naskah, kali ini Baskoro Adi Wuryanto dibantu oleh Ve Handojo untuk Jailangkung 2. Meskipun dengan banyak orang-orang yang terlibat di perfilman, Jailangkung 2 ternyata tak bisa memberikan performa yang baik. Bahkan, film ini pun mengalami penurunan performa dibandingkan film pertamanya.


Jailangkung 2 memang berusaha untuk menampilkan sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan film pertamanya. Terlebih, konflik yang semakin rumit itu sudah tersebar di film pertamanya sehingga film keduanya sudah memiliki dasar untuk melanjutkan cerita. Sayangnya, apa yang dituturkan oleh Jailangkung 2 ini tak bisa sesuai dengan tujuannya. Konfliknya semakin kabur dengan banyaknya cabang cerita yang berusaha dimasukkan di dalam filmnya.

Begitu pula dengan durasinya yang mencapai 83 menit, Jailangkung 2 tak memiliki ruang untuk semakin berkembang. Cerita dengan karakter yang semakin banyak, membuat Jailangkung 2 serasa bingung untuk membawa filmnya ini ke arah mana. Karakternya berhenti di tempat yang sama, ceritanya pun melebar ke mana-mana. Sehingga, Jailangkung 2 benar-benar hanya menyisakan nama-nama besar sebagai produk utama untuk meraih jumlah penonton yang fantastis.


Kisahnya tentu saja berlanjut dan bermulai dari kisah akhir di film Jailangkung yang pertama. Di mana mati anak, seorang  bayi campuran iblis yang lahir dari rahim Angel (Hannah Al-Rashid) membawa petaka di keluarganya. Sang ayah, Ferdi (Lukman Sardi) yang baru saja kembali nyawanya setelah diambil oleh arwah jahat berusaha untuk membuat keluarganya kembali seperti semula. Tetapi, tentu saja hal itu tak bisa begitu saja terjadi.

Bella (Amanda Rawles), adik dari Angel berusaha untuk menyingkirkan mati anak dari keluarganya agar tidak terjadi hal-hal aneh di keluarga tersebut. Bella pun meminta bantuan dari Rama (Jefri Nichol) yang kala itu juga membantu dirinya menyelamatkan hidup sang ayah. Kali ini dia berusaha meminta bantuan Rama untuk menyingkirkan mati anak dengan cara mencari kalung mistis yang bisa menghentikan mati anak. Dan perjalanan mencari kalung kali ini mendapatkan rekan tambahan yaitu Bram (Naufal Samudra) yang mengetahui keberadaan kalung tersebut.


Jika plot cerita Jailangkung 2hanya berfokus kepada satu linimasa yang dituliskan di sinopsis di atas, setidaknya Jailangkung 2 masih bisa memiliki performa dengan film sebelumnya. Meskipun, tak bisa membaik, tetapi ceritanya masih tak berputar sendiri yang menyebabkan penonton merasa kebingungan. Ada plot cerita lain yang bertambah di film Jailangkung 2 ini tetapi tak memiliki pengenalan dan penjelasan dengan porsi yang pas.

Hasilnya, plot cerita Jailangkung 2 serasa muncul tiba-tiba dari antah berantah tanpa adanya pemberitahuan. Tentu saja ini karena pengarahan yang belum teliti dari kedua sutradaranya. Jailangkung 2 seperti 2 film yang diringkas menjadi satu dengan pengarahan yang sesuai dengan egonya masing-masing. Jailangkung 2 sudah berjalan terlalu jauh meninggalkan mitos legendarisnya. Tak ingin mensia-siakan kesempatan itu, Jailangkung 2berusaha hadir secara formalitas untuk meramalkan mantra “datang gendong, pulang bopong” sebagai plot cerita lain.  

Plot ini tetap beriringan dengan plot menghilangkan matianak yang bahkan tak memiliki koneksi apapun satu sama lain.  Tentu saja ini akan membuat munculnya kerutan di dahi dari penonton untuk mengikuti plot cerita mana yang ingin disampaikan. Dampaknya, penonton akan lelah dengan apa yang berusaha disampaikan dengan Jailangkung 2. Sudah tak memiliki simpati dengan setiap karakternya, plot ceritanya pun tak bisa diikuti dengan baik.


Tak ada tensi horor yang berhasil dibuat di dalam Jailangkung 2. Segala usahanya untuk menakut-nakuti penontonnya terasa sangat hambar hanya dibantu dengan ilusi tata rias karakter hantunya dan penyuntingan suara. Bahkan, kedua aspek itu tak bisa sepenuhnya membantu agar adegan tersebut bisa tersampaikan dengan baik di filmnya. Dan tak bisa dihindari pula, beberapa penyuntingan film yang terasa sangat berloncat dengan setting yang berbeda padahal masih berada di satu setting waktu yang sama sering terlihat di dalam film ini.

Yang tersisa dari Jailangkung 2tentu saja hanyalah beberapa adegan yang tak sengaja membuat penontonnya tertawa. Hal ini muncul karena kurangnya ketelitian dalam pengarahan dari Rizal Mantovani dan Jose Purnomo. Meski terlihat sekali bagaimana Jailangkung 2 sebenarnya memiliki intensi untuk membuat sekuelnya memiliki dunia yang lebih besar dan rumit. Tetapi, apa yang hadir di dalam presentasinya malah membuat Jailangkung 2 hanyalah sebuah sekuel yang performanya malah menurun dari film pertamanya yang juga jauh dari kata sempurna. Sayang sekali!

Sabtu, 14 Oktober 2017

REVIEW : ONE FINE DAY

REVIEW : ONE FINE DAY


“Hidup itu seperti kamera. Kamu harus fokus pada satu target.” 

