Tampilkan postingan dengan label Review. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Review. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : JELITA SEJUBA

REVIEW : JELITA SEJUBA


“Ternyata berat menjadi seorang istri. Apalagi menjadi istri seorang tentara.” 

Kehidupan perwira dengan segala suka dukanya, termasuk saat menjalin asmara, sejatinya bukan bahan kupasan baru dalam film Indonesia. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa menengoknya melalui Merah Putih (2009), Doea Tanda Cinta (2015), serta I Leave My Heart in Lebanon (2016). Hanya saja, mengingat film-film tersebut mengambil sudut pandang penceritaan dari perwira, tak ayal ada satu yang absen dan tidak pernah tergali mendalam. Kehidupan para perempuan yang mendampingi mereka. Para perempuan memang memiliki peranan di film-film ini, tapi sebatas sebagai karakter sekunder dengan karakteristik satu dimensi yang tugasnya hanyalah memotivasi si karakter utama. Tidak pernah lebih dari itu. Padahal ada satu pertanyaan menarik yang sempat beberapa kali terbersit di benak, “bagaimana cara perempuan-perempuan ini menjalani hari demi hari yang dipenuhi dengan penantian tanpa kepastian?.” Ray Nayoan yang sebelumnya lebih aktif di pembuatan film pendek, agaknya menyadari posisi mereka yang cenderung terpinggirkan dalam film Indonesia. Melalui film panjang pertamanya bertajuk Jelita Sejuba yang mengambil latar di Natuna, Kepulauan Riau, Ray bercerita mempergunakan perspektif seorang istri perwira. 

Istri perwira yang dimaksud dalam Jelita Sejuba adalah Sharifah (Putri Marino). Putri sulung dari seorang nelayan (Yayu Unru) dan pemilik warung (Nena Rosier) ini menjalankan bisnis warung makan kecil-kecilan bersama dengan kawan-kawan baiknya yang dinamai Jelita Sejuba. Di warung makan inilah Sharifah berjumpa untuk pertama kalinya dengan Kapten Jaka (Wafda Saifan Lubis) yang sedang ditugaskan oleh batalionnya di Natuna. Telah ada saling pandang dan saling lirik diantara keduanya, tapi belum muncul keberanian untuk mengutarakan isi hati. Apakah ini sebatas kekaguman atau memang ada rasa bernama cinta? Selepas pertemuan pertama tersebut, Jaka dan Sharifah kembali bertemu – baik sengaja maupun tidak – beberapa kali yang sedikit demi sedikit menebalkan rasa diantara mereka. Belum sempat mereka saling menyatakan rasa, Jaka dipindah tugas ke tempat lain. Dalam penantian tersebut, Sharifah mulai menyadari bahwa cintanya memang hanya untuk Jaka. Maka begitu Jaka menjejakkan kaki lagi di Natuna dan mengajaknya untuk menikah, senyum bahagia mengembang di bibirnya. Yang tidak disadari oleh Sharifah kala itu, bukan perkara mudah menjadi istri seorang tentara. Sharifah kerap mengalami fase ditinggal pergi sang suami untuk bertugas selama berbulan-bulan lamanya tanpa pernah ada kepastian kapan dia bisa kembali ke rumah. Tanpa pernah ada kepastian apakah dia bisa kembali ke rumah dengan selamat atau tidak.


Berpatokan pada sinopsis di atas, mudah untuk menyebut Jelita Sejuba memiliki plot yang amat generik. Ya mau bagaimana, pola penceritaannya masih tidak jauh-jauh dari pertemuan seorang perwira yang kaku dengan seorang perempuan desa yang lugu, lalu benih-benih asmara menyeruak hadir ditengah-tengah keduanya, dan mereka pun memutuskan untuk menikah. Jika ini ditangani secara serampangan, kemungkinan besar film akan berakhir sebagai melodrama murahan yang lebih cocok disimak di layar beling. Tapi sensitivitas Ray Nayoan dalam mengarahkan ditunjang oleh skrip renyah garapan Jujur Prananto, elemen-elemen teknis seperti skoring musik beserta sinematografi yang baik sekali, dan performa mengesankan dari jajaran pelakonnya, sanggup membuat Jelita Sejuba berada di kelas yang berbeda. Bahasa kerennya sih, classy. Pilihan Ray untuk melantunkan Jelita Sejuba dengan nada penceritaan cenderung ringan nan jenaka alih-alih penuh ratapan sekalipun Sharifah kerap berjuang seorang diri dalam mengurus rumah tangga terbilang tepat guna. Bahkan, dia mengaplikasikan cara penuturan yang bergaya sekaligus unik (paling menonjol dalam adegan Sharifah-Jaka mengajukan berkas untuk pernikahan. Serius, ini ketje!) sehingga masa-masa berseminya cinta antara dua karakter utama yang sejatinya minim letupan konflik terasa sangat nyaman buat diikuti. Penonton berulang kali dibuat tergelak-gelak oleh tingkah polah para karakter di film, dan sempat pula dibuat menyerukan ‘awww’ berjamaah ketika Jelita Sejuba mencapai titik termanisnya: Jaka melamar Sharifah menggunakan teropong. 

Ini tidak mungkin bisa dicapai apabila penonton sedari awal mengalami kesulitan untuk menginvestasikan emosi kepada film. Naskah ramuan Jujur Prananto memungkinkan kita untuk terhubung pada Sharifah-Jaka. Dia memberi latar belakang mencukupi untuk Sharifah dan Jaka, merepresentasikan mereka sebagai karakter yang mudah kita jumpai di kehidupan sehari-hari, dan menghadirkan dialog-dialog yang mengalir secara natural. Selain itu, performa mengesankan dari Putri Marino beserta Wafda Saifan Lubis pun membantu. Wafda adalah sesosok pria bentukan militer yang kaku, sementara Putri adalah perempuan desa yang polos. Tampak cerah ceria di paruh pertama, Putri berubah menjadi sosok yang lebih kalem di paruh selanjutnya tatkala beban hidupnya menggelembung. Kita bisa mendeteksi adanya tekanan karena kesepian, ketidakpastian, serta himpitan ekonomi. Melalui atraksi akting yang diperagakannya dalam Jelita Sejuba, kita bisa pula merasakan perkembangan akting Putri yang cukup signifikan terlebih nyawa film bergantung penuh kepadanya (dia berhasil, film berhasil. Dia gagal, film gagal). Beruntung, Putri mempunyai rekanan akting yang tidak kalah mengesankannya seperti Wafda, Yayu Unru, Nena Rosier, sampai Aldy Maldini sebagai adiknya yang bengal sehingga amat membantunya menghidupkan sosok Sharifah. Alhasil, selama menonton Jelita Sejuba kita pun ikut tertawa, tersipu, sekaligus terharu.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : TERBANG MENEMBUS LANGIT

REVIEW : TERBANG MENEMBUS LANGIT


“Beranikan hati. Raihlah kebebasan kau. Terbang, terbang setinggi-tingginya.” 

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, nama Onggy Hianata memang tidak terdengar familiar. Membutuhkan jasa teknologi canggih yang disebut Google untuk mengetahui latar belakang dan profesi dari pemilik nama tersebut. Dari hasil berselancar ke dunia maya – mengunjungi satu demi satu web dan blog yang membahas tentang Onggy – saya memperoleh satu kesimpulan bahwa Onggy merupakan seorang motivator keturunan Tionghoa asal Tarakan, Kalimantan Utara, yang menyebarkan pengalamannya selama merintis karir sebagai pebisnis melalui program bernama Value Your Life: A Life Changing Bootcamp. Beliau telah melanglang buana (ruang lingkupnya telah berada di taraf internasional) demi memotivasi para pebisnis pemula agar mereka mendapatkan kepercayaan diri dan keberanian dalam membangun kerajaan bisnis. Yaaaa kurang lebih seperti Merry Riana atau Mario Teguh lah. Kepenasaran saya untuk mengetahui sosoknya dilandasi oleh keputusan Demi Istri Production menitahkan Fajar Nugros (Moammar Emka’s Jakarta Undercover, 7/24) untuk menggarap film bertajuk Terbang: Menembus Langit yang guliran penceritaannya didasarkan pada kisah hidup Onggy Hianata. Saya dibuat bertanya-tanya, “apa sih yang begitu istimewa dari kehidupan sang motivator sampai-sampai dirasa perlu untuk diangkat ke dalam format film layar lebar?.” 

Well, jalan hidup Onggy Hianata (Dion Wiyoko) yang penuh lika-liku harus diakui merupakan sebuah materi yang seksi untuk difilmkan. Seorang pebisnis sukses yang memulai karirnya dari nol. Dia berasal dari sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang miskin di Tarakan, memiliki delapan saudara, dan nyaris tidak dapat mengenyam bangku pendidikan karena kedua orang tuanya terhimpit secara finansial. Sang ayah (Chew Kin Wah) hanyalah pekerja di toko kelontong, sementara ibunya (Aline Adita) mengurus rumah tangga. Selepas meninggalnya sang ayah, kedua kakak Onggy (Baim Wong dan Delon Thamrin) yang bertugas dalam menafkahi keluarga. Onggy sendiri memilih untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari jurang kemiskinan dengan cara mencari peruntungan di perantauan. Bermodal nekat, Onggy pun meninggalkan kampung halamannya dan bertolak menuju Surabaya – suatu kota yang sering dijadikan sebagai destinasi andalan oleh para perantau di kotanya. Tanpa uang saku dari kedua kakaknya, Onggy membiayai kuliah sekaligus menyambung hidup dengan menjadi distributor apel ke toko buah, menjual jagung bakar, memproduksi kerupuk, sampai akhirnya bekerja sebagai pegawai di pabrik pembuatan benang. Penghasilan tetap yang diperolehnya di pabrik ini nyatanya tak lantas membuat Onggy bahagia karena dia menyadari bahwa menjadi budak korporat bukanlah mimpinya. Dia ingin memperoleh kebebasan penghasilan dari usaha yang dibangunnya sendiri, bukan bergantung dari usaha yang dibangun oleh orang lain.


