Tampilkan postingan dengan label Crime. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Crime. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Juni 2018

Gringo (2018) Bluray 720p

Gringo (2018) Bluray 720p


Gringo merupakan sebuah film komedi dan aksi yang dipenuhi dengan intrik dramatis. Film ini mengambil latar di Meksiko. Dalam film Gringo diceritakan kisah seorang pengusaha yang baik hati bernama Harold Soyinka (diperankan oleh David Oyelowo) yang harus menerima kenyataan karena ia dibohongi oleh rekan bisnisnya sendiri.
Karena merasa tidak terima, akhirnya Harold melakukan pertempuran yang makin lama menjadi semakin berbahaya. Bahkan ia menyimpang dari yang dulunya menjadi seorang warga yang taat dengan hukum negara namun dalam pertempuran tersebut ia berubah sebagai seorang kriminal. Hal ini tentunya mengundang tanya: apakah Harold keluar dari jati dirinya yang sebenarnya?

 TONTON CUPLIKAN 



Judul                  : Gringo(2018)Bluray 720p
Genre                 : Comedy, Thriller, Crime
Pemain               : Joel Edgerton & Charlize Theron
Kualitas              : 720P
Size                    : 1GB
Link Download  : Openload

Rabu, 13 Juni 2018

REVIEW : OCEAN'S 8

REVIEW : OCEAN'S 8


“In three and a half weeks the Met will be hosting its annual ball and we are going to rob it. Sixteen point five million dollars in each of your bank accounts, five weeks from now.” 

Apabila ditanya mengenai film perampokan terbaik yang pernah dibuat, rasanya kurang afdol kalau tak menyebut judul Ocean’s Eleven (2001) yang didasarkan pada film berjudul sama rilisan tahun 1960. Kisah perampokan beserta pembalasan dendam yang memercikkan ketegangan, kejutan, serta humor dipadupadankan dengan begitu elegan sehingga sulit untuk menyangkal pesonanya. Terlebih lagi, film ini dianugerahi pemain ansambel menggiurkan seperti George Clooney, Brad Pitt, Matt Damon, Andy Garcia, Don Cheadle sampai Julia Roberts. Menilik kombinasi mautnya tersebut, tak mengherankan jika resepsi hangat berhasil diperolehnya dari kritikus maupun penonton sehingga melahirkan dua buah sekuel yang juga renyah buat dikudap, Ocean’s Twelve (2004) dan Ocean’s Thirteen (2007). Satu dekade berselang sejak jilid ketiga dilepas, seri lain bertajuk Ocean’s 8 dikreasi yang masih menerapkan konsep serupa; perekrutan tim dengan jumlah beserta keahlian tertentu, perampokan besar yang penuh gaya, dan didukung barisan pemain ansambel. Yang kemudian membedakan Ocean’s 8 dengan trilogi utama adalah ini sebentuk spin-off alih-alih sekuel langsung dan seluruh pemain utamanya adalah perempuan alih-alih laki-laki. Jadi mari kita ucapkan selamat tinggal kepada Danny Ocean (George Clooney), lalu ucapkan selamat datang kepada sang adik, Debbie Ocean (Sandra Bullock). Era baru dari kisah perampokan yang dinahkodai klan Ocean yang lain telah dimulai! 

Seperti halnya Ocean’s Eleven, guliran penceritaan di Ocean’s 8 dimulai dengan adegan yang memperlihatkan karakter utama, Debbie, baru saja menghirup udara kebebasan usai meringkuk di tahanan selama lima tahun lamanya. Kakak tercintanya, Danny, diceritakan telah meninggal dan Debbie yang mewarisi bakat kriminal sang kakak sudah merencanakan perampokan akbar di helatan prestisius tahunan, Met Gala. Bukan uang yang menjadi incaran utamanya, melainkan kalung Toussaint senilai $150 juta yang akan dikenakan oleh seorang aktris yang tengah naik daun, Daphne Kluger (Anne Hathaway). Demi memuluskan rencananya, Debbie pun merekrut enam anggota yang konfigurasinya terdiri dari Lou (Cate Blanchett) yang merupakan sahabat baik Debbie, Amita (Mindy Kaling) si pengrajin perhiasan, Nine Ball (Rihanna) si peretas, Constance (Awkwafina) si pencopet jalanan, Tammy (Sarah Paulson) si penadah barang curian, serta Rose Weil (Helena Bonham Carter) si perancang busana. Lagi-lagi seperti halnya Ocean’s Eleven, motif utama Debbie dalam merancang perampokan ini bukanlah semata-mata untuk memperoleh penghasilan dari barang jarahannya melainkan demi membalas dendam kepada seseorang yang telah mengkhianatinya dan menghancurkan hidupnya. Seseorang tersebut adalah mantan kekasihnya, Claude Becker (Richard Armitage), yang telah menjadikan Debbie sebagai kambing hitam dalam suatu kasus penipuan sehingga dia berakhir di penjara selama lima tahun.