Andaikata kamu telah menelurkan beberapa karya dengan pokok penceritaan seragam namun terbukti diterima sangat baik oleh publik, apa yang akan kamu lakukan untuk karya berikutnya? Mengaplikasikan formula senada sampai pangsa pasarmu menanggapi dingin atau perlahan tapi pasti mencoba berinovasi demi menggaet pasar lebih luas yang berarti ada resiko besar mesti diambil? Bagi rumah produksi Screenplay Films yang telah memberi kita tontonan percintaan mendayu-dayu seperti Magic Hour, I Love You from 38.000 Feet, Promise, serta dwilogi London Love Story, jawabannya telah teramat jelas yakni pilihan pertama. Mereka seolah-olah berujar, “formula kita telah teruji berhasil untuk penonton usia belasan yang menjadi konsumen utama kita, jadi mengapa harus mengambil resiko dengan mengubahnya hanya untuk menyenangkan hati penonton-penonton sinis yang bisa jadi tidak akan menonton film kita?.” Tidak mengherankan jika rilisan terbaru mereka, One Fine Day, yang masih ditangani oleh tim inti serupa dengan rilisan terdahulu (setidaknya untuk kursi penyutradaraan dan penulisan naskah) tanpa ragu-ragu mengusung guliran penceritaan yang senada seirama. Kita kembali diterbangkan jauh-jauh ke negeri orang untuk menyaksikan kusutnya kisah percintaan muda-mudi berkantong tebal asal Indonesia. 

Dalam One Fine Day, muda-mudi yang terlibat dalam problematika asmara yakni Mahesa (Jefri Nichol) dan Alana (Michelle Ziudith). Mahesa adalah pemuda dari Indonesia yang mencoba mengadu nasib sebagai musisi di Barcelona, Spanyol, bersama dua sahabat baiknya, Revan (Dimas Andrean) dan Dastan (Ibnu Jamil). Akan tetapi, nasib baik tak kunjung berpihak kepadanya seiring dengan teramat seringnya demo musik milik mereka mengalami penolakan. Demi menyambung hidup, Mahesa dan kawan-kawan pun terpaksa menipu perempuan-perempuan kaya. Salah satu target terbaru tiga serangkai ini adalah Alana yang dilihat pertama kali oleh Mahesa di sebuah restoran mewah. Mulanya mengira Alana tidak bakal berbeda jauh dengan para korban sebelumnya yang mudah untuk dibujuk rayu lalu ditinggal pergi, masalah lantas muncul tatkala Mahesa mendapati tiga fakta mengenai Alana. Pertama, Alana adalah perempuan Indonesia. Kedua, Alana telah memiliki kekasih bernama Danu (Maxime Bouttier) yang luar biasa posesif sampai-sampai menitahkan seorang bodyguard, Pak Abdi (Surya Saputra), untuk selalu mengawalnya kemanapun dia pergi. Dan ketiga, Alana telah membuatnya jatuh cinta, begitu pula sebaliknya. Rencana penipuan yang telah disusun dengan baik pun seketika berantakan terlebih Danu tentu tidak akan begitu saja membiarkan sang kekasih digaet oleh laki-laki lain.


Apabila kamu berpikir One Fine Day bakal memiliki jalinan pengisahan berbeda usai membaca sinopsis di atas, well… sayang sekali kamu keliru. Seperti yang sudah-sudah, struktur cerita One Fine Day hanyalah sebentuk daur ulang dari film-film rilisan Screenplay Films sebelumnya macam Magic Hour, London Love Story, serta Promise yang diberikan sedikit bubuhan disana sini agar membuatnya tampak segar. Dalam catatan saya, setidaknya ada tiga hal yang membuat film arahan Asep Kusdinar ini tampak berbeda: pemanfaatan kota Barcelona sebagai latar tempat dengan baik, lagu-lagu pengiring beraliran tropical seperti Vamos De Fiesta dan Te Amo Mi Amor yang cukup ampuh dalam mengajak penonton untuk menghentak-hentakan kaki mengikuti irama, serta Michelle Ziudith yang sekali ini terlihat sangat cantik sekali. Selain ketiga catatan tersebut, tidak ada pembaharuan signifikan yang bisa kamu jumpai dalam One Fine Day. Guliran konfliknya masih berkisar pada muda-mudi dari Indonesia yang hidup bergelimangan harta di negeri orang, lalu jatuh cinta dengan lawan jenis yang (kok bisa-bisanya) ternyata saudara sebangsa, kemudian datang orang ketiga (baik tunggal maupun jamak) yang merecoki hubungan mereka, dan akhirnya diselesaikan melalui klimaks yang mewajibkan Michelle Ziudith menangis sejadi-jadinya karena sang lelaki idaman berada di ambang garis kematian. 

Agar membuat film terasa semakin romantis dan dramatis, maka rentetan dialog-dialog puitis yang biasanya berwujud analogi mesti disisipkan di berbagai titik sekalipun waktunya kurang tepat. Salah satu yang paling membekas dalam One Fine Day adalah “hidup itu seperti kamera. Kamu harus fokus pada satu target” yang cukup menerjemahkan guliran pengisahan film. Ini adalah salah satu kabar baik yang dibawa One Fine Day, si pembuat film tidak ngoyo untuk membuat filmnya terlihat cerdas dengan memberi banyak subplot tanpa esensi atau menghadirkan alur non-konvensional (mari kita ucapkan halo pada Promise, saudara-saudara!) yang malah berujung pada terpelintirnya otak penonton. One Fine Day dituturkan secara lugas dan jelas dengan pesan mengenai kejujuran dan memperjuangkan mimpi yang tersampaikan cukup baik. Kabar baik lainnya, barisan pemain menunjukkan lakon tidak mengecewakan khususnya Maxime Bouttier yang sanggup membuat sosok Danu si bocah kaya manja yang berbahaya tampak menjengkelkan, Surya Saputra sebagai bodyguard yang terombang ambing antara mengikuti perintah atasan atau hati nurani, serta Michelle Ziudith yang kentara makin terlatih dalam adegan tangis-tangisan (tolong, beri dia peran menantang. Dia aktris menjanjikan!). 

Dengan formula cerita yang masih jalan di tempat, One Fine Day memang bakal kesulitan dalam menggaet penggemar baru yang sebelumnya tidak pernah bisa menerima film-film keluaran Screenplay Films yang cheesy-nya kebangetan itu. Akan tetapi, film ini akan sangat mudah untuk membuat pangsa pasarnya tersenyam-senyum bahagia menyaksikan duo Jefri Nichol-Michelle Ziudith bermesra-mesraan di sepanjang durasi diiringi alunan lagu tropical yang asyik buat goyang.