Menyoroti sepak terjang Onggy dalam mengentaskan dirinya, keluarganya di Tarakan, dan keluarga kecil yang baru dibinanya bersama sang istri, Candra (Laura Basuki), dari penderitaan hidup yang disebabkan kemiskinan, bahan obrolan yang disodorkan Terbang: Menembus Langit berkisar pada keberanian dalam menggapai mimpi, kekuatan tekad, serta kerja keras. Ini adalah modal utama yang dibutuhkan untuk mengkreasi sebuah film biopik yang inspiratif. Entah kalian suka atau tidak dengan pilihan kata ‘inspiratif’ yang kerap digunakan secara sembrono oleh sineas-sineas Indonesia demi jualan film asal bikin, kata ini nyatanya terasa tepat untuk mendeskripsikan seperti apa Terbang: Menembus Langit. Sebuah film yang akan menggugah semangatmu saat melangkahkan kaki ke luar bioskop untuk memperbaiki kualitas diri sekaligus mengoreksi etos kerja demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Penceritaannya memang tidak selalu mulus, seperti kehidupan subjeknya. Problematika paling mencolok kentara terasa kala menjelang klimaks yang cenderung tergesa seolah-olah ingin cepat tuntas sampai lupa menjabarkan satu pekerjaan baru yang dikejar-kejar oleh Onggy termasuk bagaimana sistem penggajiannya (karena ada kalanya dia tampak tak menerima hasil apapun) dan meminggirkan subplot terkait kerusuhan Mei 1998 yang sejatinya memiliki potensi dramatik menarik saat dikulik (semacam, apa impak peristiwa ini pada Onggy dan keluarganya?) terlebih film pun sejatinya ingin berceloteh soal kebhinekaan Indonesia. 

Andai Terbang: Menembus Langit berkenan memperpanjang durasinya, lalu mengupas ini lebih tuntas, memperlihatkan bagaimana Onggy sebagai keturunan Tionghoa dapat bertahan di masa orde baru yang sarat diskriminasi, dan memberi kita gambaran lebih utuh mengenai pekerjaan yang membawa Onggy pada masa kejayaannya, film bisa jadi akan tersaji lebih menggigit. Bahkan dengan adanya ganjalan di penghujung pun, Terbang: Menembus Langit masih mampu terhidang sebagai film biopik yang cukup memuaskan berkat kombinasi serba apik dari pengarahan Fajar Nugros, elemen teknis yang menyokongnya, serta performa jajaran pelakonnya. Di sini, kamu akan mendapati nuansa pekat dari era 80-90’an yang dipancarkan melalui pilihan busana, tata rias, sampai artistik, dan atraksi akting mengagumkan yang menggerakkan film. Dion Wiyoko sebagai Onggy yang dikenal gigih dalam memperjuangkan keinginannya adalah pilihan yang tepat karena dia sanggup membawa kita melewati berbagai fase emosi; kita kecewa dan terpuruk bersamanya, kemudian kita yakin dan bersorak kepadanya. Keinginan kita pun sejalan dengannya, yakni melihat Onggy mencicipi manisnya buah kerja keras. Beruntung bagi Dion, dia mempunyai lawan main yang mumpuni seperti Chew Kin Wah bersama Aline Adita sebagai orang tuanya yang menyuplai sisi haru berikut rasa hangat, lalu kuartet penghuni kos-kosan (Dayu Wijanto, Indra Jegel, Mamat Alkatiri, Fajar Nugra) yang memberi sejumput gelak tawa mengasyikkan pada film, dan Laura Basuki yang merupakan bintang sesungguhnya dari film ini.


Laura bertransformasi dengan amat meyakinkan sebagai Candra – lengkap dengan aksen Cina Suroboyoannya – yang menyediakan harapan hidup bagi Onggy. Sesosok perempuan kuat yang senantiasa memberi dorongan untuk suaminya sekalipun keputusan Onggy yang berani (kalau tak mau disebut nekat) seringkali menempatkan mereka pada posisi sulit. Adegan yang berlangsung di kontrakan, seperti saat Candra meluapkan kekecewaannya yang begitu mendalam atas pilihan suaminya atau ketika kandungannya bermasalah atau kala Rich (putra mereka yang masih bayi) merengek kepanasan, menunjukkan range emosi seorang Laura yang luas. Apakah ini akting terbaik sepanjang karirnya? Dapat dikatakan demikian. Chemistry yang dirajutnya bersama Dion pun tak kalah apiknya. Membuat kita cukup bisa memaafkan pergerakan kisah yang tergesa di paruh akhir (sungguh ini sayang sekali), membuat kita bersedia mendengarkan kisah hidup Pak Onggy beserta Bu Candra, membuat kita rela dihanyutkan ke dalam kisah mereka yang terkadang hangat terkadang lucu terkadang pilu, membuat kita berharap mereka berhasil menggapai mimpi mereka, dan pada akhirnya membuat kita terinspirasi untuk mencetak kisah sukses yang serupa. Performa Dion-Laura yang mempunyai emosi sedemikian kuat jelas berkontribusi banyak terhadap Terbang: Menembus Langit sehingga film dapat terbang cukup tinggi meninggalkan film-film sejenis seperti Menebus Impian (2010) atau Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar (2014) misalnya.

Exceeds Expectations (3,5/5)
REVIEW : AVENGERS: INFINITY WAR

REVIEW : AVENGERS: INFINITY WAR


“The entire time I knew him, he only ever had one goal. To wipe out half the universe. If he gets all the Infinity Stones, he can do it with the snap of his fingers. Just like that.” 

Pertempuran terakbar di sejarah perfilman dunia dalam satu dekade terakhir telah tiba. Para pahlawan dengan kekuatan adidaya milik Marvel Studios yang pertama kali bahu membahu menyelamatkan dunia (atau New York?) dari kegilaan Loki melalui The Avengers (2012), lalu bereuni dalam Avengers: Age of Ultron (2015) tatkala mereka mendapat tugas dinas bersama di Sokovia yang terancam hancur lebur dari serangan Ultron, dan sempat pecah kongsi karena perbedaan ideologi di Captain America: Civil War (2016), akhirnya memperoleh perlawanan yang tidak lagi bisa dipandang sebelah mata lewat Avengers: Infinity War yang merupakan film ke-19 dalam rangkaian Marvel Cinematic Universe (MCU). Ya, di perayaan menapaki usia ke-10 sejak MCU pertama kali diperkenalkan dalam Iron Man (2008) ini, pertaruhannya benar-benar nyata dan berada di tingkatan sangat tinggi. Betapa tidak, para anggota Avengers kini mesti menghadapi Thanos yang digadang-gadang sebagai supervillain yang amat sulit untuk ditaklukkan. Dibandingkan dengan Thanos, Loki dan Ultron tidak lebih dari sebatas remah-remah renggingang. Dia mengoleksi enam batu akik, eh maksud saya, Batu Keabadian alias Infinity Stones, yang memungkinkannya untuk menguasai jagat raya dengan mudah semudah menjentikkan jari. Berbekal batu-batu tersebut, si Mad Titan ini akan melenyapkan separuh dari populasi galaksi yang dianggapnya telah berkontribusi terhadap kekacauan alam semesta sehingga suatu keseimbangan dapat dicapai. Gila, kan? 

Gila memang satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan Avengers: Infinity War disamping ambisius serta epik. Duo sutradara Anthony dan Joe Russo (Captain America: The Winter Soldier, Captain America: Civil War) memastikan bahwa penantian khalayak ramai selama satu dekade tidaklah sia-sia. Mereka berupaya untuk mengkreasi Avengers: Infinity War sebagai sebuah pemuncak yang layak dikenang dan lebih gegap gempita dibandingkan dengan dua predesesornya. Salah satu caranya adalah dalam penceritaan yang merentang panjang hingga 149 menit, duo ini tidak mempersilahkan para penonton untuk memalingkan muka barang sejenak dari layar bioskop maupun mengambil jeda satu dua menit untuk ngacir ke toilet demi menuntaskan panggilan alam. Ya bagaimana bisa melepaskan atensi saat film telah mencengkram perhatian secara erat sedari menit pertama. Russo bersaudara yang mengejawantahkan naskah kreasi Christopher Markus dan Stephen McFeely ini tidak banyak berbasa-basi kala memulai alunan penceritaan dari Avengers: Infinity War. Mereka seketika menempatkan kita dalam situasi mendebarkan yang merupakan kelanjutan dari adegan bonus di Thor: Ragnarok (2017) yang memperlihatkan nasib para pengungsi Asgard selepas para penumpang dari sebuah kapal ruang angkasa misterius dengan ukuran raksasa tiba-tiba menyantroni kapal mereka. Kita mengetahui bahwa salah satu penumpang kapal tersebut adalah Thanos (Josh Brolin) dan kita mengetahui bahwa Batu Keabadian koleksinya telah bertambah.


Itu artinya, alam semesta tengah terancam bahaya. Bruce Banner (Mark Ruffalo) yang kebetulan menjadi saksi mata kala Thanos merebut Space Stone dari genggaman Thor (Chris Hemsworth) seketika mengabarkan ke bumi bahwa ada ancaman besar yang segera datang dalam wujud Thanos beserta kroni-kroninya yang dikenal dengan sebutan Black Order. Saya tidak perlu menjabarkan proses bersatunya kembali para anggota inti Avengers seperti Tony Stark (Robert Downey Jr.), Steve Rogers (Chris Evans), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), Rhodey (Don Cheadle), Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen), Vision (Paul Bettany), serta Sam Wilson (Anthony Mackie) secara detil karena akan sedikit merusak kesenangan dalam menyaksikan Avengers: Infinity War. Yang jelas, mereka berkenan menyingirkan ego masing-masing dan memutuskan untuk bersatu sekali lagi lantaran dihadapkan pada satu musuh besar yang sama, yakni Thanos. Mengingat sang lawan sama sekali tidak bisa diremehkan – terlebih lagi jika dia sudah berhasil mengumpulkan keenam Batu Keabadian secara komplit – maka bala bantuan pun dibutuhkan oleh para personil Avengers yang sekali ini berasal dari Stephen Strange si penyihir (Benedict Cumberbatch), Peter Parker si remaja laba-laba (Tom Holland), T’Challa si Raja Wakanda (Chadwick Boseman), Bucky Barnes (Sebastian Stan) yang merupakan sohib kental Steve Rogers, sampai para bandit galaksi berhati mulia dari dwilogi Guardians of the Galaxy yang salah satu anggotanya memiliki keterkaitan secara langsung dengan Thanos. 