Sebagai sebuah tontonan yang mengatasnamakan hiburan, Ocean’s 8 sejatinya bisa dibilang cukup berhasil. Menyaksikan segambreng aktris-aktris kenamaan pemenang penghargaan dalam satu frame di Ocean’s 8 jelas merupakan keistimewaan dan kesenangan tersendiri bagi para penikmat film. Kapan lagi coba kita bisa melihat Sandra Bullock beradu akting dengan Cate Blanchett, Anne Hathaway, Helena Bonham Carter, dan Sarah Paulson? Ocean’s 8 menyediakan kesempatan langka tersebut dan aktris-aktris ini menyanggupinya dengan mempersembahkan performa yang tidak mengecewakan. Bullock memperlihatkan karisma sebagai pemimpin grup lalu menjalin chemistry rekat bersama Blanchett, sementara Hathaway yang memiliki sensitivitas kuat dalam ngelaba membentuk ‘duo gesrek’ bersama Carter yang memungkinkan keduanya untuk senantiasa mencuri perhatian sekaligus mengundang gelak tawa di setiap kemunculan. Harus diakui, performa dari jajaran pemain (khususnya Hathaway sebagai seorang aktris yang ego besarnya tidak sejalan dengan kapasitas otaknya) plus ditambah Awkwafina dan James Corden yang baru nongol di babak ketiga adalah sumber energi utama yang dimiliki oleh film. Penampilan mereka yang cenderung nyantai kayak di pantai terasa menyenangkan untuk disimak sekaligus membantu menyelamatkan film dari keterpurukan akibat penggarapan kurang bertenaga dari Gary Ross (Pleasantville, The Hunger Games) serta skrip lemah yang diracik Ross bersama dengan Olivia Milch. 

Di tangan Ross, Ocean’s 8 tak ubahnya versi inferior dari Ocean’s Eleven. Jalinan kisahnya bisa dikata serupa tapi tak sama (termasuk pembentukan karakter yang sebagian besar sekadar copy paste) dengan elemen komedi lebih ditekankan dan ketegangan yang anehnya malah direduksi. Jika Ocean’s 8 semata-mata menyebut dirinya sebagai komedi, tentu tidak ada keluhan berarti. Akan tetapi sebagai anggota keluarga Ocean dan heist film, Ocean’s 8 terasa kurang bernyali. Kemana perginya fase berdebar-debar serta harap-harap cemas kala para personil mengeksekusi rencana mereka? Terlihat mewah sih, menghibur juga sih, cuma saya tidak mendapatkan gregetnya. Tidak ada momen yang membuat saya bercucuran keringat seraya meremas-remas gemas kursi bioskop seperti saat menyaksikan Ocean’s Eleven. Ross terlalu banyak menghabiskan waktu pada perencanaan yang seringkali berlangsung monoton dan pertaruhan yang dihadapi oleh Debbie and the gang pun tidak ada apa-apanya dibandingkan Danny and the gang. Jika Danny mesti mengakali Terry (Andy Garcia) yang bengis, maka lawan terberat Debbie sebatas sistem keamanan yang ketat di lokasi perampokan. Itupun bisa diakali dengan satu jentikkan jari. Minimnya ketegangan yang mencekat ditambah guliran kisah yang kekurangan daya kejut membuat Ocean’s 8 kesulitan untuk memenuhi potensi besar yang dimilikinya dan gagal mengulangi pesona jilid-jilid terdahulu. Beruntung jajaran pemainnya bermain apik (kecuali Rihanna yang aposeeee) sehingga setidaknya film masih bisa dinikmati di kala senggang sekalipun akan sangat mudah untuk dilupakan dalam hitungan hari.

Acceptable (3/5)


Kamis, 15 Maret 2018

REVIEW : GAME NIGHT

REVIEW : GAME NIGHT


“This will be a game night to remember.” 

