Tampilkan postingan dengan label Comic. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Comic. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : AVENGERS: INFINITY WAR

REVIEW : AVENGERS: INFINITY WAR


“The entire time I knew him, he only ever had one goal. To wipe out half the universe. If he gets all the Infinity Stones, he can do it with the snap of his fingers. Just like that.” 

Pertempuran terakbar di sejarah perfilman dunia dalam satu dekade terakhir telah tiba. Para pahlawan dengan kekuatan adidaya milik Marvel Studios yang pertama kali bahu membahu menyelamatkan dunia (atau New York?) dari kegilaan Loki melalui The Avengers (2012), lalu bereuni dalam Avengers: Age of Ultron (2015) tatkala mereka mendapat tugas dinas bersama di Sokovia yang terancam hancur lebur dari serangan Ultron, dan sempat pecah kongsi karena perbedaan ideologi di Captain America: Civil War (2016), akhirnya memperoleh perlawanan yang tidak lagi bisa dipandang sebelah mata lewat Avengers: Infinity War yang merupakan film ke-19 dalam rangkaian Marvel Cinematic Universe (MCU). Ya, di perayaan menapaki usia ke-10 sejak MCU pertama kali diperkenalkan dalam Iron Man (2008) ini, pertaruhannya benar-benar nyata dan berada di tingkatan sangat tinggi. Betapa tidak, para anggota Avengers kini mesti menghadapi Thanos yang digadang-gadang sebagai supervillain yang amat sulit untuk ditaklukkan. Dibandingkan dengan Thanos, Loki dan Ultron tidak lebih dari sebatas remah-remah renggingang. Dia mengoleksi enam batu akik, eh maksud saya, Batu Keabadian alias Infinity Stones, yang memungkinkannya untuk menguasai jagat raya dengan mudah semudah menjentikkan jari. Berbekal batu-batu tersebut, si Mad Titan ini akan melenyapkan separuh dari populasi galaksi yang dianggapnya telah berkontribusi terhadap kekacauan alam semesta sehingga suatu keseimbangan dapat dicapai. Gila, kan? 

Gila memang satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan Avengers: Infinity War disamping ambisius serta epik. Duo sutradara Anthony dan Joe Russo (Captain America: The Winter Soldier, Captain America: Civil War) memastikan bahwa penantian khalayak ramai selama satu dekade tidaklah sia-sia. Mereka berupaya untuk mengkreasi Avengers: Infinity War sebagai sebuah pemuncak yang layak dikenang dan lebih gegap gempita dibandingkan dengan dua predesesornya. Salah satu caranya adalah dalam penceritaan yang merentang panjang hingga 149 menit, duo ini tidak mempersilahkan para penonton untuk memalingkan muka barang sejenak dari layar bioskop maupun mengambil jeda satu dua menit untuk ngacir ke toilet demi menuntaskan panggilan alam. Ya bagaimana bisa melepaskan atensi saat film telah mencengkram perhatian secara erat sedari menit pertama. Russo bersaudara yang mengejawantahkan naskah kreasi Christopher Markus dan Stephen McFeely ini tidak banyak berbasa-basi kala memulai alunan penceritaan dari Avengers: Infinity War. Mereka seketika menempatkan kita dalam situasi mendebarkan yang merupakan kelanjutan dari adegan bonus di Thor: Ragnarok (2017) yang memperlihatkan nasib para pengungsi Asgard selepas para penumpang dari sebuah kapal ruang angkasa misterius dengan ukuran raksasa tiba-tiba menyantroni kapal mereka. Kita mengetahui bahwa salah satu penumpang kapal tersebut adalah Thanos (Josh Brolin) dan kita mengetahui bahwa Batu Keabadian koleksinya telah bertambah.


Itu artinya, alam semesta tengah terancam bahaya. Bruce Banner (Mark Ruffalo) yang kebetulan menjadi saksi mata kala Thanos merebut Space Stone dari genggaman Thor (Chris Hemsworth) seketika mengabarkan ke bumi bahwa ada ancaman besar yang segera datang dalam wujud Thanos beserta kroni-kroninya yang dikenal dengan sebutan Black Order. Saya tidak perlu menjabarkan proses bersatunya kembali para anggota inti Avengers seperti Tony Stark (Robert Downey Jr.), Steve Rogers (Chris Evans), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), Rhodey (Don Cheadle), Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen), Vision (Paul Bettany), serta Sam Wilson (Anthony Mackie) secara detil karena akan sedikit merusak kesenangan dalam menyaksikan Avengers: Infinity War. Yang jelas, mereka berkenan menyingirkan ego masing-masing dan memutuskan untuk bersatu sekali lagi lantaran dihadapkan pada satu musuh besar yang sama, yakni Thanos. Mengingat sang lawan sama sekali tidak bisa diremehkan – terlebih lagi jika dia sudah berhasil mengumpulkan keenam Batu Keabadian secara komplit – maka bala bantuan pun dibutuhkan oleh para personil Avengers yang sekali ini berasal dari Stephen Strange si penyihir (Benedict Cumberbatch), Peter Parker si remaja laba-laba (Tom Holland), T’Challa si Raja Wakanda (Chadwick Boseman), Bucky Barnes (Sebastian Stan) yang merupakan sohib kental Steve Rogers, sampai para bandit galaksi berhati mulia dari dwilogi Guardians of the Galaxy yang salah satu anggotanya memiliki keterkaitan secara langsung dengan Thanos. 

Semenjak adegan pembuka yang membuat diri ini terhenyak, daya cengkram memang tidak pernah sedikitpun mengendur sampai Avengers: Infinity War benar-benar mengakhiri gelarannya. Film ini memenuhi segala ekspektasi yang disematkan untuknya. Sepanjang durasi merentang, si pembuat film mengisinya dengan serentetan sekuens laga bombastis, humor yang efektif mengocok perut, serta momen emosional yang membuat mata sembab, yang menjadikan perjalanan panjang selama 2,5 jam terasa berlangsung dengan begitu cepat sampai-sampai kita tidak menyadari bahwa film telah tutup durasi. Seperti telah saya singgung di dua paragraf sebelumnya, mengalihkan pandangan dari layar dan melenggang ke toilet di sela-sela rangkaian konfrontasi adalah suatu hal yang hampir mustahil dilakukan selama menyaksikan Avengers: Infinity War. Ini tentu saja terdengar hiperbolis, tapi setidaknya begitulah situasi di bioskop tempat saya menyaksikan reuni para pahlawan bertubuh atletis ini. Penonton duduk anteng menyaksikan intrik yang menggeliat dalam film (jika ada suara tak diinginkan, akan terdengar ‘sssttt’ berjamaah), lalu gregetan dan harap-harap cemas ketika pertarungan antara Avengers melawan Black Order maupun Thanos mulai berlangsung, kemudian tertawa terbahak-bahak begitu mendengar celetukan atau tindakan kocak para karakter (favoritku secara personal: tatapan Okoye (Danai Gurira) saat melihat Hulkbuster terjerembab di medan tempur. Priceless!), sampai akhirnya menyeka air mata yang tidak nyana-nyana bakal mengalir di beberapa titik. Epik! 