Semenjak adegan pembuka yang membuat diri ini terhenyak, daya cengkram memang tidak pernah sedikitpun mengendur sampai Avengers: Infinity War benar-benar mengakhiri gelarannya. Film ini memenuhi segala ekspektasi yang disematkan untuknya. Sepanjang durasi merentang, si pembuat film mengisinya dengan serentetan sekuens laga bombastis, humor yang efektif mengocok perut, serta momen emosional yang membuat mata sembab, yang menjadikan perjalanan panjang selama 2,5 jam terasa berlangsung dengan begitu cepat sampai-sampai kita tidak menyadari bahwa film telah tutup durasi. Seperti telah saya singgung di dua paragraf sebelumnya, mengalihkan pandangan dari layar dan melenggang ke toilet di sela-sela rangkaian konfrontasi adalah suatu hal yang hampir mustahil dilakukan selama menyaksikan Avengers: Infinity War. Ini tentu saja terdengar hiperbolis, tapi setidaknya begitulah situasi di bioskop tempat saya menyaksikan reuni para pahlawan bertubuh atletis ini. Penonton duduk anteng menyaksikan intrik yang menggeliat dalam film (jika ada suara tak diinginkan, akan terdengar ‘sssttt’ berjamaah), lalu gregetan dan harap-harap cemas ketika pertarungan antara Avengers melawan Black Order maupun Thanos mulai berlangsung, kemudian tertawa terbahak-bahak begitu mendengar celetukan atau tindakan kocak para karakter (favoritku secara personal: tatapan Okoye (Danai Gurira) saat melihat Hulkbuster terjerembab di medan tempur. Priceless!), sampai akhirnya menyeka air mata yang tidak nyana-nyana bakal mengalir di beberapa titik. Epik! 


Keberhasilan Russo bersaudara dalam melibatkan emosi penonton ini tentu berkat kombinasi dari pengarahan, naskah, elemen teknis (efek visualnya jempolan!), serta performa pemeran yang bekerja secara semestinya. Saat hendak menyaksikan Avengers: Infinity War, ada satu pertanyaan yang pastinya mencuat di benak sebagian penonton. Pertanyaan tersebut berbunyi, “bagaimana cara si pembuat film memberi mereka jatah tampil yang layak sementara jumlah mereka sangat banyak?.” Tidak bisa dipungkiri memang ada kekhawatiran bahwa beberapa pahlawan kesayangan kita akan terpinggirkan porsinya mengingat durasi film begitu terbatas sementara ada lusinan superhero dan satu penjahat besar yang mengambil peran. Namun kekhawatiran tersebut lenyap tak bersisa usai film menjalankan penceritaannya secara resmi. Pengarahan beserta naskah yang solid ditunjang oleh penyuntingan rapi dan akting jajaran pemain yang apik memungkinkan setiap karakter memiliki kesempatan untuk bersinar sekaligus berkontribusi nyata terhadap penceritaan termasuk pendatang baru macam Stephen Strange beserta para penjaga galaksi dan sang supervillain, Thanos, yang tak saja intimidatif tetapi juga menyimpan kompleksitas pada karakternya (dia bukanlah penjahat satu dimensi dengan motif dangkal) sehingga membuat kita berada di posisi serba salah; kita membencinya karena destruksi yang diciptakannya dan di saat bersamaan kita bersimpati kepadanya karena dibalik perangainya yang bengis, dia masih memiliki hati. 

Bagusnya, para karakter yang jumlahnya bejibun ini dimunculkan karena mereka memang dibutuhkan untuk menggerakkan kisah, bukan sebatas untuk memeriahkan film semata. Demi menegaskan peranan masing-masing, film berjalan sedikit pelan di paruh pertama – itupun sudah sarat laga dan humor jadi tak ada kesempatan untuk menguap. Ketika job description telah dipaparkan dengan jelas, Avengers: Infinity War seketika lepas landas di satu jam terakhir yang bersinonim erat dengan ‘kegilaan’. Pertaruhannya meningkat diikuti dengan pertempuran yang keseruannya mengalami eskalasi dan tonjokkan pada sisi emosi. Selepas film berakhir kita memang tidak akan langsung bertepuk tangan (momen itu telah muncul di adegan ‘kembalinya Thor’ yang disambut sorak sorai), tetapi muncul satu perasaan yang membuat kita pada perenungan. Memandang ke layar bioskop yang telah kosong seraya berusaha mencerna tontonan yang baru saja kita saksikan. Bahkan perasaan ini masih menghinggapi hingga beberapa jam kemudian. Sebuah perasaan yang hanya bisa muncul saat film yang baru saja kita saksikan telah meninggalkan impak yang sangat kuat pada emosi. 


Note : Avengers: Infinity War hanya memiliki satu adegan bonus di penghujung durasi, tapi penting untuk disimak.

Outstanding (4,5/5)
REVIEW : GONJIAM: HAUNTED ASYLUM

REVIEW : GONJIAM: HAUNTED ASYLUM


“The rumors were all true!” 

Keberadaan bekas Rumah Sakit Jiwa Gonjiam yang terletak di kota Gwangju, Korea Selatan, jelas merupakan sebuah aset berharga bagi perfilman Negeri Gingseng. Betapa tidak, popularitasnya sebagai salah satu lokasi terangker di dunia menurut versi CNN Travel dalam artikel berjudul “7 of the freakiest places on the planet”, ditambah latar belakangnya yang menyebutkan bahwa tempat ini menjadi saksi bisu atas terjadinya bunuh diri massal yang dilakukan oleh pasien RSJ bersangkutan, telah memberikan modal yang lebih dari cukup untuk diejawantahkan ke dalam bentuk film. Apabila kamu melakukan survey ke para penggila film horor atau generasi milenial yang gemar ditakut-takuti dan menyukai apapun yang sedang hits, rasa-rasanya mereka tidak akan keberatan untuk menyaksikan film seram mengenai RSJ angker ini. Lagipula, siapa sih yang bisa menolak pesona film horor tentang lokasi berhantu? Menyadari potensi besar yang dimiliki oleh RSJ Gonjiam, Jung Bum-shik yang sebelumnya menggarap Epitaph (2007) pun berinisiatif mengkreasi tontonan memedi bertajuk Gonjiam: Haunted Asylum. Teknik yang dipilih oleh si pembuat film dalam bercerita adalah found footage – seperti diterapkan oleh The Blair Witch Project (1999) dan Paranormal Activity (2007) – demi semakin menguarkan nuansa creepy dari tempat tersebut sekaligus memberi kesan riil pada penonton. 

Dibuka dengan adegan dua remaja nekat melakukan permainan uji nyali di bekas RSJ Gonjiam yang berakhir petaka, Gonjiam: Haunted Asylum lantas memperkenalkan kita pada seorang pemuda yang berniat untuk menerobos tempat yang sama. Si penggagas ide yang mempunyai kanal Youtube bernama Horror Times, Ha-joon (Wi Ha-joon), menganggap petaka yang menghinggapi dua remaja tersebut sebagai peluang emas baginya. Ha-joon membayangkan seberapa tinggi popularitas yang akan berhasil dicapai oleh kanal Youtube asuhannya apabila dia menyiarkan tayangan uji nyali secara langsung dari RSJ Gonjiam. Guna merealisasikan impiannya tersebut, Ha-joon pun merekrut enam anggota yang terdiri atas A-yeon (Oh A-yeon), Charlotte (Moon Ye-won), Sung-hoon (Park Sung-hoon), Seung-wook (Lee Seung-wook), Je-yoon (Yoo Je-yoon), dan Ji-hyun (Park Ji-hyun). Diiming-imingi imbalan uang yang didapat dari iklan, keenam anak muda ini mengiyakan tawaran dari Ha-joon untuk diterjunkan ke RSJ Gonjiam pada malam hari. Mereka akan berkeliaran di dalam gedung mencari aktivitas supranatural sementara Ha-joon berdiam di tenda untuk menyiarkan rekaman dari keenam relawan. Tentu saja seperti film horor pada umumnya, mulanya tidak ada kejanggalan yang dijumpai oleh sekelompok anak muda kurang kerjaan tersebut. Hingga kemudian mereka melakukan kesalahan klasik yang berujung pada teror demi teror mengerikan yang seketika mengancam keselamatan setiap personil. 


Dalam mencelotehkan pengalaman supranatural yang berlangsung dalam Gonjiam: Haunted Asylum, Jung Bum-shik sejatinya hanya memberikan tanda centang ke sederet keklisean yang mudah kalian jumpai di film sejenis. Segerombolan karakter stereotip yang sok berani menerima tantangan berhadapan dengan makhluk gaib karena mereka tidak pernah benar-benar memercayainya? Centang! Menerobos sebuah rumah (atau suatu tempat) yang disebut-sebut angker hanya untuk melakukan hal-hal tak berfaedah? Centang! Melakukan pemanggilan arwah di dalam tempat angker karena mereka menganggap itu sebagai sesuatu yang wajar, lucu dan tidak berbahaya? Centang! Berpisah jalan dengan rombongan sementara (kita semua tahu) berpisah di film horor sama saja dengan bunuh diri? Centang! Dan, baru menyadari bahwa nyawa mereka terancam saat aktivitas supranatural telah berada di level tinggi atau dengan kata lain, saat segalanya telah terlambat? Centang! Ya, bagi kalian yang sudah khatam tontonan horor secara umum, found footage secara spesifik, bisa jadi akan beberapa kali memutar bola mata tatkala mendapati keputusan-keputusan ngawur yang diambil oleh para karakter dalam Gonjiam: Haunted Asylum. Selama setidaknya satu jam pertama yang nyaris tidak terjadi apa-apa (mengikuti tradisi film bergaya found footage), kita diminta memafhumi tindakan tujuh muda-mudi yang tingkat kebodohan beserta menjengkelkannya berada di level dewa. Saya sama sekali tidak keberatan jika penghuni RSJ Gonjiam memutuskan untuk memangsa mereka semua. Silahkan, dengan senang hati. 

