Tampilkan postingan dengan label Joko Anwar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Joko Anwar. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 Oktober 2017

PENGABDI SETAN (2017) REVIEW : Gubahan Baru Legenda Film Horor Indonesia

PENGABDI SETAN (2017) REVIEW : Gubahan Baru Legenda Film Horor Indonesia



Inilah film horor terseram sepanjang masa yang diakui oleh beberapa pihak, Pengabdi Setan. Film ini dirilis pada tahun 1981 dan menjadi sebuah budaya pop Indonesia yang melekat. Banyak sekali orang yang membicarakan film ini yang sangat berhasil membuat setiap orang pada zamannya mendapatkan mimpi buruk paska menonton film ini. 37 tahun berselang, Pengabdi Setan mendapatkan kesempatan untuk dibuat ulang dan siap menghantui penonton di era milenial.

Joko Anwar yang telah bernegosiasi selama bertahun-tahun, akhirnya di tahun 2017 ini berhasil mendapatkan kesempatan untuk mengarahkan Pengabdi Setan yang baru ini. Sehingga, film ini jelas mendapatkan banyak sekali sorotan, terlebih bagi mereka yang telah menggantungkan keberhasilan film ini karena nama Joko Anwar yang terlibat di dalamnya. Tara Basro, Endy Arfian, Bront Palare, Dimas Aditya, dan nama-nama lainnya berhasil digaet oleh Joko Anwar di dalam proyek film ini.

Akan berat memang tanggung jawab dari Joko Anwar untuk menceritakan ulang Pengabdi Setan yang sesuai dengan versinya. Selain kredibilitasnya sebagai seorang sutradara, pamor dari film lamanya sendiri akan mempengaruhi penilaian penonton untuk membuktikan uji kelayakannya. Mengingat Joko Anwar pun pernah mengarahkan sebuah film horor pendek berjudul Grave Torture  dan rekam jejak film lainnya yang dekat genrenya, maka kepercayaan penonton terhadap presentasi Pengabdi Setan akan semakin tinggi.


Tak ada salahnya memang untuk percaya kepada Joko Anwar terhadap interpretasinya dalam menceritakan ulang Pengabdi Setan. Joko Anwar sebagai sutradara berhasil menyuguhkan sebuah film horor Indonesia yang sangat segar dan berhasil menumbuhkan mimpi buruk lama yang menyarang di otak penontonnya berhari-hari. Pengabdi Setan terbaru milik Joko Anwar ini berhasil memberikan sebuah standar baru yang sangat tinggi di film horor Indonesia.

Pengabdi Setan milik Joko Anwar ini memang bukan sekedar sebuah adaptasi film horor lama dengan cara yang malas. Joko Anwar tak serta merta menyadur dan memindahkan adegan demi adegan di film lama ke dalam proyek film terbarunya. Film ini berhasil memberikan kekayaan dalam menuturkan cerita, karakter, dan alasan-alasan dalam konfliknya yang membuat penontonnya berhasil menemukan jawaban di dalam konfliknya, bukan sekedar menakut-nakuti seperti film horor Indonesia pada umumnya. 


Dasar cerita Pengabdi Setan milik Joko Anwar ini masih memiliki kesamaan dengan film lamanya. Sebuah keluarga yang terkena teror setelah Ibu (Ayu Laksmi) mereka meninggal karena sudah sakit berkepanjangan. Rini (Tara Basro), Toni (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz), dan Ian (Muhammad Adhiyat) hanya tinggal bersama Bapak (Bront Palare). Ketika sang bapak berusaha untuk mencari cara agar bisa membiayai keluarganya, teror datang menghampiri mereka.

Satu persatu anggota keluarga yang ada di dalam rumah tersebut mendapatkan teror yang semakin menjadi-jadi setiap harinya. Pada awalnya mereka tak menggubris teror-teror yang berdatangan tersebut. Mereka tetap tak menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka agar bisa merasa tenang selama hidupnya. Hingga pada suatu hari mereka menemukan sebuah fakta bahwa arwah-arwah tak tenang ini adalah sosok Ibu mereka yang telah meninggal. 


Pengabdi Setan milik Joko Anwar ini bukan sekedar menyalin secara menyeluruh dan tak diolah lagi dari film terdahulunya. Apa yang dilakukan oleh Joko Anwar ini sebenarnya adalah berusaha untuk menginterpretasikan apa yang ada di dalam plot film terdahulunya. Meski dengan dasar cerita yang sama, tetapi Joko Anwar berhasil memperkaya apa yang tak ada di dalam film sebelumnya. Mengekspansi dunia yang ada di Pengabdi Setan terdahulu agar bisa memperkuat setiap alasan konflik dan pengembangan setiap karaktenya.