Acceptable (2,5/5)


ONE FINE DAY (2017) REVIEW : Nuansa Baru tanpa Perubahan Baru

ONE FINE DAY (2017) REVIEW : Nuansa Baru tanpa Perubahan Baru

 
Screenplay Films memang sedang aktif-aktifnya untuk merilis filmnya. Di awal tahun, penonton di sapa lewat Promisedan London Love Story 2. Di kuarter kedua, penonton disapa lewat film horor dengan judul Jailangkung yang mendapatkan perolehan penonton yang cukup fantastis. Dan akhir kuarter tahun ini, screnplay berusaha untuk merilis film terbarunya dengan nuansa yang cukup berbeda dengan judul One Fine Day.

Tak bisa dipungkiri, kehadiran Screenplay Films dalam ranah perfilman Indonesia ini menjadi salah satu kompetitor yang kuat bagi rumah produksi lainnya. Mulai dari Magic Hour, Screenplay Films membuktikan bahwa mereka bisa membuat film yang laris manis di pasaran. Meskipun, formula yang dihadirkan oleh rumah produksi satu ini tetap sama dari satu film ke film lainnya. Tetapi, ada usaha untuk mengubah filmnya menjadi cinematic event yang akan dinanti segmentasinya.

Maka, datanglah One Fine Dayyang berusaha mendaur ulang formula usangnya dengan cara mengkombinasikan para pemainnya. Michelle Ziuditih, aktris favorit dari Screenplay Films ini disandingkan dengan aktor pendatang baru dengan fans range yang sangat besar yaitu Jefri Nichol. Serta, nama-nama yang belum pernah digunakan oleh Screenplay Films sebelumnya seperti Maxime Bouttier turut mewarnai film terbaru dari Asep Kusdinar ini.


One Fine Day berusaha memberikan nuansa yang berbeda dibanding dengan film-film Screenplay sebelumnya. Tetapi dengan Asep Kusdinar yang tetap berada di bangku sutradara, jangan harap ada perubahan signifikan dari One Fine Day ini. Dengan segala upaya membuat nuansa yang lebih ceria dan tata produksi yang lebih sinematik, Screenplay Films lagi-lagi tak berusaha memperbaiki bagaimana One Fine Dayharus diarahkan.

Inilah One Fine Day yang menceritakan tentang Mahesa (Jefri Nichol), orang asli Indonesia yang sedang merantau ke Barcelona. Kehidupannya di Barcelona memang tak semujur yang banyak orang bayangkan. Dia mengikuti minatnya untuk membuat band bersama teman-temannya sekaligus menipu wanita-wanita Barcelona untuk bisa bertahan hidup di sana. Hingga di suatu cafe, dia bertemu dengan wanita cantik bernama Alana (Michelle Ziudith).

Mahesa berusaha untuk mendekati Alana, tetapi dengan maksud yang lain. Dia tak ingin menipu Alana, tetapi Mahesa benar-benar jatuh cinta padanya. Meskipun, sebenarnya Alana ini sudah menjadi kekasih lelaki lain bernama Danu (Maxime Bouttier). Tetapi, Mahesa tetap berusaha mengejar Alana dan mereka pergi berdua secara diam-diam. Alana bisa bersenang-senang dengan Mahesa dan hal tersebut tak pernah dirinya rasakan ketika bersama Danu. 


Formula kisah ceritanya ini generik, kisah cinta ala-ala Screenplay Films dengan kemasannya yang hiperbolik. Belum lagi, One Fine Day dipenuhi dengan rentetan dialog-dialog khasnya yang sangat dramatis agar pas untuk dikutip untuk bahan gegalauan oleh segmentasinya. Plotnya sederhana, tetapi bagaimana Asep Kusdinar berusaha untuk memberikan banyak konflik di dalam ceritanya tak diimbangi dengan metode pengarahan yang benar.

One Fine Day hanya dipenuhi dengan fans service yang disasar benar kepada target segmentasinya. Eksploitasi yang dilakukan oleh Tisa TS di dalam One Fine Day adalah impian dan ambisinya tentang makhluk bernama laki-laki. Maka, di sepanjang 30 menit pertama One Fine Day, fokus utama dari film ini bukanlah plot cerita beserta bangunan konflik-konfliknya. Tetapi, fokusnya berubah ke bagaimana Jefri Nichol disorot habis-habisan untuk memenuhi impian para fansnya.

Asep Kusdinar menuruti setiap mimpi dan obsesi Tisa TS sehingga tak bisa memaksimalkan pengarahannya yang beberapa kali membaik di dua film Screenplay sebelumnya. One Fine Daypenuh akan lekuk tubuh dan wajah dari Jefri Nichol. Bermain terlalu asyik sendiri menampilkan paras Jefri Nichol yang sedang bercengkrama mesra dengan Michelle Ziudith agar setiap fansnya bisa terpuaskan. Juga keindahan kota Barcelona yang dipadupadankan bersama lagu-lagunya yang nuansanya pun dipaskan dengan keeksotisan kotanya. 


Tetapi, dengan begitu penonton akan mulai kebingungan dengan siapa itu Mahesa, Alana, Danu dan segala bentuk karakter yang ada di dalam filmnya. Belum baik menceritakan bangunan tiap karakter dan mengenalkan plotnya, konflik yang memperumit film datang bertubi-tubi ditambahi dengan pengenalan karakter lain. Ini adalah sebuah distraksi besar dari plot ceritanya yang seharusnya sederhana dan bisa berjalan lancar-lancar saja.

Mengikuti One Fine Day akan membutuhkan usaha yang luar biasa besar agar tahu tentang segala motif konflik dan karakternya. Penonton disuruh untuk meraba bangunan karakter dan plotnya dengan informasi-informasi yang tak sepenuhnya ada di sepanjang filmnya yang berdurasi 104 menit. Seharusnya, film dengan durasi sepanjang itu sudah lebih dari cukup untuk berusaha memberikan dasar-dasar cerita agar presentasinya semakin kuat. Tetapi, karena obsesi tersebut, One Fine Day tak bisa memberikan performanya yang maksimal. 


Memang, One Fine Daymemiliki nuansa yang berbeda dari film-film Screenplay sebelumnya yang tingkat dramatisasinya terlalu berlebihan. Tetapi, pengarahan One Fine Day tak benar-benar berbeda bahkan sedikit menurun performa pengarahan dari Asep Kusdinar ini. Penonton akan merasa ada beberapa adegan hilang di dalam filmnya sehingga harus mengkoneksikan sendiri setiap informasi dari filmnya. Inilah yang membuat One Fine Day tak memiliki performa yang maksimal meskipun sudah mencari atmosfir yang lain. 