Yang kemudian menyelamatkan Gonjiam: Haunted Asylum dari ‘kutukan’ yang acapkali menimpa film horor dengan pendekatan found footage (terbukti dari sedikitnya film sejenis yang berkualitas diatas rata-rata) adalah kombinasi memuaskan antara desain produksi, pengambilan gambar, serta kejelian sang sutradara. Desain produksi film ini amat niat, menyulap sebuah gedung SMA di Busan sehingga menyerupai lokasi sesungguhnya yang sanggup membuat ciut nyali hanya dengan memandang dari luar. Ditunjang pengambilan gambar yang tangkas sekaligus memberi kesan meyakinkan kepada penonton bahwa kita sedang menyaksikan live streaming dari RSJ Gonjiam, dan kejelian sang sutradara dalam menempatkan trik menakut-nakuti (walau sejatinya sebagian besar diantaranya amat klasik!) di waktu yang tepat membuat Gonjiam: Haunted Asylum memiliki sejumlah momen yang dapat membuat penonton meringkuk, melonjak, maupun berteriak di dalam bioskop. Tidak ada skoring musik memekakkan telinga di sini demi menciptakan kesan otentik. Lagipula siapa butuh musik untuk menciptakan kekagetan atau rasa ngeri saat latar tempatnya telah sanggup menghembuskan nuansa creepy sehingga membuat bulu kuduk ini meremang? Sedari tujuh muda-mudi menjejakkan kaki di RSJ Gonjiam, saya telah dilingkupi rasa tidak nyaman yang menggelisahkan sampai mencapai puncaknya di 20 menit terakhir yang menyeramkan. Apa yang terjadi di babak pamungkas ini sedikit banyak membuat saya akhirnya dapat menolerir penceritaan dan bangunan karakter film ini yang generik.

Acceptable (3/5)


REVIEW : SAJEN

REVIEW : SAJEN


“Tiap orang yang bunuh diri di sini, pasti dikasih sajen.” 

Telah cukup lama rumah produksi Starvision tidak memproduksi film horor. Terakhir kali mereka bersentuhan dengan dunia memedi yakni melalui film dengan format omnibus bertajuk Hi5teria yang dilepas pada tahun 2012 silam. Sajen garapan Hanny Saputra – jejak rekam film horornya meliputi Mirror (2005) dan Dejavu: Ajian Puter Giling (2015) – menandai kembalinya Starvision ke ranah film seram setelah enam tahun terakhir memilih untuk fokus menghasilkan film bertemakan percintaan dan keluarga. Mengambil latar penceritaan di sebuah SMA swasta unggulan serta menampilkan barisan bintang-bintang muda bertampang rupawan yang masih segar seperti Amanda Manopo, Steffi Zamora, Angga Yunanda, Jeff Smith, serta Chantiq Schagerl, pada permukaannya Sajen memang sepintas tampak seperti “another Indonesian teen horror movie” yang gemar sekali mengambil lokasi teror di dua tempat: sekolah dan hutan belantara. Yang kemudian mengusik keingintahuan saya sehingga berniat mencicipi Sajen adalah tema yang diusungnya. Bukan sebatas ‘jangan masuki ruangan terlarang itu!’ atau ‘jangan langgar pantangan ini itu!’, film ini mencoba menguliti persoalan perundungan (bullying) yang memang marak terjadi di kalangan remaja berseragam putih abu-abu – bahkan belakangan merambah ke dunia maya. Perundungan menjadi cikal bakal munculnya sederet teror bernuansa supranatural yang menghiasi sepanjang durasi Sajen

Ya, perundungan yang terjadi dalam Sajen memang membawa korban jiwa. Penonton tidak pernah benar-benar diberi tahu identitas dari tiga korban pertama. Namun keberadaan tiga sajen di beberapa titik SMA Pelita Bangsa, yaitu toilet, perpustakaan, serta ruang komputer, menjadi semacam pengingat bahwa tragedi telah terjadi di sekolah ini selama beberapa kali. Keengganan pihak sekolah untuk mengusut tuntas kasus perundungan demi mempertahankan nama baik membuat arwah ketiga siswa tersebut tak tenang sehingga peristiwa-peristiwa seram masih kerap dijumpai. Alanda (Amanda Manopo), salah satu siswi paling berprestasi di SMA tersebut, menyadari penuh tentang hal ini dan berupaya untuk memutus rantai perundungan yang sekali ini dilakukan oleh Bianca (Steffi Zamora), Davi (Jeff Smith), beserta rekan-rekan satu geng mereka. Sayangnya, langkah Alanda ini tidak pernah mendapat dukungan penuh dari kawan-kawan terdekatnya sehingga Alanda yang berjuang sendirian pun akhirnya terseret menjadi korban. Dalam satu malam, Alanda dijebak dengan alkohol yang menyebabkan dia mabuk, lalu tindak tanduknya selama mabuk ini direkam, dan disebarkan ke setiap siswa di sekolah. Video tersebut tak hanya mencemarkan nama baiknya tetapi juga berdampak pada hilangnya kesempatan Alanda untuk mendapatkan beasiswa. Tak tahan dengan penderitaan ini, Alanda memutuskan bunuh diri. Arwahnya yang dilingkupi kemarahan pun menciptakan gelombang teror yang lebih besar di SMA Pelita Bangsa. 


Sajen sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi tontonan yang menjanjikan. Di separuh awal durasi yang penampakannya hanya dihadirkan selintas lalu dan si pembuat film lebih banyak menekankan pada elemen drama yang menyoroti dampak perundungan, Sajen mampu tampil menggigit. Performa sangat baik dari Amanda Manopo sebagai siswi berprestasi yang tertindas membuat penonton dapat bersimpati kepadanya. Kita berharap misi Alanda untuk memberangus perundungan mencapai titik hasil, kita berharap dia berhasil menundukkan geng Bianca. Maka begitu kenyataan berkata lain, ada rasa pedih yang menggelayuti di dada. Dukungan akting tak kalah baiknya dari Nova Soraya sebagai sang ibu yang penuh duka (kehilangan suami dan anak semata wayang tercinta. Betapa pilunya!) membuat paruh awal ini terasa menyesakkan. Saking tak relanya kedua karakter ini ketiban apes, keinginan melihat datangnya momen-momen pembalasan dendam dari Alanda kepada rekan-rekannya di sekolah pun besar. Saya hanya ingin menyaksikan geng Bianca kena getahnya atas ulah mereka pada Alanda. Akan tetapi, semangat yang telah timbul dalam menanti apa yang akan dihadirkan oleh Hanny R Saputra beserta sang penulis skrip, Haqi Achmad, di sesi horor ini malah mendadak merontok begitu film telah menjejakkan diri pada ranah memedi secara resmi. Pemicunya, rentetan penampakan yang dihamparkan serampangan diiringi musik memekakkan telinga (masalah klasik!) ditambah tata rias hantu yang dikerjakan ala kadarnya, transisi antar adegan yang melompat-lompat tak karuan sehingga membuat sebagian adegan terasa tak berkesinambungan, dan akting sebagian besar pemain pendukung yang memprihatinkan. 

Saking memprihatinkannya, saya sampai tak kuasa menahan tawa berulang kali selama menyaksikannya. Tengok saja pada salah satu momen terepik dari film ini yang berlangsung di sebuah prom night. Alanda melampiaskan dendamnya bak Carrie White pada salah seorang siswi – termasuk melempar-lemparnya ke atas maupun ke samping – dan tak seorangpun (!) yang bereaksi melihat aktivitas gaib di depan mata ini. Mereka hanya berdiri mematung tanpa ekspresi seolah-olah apa yang mereka saksikan itu sesuatu yang sudah teramat sangat wajar. Jika ada yang menunjukkan reaksi, maka itu adalah saya yang melongo saking takjubnya dengan keberanian mereka yang luar biasa ini. Semestinya saya pun tidak usah setakjub itu karena ada satu momen dimana hantu Alanda merangkak ke luar dari televisi bak Sadako dengan maksud menakut-nakuti kepala sekolahnya yang berhati dingin, Bu Tanya (Minati Atmanegara), dan tanpa segan-segan, Bu Tanya mengusirnya begitu saja dengan cara melempar sebuah pensil (!) ke arah Alanda. Mengagumkan sekali, bukan? Saya cukup yakin bahwa salah satu persyaratan masuk di SMA Pelita Bangsa baik bagi siswa maupun staf mencakup poin, “Anda telah terbiasa berurusan dengan hal-hal mistis atau memiliki keberanian dalam mengadapi situasi supranatural.” Karena jika tidak, tentu mereka sudah panik tidak karuan saat menyaksikan empat hantu datang beriringan atau kepala nongol dari televisi, bukan? Gara-gara adegan ini, saya malah justru lebih merinding melihat para guru dan murid SMA Pelita Bangsa ketimbang hantu Alanda. Jangan-jangan mereka sebenarnya adalah alien berkedok manusia seperti dalam film Invasion of the Body Snatchers (1978) sehingga mustahil bagi mereka untuk memancarkan emosi. Bisa jadi, kan?

Poor (2/5)


REVIEW : ANANTA

REVIEW : ANANTA


“Kita dipertemukan karena ikatan jodoh yang kuat.” 