Keberhasilan Russo bersaudara dalam melibatkan emosi penonton ini tentu berkat kombinasi dari pengarahan, naskah, elemen teknis (efek visualnya jempolan!), serta performa pemeran yang bekerja secara semestinya. Saat hendak menyaksikan Avengers: Infinity War, ada satu pertanyaan yang pastinya mencuat di benak sebagian penonton. Pertanyaan tersebut berbunyi, “bagaimana cara si pembuat film memberi mereka jatah tampil yang layak sementara jumlah mereka sangat banyak?.” Tidak bisa dipungkiri memang ada kekhawatiran bahwa beberapa pahlawan kesayangan kita akan terpinggirkan porsinya mengingat durasi film begitu terbatas sementara ada lusinan superhero dan satu penjahat besar yang mengambil peran. Namun kekhawatiran tersebut lenyap tak bersisa usai film menjalankan penceritaannya secara resmi. Pengarahan beserta naskah yang solid ditunjang oleh penyuntingan rapi dan akting jajaran pemain yang apik memungkinkan setiap karakter memiliki kesempatan untuk bersinar sekaligus berkontribusi nyata terhadap penceritaan termasuk pendatang baru macam Stephen Strange beserta para penjaga galaksi dan sang supervillain, Thanos, yang tak saja intimidatif tetapi juga menyimpan kompleksitas pada karakternya (dia bukanlah penjahat satu dimensi dengan motif dangkal) sehingga membuat kita berada di posisi serba salah; kita membencinya karena destruksi yang diciptakannya dan di saat bersamaan kita bersimpati kepadanya karena dibalik perangainya yang bengis, dia masih memiliki hati. 

Bagusnya, para karakter yang jumlahnya bejibun ini dimunculkan karena mereka memang dibutuhkan untuk menggerakkan kisah, bukan sebatas untuk memeriahkan film semata. Demi menegaskan peranan masing-masing, film berjalan sedikit pelan di paruh pertama – itupun sudah sarat laga dan humor jadi tak ada kesempatan untuk menguap. Ketika job description telah dipaparkan dengan jelas, Avengers: Infinity War seketika lepas landas di satu jam terakhir yang bersinonim erat dengan ‘kegilaan’. Pertaruhannya meningkat diikuti dengan pertempuran yang keseruannya mengalami eskalasi dan tonjokkan pada sisi emosi. Selepas film berakhir kita memang tidak akan langsung bertepuk tangan (momen itu telah muncul di adegan ‘kembalinya Thor’ yang disambut sorak sorai), tetapi muncul satu perasaan yang membuat kita pada perenungan. Memandang ke layar bioskop yang telah kosong seraya berusaha mencerna tontonan yang baru saja kita saksikan. Bahkan perasaan ini masih menghinggapi hingga beberapa jam kemudian. Sebuah perasaan yang hanya bisa muncul saat film yang baru saja kita saksikan telah meninggalkan impak yang sangat kuat pada emosi. 


Note : Avengers: Infinity War hanya memiliki satu adegan bonus di penghujung durasi, tapi penting untuk disimak.

Outstanding (4,5/5)
REVIEW : DEADPOOL 2

REVIEW : DEADPOOL 2


“You're no hero. You're just a clown, dressed up like a sex toy.” 
“So dark. You sure you're not from the DC universe?” 

Ditengah-tengah riuhnya film superhero yang menjunjung tinggi kebajikan, Deadpool (2016) yang diproduksi oleh 20th Century Fox berdasarkan komik berseri terbitan Marvel Comics menawarkan sebuah alternatif yang nyeleneh. Dia menjadi antitesis dari para pahlawan yang tergabung dalam Marvel Cinematic Universe berkat tutur kata dan tindakannya yang tak mengenal kompromi. Menerabas habis batasan-batasan rating yang biasanya membelenggu kreativitas dari film sejenis. Mengingat film ini dijual sebagai tontonan dewasa (jangan bilang belum diperingatkan, wahai para orang tua tukang ngeluh!), sang superhero dengan kostum ketat berwarna merah pekat ini pun mendapat keleluasaan dari pihak studio untuk menghabisi lawan-lawannya menggunakan cara yang berdarah-darah, berasyik masyuk dengan perempuan pujaannya, sampai melontarkan nyinyiran pedas penuh dengan referensi ke budaya populer yang tidak sedikit diantaranya mencakup F-word. Komponen-komponen yang amat sangat jarang dijumpai di film superhero belakangan ini, bukan? Pendekatannya yang berani ditambah gaya tuturnya yang nyentrik – merobohkan dinding keempat (berinteraksi dengan penonton) – ini menjadi sebuah kejutan manis sekaligus membuat Deadpool tampil menjulang. Tidak mengherankan jika kemudian sekuelnya yang bertajuk Deadpool 2 kembali mengaplikasikan formula yang terbukti berhasil ini meski tentunya bakal mengundang satu pertanyaan besar; akankah sensasi yang diberikannya kepada penonton masih sama seperti predesesornya? 

Berlatar dua tahun selepas peristiwa di film pertama, Wade Wilson (Ryan Reynolds) digambarkan telah menikmati kehidupannya sebagai pahlawan pembasmi kejahatan bernama Deadpool. Hubungannya dengan Vanessa (Morena Baccarin) pun kian mesra, bahkan keduanya telah berencana untuk memiliki momongan. Jika segalanya berjalan sesuai rencana seperti ini, lalu apa pemantik konflik dalam Deadpool 2 yang membuat penonton tertarik mengikuti guliran penceritaannya? Demi menghindari spoiler – saya peduli dengan kenyamanan kalian semua, para pembaca yang budiman! – rasa-rasanya tak perlu menjlentrehkan secara detil apa yang kemudian terjadi. Yang jelas, menginjak menit belasan, Deadpool mengalami goncangan hebat dalam hidupnya sampai-sampai mendorong Colossus (Stefan Kapičić) untuk turun tangan dan menyeretnya ke markas X-Men. Pertemuannya dengan para anggota X-Men yang sebagian besar diantaranya tidak terkenal (menurut si karakter tituler yang tak tahu sopan santun ini, tentu saja) perlahan tapi pasti membuat Deadpool menemukan kembali tujuan hidupnya. Bersama dengan sejumlah karakter baru, salah satunya adalah Domino (Zazie Beetz) yang kekuatan utamanya adalah ‘keberuntungan’, Deadpool membentuk kelompok superhero bernama X-Force. Misi besar yang mereka jalankan yakni menyelamatkan seorang mutan remaja bernama Russell (Julian Dennison) yang memiliki kekuatan dalam menyulut api dari mutan penjelajah waktu, Cable (Josh Brolin yang juga memerankan Thanos di Avengers: Infinity War), yang berniat untuk mencabut nyawanya. 



Tidak ada perubahan signifikan yang bisa dijumpai dalam Deadpool 2 sekalipun kursi penyutradaraan kini bergeser ke David Leitch (John Wick, Atomic Blonde). Leitch bersama dengan tiga penulis skrip memahami betul, tidak ada gunanya memperbaiki sesuatu yang tidak rusak. Oleh karena itu, Deadpool 2 dihidangkan sesuai dengan ekspektasi penonton yang telah menyaksikan jilid pertamanya; kekerasannya berada di level ‘pedas’, humornya yang nakal banyak mencuplik referensi ke budaya populer. Walau unsur kejutannya tak lagi besar, sensasi yang disalurkan kepada penonton kurang lebih masihlah sama. Deadpool 2 tetaplah sebuah sajian eskapisme gila-gilaan yang menghibur. Demi memenuhi aturan tidak tertulis untuk sekuel, cakupan skalanya pun sekali ini ditingkatkan. Si pembuat film mengkreasi lebih banyak laga di seri ini – dimulai dari menit pembuka yang membangkitkan semangat sampai klimaks yang lebih menggigit – begitu pula dengan lawakan-lawakan khas Deadpool yang makin tak terkontrol dan kian bejibun. Semuanya menjadi sasaran empuk nyinyirannya, terlebih jika namamu terafiliasi dengan semesta yang diciptakan oleh Marvel Cinematic Universe atau DC Extended Universe. Deadpool menyentil para personil Avengers sekaligus mencibir DC (duo Martha yang ikonik tentu tak terlewatkan). Dia juga tidak ragu-ragu mempertanyakan orisinalitas lagu ‘Do You Want to Build a Snowman?’ dari Frozen (2013), kebingungan dengan penulisan nama Kirsten Dunst yang benar (saya memahamimu, Deadpool!), mengeluhkan keputusan Logan (2017) untuk ikut-ikutan menjadi film superhero dewasa, menghujat karir aktor berkebangsaan Kanada bernama Ryan Reynolds (!), hingga paling meta: mengkritisi penulis skrip Deadpool 2 yang terlampau malas menciptakan konflik rumit. 