Jumat, 18 Agustus 2017

REVIEW : A: AKU, BENCI, DAN CINTA

REVIEW : A: AKU, BENCI, DAN CINTA


“Selama lo ada dan gue ada, kita itu bagaikan pagi dan malam. Air dan api. Yin dan yang. Malaikat dan iblis. Dan lo malaikatnya.” 

Perseteruan tiada akhir antara seorang cewek dengan seorang cowok, seorang cowok yang gemar bergonta-ganti pasangan dalam hitungan pekan, persahabatan yang terancam mengalami keretakan hebat, seorang kekasih yang terbujur koma, dan cinta bertepuk sebelah tangan. Sejumlah plot bercita rasa dramatis yang bisa kamu temui terhampar dalam A: Aku, Benci, dan Cinta yang didasarkan pada novel remaja laris rekaan Wulanfadi. Materi sumbernya memang menjurus ke ranah melodrama yang mengajak pembacanya bertangis-tangisan dan trailer resmi dari film produksi MD Pictures ini telah mengisyaratkan bahwa versi layar lebarnya akan menempuh jalur yang kurang lebih serupa dengan sejumput bumbu komedi. Rasa-rasanya bakal sebelas dua belas dengan penyampaian Dear Nathan lah. Mempersiapkan diri untuk dibuat gemes-gemes lalu bercucuran air mata sebelum melangkahkan kaki ke dalam bioskop, tanpa disangka-sangka ternyata Rizki Balki selaku sutradara memilih melantunkan A: Aku, Benci, dan Cinta dengan pendekatan berbeda. Menghempas manja sisi mendayu-dayu, sang sutradara menginjeksi lebih banyak keceriaan yang membuat film memiliki elemen komedi kental. 

Bertindak sebagai narator dalam A: Aku, Benci, dan Cinta adalah perempuan berwatak keras bernama Anggia (Indah Permatasari) yang menjabat sebagai Wakil Ketua OSIS di SMA National High. Melalui narasinya, dia membagi sudut pandangnya yang sinis terhadap sang Ketua OSIS, Alvaro (Jefri Nichol), yang dilihatnya sekadar tebar-tebar pesona dan bergonta-ganti cewek tanpa pernah melakukan kerja nyata. Dendam kesumat lantaran ambisinya menduduki tampuk tertinggi dalam struktur organisasi siswa di sekolah dipupuskan Alvaro, maka apapun yang dilakukan Alvaro selalu buruk di mata Anggia sekalipun sang sahabat, Tara (Syifa Hadju), kesengsem berat dengan Alvaro yang disebut-sebut sebagai cowok terkeren di sekolah. Kebencian Anggia kepada cowok ini kian memuncak setelah keduanya berselisih gagasan mengenai acara prom night dalam rapat OSIS. Namun kebencian itu tak bertahan lama karena semesta tampaknya terus berusaha untuk menyatukan mereka. Pihak sekolah mewajibkan Anggia untuk berlatih musik dengan Alvaro selama beberapa hari demi memperbaiki nilai mata pelajaran kesenian. Bersama dengan Alvaro dari waktu ke waktu, lambat laun mengubah persepsi Anggia dan diam-diam muncul percikan api asmara diantara keduanya.


Sebetulnya, kalau ditinjau dari sisi guliran pengisahan sih A: Aku, Benci, dan Cinta tidak menawarkan pembaharuan apapun. Plotnya generik: dua orang saling benci, lalu lama-lama timbul rasa suka satu sama lain, begitu hendak bersatu eh ternyata selama ini ada orang ketiga dalam kehidupan masing-masing. Karakter yang mempersulit laju hubungan Alvaro dan Anggia di A: Aku, Benci, dan Cinta adalah Athala (Amanda Rawles), perempuan dari masa lalu Alvaro yang terbaring koma, beserta Alex (Brandon Salim), teman baik dari kakak Anggia. Yang kemudian membuatnya terasa tetap menyenangkan buat ditonton adalah bagaimana cara Rizki Balki menghantarkan kisah kasih empat remaja ini. Ketimbang menggulirkannya dengan rentetan momen mengharu biru, sang sutradara beserta Alim Sudio selaku penulis skenario memilih untuk menghadirkannya mengikuti semangat remaja pemakai seragam putih abu-abu yang seringkali ceria dan menggebu-nggebu. Suatu pendekatan menyegarkan untuk film percintaan Indonesia yang mau tak mau mengingatkan kita kepada film bergenre komedi romantis buatan negara tetangga, Thailand. Terlebih formulanya pun senada, momen penuh kemesraan dari karakter yang tengah kasmaran digeber seraya ngelaba konyol-konyolan. 

Disamping Athala dan Alex, setiap karakter inti maupun pendukung diberikan kesempatan untuk unjuk kemampuan dalam melucu. Bahagianya, mereka berhasil menghantarkan momen komedik secara mulus terutama Syifa Hadju sebagai sahabat yang amit-amit ganjennya, TJ Ruth sebagai guru Anggia yang ceriwis bukan main, serta Indah Permatasari yang dipenuhi imajinasi-imajinasi liar. Ya, sosok Anggia memang dideskripsikan sekeras batu nyaris tak pernah menyunggingkan senyum selain kepada Tara, namun tak jarang pula dia bertingkah lebay terlebih saat dia mulai berpikir macam-macam perihal situasi di sekitarnya. Visualisasi dari imajinasinya itu lho, lucu sekali. Kendati jor-joran dalam bercanda, A: Aku, Benci, dan Cinta sama sekali tak melupakan fitrahnya sebagai film romansa dengan menghadirkan sejumlah adegan unyu-unyu menggemaskan yang melibatkan para protagonis utama dan diiringi skoring musik apik gubahan Donny Irawan beserta Alfa Dwiagustiar yang membantu mempertebal rasa. Sisi romantis film yang malu-malu kucing di awal mulai semakin terdeteksi rasanya seiring berjalannya durasi. Seiring semakin menguatnya chemistry diantara Jefri Nichol, Indah Permatasari, dan Amanda Rawles yang sanggup membuat penonton yakin bahwa ketiga remaja ini memang tengah kasmaran.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Senin, 03 Juli 2017

JAILANGKUNG (2017) REVIEW : Mitos Hantu dengan Wajah Baru yang Minim
Eksplorasi

JAILANGKUNG (2017) REVIEW : Mitos Hantu dengan Wajah Baru yang Minim Eksplorasi


Mitos tentang sosok tak kasat mata yang dipanggil dengan mantra “datang tak dijemput, pulang tak diantar”ini kembali menghantui penontonnya. Film tentang hantu legendaris ini pernah ada dan mewarnai perfilman Indonesia di tahun 2001 sekaligus menjadi penanda bangkitnya film Indonesia kala itu. Sehingga, sosok hantu ini sudah menjadi sebuah brand yang akan dengan mudah dikonsumsi dan mendapat kepercayaan dari penontonnya.