Inilah yang membuat Pengabdi Setan menjadi sebuah film horor yang begitu kuat, bahkan bisa dibilang melampaui film pendahulunya. Pengabdi Setan terbaru ini tak hanya menonjolkan bagaimana filmnya bisa menakut-nakuti penontonnya, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana setiap plotnya bisa bergerak. Membangun dasar cerita yang kuat sehingga menimbulkan alasan-alasan yang logis, memberikan elemen keluarga yang berhasil memberikan simpati penonton kepada setiap karakternya dan hal ini berpadu sempurna agar bisa memberikan horor atmosferik yang sangat kuat.

Misteri demi misteri akan tersebar di setiap menit film ini. Penonton tak sekedar menunggu untuk ditakut-takuti, melainkan penonton pun mulai ikut berinterpretasi tentang apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam film ini. Hal ini efektif untuk membuat penonton ikut aktif mencari apa yang akan terjadi selanjutnya sekaligus memberi atmosfir yang mencekam sepanjang film. Dengan begitu, penonton akan siap-siap mendapatkan sebuah mimpi buruk setelah menonton film ini. 


Atmosfir mencekam sepanjang film yang dibangun begitu kuat akan memaksimalkan jump scares yang disiapkan begitu rapat oleh Joko Anwar. Sehingga, efeknya akan membuat penonton film ini berhasil teriak kencang ataupun terlonjak dari kursi bioskopnya. Ini juga dimaksimalkan lewat berbagai dukungan teknis yang tak digarap sembarangan. Mulai dari tata artistik, tata suara, hingga tata sinematografi benar-benar diperhatikan sehingga menimbulkan sebuah pengalaman menonton film horor Indonesia yang akan berbeda dengan film horor kebanyakan.

Ini yang akan jarang ditemui oleh penikmat film horor Indonesia. Di kala kebanyakan film horor Indonesia begitu sibuk menakut-nakuti penonton tanpa memperhatikan plot cerita yang generik, Pengabdi Setan memberikan fokus yang berbeda. Joko Anwar membuktikan bahwa horor sebagai salah satu genre di dalam film berhak mendapatkan cerita yang kuat dan tak generik. Juga, Joko Anwar dapat memperjuangkan hak penonton film horor yang butuh asupan segar dan berkualitas saat menonton. 


Dengan berbagai macam paradigma tentang film horor Indonesia mulai dari penuh adegan sensual hingga penuh cara menakut-nakuti yang murahan, Pengabdi Setan berhasil mengembalikan citra film horor Indonesia dan bahkan menetapkan standar yang sangat tinggi untuk film horor lainnya. Sebuah interpretasi yang begitu visioner dan kuat dari Joko Anwar yang membuat 104 menit Pengabdi Setan memiliki teror horor yang sangat maksimal. Bahkan, apa yang dilakukannya berhasil melampaui apa yang ditawarkan film orisinilnya. Salah satu film horor terseram di Indonesia, Predikat ini pantas mereka pegang!

Minggu, 01 Oktober 2017

REVIEW : PENGABDI SETAN (2017)

REVIEW : PENGABDI SETAN (2017)


“Kalau memang itu Ibu, kita bilang sama dia supaya nggak ganggu kita lagi.” 

Kala melontarkan tanya seputar film horor tanah air paling seram, responden kerap kali menyebut judul Pengabdi Setan – sebuah film memedi rilisan tahun 1980 yang digarap oleh Sisworo Gautama Putra. Apabila kamu pernah menyaksikannya, maka jawaban tersebut tak akan terdengar mengejutkan di telinga karena film ini memang cukup ampuh dalam mengganggu kenikmatan tidur di malam hari. Secara penceritaan memang tak istimewa karena hanya berkisar pada pertarungan melawan kebatilan, begitu pula elemen teknisnya. Yang lantas menjadikan Pengabdi Setan versi jadul ini dikenang banyak pihak yakni kemampuan si pembuat film dalam menghadirkan rentetan teror ikonik seperti penampakan sosok ibu dalam wujud hantu, gangguan kala sholat, keberadaan villain bernama Darminah (Ruth Pelupessy) dengan tatapannya yang bikin nyali ciut, sampai serangan zombie. Salah satu pecinta film yang mengalami mimpi buruk saat menonton film ini adalah Joko Anwar (Kala, Pintu Terlarang) yang lantas menginspirasinya untuk menggarap ulang Pengabdi Setan. Perjuangan Joko guna mengantongi izin dari Rapi Films selaku pemilik hak cipta film tidaklah main-main karena membutuhkan waktu sekitar 10 tahun sampai akhirnya rumah produksi berkenan memberinya restu. Diberi kepercayaan sedemikian besar, Joko tentu memanfaatkannya sebaik mungkin yang terpampang nyata pada hasil akhir interpretasi barunya terhadap Pengabdi Setan yang tak saja berhasil sebagai remake tetapi juga amat layak memperoleh predikat sebagai “salah satu film horor Indonesia terbaik sepanjang masa.”  