Tak pelak, kekuatan utama Deadpool 2 berada pada materi ngelabanya yang harus diakui cerdas dan kreatif. Ini masih belum ditambah dengan lelucon yang dikembangkan dari situasi-situasi yang berlangsung di sepanjang durasi. Saya juga tidak akan menyebutkannya satu demi satu karena lelucon merupakan bagian dari kejutan yang dimiliki oleh Deadpool 2. Hitung-hitung sebagai bentuk kompensasi atas jalinan kisah yang cenderung lurus-lurus saja, minim kelokan yang digemari sebagian penonton. Leitch mengombinasikan banyolan-banyolan dengan hidangan laga yang lebih gahar (plus sadis) dibandingkan film pertama. Menilik fakta bahwa Deadpool 2 tidak digelontori bujet sejor-joran Avengers: Infinity War, maka sebaiknya hempaskan bayangan adegan laganya bakalan segegap gempita film tersebut. Sebagian diantaranya memang tidak menawarkan pembaharuan (kamu telah melihatnya beberapa kali di film laga), tapi Leitch sanggup meniupkan excitement kedalamnya sehingga tak peduli seberapa pun seringnya kamu menjumpai adegan ini, tetap ada kesenangan tersendiri kala menyaksikannya. Malah, Deadpool 2 mempunyai momen klimaks membekas (sayangnya tak ada guyonan merujuk ke Carrie (1976)!) yang turut mengonfirmasi pelabelan ‘film keluarga’ oleh Deadpool di permulaan film – sekadar info, film pertama disebut ‘film percintaan’. Tentu ini bukan memiliki makna bahwa si pembuat film mempersilahkan penonton-penonton cilik memenuhi gedung bioskop, melainkan menunjukkan bahwa si pahlawan bermulut kotor ini tak lagi berjuang sendirian. Dia menjalin pertemanan dengan karakter-karakter baru yang mengisi kekosongan hatinya.


Pertemanan ini memungkinkan Deadpool 2 untuk menghadirkan sederet momen mengharu biru yang menghangatkan hati. Tidak semuanya bekerja dengan baik – ada kalanya diruntuhkan oleh guyonannya sendiri – seperti persahabatan Deadpool dan Russell yang tak segreget perkiraan, tapi paling tidak masih ada senyum mengembang di penghujung film ketika kita melihat sejauh mana Wade Wilson telah berkembang sebagai seorang manusia. Ryan Reynolds mampu menangani momen dramatik seiring bergejolaknya batin Wade seapik dia menangani momen komedik yang mengharuskannya melontarkan nyinyiran secara cepat seraya bertingkah nyeleneh. Chemistry yang dibangunnya bersama Julian Dennison berlangsung cukup baik, sementara pemeran-pemeran pendukung mampu mengimbangi performa ciamik dari Reynolds. Zazie Beetz mencuri perhatian sebagai Domino yang keberuntungannya tak pernah habis, Karan Soni sebagai Dopinder yang memiliki obsesi menjalani misi bersama Deadpool, dan Josh Brolin menunjukkan sisi rapuh dari Cable dibalik tampilan fisiknya yang sangar. Disamping kombinasi mulus antara banyolan, laga, beserta performa pemain, elemen lain yang membantu menciptakan kesenangan dalam Deadpool 2 adalah pilihan lagu pengiring di setiap adegannya. Bukan lagu-lagu beraliran rap, metal, atau rock yang menghentak-hentak melainkan tembang-tembang lembut dengan sisi emosional tinggi yang mungkin tak pernah terbayangkan akan menghiasi film superhero ‘ngaco’ semacam ini. Tembang-tembang tersebut antara lain ‘Take on Me’ milik A-Ha, ‘We Belong’ oleh Pat Benatar, ‘All Out of Love’-nya Air Supply, ‘Tomorrow’ dari drama musikal Annie (1977), sampai lagu tema film ini, ‘Ashes’, yang dibawakan Celine Dion bak lagu tema dari James Bond. Gokil!

Note : 1) Jangan terburu-buru tinggalkan gedung bioskop karena ada dua adegan bonus yang sangat layak buat dinanti. Keduanya terletak di sela-sela credit title jadi kamu tidak perlu menunggu terlalu lama.
2) Pastikan kamu menuntaskan urusan belakang sebelum film dimulai karena salah satu poin kejutan Deadpool 2 terletak pada cameo. Kemunculannya sangat cepat sehingga jika kamu keluar atau terlalu sibuk mengecek ponsel saat menonton, hampir bisa dipastikan akan terlewat. Blink, and you'll miss it

Outstanding (4/5)


Minggu, 25 Februari 2018

REVIEW : BLACK PANTHER

REVIEW : BLACK PANTHER


“You cannot let your father’s actions define your life. You get to decide what kind of king you want to be.” 

Apabila ditengok sekilas lalu, film-film rilisan Marvel Studio memang memiliki corak seragam. Tergolong cerah ceria dengan setumpuk asupan humor dan laga yang membuatnya tampak ‘sepele’. Akan tetapi jika kita berkenan memperhatikannya lebih mendalam, film-film ini sejatinya mempunyai pendekatan berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam satu tahun terakhir saja kita telah menyaksikan bagaimana Doctor Strange (2016) menghadirkan visual bergaya psikedelik dengan konten terkait perjalanan spiritual, lalu Guardians of the Galaxy Vol. 2 (2017) yang menyisipkan banyak hati ke dalam penceritaan sehingga memunculkan momen luar biasa emosional (tanpa diduga!), dan Thor Ragnarok (2017) mengajak penonton untuk tidak terlalu serius dalam memandang tontonan eskapisme yang memang bertujuan untuk menghibur. Adanya pendekatan berbeda-beda yang membuat masing-masing judul memiliki ciri khasnya sendiri inilah yang memberi ketertarikan tersendiri terhadap superhero movies kreasi Marvel Studio. Pemantiknya berasal dari satu pertanyaan sederhana, “apa kejutan berikutnya yang akan dipersiapkan oleh mereka?” Maka begitu Black Panther yang keterlibatannya dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) pertama kali diperkenalkan melalui Captain America: Civil War (2016) diumumkan sebagai terbaru keluaran studio ini, kepenasaran dalam diri seketika membumbung. Terlebih lagi, sang sutradara, Ryan Coogler (Fruitvale Station, Creed), dan barisan pemainnya memiliki jejak rekam impresif dalam karir perfilman. 

Black Panther membuka jalinan pengisahannya dengan sekelumit narasi untuk membekali penonton dengan latar belakang Wakanda – sebuah negara fiktif di benua Afrika yang menjadi latar utama film – dan sosok Black Panther. Konon, berkat penemuan benda asing bernama Vibranium yang lantas dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk mengembangkan teknologi, negara cilik ini mampu tumbuh makmur. Demi mempertahankan kedigdayaan negara sekaligus menghindarkan Vibranium dari disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab, Wakanda memutuskan untuk mengisolasi diri sampai-sampai citra mereka di mata dunia tak lebih dari sebatas negara dunia ketiga. Usai penjabaran singkat ini yang kemudian dilanjut sebuah prolog bertemakan drama pengkhianatan berlatar tahun 1992, Black Panther secara resmi memulai penceritaannya dengan mempertemukan kita pada T’Challa (Chadwick Boseman) di masa kini. T’Challa diangkat menjadi raja baru di Wakanda sekaligus pemilik identitas baru Black Panther pasca tewasnya sang ayah dalam peristiwa pengeboman yang berlangsung di Captain America: Civil War. Pada hari-hari pertama pemerintahannya, T’Challa seketika dihadapkan pada situasi genting terkait pencurian Vibranium yang membawanya terbang ke Korea Selatan berbekal bantuan dari tiga perempuan hebat; mantan kekasihnya Nakia (Lupita Nyong’o), pengawalnya Okoye (Danai Gurira), dan adiknya Shuri (Letitia Wright). Dalam perburuannya ini, T’Challa tidak saja dihadapkan pada Killmonger (Michael B. Jordan) yang memiliki misi terselubung terhadap Wakanda tetapi juga kegamangan hati yang membuatnya mempertanyakan tentang jati dirinya sebagai seorang raja.