Para pembaca blog yang budiman, izinkanlah saya untuk menyampaikan satu kabar gembira sebelum mengulas Ananta keluaran MD Pictures. Kabar gembira tersebut adalah (jreng-jreng) Michelle Ziudith sudah terlepas dari film-film romantis picisan garapan Screenplay Films, saudara-saudara!... meski kemungkinan hanya untuk sementara sih. Tapi jangan langsung bersedih karena paling tidak, untuk sesaat kita tidak melihatnya memerankan perempuan tajir melintir yang hobi merajuk, remaja yang mengemis-ngemis cinta seolah dia akan tewas jika terlalu lama menjomblo, atau gadis yang gemar bersabda dengan kata-kata mutiara di setiap hembusan nafasnya. Ini tetap patut dirayakan. Kenapa? Karena saya selalu percaya bahwa Michelle Ziudith memiliki bakat dalam berakting (apalagi kalau sudah akting banjir air mata, saingan deh sama Acha Septriasa!) dan dia sangat perlu kesempatan untuk membuktikannya. Melalui Ananta yang didasarkan pada novel bukan horor bertajuk Ananta Prahadi rekaan Risa Saraswati (seri Danur), aktris yang akrab disapa Miziu ini mendapatkan kesempatan tersebut. Memang sih kalau ditengok dari segi genre, Ananta masih bermain-main di jalur andalan Miziu yakni drama percintaan yang sekali ini membawa muatan komedi cukup pekat. Hanya saja yang membuat film ini berbeda dan boleh jadi merupakan tiket emas baginya adalah Ananta mempunyai penggarapan beserta performa pemain yang baik sehingga menempatkannya berada di level lebih tinggi dibanding film-film Miziu terdahulu. 

Dalam Ananta, Michelle Ziudith berperan sebagai Tania yang dideskripsikan sebagai remaja SMA yang kesulitan dalam berinteraksi secara sosial sehingga dia memilih untuk membenamkan diri dengan dunianya sendiri: lukis melukis. Akibat sikapnya yang jauh dari kata bersahabat, Tania hidup dalam kesendirian. Dia tidak memiliki satupun teman bermain di sekolah, dia juga tidak memiliki satupun teman berbicara di rumah. Satu-satunya orang yang dipersilahkan Tania memasuki kehidupannya adalah Bik Eha (Asri Welas) – itupun sebatas berurusan dengan makanan. Kehidupan Tania yang terbilang sunyi dan monoton ini lantas mengalami perubahan saat Ananta Prahadi (Fero Walandouw), murid pindahan asal Subang yang memiliki logat Sunda kental, hadir di sisinya. Ini bisa diartikan secara harfiah karena Ananta duduk sebangku dengan Tania. Karakteristiknya yang periang jelas bertolak belakang dengan Tania yang muram. Pun begitu, Ananta berupaya memahami rekan sebangkunya ini termasuk memasakannya nasi kerak yang merupakan makanan favorit Tania dan membantunya menjual lukisan-lukisannya. Tania yang semula apatis perlahan tapi pasti bersedia membuka diri pada Ananta sehingga hubungan persahabatan sekaligus hubungan bisnis pun terbentuk. Kesedihan yang selama ini menggelayuti diri Tania pun memudar tergantikan oleh kebahagiaan sampai kemudian Ananta tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan Tania menyambut datangnya pria lain dalam kehidupannya, Pierre (Nino Fernandez). 



Seperti halnya jutaan umat manusia di luar sana, saya pun sebetulnya menganggap sepele Ananta. Satu-satunya yang berkontribusi terhadap tergeraknya hati dan kaki ke bioskop untuk menjajalnya adalah sang sutradara, Rizki Balki, yang memulai debutnya dengan apik melalui Aku, Benci, dan Cinta (2017). Michelle Ziudith? Kepercayaan saya sudah mulai meluntur. Membawa sikap skeptis ke dalam ruang pemutaran, diri ini merasa tertampar saat tanpa disangka-sangka Ananta ternyata mampu tersaji sebagai tontonan yang jenaka (ya, film ini lucu sekali!) sekaligus hangat, manis, dan menyentuh di waktu bersamaan. Rizki yang gaya penuturannya terasa sekali terpengaruh dari film-film romantis asal Korea Selatan membuktikan bahwa debutnya tersebut bukanlah suatu kebetulan pemula belaka dan Michelle Ziudith menunjukkan bahwa dia memang layak untuk diberikan kesempatan. Lanjutkan, Miziu! Michelle Ziudith berhasil melebur dengan baik ke dalam sosok Tania yang ajaib, sengak, dan temperamental. Berada di pengarahan maupun interpretasi pemain kurang tepat, Tania berpotensi menjadi karakter yang sukar diberi simpati. Namun performa Michelle Ziudith ditunjang chemistry padu bersama Fero Walandouw sebagai karakter tituler membuat saya cukup mampu memafhumi karakteristiknya yang kian meletup-letup tak terkontrol karena faktor duka. Adegan Tania terpuruk lalu menangis di pundak Ananta usai melempar lukisan-lukisannya ke luar jendela menjadi momen terbaik di film ini yang sekaligus menandai pertama kalinya simpati dapat disematkan secara resmi pada kedua karakter utama tersebut khususnya Ananta yang kebaikan dan kepolosannya membuat diri ini ingin memberinya pelukan hangat.  

Tidak hanya Michelle Ziudith yang membuktikan bahwa dia sanggup menunjukkan atraksi akting yang kejut nyata tatkala memperoleh peran beserta pengarahan yang tepat, tetapi juga Fero Walandouw. Merupakan kejutan terbesar dari Ananta, Fero adalah rekanan akting yang sesuai bagi Miziu. Chemistry yang dibina Miziu bersama Fero jauh lebih meyakinkan ketimbang saat dia beradu akting dengan Dimas Anggara maupun Rizky Nazar. Berkat performa keduanya, kita bisa menerima kenyataan bahwa Tania kelewat ngeselin dan Ananta kelewat mulia, lalu menikmati setiap momen kebersamaan mereka yang sebagian besar diantaranya mengundang gelak tawa – seperti berlari-larian di bawah guyuran ‘air hujan’ – dan menggoreskan rasa hangat di hati. Keberadaan Asri Welas yang kentara difungsikan sebagai comic relief jelas membantu meningkatkan level kelucuan yang sejatinya telah cukup kuat hanya dari interaksi Fero bersama Miziu. Sayangnya, segala kenikmatan menyaksikan Ananta yang ditimbulkan di satu jam pertama ini tak benar-benar bertahan hingga ujung durasi. Memang di separuh akhir masih ada sekelumit rasa manis dari benih-benih asmara antara Tania dengan Pierre atau terenyuh melihat kepedulian Ananta yang amat besar pada Tania, tapi upaya untuk menghadirkan kejutan yang membawa film ke ranah melodrama pada klimaks justru menurunkan greget. Andai si pembuat film (dan Risa sebagai pemilik materi sumber) tidak menjerumuskan Ananta pada tangis-tangisan klasik – plus misi Ananta tidak dipaksakan melibatkan perasaan – maka bukan tidak mungkin momen ‘perpisahan dan pertemuan’ di ujung film akan terasa lebih menohok. Andai ya…


Exceeds Expectations (3,5/5)
REVIEW : TRUTH OR DARE

REVIEW : TRUTH OR DARE


“The game is real. Wherever you go, whatever you do it will find you.” 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, rumah produksi Blumhouse Productions berhasil menancapkan kukunya menjadi salah satu nama yang patut diperhitungkan di sinema horor. Betapa tidak, mereka sanggup menghasilkan pundi-pundi dollar dari film seram yang memiliki high-concept dengan bujet seminim mungkin (tidak pernah lebih dari $10 juta!) dan kualitas yang sebagian besar diantaranya dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa sajian yang membawa mereka membumbung tinggi antara lain Paranormal Activity (2009), Insidious (2011), The Purge (2013), Split (2017), sampai Get Out (2017) yang berjaya di panggung Oscar. Menyadari penuh bahwa formula ini terbukti berhasil, tentu tidak mengejutkan jika persembahan terbaru dari Blumhouse, Truth or Dare, yang digarap oleh Jeff Wadlow (Kick-Ass 2), masih menerapkan formula serupa. Premis yang diajukan sekali ini adalah “bagaimana jika permainan ‘jujur atau tantangan’ dibawa ke level lebih tinggi dengan konsekuensi berupa kematian apabila si pemain gagal menyelesaikan permainan?”. Harus diakui ini terdengar agak menggelikan sih, tapi di waktu bersamaan juga menggelitik rasa penasaran. Lebih-lebih trailer Truth or Dare yang dikemas begitu meyakinkan seolah-olah ini tontonan seram yang mengasyikkan semakin membuat hati ini sulit menampik godaan. Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah mungkin Truth or Dare dengan premis konyolnya ini mampu tersaji seru atau malah justru berakhir blunder? 

Truth or Dare sendiri mengawali penceritaannya dengan perjalanan enam sahabat; Olivia (Lucy Hale), Markie (Violett Beane), Lucas (Tyler Posey), Brad (Hayden Szeto), Tyson (Nolan Gerard Funk), dan Penelope (Sophia Ali), ke Meksiko untuk merayakan libur musim semi. Berbagai macam kegilaan anak muda khas film horor mereka lakukan sepanjang liburan seperti berpesta semalam suntuk, berhubungan seks, menenggak alkohol… you name it. Kegilaan ini kian tak bisa dipahami akal sehat saat mereka memutuskan untuk mengikuti ajakan seorang laki-laki yang baru dikenal Olivia di bar bernama Carter (Landon Liboirion) ke sebuah reruntuhan gereja. Di sana, mereka bermain ‘jujur atau tantangan’ yang secara cepat berubah menjadi canggung tatkala rahasia salah satu dari mereka tersentil. Suasana yang telah serba tidak mengenakkan ini kian bertambah parah tatkala Carter mengungkap tujuan utamanya membawa mereka ke tempat ini. Ternyata oh ternyata, permainan ‘jujur atau tantangan’ yang mereka mainkan ini tidak sesederhana tampaknya karena ada keterlibatan iblis didalamnya. Alhasil satu demi satu personil pun dihadapkan pada permainan ‘jujur atau tantangan’ versi supranatural sekembalinya mereka ke Amerika Serikat pada waktu dan tempat tak terduga dari seseorang (atau sejumlah orang) dengan seringai aneh menyerupai filter Snapchat yang buruk. Aturannya sederhana saja: tunaikan permainan tersebut hingga tuntas karena jika kamu gagal melaksanakannya… ajal akan dengan senang hati menjemputmu.