Sosok hantu legendaris ini kembali ditangani oleh sutradara yang pernah menangani sosok ini di tahun 2001 dengan rejenuvasi nama menjadi Jailangkung sesuai dengan mitos yang ada. Tetapi, mantra yang digunakan dalam ritualnya kali ini pun sudah berubah. “Datang Gendong, Pulang Bopong” menjadi mantra baru untuk memanggil makhluk tak kasat mata ini. Jose Purnomo dan Rizal Mantovani diakuisisi oleh Screenplay Films bersama dengan Legacy Pictures untuk mengarahkan Jailangkung yang dirilis di bulan lebaran 2017 ini.

Selain rejuvenasi nama dari Jelangkung ke Jailangkung, proyek film ini juga memakai nama-nama baru di perfilman Indonesia yang sekaligus memiliki  potensi agar sukses. Jefri Nichol dan Amanda Rawles menjadi pasanan di dalam film yang terbukti mampu mendatangkan penonton lewat Dear Nathan. Formula itu pun digunakan di dalam film dengan genre yang berbeda. Bersama dengan Baskoro Adi Wuryanto, Jose Purnomo dan Rizal Mantovani berusaha menghidupkan lagi mitos hantu legendaris ini untuk disajikan kepada penontonnya. 


Dengan kembalinya dua sutradara yang  berhasil menakut-nakuti penontonnya lewat film Jelangkung di tahun 2001, tentu penonton berusaha memiliki harapan terhadap versi terbarunya. Calon penonton tentu masih mengharapkan bagaimana dua sutradara ini memiliki kemagisannya lagi untuk sekali lagi dapat menghantui penontonnya dengan mitos yang sama. Nyatanya, Jailangkungmemang memiliki kekuatan yang sangat minimalis. Jailangkung menitikberatkan kekuatannya pada nilai produksi yang menunjukkan bahwa film ini tak dibuat sembarangan.

Jailangkung memiliki berbagai macam kekurangan yang perlu diperhatikan dalam mengarahkan dan menuturkan ceritanya. Meski Jefri Nichol, Amanda Rawles, Hannah Al Rashid, atau pun Lukman Sardi berusaha untuk memberikan performa terbaiknya, tak bisa dipungkiri bahwa Jailangkung secara tertulis dibangun begitu lemah. Jailangkungkebingungan dengan apa yang berusaha disampaikan secara visual. Sehingga, penonton pun akan merasakan banyak sekali pertanyaan yang tak terjawab. 


Jailangkung langsung saja dimulai dengan bagaimana Bella (Amanda Rawles) yang sedang berada di rumah sakit menemui ayahnya (Lukman Sardi) yang sedang koma. Bella dan juga kakaknya Angel (Hannah Al-Rashid) berusaha untuk mencari tahu penyebab ayahnya yang tiba-tiba koma dan tak sadarkan diri begitu lama. Informasi pertama yang mereka dapatkan adalah sang Ayah, Ferdi memiliki sebuah rumah lain tempat dia ditemukan dalam kondisi tak sadarkan diri.

Dengan adanya informasi tersebut, Bella berusaha mencari tahu seperti apa di sana. Bella yang putus asa secara tak sengaja mendengar sebuah penjelasan dari Rama (Jefri Nichol) yang membahas tentang mitos-mitos tentang dunia astral. Rama berusaha mencari tahu penyebab dari komanya ayah Bella dan memang ditemukan sebuah fakta bahwa Ferdi, ayah Bella, bermain Jailangkung di area rumah tersebut. Dan sekarang, arwah Ferdi dibawa oleh makhluk halus sehingga dia tak sadarkan diri.

Konflik yang digunakan di dalam film Jailangkung ini sebenarnya bukan lagi hal yang baru di dalam film-film dengan genre serupa. Jailangkungtetap diisi dengan plot cerita yang generik di dalam film horor, tetapi hal itu pula ditambahi dengan keklisean dialog khas film-film milik Screenplay lainnya. Sebenarnya Jailangkung berusaha memberikan mitos baru tentang makhluk tak kasat mata yang secara tak langsung terpanggil di dalam ritualnya. Tetapi, latar belakang cerita dan bagaimana konfliknya terbangun tetap tak bisa dipungkiri bahwa Jailangkung memiliki sesuatu yang generik. 


Meski dengan sesuatu yang generik, Jailangkungseharusnya bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang dapat dinikmati. Sayangnya, konflik yang generik dan lurus-lurus saja itu tampil dengan terbata-bata. Plot cerita yang seharusnya dapat diikuti begitu saja oleh penontonnya, Jailangkung malah membuatnya begitu rumit tetapi tanpa diarahkan dengan teliti. Sehingga, hal itu berdampak pada performa Jailangkung yang terpisah-pisah dalam penuturannya.

Transisi plot cerita dalam Jailangkungini tak bisa berjalan dengan baik. Konfilk yang muncul terlalu awal di dalam film ini membuat penonton bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Tetapi penjelasan itu tak dibahas dengan detil, hanya muncul sedikit informasi yang membuat penonton pada akhirnya meraba apa yang berusaha disampaikan oleh Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. Permasalahan yang belum selesai dibahas ini masih ditambahi pula dengan cabang cerita yang lain.