Tak seperti rilisan lawas yang sekonyong-konyong menghadapkan penonton pada teror, Pengabdi Setan milik Joko mempersilahkan kita untuk menengok barang sejenak kondisi Ibu (Ayu Laksmi) sebelum menghadap ke Yang Maha Satu. Ibu mengidap penyakit misterius selama bertahun-tahun yang memaksanya untuk tetap berbaring di ranjang sepanjang hari. Alat komunikasinya dengan keluarga yang terdiri atas Bapak (Bront Palarae), Nenek (Elly D. Luthan), Rini (Tara Basro), Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz), dan Ian (Adhiyat Abdulkhadir) hanya satu: lonceng kuningan. Komunikasinya pun sebatas meminta disuapi atau disisir, tak pernah ada obrolan intim diantara Ibu dengan anak-anaknya karena Ibu sudah tidak bisa berbicara sehingga lambat laun tercipta jarak yang membuat anak-anaknya merasa ngeri untuk dekat-dekat ke Ibu terlebih sang ibu kerap memberi tatapan mengerikan. Usai menciptakan situasi serba sulit dan tidak mengenakkan bagi keluarganya selama beberapa tahun, Ibu akhirnya berpulang di suatu malam. Untuk sesaat, Bapak dan anak-anak mengira bahwa kepergian Ibu akan menjadi kesempatan untuk memulai hidup baru yang lebih baik sampai kemudian… Ibu datang lagi. Apakah kedatangan Ibu ini lantaran semata-mata dia masih belum siap berpisah dengan anak-anaknya atau ada suatu agenda terselubung? Apapun motifnya, kedatangan Ibu bukanlah sesuatu yang menggembirakan bagi setiap personil keluarga Suwono karena beliau tidak datang secara damai dan justru membawa petaka kepada orang-orang terkasihnya. 


I can assure you, Pengabdi Setan rekaan Joko Anwar ini tidaklah seperti mayoritas film-film horor tanah air yang lebih mementingkan penampakan hantu yang ganjen lalu mengabaikan penceritaan dan urusan teknis. Ya, ketimbang langsung menyeret penonton ke tengah-tengah terjangan teror yang tak berkesudahan, si pembuat film memberi kita sekelumit latar belakang dan pengenalan ke anggota keluarga Suwono sehingga terbentuk ikatan antara penonton dengan barisan karakter yang memunculkan rasa peduli. Pengabdi Setan versi lawas tidak memberikan ini – bahkan, plotnya pun setipis kertas – dan Joko berusaha menebus kesalahan film favoritnya tersebut dengan cara mengembangkan penceritaan di versi mutakhir ini lebih jauh (sampai-sampai saya curiga, film ini bakal nyambung ke film Joko yang lain). Ada informasi mengenai siapa Ibu sebelum terkapar tak berdaya di rumah, ada penjabaran tentang penyebab kematian Ibu, dan ada alasan lebih konkret dibalik teror yang dihujamkan Ibu kepada keluarganya ketimbang sebatas masalah kurangnya iman kepada Tuhan. Ya, memperbincangkan soal motif si penebar teror, Joko menghadirkan sebuah penjelasan amat menarik yang tidak saja membuka ruang bagi munculnya jilid-jilid lain selepas Pengabdi Setan tetapi juga diskusi panjang-panjang diantara para penonton filmnya. Salah satu ciri khas dari sang sutradara yang seketika membuat saya merancang rencana untuk menontonnya kembali demi mengorek petunjuk-petunjuk dari sang sutradara yang sangat mungkin terlewatkan. 