Tidak ada keraguan sama sekali dalam diri ini bahwa Black Panther akan mampu menjadi sebuah tontonan yang menghibur – berpatokan pada pengalaman menyaksikan film-film pahlawan berkekuatan super keluaran Marvel Studio sejauh ini. Dan memang untuk urusan membuat hati merasa bungah, tidak pula menyesali telah meluangkan waktu serta menyisihkan uang, Black Panther berhasil melakukannya. Secara mendasar, Black Panther telah memenuhi semua kriteria yang bisa kamu harapkan dari sebuah film mengenai pahlawan super yang ajib. Rentetan laga mendebarkan? Check. Guyonan-guyonan menyegarkan? Check. Sosok penjahat yang bikin gregetan (sekaligus bersimpati)? Check. Tampilan visual yang membuat mata terbelalak? Check. Guliran penceritaan sarat intrik mengikat? Check. Dan paling penting, pahlawan yang mengajak penonton untuk bersorak sorai kepadanya? Check. Ya, Ryan Coogler telah memberikan tanda centang untuk seluruh bahan utama yang diperlukan demi menghindari munculnya raut muka penuh kekecewaan dari penonton. Tidak sebatas menggugurkan kewajiban, tentu saja, Coogler juga terampil meramunya sehingga setiap komponen ini terasa padu dan nikmat buat dikudap kala disorotkan ke layar lebar. Gelaran laganya sekalipun tidak semelimpah (dan semegah) yang diperkirakan, muncul sesuai kebutuhan. Keberadaannya sanggup membuat penonton merasa terlibat yang ditandai dengan aktifitas meremas-remas kursi bioskop maupun keinginan untuk bersorak sorai. Entah dengan kalian, tapi bagi saya, pertarungan T’Challa dengan para pengincar tahta di air terjun merupakan salah satu adegan laga terbaik di Black Panther

Seperti halnya elemen tarung-tarungan yang sedikit direduksi, elemen haha-hihi dalam Black Panther juga tidak sepekat beberapa film terakhir rilisan Marvel Studio. Masih bisa dijumpai di berbagai titik, utamanya setiap kali melibatkan Shuri yang sedikit nyentrik tidak seperti anggota kerajaan lain yang cenderung formal, tapi kentara sekali si pembuat film tidak ingin mengedepankannya sebagai jualan utama dan hanya mempergunakannya tatkala dirasa urat syaraf penonton mulai mengencang. Dampak positifnya, humor yang dipergunakan dalam Black Panther terasa lebih efektif sekaligus memberi efek kejut (boom!). Dalam artian, kita tidak pernah benar-benar tahu kapan bakal dilontarkan. Ditunjang dengan penempatan waktu yang tepat, ledakannya dapat lebih maksimal dan ini terjadi beberapa kali dalam Black Panther sehingga riuh tawa terdengar menggema di dalam bioskop. Mengasyikkan, bukan? Sebagai tontonan eskapisme, Black Panther memang tidak mengecewakan. Tapi yang membuatnya terasa lebih istimewa adalah Coogler tidak semata-mata mengkreasinya menjadi sebuah sajian pelepas penat yang ringan-ringan saja. Dia menjumput sejumlah topik pembicaraan tergolong serius berkenaan dengan representasi kelompok minoritas, black power, kesetaraan jender, isolasionisme, hingga opresi lalu membubuhkannya ke dalam penceritaan secara cermat – bukan sebatas di permukaan saja. Poin lebihnya, keberadaan topik ini membuat Black Panther memiliki greget tersendiri dalam penceritaannya yang sejatinya telah dipenuhi intrik ala drama Shakespeare dan mengundang bahan diskusi panjang-panjang bersama kawan (atau dalam ruang seminar). 


Disamping barisan laga cadas, asupan humor segar, beserta guliran pengisah mengikat, sumber energi lain yang mampu membantu Black Panther berdiri kokoh adalah elemen teknisnya. Tengok saja efek visualnya yang merealisasikan Wakanda yang futuristis, kostumnya dengan detil yang kaya (ada yang mirip baju koko yes!), sinematografinya yang tak saja menyuplai gambar indah tetapi juga bergerak lincah, penyuntingannya yang dinamis, sampai iringan musiknya yang meniupkan identitas ke film baik melalui skoring dengan sentuhan etnik maupun pilihan tembang bernuansa R&B/Hip-hop. Ini masih belum ditambah kekuatan terbesar dari Black Panther yakni performa ansambel pemainnya yang mampu menghadirkan atraksi akting mengagumkan. Chadwick Boseman menunjukkan wibawa (dengan sesekali guratan keraguan) sebagai seorang raja terpilih merangkap pahlawan, Michael B. Jordan memberikan kompleksitas terhadap sosok Killmonger yang menjadikannya tidak sebatas penjahat gila yang sepatutnya kita benci, Lupita Nyong’o bersama Danai Gurira adalah dua perempuan tangguh yang akan diidolakan para gadis cilik, Letitia Wright menghadirkan tawa dalam setiap kemunculannya, Angela Bassett memberi keteduhan seorang ibu, dan Forest Whitaker memperlihatkan ambiguitas yang membuat kita menyadari bahwa karakter-karakter kunci di Black Panther berada dalam area abu-abu – tidak sepenuhnya putih, tidak pula sepenuhnya hitam. Memiliki kombinasi maut dari berbagai departemen seperti ini, tak mengherankan jika kemudian Black Panther mampu tersaji sebagai sebuah produk unggul dan menjadi kontender kuat sebagai film terbaik di tahun 2018.

Note : Black Panther memiliki dua adegan tambahan saat credit scene bergulir yang memberikan kita petunjuk mengenai The Avengers: Infinity War.

Outstanding (4/5)


Kamis, 06 Juli 2017

REVIEW : SPIDER-MAN: HOMECOMING

REVIEW : SPIDER-MAN: HOMECOMING


"I'm nothing without the suit!"
"If you're nothing without the suit, then you shouldn't have it."