Alhasil, dengan durasi yang hanya berkisar 86 menit, penceritaannya terbata-bata tetapi berusaha terlihat komplikasi. Hal itu mempengaruhi penyelesaian dari film ini sendiri yang muncul tak rapi. Penonton kesusahan untuk mendapatkan afirmasi dengan apa yang berusaha diselesaikan oleh para karakternya. Ada rasa ketidakpuasan yang muncul saat film ini berakhir. Penonton merasa butuh penjelasan selanjutnya yang lebih rinci agar penonton mengerti apa yang dimau oleh dua sutradara film Jailangkungini.  Mungkin ada niatan dari dua sutradaranya untuk hadir menyapa penontonnya di seri kedua. Sehingga, film Jailangkung ini hanya berusaha membangun set-up dunia horor yang baru. 


Memang, performa dari para aktor dan aktrisnya berusaha memberikan sesuatu yang terbaik untuk penontonnya di dalam film Jailangkung. Tetapi, hal tersebut tetap tak dapat menutupi celah bagaimana Jailangkung masih belum maksimal dalam pengarahan dan penulisan skenarionya. Sehingga, Jailangkung memang masih belum terlalu maksimal dalam performa isinya. Tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa Jailangkungmemiliki performa teknis yang digarap tak sembarangan. Gambar dan tata produksi dalam film Jailangkung ini tak memiliki kesan asal-asalan.

Jailangkung memang akan dapat membawa kuantitas raihan penonton dengan nilai yang besar saat diedarkan. Tetapi, kuantitas tersebut tak memiliki relevansi dengan kualitas dari Jailangkung yang belum benar-benar maksimal oleh Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. Masih banyak kekurangan-kekurangan yang perlu untuk diperbaiki apabila memutuskan untuk memiliki seri selanjutnya. Pengarahan yang belum maksimal serta cerita yang masih belum dimatangkan lagi menjadi problematika utama dalam performa Jailangkung sebagai sebuah film. Meski dengan plotnya yang generik, film ini masih terbata-bata dalam menuturkan konfliknya. Dampaknya, ada kesan buru-buru serta penjelasan yang belum tersampaikan dengan maksimal dan hal tersebut tak dapat memuaskan penontonnya.
 

Rabu, 28 Juni 2017

REVIEW : JAILANGKUNG

REVIEW : JAILANGKUNG


“Jailangkung, jailangkung. Disini ada pesta kecil-kecilan. Datang gendong, pulang bopong.” 


Dilepas di bioskop tanah air pada tahun 2001 silam, film horor bertajuk Jelangkung yang diarahkan oleh duo Rizal Mantovani – Jose Poernomo memperoleh sambutan sangat antusias dari masyarakat Indonesia dan dianggap sebagai salah satu film yang berjasa dalam membangkitkan kembali perfilman Indonesia dari mati suri menahun bersama Petualangan Sherina serta Ada Apa Dengan Cinta?. Kesuksesan yang direngkuhnya lantas melahirkan dua sekuel (Tusuk Jelangkung, Jelangkung 3), sebuah spin-off (Angkerbatu), dan sebuah prekuel (Cai Lan Gong) yang sebagian besar memperoleh resepsi kurang memuaskan. Di tengah mengemukanya tren membangkitkan kembali film yang telah mempunyai ‘nama besar’ pada dua tahun terakhir dan menyadari bahwa masih banyak kisah yang bisa dieksplorasi lebih jauh khususnya berkenaan dengan mitologi permainan jailangkung, rumah produksi Screenplay Films bekerjasama dengan Legacy Pictures lantas memutuskan merekrut duo Rizal-Jose untuk menggarap versi terbaru dari Jelangkung yang diberi judul Jailangkung. Bukan sebentuk film kelanjutan melainkan lebih mendekati ke reboot, Jailangkung tidak memiliki keterkaitan dengan versi terdahulu disamping keterlibatan kedua sutradara yang dipercaya menahkodai proyek besar ini plus penggunaan permainan tradisional bernuansa mistis sebagai penggerak roda penceritaan.

Jailangkung menempatkan fokusnya pada keluarga Wijanarko yang mengalami kemalangan selepas sang kepala keluarga, Ferdi (Lukman Sardi), ditemukan dalam keadaan koma secara misterius. Tidak ada satupun dokter di rumah sakit yang dapat memberikan diagnosis pasti mengenai penyebab komanya Ferdi memantik salah satu putri Ferdi, Bella (Amanda Rawles), untuk menggali informasi seorang diri yang lantas menuntunnya pada seorang mahasiswa bernama Rama (Jefri Nichol). Menurut Rama yang menaruh minat tinggi terhadap hal-hal berkaitan dengan metafisik, penyebab paling masuk akal bagi kondisi Ferdi saat ini adalah ‘ketempelan’ makhluk gaib. Ada sesuatu yang telah dipanggilnya dari alam lain, namun tidak pernah diantarnya pulang. Guna menyelidiki lebih lanjut, Bella dan Rama meminta bantuan ke seorang pilot, Capt Wardana (Augie Fantinus), yang mengetahui keberadaan Ferdi sebelum jatuh koma. Ditemani Rama, Capt Wardana, serta kedua saudarinya, Angel (Hannah Al Rashid) dan Tasya (Gabriella Quinlyn), Bella pun bertolak ke Pulau Alas Keramat. Di sana, mereka menemukan sebuah rumah gedongan terbengkalai yang konon kerap disambangi diam-diam oleh Ferdi. Berbekal jailangkung, Rama, Bella, dan Angel pun mencoba mendapatkan jawaban atas segala tanya tanpa pernah memperhitungkan konsekuensi besar yang akan mereka terima seusai bermain jailangkung.