Bagaimana jadinya saat sebuah malam permainan yang semestinya cuma seru-seruan bersama kawan dekat di ruang tamu malah berujung petaka yang mengancam nyawa? Jelas ini bukan suatu kejadian yang diharapkan terjadi oleh siapapun, meski rasa-rasanya kita sama sekali tidak keberatan melihatnya terjadi di sebuah film layar lebar. Terdengar mengasyikkan, bukan? Premis seputar permainan sederhana yang malah berbalik mengancam keselamatan sang pemain memang tidak lagi baru di perfilman Hollywood – kita telah melihatnya dari Jumanji (1995) yang berbalut fantasi, The Game (1997) yang menjajaki teritori thriller, sampai paling baru The Commuter (2018) – akan tetapi duo sutradara John Francis Daley dan Jonathan Goldstein yang sebelumnya menggarap Vacation (2015) dan menulis naskah untuk Horrible Bosses (2014) memiliki cara agar sajian mereka yang bertajuk Game Night ini tidak terasa basi serta tetap mengasyikkan buat diikuti sekalipun guliran pengisahan yang diajukannya akan membuat kita seketika teringat pada The Game… pada mulanya. Yang lantas mereka lakukan yakni mengemas Game Night sebagai tontonan komedi gila-gilaan tanpa mengenal batas yang di dalamnya dipenuhi twist and turn pada tuturannya serta mengandung seabrek referensi budaya populer pada humornya yang dijamin akan membuat para movienthusiast bersorak gembira saat menontonnya. Dijamin. 

Dalam Game Night, kita diperkenalkan kepada sepasang suami istri, Max (Jason Bateman) dan Annie (Rachel McAdams), yang kerap mengajak serta sahabat-sahabat mereka seperti pasangan sejak bangku SMP, Kevin (Lamorne Morris) dan Michelle (Kylie Bunbury), beserta Ryan (Billy Magnussen) yang kerap bergonta-ganti pasangan, untuk mengikuti malam permainan. Yang mereka mainkan sebetulnya simpel saja seperti monopoli, jenga, pictionary, charade, sampai Trivial Pursuit. Tidak ada yang benar-benar istimewa disini sampai kemudian saudara Max yang keren, Brooks (Kyle Chandler), ikut meramaikan malam permainan. Brooks mengundang ‘kelompok bermain’ ini untuk datang ke villa miliknya dan merubah peta permainan dengan menyewa penyedia jasa permainan peran demi memberi kesan riil. Nantinya, salah satu dari mereka akan ‘diculik’ oleh sekelompok penjahat sementara anggota yang tersisa berlomba-lomba mencari petunjuk yang dapat membebaskan kawan mereka tersebut. Yang tidak Max beserta konco-konco sadari, saat dua laki-laki bertopeng hitam tiba-tiba mendobrak masuk ke villa milik Brooks lalu bergumul dengan Brooks dan kemudian menculiknya, permainan belum sepenuhnya dimulai. Keenam personil – termasuk teman kencan Ryan, Sarah (Sharon Horgan) – baru menyadari ada sesuatu yang salah pasca petunjuk demi petunjuk telah terurai dan mereka mendapatkan telepon yang meminta mereka menyerahkan sebuah benda sebelum tengah malam yang nantinya akan ditukar dengan nyawa Brooks.


Terhitung sedari diculiknya Brooks sang tuan rumah, Game Night mengalami eskalasi baik dari sisi humor maupun laga. Dan ini sebuah kabar yang sangat bagus! Betapa tidak, sebelum kita mendapati apa permasalahan utama yang disodorkan oleh film, kelucuan sejatinya telah bertebaran dimana-mana. Mayoritas bersumber dari malam permainan yang diadakan oleh Max dan Annie. Ada seabrek referensi ke budaya popular terutama film yang akan membuat para pecandu film bersorak-sorak bergembira atau malah justru tertawa tergelak-gelak. Disamping kelucuan, Game Night turut menyematkan elemen misteri di awal mula yang ditandai oleh keberadaan polisi creepy yang tinggal di seberang rumah Max, Gary (Jesse Plemons). Sosok Gary begitu mencuri perhatian dalam setiap kemunculannya karena kemisteriusannya. Jangankan penonton, para personil malam permainan pun tidak bisa benar-benar yakin apa yang dapat dilakukan oleh Gary. Betulkah dia masih waras? Atau dia memiliki gangguan kejiwaan yang dapat melukai orang lain usai ditinggal pergi sang istri? Plemons memainkan perannya dengan baik; menunjukkan seringai dan tatapan menyeramkan, tapi masih memiliki sentuhan komikal. Duo Jason Bateman dan Rachel McAdams juga bermain kompak sebagai pasangan suami istri yang kompetitif, begitu pula dengan Billy Magnussen yang kebodohannya bikin gregetan dan duo Lamorne Morri beserta Kylie Bunbury yang kehadirannya mulai memberikan impak setelah karakter yang mereka mainkan dihadapkan pada permainan “guess who?”