Untuk beberapa saat, Truth or Dare tampak seperti versi duplikat dari rangkaian film Final Destination. Sejumlah remaja berusaha mencurangi kematian yang mengejar mereka dengan urutan sesuai giliran mereka bermain ‘jujur atau tantangan’. Dari lubuk hati yang terdalam, saya pribadi sih berharap Truth or Dare akan menempuh jalur yang sama karena Final Destination termasuk tontonan seram yang seru (yaaa… setidaknya untuk tiga seri pertama) dengan penggambaran ‘cara untuk tewas’ yang kreatif. Akan tetapi, usai adegan pembukaan di sebuah pom bensin yang membangkitkan semangat untuk mengudap habis film ini, lalu dilanjut dengan kematian pertama yang melibatkan meja biliar, dan tantangan menyusuri pinggiran genteng seraya menenggak alkohol yang mendebarkan, perlahan tapi pasti Truth or Dare terasa seperti kehilangan arah dan kebingungan dalam mengembangkan premis miliknya. Berdasarkan premis yang diusung, Truth or Dare sebetulnya berpotensi bagus apabila: 

1) sadar diri bahwa premisnya memang menggelikan sehingga tidak ada upaya untuk menggulirkan kisah yang sok serius dan lebih memilih untuk menertawakan diri sendiri dengan menghadirkan eksekusi serba over the top 
2) memiliki aturan main yang jelas – tidak seenaknya diubah-ubah sampai bikin otak ini keriting memikirkannya, serta 
3) menghindari main aman dengan bersedia merangkul rating R (17 tahun ke atas) karena materinya yang membutuhkan pertaruhan akan kesulitan mencapai potensinya jika film enggan untuk menampilkan kekerasan dalam level cukup tinggi. 

Sayangnya, pihak pembuat film kekeuh mempertahankan Truth or Dare untuk tetap bermain-main di ranah horor dengan rating PG-13. Jeff Wadlow beserta tiga rekan penulis skrip malah memilih untuk menyisipi Truth or Dare dengan isu-isu berat tak perlu seperti homoseksual, bunuh diri, serta pelecehan seksual yang justru membuat film ini penuh sesak sekaligus tampak seperti salah satu episode sinetron percintaan remaja terlebih ada pula konflik mengenai pertikaian antar sahabat karena rebutan cowok. Ingin rasanya ku mengucap istighfar! Sederet isu ini sebetulnya memiliki potensi menjadi bumbu taburan yang mengikat apabila: 

1) premis yang diusung Truth or Dare tidak kelewat menggelikan untuk dibawa serius, serta 
2) ada perkembangan karakter mumpuni yang membuat penonton memahami lalu peduli terhadap masing-masing karakter. 


Tapi kenyataannya kan tidak demikian. Premisnya konyol dan karakter di film ini tak lebih dari sekumpulan stereotip karakter dalam film horor yang dangkal. Alhasil, selama separuh akhir, Truth or Dare tak saja menjelma menjadi FTV bertajuk “Aku Jatuh Cinta Pada Kekasih Sahabatku” tetapi juga ketoprak lantaran setiap tindakan para karakternya mengundang gelak tawa tak disengaja (ehem, mencari solusi dari Google dan Facebook? Dasar generasi milenial!). Mengingat rating PG-13 membatasi film untuk tampil liar; adegan pencabutan nyawa yang monoton dengan sebagian besar hanya menggunakan pistol dan tantangan yang makin lama justru makin drama (serius, ini setan sepertinya gemar nonton reality show atau sinetron deh!), maka daya tarik yang tersisa dari film ini adalah kekonyolannya yang tak berkesudahan dan Lucy Hale yang rupawan. Aktingnya? Ah lupakan saja.

Poor (2/5)
REVIEW : DEADPOOL 2

REVIEW : DEADPOOL 2


“You're no hero. You're just a clown, dressed up like a sex toy.” 
“So dark. You sure you're not from the DC universe?” 

Ditengah-tengah riuhnya film superhero yang menjunjung tinggi kebajikan, Deadpool (2016) yang diproduksi oleh 20th Century Fox berdasarkan komik berseri terbitan Marvel Comics menawarkan sebuah alternatif yang nyeleneh. Dia menjadi antitesis dari para pahlawan yang tergabung dalam Marvel Cinematic Universe berkat tutur kata dan tindakannya yang tak mengenal kompromi. Menerabas habis batasan-batasan rating yang biasanya membelenggu kreativitas dari film sejenis. Mengingat film ini dijual sebagai tontonan dewasa (jangan bilang belum diperingatkan, wahai para orang tua tukang ngeluh!), sang superhero dengan kostum ketat berwarna merah pekat ini pun mendapat keleluasaan dari pihak studio untuk menghabisi lawan-lawannya menggunakan cara yang berdarah-darah, berasyik masyuk dengan perempuan pujaannya, sampai melontarkan nyinyiran pedas penuh dengan referensi ke budaya populer yang tidak sedikit diantaranya mencakup F-word. Komponen-komponen yang amat sangat jarang dijumpai di film superhero belakangan ini, bukan? Pendekatannya yang berani ditambah gaya tuturnya yang nyentrik – merobohkan dinding keempat (berinteraksi dengan penonton) – ini menjadi sebuah kejutan manis sekaligus membuat Deadpool tampil menjulang. Tidak mengherankan jika kemudian sekuelnya yang bertajuk Deadpool 2 kembali mengaplikasikan formula yang terbukti berhasil ini meski tentunya bakal mengundang satu pertanyaan besar; akankah sensasi yang diberikannya kepada penonton masih sama seperti predesesornya? 

Berlatar dua tahun selepas peristiwa di film pertama, Wade Wilson (Ryan Reynolds) digambarkan telah menikmati kehidupannya sebagai pahlawan pembasmi kejahatan bernama Deadpool. Hubungannya dengan Vanessa (Morena Baccarin) pun kian mesra, bahkan keduanya telah berencana untuk memiliki momongan. Jika segalanya berjalan sesuai rencana seperti ini, lalu apa pemantik konflik dalam Deadpool 2 yang membuat penonton tertarik mengikuti guliran penceritaannya? Demi menghindari spoiler – saya peduli dengan kenyamanan kalian semua, para pembaca yang budiman! – rasa-rasanya tak perlu menjlentrehkan secara detil apa yang kemudian terjadi. Yang jelas, menginjak menit belasan, Deadpool mengalami goncangan hebat dalam hidupnya sampai-sampai mendorong Colossus (Stefan Kapičić) untuk turun tangan dan menyeretnya ke markas X-Men. Pertemuannya dengan para anggota X-Men yang sebagian besar diantaranya tidak terkenal (menurut si karakter tituler yang tak tahu sopan santun ini, tentu saja) perlahan tapi pasti membuat Deadpool menemukan kembali tujuan hidupnya. Bersama dengan sejumlah karakter baru, salah satunya adalah Domino (Zazie Beetz) yang kekuatan utamanya adalah ‘keberuntungan’, Deadpool membentuk kelompok superhero bernama X-Force. Misi besar yang mereka jalankan yakni menyelamatkan seorang mutan remaja bernama Russell (Julian Dennison) yang memiliki kekuatan dalam menyulut api dari mutan penjelajah waktu, Cable (Josh Brolin yang juga memerankan Thanos di Avengers: Infinity War), yang berniat untuk mencabut nyawanya. 



Tidak ada perubahan signifikan yang bisa dijumpai dalam Deadpool 2 sekalipun kursi penyutradaraan kini bergeser ke David Leitch (John Wick, Atomic Blonde). Leitch bersama dengan tiga penulis skrip memahami betul, tidak ada gunanya memperbaiki sesuatu yang tidak rusak. Oleh karena itu, Deadpool 2 dihidangkan sesuai dengan ekspektasi penonton yang telah menyaksikan jilid pertamanya; kekerasannya berada di level ‘pedas’, humornya yang nakal banyak mencuplik referensi ke budaya populer. Walau unsur kejutannya tak lagi besar, sensasi yang disalurkan kepada penonton kurang lebih masihlah sama. Deadpool 2 tetaplah sebuah sajian eskapisme gila-gilaan yang menghibur. Demi memenuhi aturan tidak tertulis untuk sekuel, cakupan skalanya pun sekali ini ditingkatkan. Si pembuat film mengkreasi lebih banyak laga di seri ini – dimulai dari menit pembuka yang membangkitkan semangat sampai klimaks yang lebih menggigit – begitu pula dengan lawakan-lawakan khas Deadpool yang makin tak terkontrol dan kian bejibun. Semuanya menjadi sasaran empuk nyinyirannya, terlebih jika namamu terafiliasi dengan semesta yang diciptakan oleh Marvel Cinematic Universe atau DC Extended Universe. Deadpool menyentil para personil Avengers sekaligus mencibir DC (duo Martha yang ikonik tentu tak terlewatkan). Dia juga tidak ragu-ragu mempertanyakan orisinalitas lagu ‘Do You Want to Build a Snowman?’ dari Frozen (2013), kebingungan dengan penulisan nama Kirsten Dunst yang benar (saya memahamimu, Deadpool!), mengeluhkan keputusan Logan (2017) untuk ikut-ikutan menjadi film superhero dewasa, menghujat karir aktor berkebangsaan Kanada bernama Ryan Reynolds (!), hingga paling meta: mengkritisi penulis skrip Deadpool 2 yang terlampau malas menciptakan konflik rumit. 