Disamping memoles penceritaan agar tak lagi compang-camping, Joko mencoba untuk turut meningkatkan level kengerian dari versi klasik yang sejatinya bukan perkara mudah dilakukan karena Pengabdi Setan rekaan Sisworo Gautama Putra sejatinya telah unggul dalam trik menakut-nakuti. Jawaban dari tanya “apakah Pengabdi Setan versi Joko ini lebih ngeri atau tidak ketimbang pendahulunya?” memang akan sangat relatif, namun bagi saya secara pribadi, Pengabdi Setan versi 2017 ini mampu memberikan suatu mimpi buruk. Salah satu film horor Indonesia paling menyeramkan dalam beberapa tahun terakhir. Kengeriannya bersumber dari dua hal; atmosfir yang mengusik serta penempatan jump scare yang efektif. Sedari awal, nuansa mengganggu kenyamanan yang membuat bulu kuduk meremang telah menguar. Daya cekam yang sudah berada di level sedang ketika kita diajak menjenguk Ibu di ranjang, perlahan tapi pasti terus ditingkatkan oleh Joko seiring dengan bergulirnya durasi. Dalam perjalanan mengarungi wahana rumah berhantu ini yang sarat akan referensi terhadap sejumlah film horor apik macam The Changeling (1980), Night of the Living Dead, The Omen, Ringu, serta The Others, saya beberapa kali dibuat terperanjat dari kursi bioskop seperti pada adegan lempar selimut, ketok-ketok dinding di malam hari, mendengarkan drama radio, pipis di tengah malam, rekonstruksi adegan sholat yang ikonik itu, sampai tiap kali terdengar suara gemerincing lonceng Ibu. 

Keberhasilan Pengabdi Setan dalam menghadirkan teror yang akan membuat para penakut berulang kali meringkuk di kursi bioskop sekaligus menutupi pandangan mereka dari layar bioskop ini merupakan kombinasi dari pengarahan sangat baik, plot mengikat, tata kamera dengan komposisi beserta pergerakan yang sungguh mengagumkan, tata artistik detil yang sanggup ciptakan kesan era 80-an awal, skoring musik menghantui, lantunan tembang “Kelam Malam” dari Aimee Saras yang mengusik, serta barisan pemain yang menunjukkan performa di atas rata-rata. Setiap personil keluarga Suwono mampu memberikan akting meyakinkan terutama Tara Basro yang mengombinasikan ketegasan, kebingungan, sekaligus ketakutan di waktu bersamaan, lalu Ayu Laksmi yang memiliki ekspresi meneror seperti halnya mendiang Ruth Pelupessy di versi lawas, dan para aktor cilik pendatang baru Nasar Annuz beserta Adhiyat Abdulkhadir yang mampu bermain secara natural sehingga penonton tidak merasa kesulitan untuk jatuh hati kepada keduanya, khususnya Adhiyat yang menjadi scene stealer dalam Pengabdi Setan. Oleh Joko, keduanya difungsikan sebagai comic relief dengan segala tingkah polah polos dan celetukan-celetukan lucu khas bocah agar penonton bisa bernafas untuk sesaat sebelum kembali dibuat blingsatan begitu Ibu memasuki rumah yang ditandai dengan terdengarnya suara lonceng bergemerincing.

Outstanding (4/5)


Rabu, 26 April 2017

REVIEW : STIP & PENSIL

REVIEW : STIP & PENSIL


Menjumpai film berbasis genre komedi buatan dalam negeri tidaklah susah sama sekali. Nyaris saban bulan, senantiasa ada judul-judul baru memeriahkan jaringan bioskop tanah air. Yang susah adalah menemukan film dengan kualitas dapat dipertanggungjawabkan diantara genre ini. Tidak ada yang salah memang dari film komedi yang sekadar ngebanyol tanpa mempunyai muatan cerita kuat dan cenderung ringan-ringan saja toh tujuan akhirnya lebih ke tontonan eskapisme. Namun ketika ini dijadikan sebagai pembenaran untuk menghasilkan sebuah gelaran sarat kelakar yang digarap secara serampangan tanpa mempunyai struktur cerita yang jelas, minim lakonan apik maupun alpa production value memadai yang membuatnya sebelas dua belas dengan program lawak di televisi, maka saat itulah kesalahan terbesar diperbuat. Lantaran saking seringnya disuguhi tontonan komedi di layar lebar yang bikin mengelus dada semacam ini – ditambah kepala pusing tujuh keliling akibat keriuhan Pilkada – jelas sesuatu membahagiakan begitu mendapati bahwa Stip & Pensil arahan Ardy Octaviand (Coklat Stroberi, 3 Dara) tergarap cukup apik, dibekali plot berisi dan memberi efek bungah usai menontonnya. Jarang-jarang ada, kan? 