Di atas kertas, Jailangkung sebetulnya telah mempunyai segalanya untuk dimanfaatkan sebagai modal dalam mengulangi kejayaan dari versi lawasnya semisal gelontoran dana masif (menurut pengakuan sang sutradara sih, mencapai 10 miliar), barisan pemain berbakat, hingga rancangan teror menjanjikan yang salah satunya melibatkan lelembut dalam wujud sejumlah tenaga kesehatan yang membantu persalinan Angel (ngeri kan?). Namun seperti kita sering alami bersama, ekspektasi kerapkali enggan berjalan beriringan dengan realita. Jailangkung pun, sayangnya, berakhir demikian. Segala konsep menjanjikan yang hendak diusungnya mendadak mentah tatkala diterjemahkan ke bahasa gambar. Sebagai sebuah film yang mengambil fokus di jalur horor, Jailangkung jauh dari kata menakutkan. Alih-alih menyergap penonton dengan teror yang senantiasa membayangi – atau minimal menyebabkan bulu kuduk ini meremang – film lebih sering menempatkan penonton dalam perasaan hampa cenderung jenuh serta membangkitkan hasrat untuk tertawa geli akibat bermunculannya serentetan adegan konyol yang sejatinya tidak diniatkan si pembuat film. Ya, rentetan teror dalam Jailangkung tidak bekerja secara semestinya lantaran timing dalam menggeber penampakan yang kurang tepat guna dan duo Rizal-Jose seolah memandang sepele pentingnya penceritaan untuk membangun teror demi teror. Padahal, salah satu kunci utama dari keberhasilan suatu film horor terletak pada penceritaan hasil dari naskah yang mumpuni. 

Tanpa naskah yang mumpuni, film horor berakhir sebatas parade jump scares yang nihil esensi. Itulah yang dialami Jailangkung. Si pembuat film lebih memilih untuk menggeber penampakan-penampakan sebanyak mungkin yang hampir kesemuanya berlalu begitu saja ketimbang mengelaborasi mitologi seputar pemanggilan arwah menggunakan jailangkung, sejarah sang hantu utama, maupun latar belakang keluarga Wijanarko yang semestinya perlu diketahui oleh penonton guna memancing keterikatan dan ketertarikan. Bisa jadi, ini akibat dari keputusan untuk membatasi durasi hanya mencapai 86 menit yang berimbas pada laju penceritaan cenderung tergesa-gesa dan tidak tersedianya banyak ruang yang tersisa untuk bercerita serta membangun ketegangan. Saya curiga, instruksi untuk penggarapan Jailangkung tertulis begini: durasi tidak perlu panjang-panjang, cerita tidak perlu rumit-rumit, pokoknya asal ada hantu yang kemunculannya diiringi skoring musik mengagetkan saja penonton pasti sudah senang. Apabila memang betul demikian, alangkah mengecewakannya. Beruntunglah bagi Jailangkung mendapat suntikan dana jor-joran untuk mengembangkan visual yang tampak mahal dan memperoleh sumbangsih akting di level cukup dari jajaran pemainnya sekalipun terhalang karakterisasi cethek, sehingga film masih bisa buat dinikmati. Tanpa sokongan dari dua lini ini, maka Jailangkung hanya berakhir sebagai film dengan naskah yang guliran pengisahan berikut dialognya bikin garuk-garuk kepala, penyuntingan yang melompat-lompat kesana kemari menghasilkan adegan kurang koheren, dan jump scares yang sama sekali tidak istimewa. Sungguh sangat disayangkan.

Poor (2/5) 


Rabu, 29 Maret 2017

REVIEW : DEAR NATHAN

REVIEW : DEAR NATHAN


“Saya seneng, kamu ngomong pakai aku kamu. Berasa kayak orang pacaran beneran.” 

Baru beberapa hari lalu diri ini berjingkat-jingkat kegirangan lantaran mendapati film percintaan remaja buatan dalam negeri yang kualitasnya melampaui semenjana dalam Galih dan Ratna, tanpa disangka-sangka kegirangan tersebut bakal terpicu lagi oleh Dear Nathan. Berbeda halnya dengan Galih dan Ratna yang materi sumbernya amat meyakinkan – pijakannya adalah film romantis klasik, maka Dear Nathan yang mempergunakan novel teenlit laris manis rekaan Erisca Febriani hasil kompilasi dari tulisannya di situs Wattpad sebagai rujukan utama boleh dibilang agak meragukan. Meragukan dalam arti naga-naganya film akan susah dinikmati penonton yang bukan berasal dari pangsa pasar utamanya atau dengan kata lain remaja usia belasan yang masih mengenakan seragam sekolah. Ya, telah menjadi rahasia umum bahwa film romantis khusus remaja Indonesia dewasa ini acapkali mempunyai kecenderungan mengalienasi penonton diluar pangsa pasar utamanya sampai-sampai munculnya sikap meremehkan terhadap Dear Nathan pun amat bisa dipahami. Ditemani skeptisisme kala melangkahkan kaki memasuki gedung bioskop demi menyaksikan Dear Nathan, sebuah tamparan kecil mendarat ke diri ini begitu lampu bioskop dinyalakan pertanda pertunjukkan telah usai. Rupanya, Dear Nathan bukanlah film menye-menye kosong nan menyebalkan seperti disangkakan dan malah justru sebaliknya, ini adalah tontonan yang manis, lucu, dan cukup emosional. Dear Nathan pun bolehlah diajak bergabung ke dalam kelompok ‘film percintaan remaja buatan sineas Indonesia yang enak buat ditonton’ yang anggotanya terhitung sedikit itu. 

Dear Nathan adalah kisah asmara antara seorang siswa berandalan dengan seorang siswi taat aturan. Si cowok adalah Nathan (Jefri Nichol) yang tersohor di sekolahnya lantaran kerap bikin onar, sedangkan si cewek adalah siswi baru yang berusaha mengukir prestasi, Salma (Amanda Rawles). Perjumpaan keduanya dimulai tatkala Salma telat datang ke sekolah dan Nathan membantunya menyelinap masuk demi menghindarkan Salma dari hukuman. Sikap Salma yang berbeda terhadap Nathan (menurut Nathan, Salma melihatnya sebagai manusia) membuat berandalan sekolah ini jatuh hati. Dia berusaha menaklukkan hati si murid baru bahkan secara terang-terangan menyatakan rasa cintanya. Hanya saja, sulit bagi Salma untuk benar-benar menentukan pilihan hatinya. Di satu sisi, dia ingin menghindar dari masalah yang kerap bersanding erat bersama Nathan. Namun di sisi lain, dia pun tidak bisa menyangkal bahwa dirinya menaruh perasaan pada Nathan. Kebimbangan Salma kian menjadi-jadi saat sang ketua OSIS, Aldo (Rayn Wijaya), turut memberi perhatian lebih terhadapnya. Apakah dia akan menetapkan pilihannya ke Nathan yang jelas-jelas penuh masalah atau malah Aldo yang di permukaan tampak mempunyai ‘boyfriend material’? Dalam kebimbangannya, serentetan kejadian mendorong Salma untuk lebih dekat pada Nathan yang membuatnya bisa melihat sosok Nathan dari sudut pandang berbeda dan perlahan tapi pasti kian memperkuat percikan-percikan asmara diantara mereka. 