Tak pelak, kekuatan utama Deadpool 2 berada pada materi ngelabanya yang harus diakui cerdas dan kreatif. Ini masih belum ditambah dengan lelucon yang dikembangkan dari situasi-situasi yang berlangsung di sepanjang durasi. Saya juga tidak akan menyebutkannya satu demi satu karena lelucon merupakan bagian dari kejutan yang dimiliki oleh Deadpool 2. Hitung-hitung sebagai bentuk kompensasi atas jalinan kisah yang cenderung lurus-lurus saja, minim kelokan yang digemari sebagian penonton. Leitch mengombinasikan banyolan-banyolan dengan hidangan laga yang lebih gahar (plus sadis) dibandingkan film pertama. Menilik fakta bahwa Deadpool 2 tidak digelontori bujet sejor-joran Avengers: Infinity War, maka sebaiknya hempaskan bayangan adegan laganya bakalan segegap gempita film tersebut. Sebagian diantaranya memang tidak menawarkan pembaharuan (kamu telah melihatnya beberapa kali di film laga), tapi Leitch sanggup meniupkan excitement kedalamnya sehingga tak peduli seberapa pun seringnya kamu menjumpai adegan ini, tetap ada kesenangan tersendiri kala menyaksikannya. Malah, Deadpool 2 mempunyai momen klimaks membekas (sayangnya tak ada guyonan merujuk ke Carrie (1976)!) yang turut mengonfirmasi pelabelan ‘film keluarga’ oleh Deadpool di permulaan film – sekadar info, film pertama disebut ‘film percintaan’. Tentu ini bukan memiliki makna bahwa si pembuat film mempersilahkan penonton-penonton cilik memenuhi gedung bioskop, melainkan menunjukkan bahwa si pahlawan bermulut kotor ini tak lagi berjuang sendirian. Dia menjalin pertemanan dengan karakter-karakter baru yang mengisi kekosongan hatinya.


Pertemanan ini memungkinkan Deadpool 2 untuk menghadirkan sederet momen mengharu biru yang menghangatkan hati. Tidak semuanya bekerja dengan baik – ada kalanya diruntuhkan oleh guyonannya sendiri – seperti persahabatan Deadpool dan Russell yang tak segreget perkiraan, tapi paling tidak masih ada senyum mengembang di penghujung film ketika kita melihat sejauh mana Wade Wilson telah berkembang sebagai seorang manusia. Ryan Reynolds mampu menangani momen dramatik seiring bergejolaknya batin Wade seapik dia menangani momen komedik yang mengharuskannya melontarkan nyinyiran secara cepat seraya bertingkah nyeleneh. Chemistry yang dibangunnya bersama Julian Dennison berlangsung cukup baik, sementara pemeran-pemeran pendukung mampu mengimbangi performa ciamik dari Reynolds. Zazie Beetz mencuri perhatian sebagai Domino yang keberuntungannya tak pernah habis, Karan Soni sebagai Dopinder yang memiliki obsesi menjalani misi bersama Deadpool, dan Josh Brolin menunjukkan sisi rapuh dari Cable dibalik tampilan fisiknya yang sangar. Disamping kombinasi mulus antara banyolan, laga, beserta performa pemain, elemen lain yang membantu menciptakan kesenangan dalam Deadpool 2 adalah pilihan lagu pengiring di setiap adegannya. Bukan lagu-lagu beraliran rap, metal, atau rock yang menghentak-hentak melainkan tembang-tembang lembut dengan sisi emosional tinggi yang mungkin tak pernah terbayangkan akan menghiasi film superhero ‘ngaco’ semacam ini. Tembang-tembang tersebut antara lain ‘Take on Me’ milik A-Ha, ‘We Belong’ oleh Pat Benatar, ‘All Out of Love’-nya Air Supply, ‘Tomorrow’ dari drama musikal Annie (1977), sampai lagu tema film ini, ‘Ashes’, yang dibawakan Celine Dion bak lagu tema dari James Bond. Gokil!

Note : 1) Jangan terburu-buru tinggalkan gedung bioskop karena ada dua adegan bonus yang sangat layak buat dinanti. Keduanya terletak di sela-sela credit title jadi kamu tidak perlu menunggu terlalu lama.
2) Pastikan kamu menuntaskan urusan belakang sebelum film dimulai karena salah satu poin kejutan Deadpool 2 terletak pada cameo. Kemunculannya sangat cepat sehingga jika kamu keluar atau terlalu sibuk mengecek ponsel saat menonton, hampir bisa dipastikan akan terlewat. Blink, and you'll miss it

Outstanding (4/5)


REVIEW : PERFECT STRANGERS (2016)

REVIEW : PERFECT STRANGERS (2016)


“We have everything in here (mobile phone). It’s the black box of our lives. How many couples would split up if they saw each other’s phones?” 

Tanyakan kepada dirimu sendiri: seberapa jauh kamu mengenal orang-orang yang kamu sebut sebagai sahabat, kekasih, maupun suami/istri? Apakah kamu benar-benar yakin bahwa mereka bisa sepenuhnya dipercaya? Benarkah tidak ada rahasia beracun yang disembunyikan rapat-rapat oleh mereka darimu? Bagaimana kalau ternyata mereka sejatinya tidak lebih dari orang asing yang kebetulan saja mendapat sebutan ‘sahabat, kekasih, maupun suami/istri’? Hmmm. Pertanyaan-pertanyaan ‘baper’ yang bisa jadi sempat menggelayuti pikiran kita ini menjadi landasan utama bagi Paolo Genovese untuk menghasilkan film layar lebar terbarunya yang bertajuk Perfect Strangers (dalam bahasa Italia berjudul Perfetti sconosciuti). Paolo bersama empat rekannya memformulasikan sederet pertanyaan tersebut ke dalam skrip yang lantas diejawantahkannya menjadi bahasa gambar. Demi membuatnya terasa kian menggigit, si pembuat film menyelubunginya dengan komentar sosial terkait dampak negatif dari kemajuan teknologi. Dampak negatif yang dijlentrehkan Paolo melalui Perfect Strangers adalah bagaimana teknologi telah merenggut habis privasi masyarakat modern melalui aplikasi maupun situs pertemanan (ironis!) dan mampu menjelma sebagai bahaya laten bagi hubungan antar manusia apabila tidak dipergunakan secara bijak. Dramaaaaaa! 

Guliran penceritaan Perfect Strangers mempertemukan penonton dengan tujuh sahabat lama yang konfigurasinya terdiri atas tiga pasangan menikah dan satu duda. Pasangan pertama adalah Lele (Valerio Mastandrea) dan Carlotta (Anna Foglietta) yang tidak lagi saling berkomunikasi secara intens. Pasangan kedua adalah pengantin baru, Cosimo (Edoardo Leo) dan Bianca (Alba Rohrwacher), yang gairah seksual keduanya masih menggebu-nggebu. Pasangan ketiga adalah Rocco (Marco Giallini) dan Eva (Kasia Smutniak) yang menapaki fase sebagai orang tua dari seorang remaja. Sementara sang duda adalah Peppe (Giuseppe Battiston) yang telah memiliki kekasih baru. Ketujuh sahabat ini berkumpul dalam sebuah jamuan makan malam yang dihelat di apartemen milik Rocco dan Eva. Mengingat mereka telah cukup lama tidak saling bersua, maka setumpuk obrolan dengan berbagai topik yang amat acak pun terus mencuat sampai akhirnya Eva memutuskan untuk membuat sebuah permainan menarik sekaligus ‘berbahaya’. Eva meminta setiap personil yang hadir untuk meletakkan ponsel cerdas masing-masing di atas meja makan lalu membiarkan seluruh pesan atau telepon yang masuk ke ponsel mereka diketahui oleh semuanya, tanpa terkecuali. Mulanya, permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini berlangsung menyenangkan. Namun saat rahasia-rahasia besar mulai terungkap, kesenangan tersebut berubah menjadi tragedi yang seketika menggoyahkan ikatan pernikahan dan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun. 



Perfect Strangers mengawali penceritaan dengan sekelumit babak introduksi yang menyoroti persiapan tiga pasangan sebelum menghadiri jamuan makan malam (Peppe baru diperkenalkan di lokasi acara). Tidak mendalam, tapi cukup untuk memberi kita gambaran mengenai hubungan yang terjalin diantara mereka; Lele-Carlotta dingin, Cosimo-Bianca menggelora, sementara Rocco-Eva cenderung berada di tengah-tengah. Begitu beranjak ke apartemen Rocco dan Eva yang akan menjadi panggung utama berlangsungnya ‘pertempuran’ sepanjang sisa durasi, Paolo lantas menyodori penonton dengan tek tokan remeh temeh antar sahabat yang berfungsi untuk menegaskan relasi ketujuh manusia ini sekaligus untuk menggelitik saraf tawa penonton. Dari obrolan-obrolan ini, kita pun menyadari bahwa guliran kisah Perfect Strangers bergantung sepenuhnya pada kekuatan dialog yang dikreasi oleh lima penulis naskah. Apabila materi pembicaraannya lembek, lalu chemistry antar pelakon tak bertenaga, dan penyuntingan kurang lincah, Perfect Strangers jelas berada dalam masalah besar. Beruntungnya apa yang terjadi justru sebaliknya. Obrolan ringan yang menghiasi belasan menit awal sedikit demi sedikit mengalami eskalasi, utamanya usai Eva memutuskan untuk memberikan bumbu pedas pada malam reuni kecil-kecilan ini. Disamping agar makan malam bersama ini terasa hidup (tentu tak akan ada tamu yang sibuk dengan ponselnya sendiri), tujuan Eva mencetuskan permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini adalah mengetes kejujuran – meski sejatinya telah melanggar privasi. Dia menantang, “jika memang tidak ada yang disembunyikan, kenapa harus takut?” 