Reboot lagi, reboot lagi. Mungkin begitulah tanggapan sebagian pihak tatkala mengetahui film terbaru si manusia laba-laba, Spider-Man: Homecoming, memulai guliran pengisahannya dari awal mula (lagi!) alih-alih melanjutkan apa yang tertinggal di dwilogi The Amazing Spider-Man yang juga merupakan sebuah reboot dari trilogi Spider-Man asuhan Sam Raimi. Bisa jadi tidak banyak yang tahu – kecuali kamu rajin mengikuti perkembangan berita film terkini – bahwa keputusan untuk ‘back to the start’ ini dilandasi alasan agar Spider-Man dapat melebur secara mulus (dan resmi) ke dalam linimasa Marvel Cinematic Universe (MCU). Sebelum hak pembuatan film merapat lagi ke Marvel Studios yang diumumkan pada tahun 2015 silam, segala bentuk film yang berkenaan dengan alter ego Peter Parker ini memang berada sepenuhnya di tangan Sony Pictures. Itulah mengapa kita baru benar-benar bisa melihat Spidey bergabung bersama para personil Avengers untuk pertama kalinya dalam Captain America: Civil War (2016) selepas kesepakatan kerjasama antara Sony Pictures dengan Marvel Studios sukses tercapai. Menyusul perkenalan singkat nan berkesan yang menyatakan bahwa si manusia laba-laba telah ‘pulang ke rumah’ di film sang kapten tersebut, Spidey akhirnya memperoleh kesempatan unjuk gigi lebih besar dalam film solo perdananya sebagai bagian dari MCU yang diberi tajuk Spider-Man: Homecoming

Dalam Spider-Man: Homecoming, Peter Parker (Tom Holland) dideskripsikan sebagai seorang remaja SMA berusia 15 tahun yang memiliki otak encer, penuh semangat, sekaligus masih labil. Pasca diajak berpartisipasi oleh Tony Stark (Robert Downey Jr) dalam pertempuran antar personil Avengers akibat perbedaan prinsip seperti diperlihatkan di Civil War, Peter berharap banyak dirinya dalam wujud Spider-Man akan dipercaya seutuhnya untuk menjadi bagian dari kelompok Avengers. Berbulan-bulan menanti panggilan dari Tony yang tidak kunjung datang, Peter pun memilih beraksi kecil-kecilan seorang diri di lingkungan sekitar tempat tinggalnya dengan harapan suatu saat akan menghadapi pelaku kriminal sesungguhnya. Tidak berselang lama, gayung bersambut. Peter berhasil menggagalkan aksi pembobolan ATM dari sejumlah perampok yang menggunakan senjata berkekuatan luar biasa dan berlanjut pada memergoki penjualan senjata ilegal dari pihak sama yang ternyata dikomando oleh mantan kontraktor yang menyimpan dendam kesumat pada Tony, Adrian Toomes (Michael Keaton). Dengan bantuan sang sahabat yang mengetahui jati diri Peter yang lain, Ned (Jacob Batalon), dan perlengkapan canggih hasil kreasi Tony, Peter/Spider-Man berupaya membuktikan kepada sang mentor bahwa dirinya telah memenuhi kualifikasi untuk bergabung ke dalam Avengers dengan cara menghentikan rencana besar Adrian untuk mencuri senjata berteknologi tinggi dari pemerintah.


Hanya butuh tiga huruf untuk mendeskripsikan seperti apa Spider-Man: Homecoming, yakni F-U-N. Ya, sajian rekaan Jon Watts (Clown, Cop Car) ini sanggup memberikan sebuah pengalaman sinematik yang bukan saja mengasyikkan tetapi juga memuaskan sehingga mudah untuk menempatkannya di jajaran terdepan dari film terbaik Spider-Man – menurut saya, hanya kalah dari Spider-Man 2. Guyonan yang dilontarkannya berulang kali menciptakan derai-derai tawa, sementara rentetan sekuens laga yang dikedepankannya pun amat seru. Terhitung sedari adegan Spidey melawan gerombolan Adrian Toomes di dalam bilik ATM yang menghadirkan semangat pula canda tawa, setahap demi setahap Watts mulai meningkatkan level kegentingan yang dihadapi pahlawan kita bersama ini yang membuat perjalanan selama 132 menit berlangsung tanpa terdengar helaan nafas panjang tanda munculnya kejenuhan. Tercatat setidaknya ada tiga momen laga mendebarkan yang mencuri atensi saya secara penuh di Spider-Man: Homecoming. Pertama, ketika si manusia laba-laba mencoba untuk menyelamatkan rekan-rekan sekolahnya yang terjebak di dalam lift yang hendak terperosok. Kedua, penghormatan terhadap adegan kereta listrik dari Spider-Man 2 tatkala Spidey melawan Vulture – jelmaan Adrian – di kapal feri yang berujung pada terbelahnya kapal tersebut. Dan ketiga, konfrontasi akhir yang panas dan dipicu oleh ‘interogasi’ tak disangka-sangka. 

Segala bentuk gegap gempita penuh kesenangan tersebut bisa kamu jumpai dengan mudah sejak babak pembuka hingga penutup dalam Spider-Man: Homecoming yang penceritaannya dilantunkan menggunakan pendekatan film remaja 80-an bertemakan coming of age seperti milik mendiang John Hughes (The Breakfast Club, Ferris Bueller’s Day Off) ini. Satu hal yang saya sukai sekaligus kagumi dari film solo untuk para superhero yang tergabung dalam MCU adalah adanya sempalan genre lain dibalik tampilan luar yang sepintas lalu tampak seragam sebagai superhero movie yang semata berhura-hura. Lihat bagaimana mereka membentuk Captain America: Winter Soldier selaiknya tontonan spionase, lalu Guardians of the Galaxy menyerupai space opera dengan bumbu komedi nyentrik, dan Ant-Man yang kentara terasa dipengaruhi oleh heist movie. Dalam Spider-Man: Homecoming, keputusan untuk membawanya ke arah film remaja pencarian jati diri terbilang masuk akal karena pendekatan ini efektif dalam mengenalkan pula mendekatkan penonton kepada sosok Peter/Spidey melalui serangkaian konflik internal khas remaja kebanyakan (contoh memendam asmara pada gadis tercantik di sekolah, teralienasi dari pergaulan dan haus akan pengakuan) yang dihadapi Spidey sebagai anggota paling muda di Avengers. Kita bisa mendeteksi semangatnya yang kelewat meletup-letup, idealismenya yang acapkali kebablasan, kepolosan generasi muda yang belum tersentuh pahitnya dunia, sampai ketidakstabilan emosinya sehingga membuat keberadaan Tony Stark di sisinya pun sangat bisa dipahami. Lagipula, bukankah menyegarkan melihat sepak terjang superhero remaja yang masih labil setelah selama ini kita lebih sering menyaksikan aksi para superhero dewasa yang memahami benar apa motivasi mereka dalam bertempur? 

Tom Holland mampu menerjemahkan itu semua secara prima, termasuk ketengilan Spidey kala beraksi dan kekikukkan Peter dalam berinteraksi sosial. Meyakinkan. Apiknya performa Holland turut mendapat sokongan pula dari lini pendukung yang menghadirkan lakonan tak kalah apik; Michael Keaton adalah seorang villain yang mengintimidasi baik saat mengenakan kostum maupun tidak (tengok adegan di mobil!) serta manusiawi di saat bersamaan menilik motivasinya yang bukan semata-mata ingin menguasai dunia, Jacob Batalon adalah seorang sahabat kocak yang ingin kita miliki, Zendaya sebagai teman sekolah Peter adalah seorang perempuan dengan aura misterius yang ingin kita kenal, dan Marisa Tomei sebagai Bibi May adalah seorang bibi keren yang kita kagumi. Disamping mereka masih ada juga sumbangsih peran dari Jon Favreau, Robert Downey Jr., Tony Revolori, serta Chris Evans (dalam peran singkat yang bikin gemes!) yang membuat film kian memiliki cita rasa meriah. Meriah? Ya, memang demikian adanya Spider-Man: Homecoming seperti halnya kebanyakan film yang tergabung dalam MCU. Namun lebih dari itu, nada penceritaan sarat hingar bingar yang dipilih oleh Jon Watts sendiri merupakan sebentuk representasi untuk Peter/Spider beserta masa mudanya yang penuh gejolak. Masa mudanya yang mengasyikkan, seru, dan penuh warna lantaran mempunyai banyak kesempatan mengeksplor kekuatan baru tak terbayangkan sebelumnya. 

Note : Pastikan kamu bertahan hingga layar bioskop telah berubah sepenuhnya gelap. Ada dua adegan tambahan tatkala credit title bergulir yang berada di pertengahan dan penghujung.

Outstanding (4/5)


Sabtu, 03 Juni 2017

REVIEW : WONDER WOMAN

REVIEW : WONDER WOMAN


“I used to want to save the world, this beautiful place. But the closer you get, the more you see the great darkness within. I learnt this the hard way, a long, long time ago.” 