Ini terjadi di malam penculikan Brooks. John Francis Daley dan Jonathan Goldstein mulai melancarkan ‘serangan’ bertubi-tubi kepada penonton dalam bentuk humor-humor segar yang terkadang menjajaki ranah slapstick tapi sebagian besar diantaranya tepat sasaran sehingga kita pun tidak keberatan sama sekali toh kita dapat dibuat tertawa hebat olehnya, sejumlah sekuens laga mendebarkan yang salah satu paling membekas di ingatan tatkala para personil malam permainan saling melempar ‘telur’ bak tengah bermain football yang dikemas dalam satu sekuens panjang tanpa putus, serta jalinan pengisahan mengikat yang akan membuatmu senantiasa menerka-nerka kemana muaranya terutama karena di dalamnya penuh dengan kelokan-kelokan tak terduga. Ditengah segala canda tawa, Daley dan Goldstein juga tidak lupa menyelipkan sejumput ‘hati’ ke dalam penceritaan yang berceloteh soal persaingan antar saudara, keengganan untuk tumbuh dewasa, hingga kepercayaan dalam pernikahan. Takarannya berada di level cukup, jadi tak mengganggu laju film yang bergegas cenderung ngebut dan nada film yang gila-gilaan. Si pembuat film mengupayakan agar Game Night yang mereka selenggarakan betul-betul meninggalkan kesan mendalam di hati para pesertanya (baca: penonton), dan itu berhasil. Game Night mampu memberikan banyak sekali kesenangan sepanjang durasi mengalun sampai-sampai membuat saya lemas begitu film berakhir lantaran berulang kali tertawa heboh. Pecah!


Note : Game Night memiliki dua adegan tambahan. Pertama, mengiringi bergulirnya end credit. Dan kedua, terletak di penghujung end credit. Jadi jangan terburu-buru beranjak dari kursi bioskop.

Outstanding (4/5)

Sabtu, 02 September 2017

REVIEW : BABY DRIVER

REVIEW : BABY DRIVER


“The moment you catch feelings is the moment you catch a bullet.” 

Ketika trailer Baby Driver ditayangkan sebelum pemutaran sebuah film, saya tanpa sengaja mencuri dengar obrolan manja sepasang kekasih yang duduk tepat di sebelah kanan. “Yang, cayang, kayaknya seru tuh filmnya, mirip Fast and Furious sama Transporter,” ujar si perempuan. Mendengar ucapan tersebut, saya seketika meringis. Suatu perbandingan yang agak sedikit ekstrim sejujurnya, tapi tak bisa dikatakan salah juga karena materi promosinya memberi kesan bahwa Baby Driver akan dipenuhi adegan laga berupa kebut-kebutan mobil. Si protagonis utama pun sedikit banyak mengingatkan kita ke karakter yang dimainkan Jason Statham dalam tiga jilid Transporter; jagoan di balik kemudi yang mempunyai tugas mengantar ‘orang-orang penting’. 


Anggapan ini tentu bakal seketika luntur begitu kita mengetahui siapa sosok yang menduduki kursi penyutradaraan yang tak lain tak bukan adalah pembesut Cornetto trilogi (judul pertamanya adalah Shaun of the Dead) dan Scott Pilgrim vs. the World, Edgar Wright. Dibawah penanganan Wright yang memiliki jiwa nerd sejati, Baby Driver jelas tidak akan dijelmakan sebagai film hura-hura belaka yang sebatas mengedepankan pada laga penuh eksplosif seperti halnya Fast and Furious dan Transporter. Betul saja, si pembuat film lantas memadupadankannya dengan humor sarat rujukan ke budaya pop, barisan musik eklektik, romantika asmara muda-mudi, serta ketegangan ala heist film sehingga membuat Baby Driver bukan saja terasa begitu berwarna tetapi juga bergaya. 