Tentu saja, Paolo tidak membiarkan pesan atau telepon yang masuk ke ponsel para karakter berada di taraf aman. Kalau sebatas berhubungan dengan bisnis maupun panggilan dari kerabat atau sahabat, dimana asyiknya? Mesti ada ketegangan dong! Maka dari itu, si pembuat film menyelipkan rahasia pada masing-masing karakter. Tingkatannya beragam, ada yang biasa-biasa saja, sedang-sedang saja, sampai parah sekali yang seketika menciptakan ledakan hebat di meja makan dan memberi penonton suatu tontonan yang menarik – momen terbaik adalah ketika dua tamu bertukar ponsel yang tanpa disangka-sangka malah bikin geger karena dua pesan sederhana. Tidak ada yang terbebas dari konflik, tidak ada putih bersih di sini. Ketika kamu mengira bahwa satu persoalan telah cukup menggegerkan, tunggu sampai kamu mendengar rahasia lain yang siap diungkapkan. Yang jelas, Paolo tidak akan membiarkanmu terserang jenuh sampai jatuh terlelap di pertengahan durasi karena kolaborasinya bersama para penulis naskah yang mengkreasi dialog-dialog cepat nan tajam, penyunting gambar yang cekatan dalam menyusun ritme film, serta pemain ansambel dengan chemistry menyengat, memungkinkan Perfect Strangers untuk memiliki cita rasa mencekam dan mencengkram dari menit ke menit. Itulah mengapa menyaksikan Perfect Strangers yang dijual sebagai tontonan satir ini tak ubahnya menonton sebuah gelaran thriller. Kamu tidak akan rela memalingkan muka barang sejenak dari layar karena setiap percakapan yang meluncur dari mulut para karakter adalah kunci. 



Kunci yang akan menuntun para karakter untuk mengetahui ‘kebenaran beracun’ yang telah tersembunyi selama bertahun-tahun. Kunci yang akan melepaskan topeng yang selama ini dikenakan oleh tujuh manusia yang mengaku dirinya sebagai sahabat dan pasangan yang bisa dipercaya. Kunci yang akan membawa mereka pada keputusan penting; apakah hubungan (persahabatan dan pernikahan) penuh kepalsuan ini layak dipertahankan? Kunci yang akan mengusik pemikiran penonton dengan suatu pilihan; apakah kebenaran ini perlu dibeberkan sekalipun berpotensi merusak hubungan atau lebih baik disimpan erat-erat demi menjaga keutuhan hubungan sekalipun ini berarti ada ketidakjujuran? Dan kunci yang akan membuat kita bertanya-tanya; apakah kemajuan teknologi ini benar-benar telah membuat manusia tidak lagi peduli dengan privasi?

Outstanding (4/5)
REVIEW : TULLY

REVIEW : TULLY


“You’re convinced that you’re this failure, but you actually made your biggest dream come true.” 

Tully, suguhan terbaru dari Jason Reitman yang sekali lagi berkolaborasi dengan penulis naskah Diablo Cody usai Juno (2007) dan Young Adult (2011) yang amat mengesankan, dipersembahkan secara khusus untuk para ibu. Teruntuk para ibu yang mendedikasikan seluruh waktunya untuk mengasuh anak tanpa bala bantuan dari pengasuh anak bersertifikat. Teruntuk para ibu yang rela berjuang seorang diri dalam mengurus anak tanpa (atau minim) uluran tangan dari suami. Dan, teruntuk para ibu yang ikhlas seluruh mimpinya di masa muda terkubur dalam-dalam demi memastikan mimpi sang anak dapat tercapai. Tully tidak ubahnya sebuah surat cinta dari Reitman beserta Cody untuk para ibu di luar sana yang telah berjuang sepenuh tenaga demi memastikan anak-anak mereka memperoleh kehidupan yang layak. Menengok materi pembahasannya yang berjibaku dengan perjuangan seorang ibu, mudah untuk mengira bahwa film ini akan dikemas bak melodrama yang dipenuhi ratapan atau tangis haru. Kalaupun tidak, ya sarat letupan-letupan emosi dan dialog-dialog sinis khas Cody. Akan tetapi, alih-alih melantunkan kisah dengan pendekatan-pendekatan tersebut, Tully justru memilih untuk berbincang-bincang secara kalem. Ini seperti seorang sahabat yang menceritakan pengalaman-pengalaman serunya sebagai seorang ibu kepada sahabat terdekatnya seraya menyeruput teh di teras rumah pada sore hari yang cerah. Terdengar intim, jujur, tetapi juga lucu. 

Guliran penceritaan yang ditawarkan oleh Tully pun tidak rumit-rumit gimanaaaa gitu, malah cenderung sederhana. Fokusnya terletak pada seorang ibu bernama Marlo (Charlize Theron) yang telah dikaruniai dua buah hati dan kini sedang gelisah menanti lahirnya anak ketiga. Kegelisahan ini bukannya tanpa alasan karena Marlo sendiri sejatinya tidak mengantisipasi dirinya akan kembali hamil. Terlebih, si bungsu Jonah (Asher Miles Fallica) yang menunjukkan tanda-tanda mengidap autisme membutuhkan perhatian khusus dari Marlo dan sang suami, Drew (Ron Livingston), terlalu letih dengan rutinitasnya di kantor sehingga tidak memberi banyak bantuan terkait urusan rumah tangga. Tapi bagaimanapun, kehamilan itu terjadi dan dia pun melahirkan anak ketiga. Pada mulanya Marlo berniat mengurus kebutuhan si kecil dan krucil-krucil lainnya seorang diri sekalipun saudaranya, Craig (Mark Duplass), menunjukkan iktikad baik untuk membantu. Namun seiring berjalannya waktu, Marlo yang tidak lagi bisa tidur dengan nyenyak di malam hari perlahan tapi pasti mulai kewalahan sampai kemudian memutuskan untuk meminta bantuan pada night nanny seperti disarankan oleh Craig. Kehadiran night nanny bernama Tully (Mackenzie Davis) ini seketika mengubah kehidupan Marlo yang sebelumnya awut-awutan. Rumahnya bersih dari kotoran, dia bisa tidur dengan nyenyak, memasak untuk seluruh anggota keluarga, serta memuaskan Drew di ranjang. Berkat bantuan Tully, Marlo seperti menemukan gairah baru untuk menjalani hidup sebagai seorang manusia, seorang istri, dan seorang ibu.


Selepas menyaksikan Tully, ada satu perasaan ajaib yang mengemuka sehingga membutuhkan waktu bagi saya selama beberapa saat untuk akhirnya berhenti memandangi layar bioskop yang telah menggulirkan credit title, lalu beranjak dari kursi bioskop, dan melenggang pergi meninggalkan gedung pemutaran. Perasaan itu memunculkan kehangatan di hati. Membuat saya ingin memeluk diri sendiri serta (tentunya) ibu di rumah. Sungguh film yang sangat indah. Betapa tidak, melalui Tully, Reitman dan Cody kembali mengingatkan penonton betapa besarnya perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh para ibu agar anak-anaknya mendapatkan kehidupan yang layak. Tully tidak menceramahi penonton dengan setumpuk dialog-dialog pengobar semangat yang dirangkai puitis atau dramatisasi berlebihan yang memperlihatkan kehebatan seorang ibu. Yang dilakukannya semata-mata menyoroti rutinitas harian Marlo yang tidak jauh-jauh dari menyusui, mengganti popok, terbangun di tengah malam, mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, menghadapi keluhan pihak sekolah mengenai perilaku putranya yang dianggap ‘unik’, mendengarkan rajukan atau tangisan yang bikin gendang telinga pengang, membereskan cucian seraya mengawasi anak, tertidur di sofa pada siang bolong karena kelelahan, menyiapkan makan malam, dan siklus ini terus berulang selama berbulan-bulan (bahkan bertahun-tahun) lamanya. Serentetan aktivitas yang pastinya akan membuat para orang tua terkekeh-kekeh seraya berujar, “saya pernah berada di fase itu!,” dan menumbuhkan empati kepada para ibu dalam diri mereka yang belum mengalami fase menimang-nimang bayi. 

Mengingat Cody menulis naskah Tully tatkala dia baru saja melahirkan anak ketiga, maka bukan sesuatu yang mengherankan jika dia memahami betul pergulatan yang dialami oleh Marlo. Dibantu oleh Reitman yang mempunyai kepekaan tinggi, keduanya memberi penggambaran yang realistis mengenai keseharian seorang ibu dalam menyambut datangnya bayi baru. Agar tidak terasa menjemukan, humor ditaburkan disana sini yang tidak sedikit diantaranya membuat tawa saya meledak di dalam bioskop. Perihal meramu dialog tajam dan guyonan sinis, Cody memang jago. Sensitivitas naskah dan pengarahan dalam Tully ini beruntung sekali memperoleh sokongan yang sangat baik dari jajaran pemainnya, terutama Charlize Theron yang totalitasnya berperan bisa kalian tengok melalui transformasi fisiknya: berat badannya menjulang tinggi hingga tubuhnya terlihat seperti kumpulan lemak. Maka begitu putrinya bertanya, “apa yang terjadi dengan tubuhmu, Bu?,” penonton tidak sukar diyakinkan apa yang memantik pertanyaan tersebut. Performa Theron yang ciamik membuat kita dapat menyematkan empati kepada Marlo yang digambarkan tak ubahnya emak-emak kebanyakan. Terlampau fokus pada tiga buah hatinya, Marlo tidak memiliki waktu untuk mengurus diri sendiri sampai kemudian Tully mengetuk pintu rumahnya dan memberinya kesempatan membenahi hidup. Theron menjalin chemistry menyengat bersama Mackenzie Davis yang gairah mudanya meletup-letup. Interaksi keduanya terasa nyata dan mengalir sampai-sampai muncul keinginan untuk bergabung dengan klub kecil ini. Saking nyamannya bersama mereka, saya tidak rela untuk berpisah dengan Marlo maupun Tully kala film telah mencapai detik terakhir. Ah, andai saja Tully memiliki durasi lebih panjang!

Outstanding (4/5)