Sejujurnya, kepercayaan terhadap film-film hasil adaptasi komik keluaran DC Comics yang tergabung dalam DC Extended Universe (DCEU) telah menguap semenjak dikecewakan secara berturut-turut oleh dua film terakhirnya yang menjemukan serta sarat akan pesimisme, Batman v Superman: Dawn of Justice dan Suicide Squad. Kemuraman nada maupun pesan yang menghiasi kedua film tersebut nyatanya berimbas ke diri ini yang ditandai pupusnya harapan bakal memperoleh tontonan superhero berkualitas jempolan dari penghasil pahlawan-pahlawan fiktif berkekuatan mahadahsyat yang ikonik ini. Semacam, hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan masa depan DCEU. Tatkala ekspektasi tidak lagi ditanamkan, keragu-raguan lebih sering mencuat, keajaiban yang didambakan justru datang menghampiri. Keajaiban yang diiringi setitik harapan tersebut dihantarkan oleh sutradara perempuan Patty Jenkins (Monster) melalui Wonder Woman yang menandai debutnya dalam mengarahkan film berskala blockbuster. Seolah telah belajar dari kesalahan film terdahulu, Wonder Woman menjauhkan diri dari nada penceritaan bermuram durja dan merangkul erat sikap optimistis yang menjadikannya terasa berenergi sekaligus menguarkan rasa beserta emosi yang kuat. Ya, Wonder Woman bukan saja akan membuatmu bersemangat oleh rangkaian aksi plus pesan positifnya tetapi juga tertawa oleh humornya dan tersentuh oleh sederet momen emosionalnya. 

Dalam menuturkan kisahnya, Wonder Woman menggunakan pendekatan origin story yang berarti membawa penonton untuk menelusuri jejak rekam sang heroine di masa-masa awal – atau jauh sebelum berkolaborasi dengan Bruce Wayne maupun Clark Kent guna memberangus Doomsday. Latar waktunya adalah ketika Perang Dunia I berkecamuk dengan lokasi berlangsungnya kisah terbagi ke empat tempat; Prancis, Inggris, Belgia, dan Themyscira. Yang terakhir disebut, merupakan sebuah pulau dimana Diana Prince (Gal Gadot) – sosok dibalik kostum Wonder Woman – bersama perempuan-perempuan bangsa Amazon lain tumbuh dan ditempa sebagai prajurit tangguh demi mengantisipasi kemunculan Ares, dewa perang, yang mungkin saja sewaktu-waktu menyerang. Konflik dalam film mulai mengemuka semenjak pesawat dari seorang pilot Amerika, Steve Trevor (Chris Pine), kandas di perairan Thermyscira. Cerita Steve mengenai perang besar antar negara yang tengah berkecamuk di dunia luar, menggugah Diana untuk meninggalkan kampung halamannya dan berjuang demi kemanusiaan. Diana sendiri meyakini, kekacauan ini ada sangkut pautnya dengan Ares. Berbekal intuisi tersebut dan pedang God-killer, Diana pun meminta bantuan Steve beserta rekan-rekannya untuk menemaninya melangkah ke garda terdepan karena satu-satunya cara mengakhiri peperangan adalah dengan menundukkan Ares. Dan satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan untuk menundukkan Ares adalah Diana, darah daging Zeus sekaligus saudari tiri Ares.


Tidak membutuhkan waktu lama untuk jatuh hati, lalu terpikat pada Wonder Woman. Semenjak lanskap meneduhkan mata dari negeri utopia Thermyscira terhampar di layar, penonton telah terpanggil untuk menaruh atensi. Bukan sekadar pameran visualisasi indah hasil dari kinerja kolaboratif antara penata kamera, penata artistik, penata kostum serta tim efek khusus, ada penceritaan menarik buat disimak yang disiapkan oleh Patty Jenkins agar penonton mengenal lebih mendalam mengenai sosok Diana Prince. Mengenal asal usulnya, mengenal karakteristiknya, sampai mengenal motivasi atas segala keputusan-keputusannya. Dikondisikan untuk benar-benar terhubung pada sang karakter tituler, tidak mengherankan jika film melangsungkan durasi penceritaan cukup panjang di Thermyscira demi menampakkan tumbuh berkembangnya Diana. Tatkala dia melontarkan niatan untuk bergabung dengan Steve menuju ke ‘dunia luar’ yang berarti meninggalkan kampung halamannya seraya mengucap “how will I be if I stay?” kepada sang ibunda, Queen Hippolyta (Connie Nielsen), kita pun bisa memahaminya. Malah, tidak saja memahami, melainkan mendukung penuh keputusan besar yang diambilnya. Mengetahui fakta bahwa kemungkinan Diana berjumpa lagi dengan kaumnya amatlah kecil, adegan perpisahan ini pun menghasilkan momen emosional bagi film. Bukan kali pertama, karena sebelum mencapai titik ini, emosi penonton telah dibuat bergejolak terlebih dahulu oleh sebuah kehilangan yang turut melandasi mencuatnya niatan Diana untuk mengakhiri peperangan. 

Tunggu, tunggu, kehilangan dan perpisahan? Bukankah dua kata kunci itu melambangkan kemuraman? Memang betul, hanya saja dosis yang diinjeksikan dalam Wonder Woman masih dalam batas sewajarnya. Lagipula, Diana membawa harapan melalui kombinasi antara keberaniannya, kecerdasannya, dan kekuatan tekadnya demi mencapai misi utamanya untuk menegakkan perdamaian di dunia. Tidak ada pandangan pesimistis, Patty justru ingin pula mengedepankan soal women empowerment dalam tuturan kisah. Kita pun sempat juga menengok pertarungan seru pembangkit semangat dan lontaran humor-humor penggelitik urat syaraf sewaktu masih di Thermyscira. Kuantitasnya lantas dilipatgandakan begitu film berpindah latar tempat ke London. Derai-derai tawa banyak bermunculan di sini akibat menengok gegar budaya yang dialami oleh Diana. Lihatlah pada adegan emas saat Diana mencoba-coba pakaian bersama sekretaris Steve, Etta Candy (Lucy Davis), untuk dikenakannya dalam penyamaran. Lucu sekali! Komentar-komentar sosial mengenai seksisme dan rasisme sempat pula disisipkan secara efektif ke beberapa dialog yang sedikit banyak menambah daya tarik bagi Wonder Woman. Dan jika kita berbicara soal daya tarik film, maka sesungguhnya itu terletak pada performa penuh karisma dari dua pelakon utamanya, Gal Gadot dan Chris Pine, yang mempersembahkan chemistry menyengat sehingga secara otomatis penonton pun bersorak sorai untuk keduanya. 

Ikatan diantara mereka terbentuk secara bertahap dan meyakinkan dengan prosesnya tergambar jenaka yang seiring mengalirnya durasi terasa semakin romantis. Ketika keduanya secara resmi memproklamirkan adanya benih-benih asmara di pedesaan Belgia, muncul keinginan untuk melihat Diana dan Steve bersatu pada akhirnya. Tapi seperti halnya Steve Rogers dengan Peggy Carter dari Captain America, keduanya berasal dari ‘dunia’ berbeda. Jadi apakah mungkin harapan ini dapat terwujud? Sepintas terdengar cemen, namun sulit dipungkiri bahwa keberadaan elemen romansa yang cenderung sentimentil ini justru kian memperkaya rasa dan emosi dalam Wonder Woman. Sensitivitas sang sutradara menunjukkan kontribusi pentingnya disini. Turut membantu memperkaya elemen laga dari Wonder Woman yang terorkestra secara apik pula seru agar mempunyai impak lebih terhadap penonton terutama dalam pertempuran di bibir pantai Thermyscira dan momen pertama kalinya Diana memasuki medan peperangan dan turut membantu memberikan penutup yang layak, manis, sekaligus mengharu biru bagi Wonder Woman di kala konfrontasi akhir yang mempertemukan Diana dengan sang villain utama berlangsung kurang menggigit dan terlampau mengingatkan pada klimaks Dawn of Justice beserta Suicide Squad. Dengan pencapaian sebaik ini, satu doa lantas dirapalkan seusai film menutup gelarannya: semoga saja, Wonder Woman bukanlah anomali dalam rangkaian film di DCEU. 