Berkaca pada sinopsis, materi cerita Dear Nathan sejatinya klise. Entah sudah berapa kali film percintaan remaja mengusung tuturan soal kisah kasih antara si badung dengan si rajin berlatar masa-masa SMA. Tengok saja kawasan Asia yang semenjak popularitas serial Meteor Garden mengangkasa, berderet-deret film berjalur romantis mempergunakan template senada. Salah satu yang terbaru dan meninggalkan kesan mendalam di hati adalah Our Times (2015). Memboyong materi cerita yang tidak lagi asing di telinga semacam ini cenderung beresiko. Apabila si pembuat film kurang mahir bercerita, film akan berakhir bak epigon. Butuh kecakapan dalam mengolahnya agar meninggalkan cecapan rasa kuat di akhir, membuatnya terasa segar sekaligus memposisikannya menjulang diantara film-film sejenis. Dan beruntunglah bagi Dear Nathan, tim yang solid menyokongnya dari berbagai lini sehingga mampu meninggalkan cecapan rasa kuat di akhir sekalipun bahan obrolannya tidak lagi baru. Indra Gunawan yang sebelumnya mengobrak-abrik emosi penonton melalui Hijrah Cinta yang kurang mendapat sorotan, menempati kursi penyutradaraan. Dia bertugas mengejawantahkan skenario racikan Bagus Bramanti (Mencari Hilal, Talak 3) dan Gea Rexy ke dalam bahasa gambar. Dalam Dear Nathan, Indra mempertegas bahwa sosoknya sudah saatnya diperhitungkan. Keterampilannya menggulirkan penceritaan di Dear Nathan paling kentara mencolok di 30 menit awal yang mengasyikkan sekaligus menit-menit jelang film tutup durasi yang bukan saja emosional tetapi juga manis. Sikap penuh keragu-raguan seketika terhempas hanya beberapa saat usai film memulai langkah pertamanya.


Membawa nada penceritaan yang cerah ceria bak remaja-remaja yang tengah dimabuk asmara, Dear Nathan tidak ingin melenakan penonton sekadar dengan tangkapan gambar indah maupun deretan dialog ala pujangga tanpa konteks jelas. Plot dan karakter pun dianggap penting. Penonton telah dikondisikan untuk menaruh kepedulian kepada kedua karakter utamanya sedari awal. Demi memperkuat karakteristik dari masing-masing tokoh, si pembuat film pun memanfaatkan barisan karakter pendukung. Keberadaan teman-teman sekolah Nathan maupun Salma bukan sekadar pemanis belaka. Begitu halnya dengan sosok keluarga. Dari mereka, kita bisa melihat Nathan dan Salma menggunakan berbagai jenis kacamata dan memahami motivasi atas setiap tindak tanduknya. Ada dinamika tersendiri dalam sosok keduanya yang sedikit banyak membantu mereka terhindar dari karakter tipikal khas film sejenis. Kita terpikat pada Nathan yang bengal, kita terpikat pada Salma yang polos, dan hasil akhirnya, kita terpikat pada kisah asmara yang merekatkan keduanya. Kesanggupan kita untuk terhubung ke para karakter juga dipicu oleh bangunannya yang membumi. Sosok Nathan dan Salma ada di sekitar kita (atau malah diri kita!), lalu konflik yang melingkungki keduanya pun mudah dijumpai. Ketika penonton sudah membentuk ikatan bersama karakter kunci, maka mudah saja bagi si pembuat film untuk membius kita dengan rentetan konflik yang menghadang para tokoh. Muncul kebahagiaan menyimak dua sejoli ini berduaan, muncul ketidakrelaan melihat jurang pemisah diantara mereka kian menganga lebar, dan muncul kehangatan menyaksikan salah satu dari mereka akhirnya berkonsiliasi dengan masa lalu. Lebih dari sekadar film percintaan, Dear Nathan turut mengapungkan isu mengenai perundungan, prasangka, dan keluarga disfungsional yang alih-alih mendistraksi malah kian memperdalam plot utama. 

Jalinan pengisahan yang telah dirangkai dengan begitu apiknya kian terangkat berkat barisan pemain yang suguhkan lakon solid. Jefri Nichol dan Amanda Rawles merupakan bukti nyata kejelian tim casting dalam memilih pemain. Mereka tidak semata-mata cocok secara perawakan, tetapi juga sanggup untuk menghidupkan sosok Nathan dan Salma. Jefri Nichol melebur secara meyakinkan ke dalam jiwa Nathan, membuat penonton tetap dapat jatuh hati lalu bersimpati kepada Nathan. Gelegak emosinya di paruh akhir bersama Surya Saputra yang memerankan ayahanda Nathan menjadi salah satu bagian terbaik dari film dan terbilang berhasil memaksa penonton untuk mengeluarkan sapu tangan dari saku celana demi mengusap bulir-bulir air mata. Performa Jefri Nichol bisa terasa maksimal – bahkan dia amat bersinar disini – lantaran disandingkan dengan lawan main yang juga klop. Disamping Surya Saputra, ada pula Ayu Dyah Pasha, Karina Suwandi, Diandra Agatha, Beby Tsabina, serta tentunya, Amanda Rawles yang jalin chemistry apik bersama Jefri Nichol. Seperti halnya Jefri Nichol, Amanda Rawles pun tampak effortless memerankan Salma. Dalam interpretasi kurang tepat, Salma berpotensi terperosok menjadi karakter menjengkelkan apalagi acapkali dia plin plan atas keputusannya. Namun Amanda Rawles berhasil melakonkannya dengan amat baik yang membuat Salma mudah untuk disukai (senyum-senyum canggungnya bikin gemes!) dan kita pun memahami kegamangan hatinya dalam menentukan pilihan. 

Melihat sokongan tidak main-main dari beragam departemen, tidak mengherankan jika pada akhirnya Dear Nathan sanggup terhidang sebagai film percintaan remaja yang menyenangkan. Mendatangkan gelak tawa, mengundang sunggingan senyum dan menghadirkan kehangatan. Bagus!

Outstanding (4/5)