Dalam Stip & Pensil yang merupakan rilisan terbaru dari rumah produksi MD Pictures, barisan karakter penggerak roda cerita antara lain Toni (Ernest Prakasa), Bubu (Tatjana Saphira), Saras (Indah Permatasari), dan Aghi (Ardit Erwandha). Keempatnya adalah siswa SMA yang berasal dari keluarga kaya raya dan masing-masing menghadapi bullying di sekolah karena status sosial mereka. Demi membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar ‘anak kaya manja’ sekaligus mempunyai kontribusi nyata ke masyarakat, tatkala sebuah tugas penulisan esai diajukan oleh Pak Adam (Pandji Pragiwaksono), Toro beserta kawan-kawan turut mendirikan sebuah sekolah darurat di pemukiman kumuh. Mendapat sambutan hangat dari petinggi setempat, Pak Toro (Arie Kriting), mulanya mereka menduga akan mudah saja bagi keempatnya untuk menggelar kegiatan belajar mengajar. Nyatanya, kenyataan jauh dari pengharapan terlebih program tidak pernah disosialisasikan dan mereka buta dengan demografi kampung tersebut karena kelupaan untuk menggelar survey di lapangan terlebih dahulu. Tidak ingin rencana mereka sia-sia belaka, direkrutlah seorang bocah bernama Ucok (Iqbal Sinchan) untuk mengorganisir bocah-bocah di kampung agar bersedia bersekolah dengan iming-iming sejumlah uang. 


Ketika menyambangi bioskop guna menyaksikan Stip & Pensil, ekspektasi yang ditanamkan tidaklah muluk-muluk: asal bisa bikin tertawa, kelar urusan. Yang kemudian tiada dinyana, tiada disangka, urusan telah dituntaskan sedari menit-menit pertama oleh Ardy Octaviand. Adegan pembuka dengan humor yang bisa dikata ‘receh’, efektif mengundang gelak tawa dari penonton. Mau tahu kabar baiknya? Tawa ini terus ada, berkelanjutan dan hampir enggan mengendur sampai film mengakhiri durasinya. Kunci keberhasilan terletak pada tiga poin. Pertama, kejelian si pembuat film memanfaatkan momentum. Kedua, naskah menggelitik gubahan Joko Anwar. Ketiga, barisan pemain yang mempunyai comic timing juara. Dengan ketiga poin ini saling bersinergi, tidak mengherankan jika lantas Stip & Pensil sanggup tersaji sebagai tontonan komedi menyenangkan yang akan membuat penontonnya keluar bioskop dengan ceria. Keempat bintang utamanya lihai mengutarakan kembali rentetan humor yang dibisikkan Ardy bersama Joko kepada mereka, terutama Ernest Prakasa yang kian mengukuhkan posisinya sebagai komika berbakat dan Tatjana Saphira yang diam-diam memiliki bakat ngelaba. Kemunculan Tatjana sendiri kerap mencuri perhatian hasil dari melimpahnya momen ‘ger-geran’ di dalam bioskop yang dipicu oleh sosok Bubu yang digambarkan agak absent-minded. Yakin deh, lagu Yamko Rambe Yamko tidak akan lagi terdengar sama. Tak kalah mencuri perhatian dari Tatjana yakni Gita Bhebhita sebagai Mak Rambe yang garang dan Yati Surachman dalam penampilan singkat berkesan sebagai pemilik warung yang gemar mendramatisir derita hidupnya. 

Stip & Pensil kian menarik berkat jalinan pengisahan yang diutarakan Joko. Apabila mengenali jejak rekamnya, Joko enggan sekadar bermain-main sekalipun di dalam film komedi yang mengisyaratkan main-main belaka. Keberadaan kritik sosial bisa dicecap melalui karya-karyanya terdahulu – seperti Arisan!, Janji Joni, serta Quickie Express – tak terkecuali Stip & Pensil. Konten pembicaraan dalam film ini relevan dengan situasi Indonesia masa kini menyoal perundungan di sekolah, pemberitaan buruk di media tanpa konfirmasi, sampai kesenjangan sosial yang salah satunya diperlihatkan dari pemberian pendidikan yang belum merata. Terdengar berat? Tak perlu risau. Joko cerdik menyiasatinya ditambah lagi pendekatan Ardy untuk melantunkan film secara ringan serta penuh canda tawa memungkinkan pesan-pesan yang terkandung tergolong berhasil menyentil tanpa pernah sedikitpun terkesan menceramahi. Berceloteh dengan solid, setidaknya sampai pertengahan durasi, Stip & Pensil agak tersandung begitu menapaki babak ketiga. Subplot asmara segirumit beserta penggusuran seolah-olah disisipkan di menit-menit akhir hanya demi memperpanjang durasi. Kemunculannya tak mulus, penyelesaiannya terlampau sepele. Andaikata subplot tersebut dihempaskan, niscaya film akan makin renyah buat disantap karena bahkan dengan kelemahan yang menyertainya, Stip & Pensil tetap teramat sayang untuk dilewatkan. Kocak sekali dan... penting!

Exceeds Expectations (3,5/5)