Note : Wonder Woman tidak memiliki post-credits scene.

Outstanding (4/5)


Selasa, 09 Mei 2017

REVIEW : A SILENT VOICE

REVIEW : A SILENT VOICE


Didasarkan pada manga bergenre slice of life berbumbu romansa rekaan Yoshitoki Oima, A Silent Voice (Koe no Katachi) menjual dirinya sebagai film romansa untuk segmen young adult. Yang terbersit pertama di pikiran, film ini mungkin akan semanis dan semengharu biru Your Name yang telah berkontribusi dalam menetapkan standar tinggi bagi film anime asal Jepang. Mengingat materi promosinya memunculkan kesan demikian, tentu ekspektasi khalayak ramai tersebut tidak bisa disalahkan. Satu hal perlu diluruskan, A Silent Voice gubahan sutradara perempuan Naoko Yamada (K-On!) ini tidak semata-mata mengedepankan kisah kasih sepasang remaja sebagai jualan utamanya. Malahan sebenarnya, percintaan bukanlah bahan pokok buat dikulik. Topik pembahasan yang dikedepankan oleh A Silent Voice justru terbilang sensitif meliputi perundungan, kecemasan sosial, sampai bunuh diri berlatar dunia sekolah. Ya, ketimbang Your Name, A Silent Voice justru lebih dekat dengan film rilisan tahun 2010, Colorful, yang mengapungkan materi kurang lebih senada hanya saja tanpa mencelupkan elemen fantasi dan lebih realistis dalam bertutur. 

Karakter inti dari film adalah remaja laki-laki usia belasan bernama Shoya Ishida (Miyu Irino). Semasa duduk di bangku sekolah dasar, Ishida mempraktikkan tindak bullying terhadap seorang murid baru yang tuli, Shoko Nishimiya (Saori Hayami). Meski ditindas setiap hari, Nishimiya enggan melawan dan justru kerap melempar senyuman seraya mengucap “maaf”. Mengetahui sang korban tidak memberikan respon keras, Ishida dan kawan-kawannya justru makin getol menindas Nishimiya sampai kemudian tindakan mereka melampaui batas dan ibu Nishimiya pun memutuskan memindahkan putrinya ke sekolah lain. Semenjak kepergian Nishimiya, keadaan berbalik arah ditandai dengan status Ishida yang mengalami degradasi: dari penindas menjadi yang tertindas. Merasakan sebagai korban perundungan, Ishida menyesali perbuatannya dan memilih menjadi outsider di jenjang sekolah berikutnya. Kehidupan Ishida yang erat dengan ‘kesepian’ serta ‘penyesalan’ perlahan mulai berubah tatkala menapaki bangku SMA. Takdir mempertemukannya kembali bersama Nishimiya. Ishida menyadari bahwa perjumpaannya dengan Nishimiya merupakan kesempatan terbaik baginya untuk berdamai dengan masa lalu yang selama ini terus menghantui.


Sejalan dengan materi kupasannya, A Silent Voice pun berceloteh secara serius. Bisa dikata, mendekati depresif. Bukan perkara mudah menengok Nishimiya menghadapi perundungan di sekolahnya tanpa ada seorang kawan pun yang berpihak kepadanya – meski belakangan dia memiliki kawan baik bernama Miyoko Sahara (Yui Ishikawa) yang bersedia mempelajari bahasa isyarat. Ketika Nishimiya menghilang, lalu target berpindah ke Ishida, nada penceritaan pun kian muram. Akibat gangguan yang diterimanya, Ishida memilih jalur antisosial. Mengikuti materi sumbernya, si pembuat film pun menempelkan sebentuk silang besar menyerupai huruf X di wajah teman-teman sekolah Ishida yang mengisyaratkan adanya ketidakpercayaan atau keengganan si karakter utama berinteraksi lebih intensif dengan mereka. Kemuraman lantas sedikit mencair menyusul kemunculan Tomohiro Nagatsuka (Kensho Ono) yang memproklamirkan dirinya sebagai sahabat Ishida usai diberi bantuan. Nagatsuka memegang dua peranan penting dalam film; pertama, memberi asupan humor, dan kedua, mendorong Ishida untuk bersosialisasi serta membuka diri pada jalinan pertemanan yang selama ini dipandangnya sinis. Sampai pada titik ini, meski mood kerap diombang-ambingkan, film sejatinya masih enak untuk dikudap. 

Persoalan-persoalan pada film mulai mencuat ketika sejumlah karakter baru mulai hilir mudik memasuki arena penceritaan seiring kian terbukanya Ishida. Disamping Ishida, karakter-karakter lain di A Silent Voice tak pernah memperoleh jatah waktu memadai untuk memperkenalkan diri. Penonton hanya mengenal Sahara, Nagatsuka, kemudian ada pula Kawai (Megumi Han), Yuzuru (Aoi Yuki), Mashiba (Toshiyuki Toyonaga), serta Ueno (Yuki Kaneko) sambil lalu. Bahkan, Nishimiya pun sejatinya memperoleh perlakuan serupa. Tokoh-tokoh ini dikonstruksi dalam satu dimensi saja yang membuatnya berasa hampa. Sosok Nishimiya kelewat putih bersih, sementara Ueno berada di sisi seberangnya dalam tingkatan ekstrim pula. Lantaran tidak mampu terhubung kepada barisan karakter ini, rentetan konflik yang menyertainya pun sukar menjerat dan durasi yang merentang sampai 129 menit hanya menjadikannya kian melelahkan. Yang lantas menghindarkan A Silent Voice untuk bergabung dengan ‘film mudah terlupakan’ adalah pesan penting usungannya yang masih sanggup tersampaikan secara baik dan penutup manis nan hangatnya yang paling tidak mampu sedikit mengobati rasa lelah akibat tuturan berlarut-larut kurang mengikatnya.

Acceptable (3/5)


Jumat, 28 April 2017

REVIEW : GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 2

REVIEW : GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 2


“Sometimes, the thing you've been looking for your whole life, is right there beside you all along.” 

Mengkreasi sebuah sekuel bagi salah satu film superhero rilisan Marvel Studios, Guardians of the Galaxy (2014), yang merupakan bagian dari Marvel Cinematic Universe bukanlah perkara mudah. Pasalnya, judul satu ini telah menetapkan standar terhitung tinggi untuk film-film adaptasi komik. Guardians of the Galaxy hadirkan rentetan laga luar biasa seru ala Star Wars dengan suntikkan melimpah humor-humor kocak dan barisan soundtrack dari era 60-70’an yang melebur mulus ke setiap adegan dalam film. Seolah belum cukup, pemain ansambelnya pun tunjukkan lakonan dengan chemistry membius. Sebuah film superhero dengan kesenangan tiada tara! Menariknya, semua ini muncul tiga tahun silam tanpa pernah diperkirakan sebelumnya. Betapa tidak, diantara rekan-rekan sesama pahlawan penyelamat alam semesta binaan Marvel yang telah dibuatkan filmnya, pamor Guardians of the Galaxy terhitung paling rendah di mata penonton awam dan sang sutradara, James Gunn (Super), bukan pula nama besar. Tidak mengherankan penonton datang memenuhi bioskop tanpa dipenuhi ragam ekspektasi dan hasil akhirnya justru amat mengejutkan. Bisa dibilang, kejutan merupakan salah satu poin penting yang menghantarkan film menuju gerbang kesuksesan. Mengingat sebagian khalayak saat ini telah mengetahui formula yang diterapkan, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, akankah Guardians of the Galaxy Vol. 2 mempunyai kekuatan yang sama untuk memikat seperti jilid pertamanya? 

Usai menyelamatkan alam semesta di film pendahulu, ketenaran para Guardian yang terdiri atas Peter Quill (Chris Pratt), Gamora (Zoe Saldana), Drax (Dave Bautista), Rocket (Bradley Cooper), dan Baby Groot yang sungguh menggemaskan (Vin Diesel) seketika mengangkasa. Mereka lantas dipercaya oleh kaum Sovereign untuk merebut kembali sejumlah baterai bernilai tinggi dari sesosok monster lintas dimensi. Kerjasama tim membuahkan hasil memuaskan: monster berhasil ditumbangkan, baterai dikembalikan kepada sang pemimpin Sovereign, Ayesha, (Elizabeth Debicki), dan sebagai gantinya, Nebula (Karen Gillan) yang semula berstatus tahanan lantaran kepergok mencuri baterai diserahkan pada para Guardian. Sayangnya hubungan baik diantara dua pihak harus terlukai tatkala terungkap fakta bahwa Rocket mencuri beberapa baterai milik Sovereign. Alhasil, pengejaran atas Guardian pun dimulai. Dalam perang bintang yang berlangsung meriah, tiba-tiba sebentuk kapal misterius muncul dan membombardir pasukan Sovereign demi menyelamatkan Guardian. Sang nahkoda kapal, memperkenalkan dirinya sebagai Ego (Kurt Russell) yang tak lain adalah ayah kandung dari Peter yang selama ini tidak diketahui keberadaannya. Ditemani dengan tangan kanannya, Mantis (Pom Klementieff), Ego mengajak Peter beserta beberapa anggota Guardian untuk mengunjungi kampung halamannya demi memperbaiki kesalahan di masa lalu. Peter yang telah mendamba sosok ayah sejak lama, menyambut baik tawaran Ego sementara Gamora mencium ada sesuatu yang salah setibanya mereka di planet Ego.

Formula yang diterapkan oleh Guardians of the Galaxy Vol. 2 sebetulnya tidaklah berbeda jauh dengan instalmen pembukanya – kalau tak mau dibilang serupa. Beberapa menit selepas film memulai penceritaannya, ingatan seketika dilayangkan ke seri pertama. Beragam similaritas bisa dijumpai dengan mudah. Bukan sesuatu yang salah, tentu saja, terlebih James Gunn memperoleh cara agar kesenangannya tetap berada di level maksimal. Apabila ada kekurangannya, maka itu terhempasnya unsur kejutan karena kita telah cukup familiar dengan atraksi-atraksi yang ditebar sepanjang durasi mengalir. Pertanyaan di paragraf pertama pun terjawab: Guardians of the Galaxy Vol. 2 tidak mempunyai kekuatan yang sama untuk memikat penonton seperti halnya ‘sang kakak’. Jawab ini, mengundang tanya lain, apakah itu berarti film kelanjutan ini buruk atau berkurang jauh kadar kenikmatannya? Untungnya, sama sekali tidak. Walau sebagian diantaranya sebentuk pengulangan, Gunn piawai membuatnya tetap terasa segar sekaligus menyenangkan buat dinikmati. Formulanya adalah beri ruang gerak lebih luas bagi interaksi benci-tapi-sayang antara personil Guardian yang mengundang tawa pula rasa hangat, geber lebih banyak sekuens laga yang mengasyikkan, kurasi dengan cermat lagu-lagu dari era 60-70’an untuk menghipnotis penonton, dan paling penting: sajikan plot dengan muatan konflik mengikat sehingga penonton pun bersedia menginvestasikan emosinya secara sukarela kepada film. 

Guardians of the Galaxy Vol. 2 berasa agak penuh sesak kala memperbincangkan soal plot. Pembahasan utama yang dikedepankan Gunn memang terkait pertemuan Peter dengan Ego, namun di sela-sela plot utama kita juga mendapat suguhan berupa bagaimana Guardian harus menghindari kejaran kaum Sovereign yang meluap-luap amarahnya, lalu pemberontakan di dalam tubuh Ravager disusul adanya upaya mengkudeta Yondu (Michael Rooker) karena sang pemimpin dianggap kian lembek, sampai naik turunnya relasi Gamora dengan saudarinya, Nebula. Ada kalanya memunculkan rasa lelah – apalagi jika Gunn berkenan memangkas salah satu subplot, durasi bisa lebih ekonomis – tapi kabar baiknya, tak sampai memberi rasa pusing akibat kebingungan saking banyaknya cabang penceritaan apalagi kebosanan. Keputusan si pembuat film ini untuk menjlentrehkan banyak hal bisa dipahami begitu film tutup durasi dan segalanya terbayar lunas melalui klimaks emosional yang tanpa tersadar akan membuatmu merasakan adanya air menggenangi pelupuk mata. Ya, jika disandingkan dengan film pertama, Guardians of the Galaxy Vol. 2 bisa dikata lebih unggul dalam hal menguras emosi. Lalu bagaimana dengan humor, laga, dan pilihan lagu pengiring yang menjadi kekuatan franchise ini? Soundtrack masih ampuh menciptakan irama hentakkan kaki kendati tak semembekas jilid awal, sementara elemen komedik dan aksinya ditingkatkan. Telah dibombardir oleh Gunn sedari opening credit-nya yang lucu pula seru. 

Ya, Guardians of the Galaxy Vol. 2 tidaklah mengecewakan kala berkenaan dengan humor dan laga. Malah, tergolong memuaskan. Sekuens laga yang menginjeksikan semangat di volume ini berada di tataran mencukupi, seperti adegan pembuka menaklukkan monster yang diiringi tembang “Mr. Blue Sky”, kejar mengejar antara para Guardian dengan pasukan Sovereign, penumpasan para Ravager pengkhianat oleh Yondu dibantu Rocket dan Baby Groot, hingga konfrontasi akhir yang berujung pada perpisahan emosional. Sedangkan kelakar pemicu gelak tawa, berhamburan dimana-mana termasuk ketika para Guardian tengah sibuk bertempur melawan musuh. Kentara sekali pemain ansambelnya begitu menikmati peran masing-masing yang salah satu buktinya bisa ditengok dari betapa meyakinkannya chemistry diantara mereka: kita meyakini bahwa mereka adalah ‘keluarga’ sekalipun saban detik tak pernah berhenti saling ledek. Bagusnya, mereka tidak hanya tampak tangguh kala dipersatukan melainkan juga saat berdiri sendiri-sendiri. Chris Pratt punya karisma pemimpin dengan ketengilan sesuai porsi, Zoe Saldana tampak menggoda dibalik sikap garangnya, Dave Bautista memiliki kesempatan untuk bersenang-senang bersama Pom Klementieff yang sungguh lucu, Bradley Cooper menyebalkan sekaligus ngangenin di saat bersamaan, Vin Diesel... errr, maksudku, Baby Groot sangat menggemaskan, dan Kurt Russell menghadirkan ambiguitas menarik yang mengundang ketertarikan kita untuk mengetahui di sisi mana sebenarnya keberpihakannya. Pada akhirnya, walau tak sempurna, Guardians of the Galaxy Vol. 2 adalah sekuel yang apik. Kesenangan tetap berada dalam level maksimal. Amat kocak, amat seru, sekaligus mengharu biru. 

Note : Tak perlu terburu-buru tinggalkan gedung bioskop. Guardians of the Galaxy Vol. 2 punya lima (IYA, 5!) adegan bonus selama bergulirnya end credit.

Exceeds Expectations (3,5/5)