Protagonis utama dalam Baby Driver adalah seorang pemuda yang luar biasa handal mengendarai mobil bernama Baby (Ansel Elgort). Guna melunasi hutang-hutang menumpuknya kepada pentolan kelompok kriminal, Doc (Kevin Spacey), Baby terpaksa bekerja sebagai juru kemudi dalam setiap misi perempokan yang dijalankan oleh Doc. Tugas Baby, yakni membawa kabur anggota timnya dari lokasi tindak kejahatan, tergolong krusial karena disinilah menit-menit penentu apakah misi dapat berjalan sukses atau justru mengalami kegagalan. Kepiawaian Baby dalam berkemudi yang membuatnya tak pernah gagal menunaikan tugas, menjadikan dia sebagai anak buah kesayangan Doc. Tak peduli seberapa sering anggota tim beralih konfigurasi, pengemudinya haruslah Baby. 

Keterikatan Doc dengan Baby ini akhirnya mencapai ujungnya usai hutang si anak buah dinyatakan lunas dan Baby telah menjalankan misi terakhirnya mengawal Bats (Jamie Foxx). Pensiun dari dunia kriminal, Baby berniat menata ulang kehidupannya terlebih usai dibuat jatuh hati oleh seorang pelayan bernama Debora (Lily James). Baru saja menjalani kehidupan normal selama beberapa waktu bersama Debora, panggilan dari masa lalu kembali menghantuinya. Siapa lagi kalau bukan dari mantan atasannya, Doc? Baby dimintanya terlibat dalam misi merampok kantor pos bersama Bats dan anggota tim yang telah dikenalnya. Tidak ada pilihan lain bagi Baby selain menjawab “ya” kecuali dia ingin kehilangan perempuan yang dicintainya. 

Ditilik dari sisi penceritaan, Baby Driver sebetulnya sederhana saja – guliran penceritaannya tidak akan membuat kepalamu kliyengan. Bahkan, sedikit banyak cenderung mengingatkan pada Drive yang dibintangi oleh Ryan Gosling. Hanya saja ini versi lebih cerah ceria. Yang membuatnya terasa istimewa adalah bagaimana cara si pembuat film mengeksekusinya sehingga setiap durasi yang mengalun dalam Baby Driver menghadirkan sebuah pengalaman sinematis yang menimbulkan candu. Sedari adegan pembukanya yang beroktan tinggi hasil dari kombinasi antara penyuntingan rapat, musik menderu-deru, dan gerak kamera taktis, atensi penonton telah dicuri sepenuhnya. Kita dikondisikan untuk menggeleng-gelengkan kepala dan menahan nafas menyaksikan keseruan mobil Subaru WRX merah yang dikendarai Baby melaju kencang di jalanan seraya mempecundangi para polisi yang kewalahan mengejarnya. 

Apabila ini tampak seperti prolog biasa dalam sebuah film bertemakan perampokan atau kebut-kebutan mobil, tunggu sampai kamu menyaksikan bagaimana Edgar Wright mampu menyeleraskan hentakan irama lagu dengan setiap adegan yang berlangsung. Ya, rentetan musik eklektik dalam Baby Driver bukan sebatas aksesoris pemanis belaka demi memenuhi tuntutan agar bisa merilis album soundtrack, gaya-gayaan atau memeriahkan suasana melainkan melebur ke dalam jiwa film. Ini seperti film musikal yang jika kita lepas elemen musiknya, maka film tersebut akan berjalan timpang karena posisi keduanya saling menguatkan.



Tidak ada tari-tarian atau para karakter yang tiba-tiba melagukan dialog mereka di Baby Driver – tentu saja, karena bagaimanapun ini bukanlah film musikal. Koreografi tari diimplementasikan ke dalam gerak gerik karakter maupun sekuens laga yang tertata rapi. Disinilah letak kecemerlangannya karena itu berarti membutuhkan presisi lebih sehingga dapat dicapai kesesuaian antara irama dan gerak. Adegan kebut-kebutan selepas perampokan bank diiringi tembang “Bellbottoms” yang melibatkan Buddy (Jon Hamm), Darling (Eiza Gonzalez), dan Griff (Jon Bernthal) merupakan contoh awal yang bisa kamu jumpai dalam Baby Driver. Mengalun selama lima menit, adegan ini dibuka dengan gerakan membuka pintu, membuka bagasi, berjalan menuju bank, sampai menggerakkan wiper mobil yang sesuai ketukan irama. Keren luar biasa! 

Bukan hanya pada permulaan saja, kamu juga akan mendapati adegan sejenis di berbagai titik sepanjang durasi yang salah satu paling berkesan bisa ditengok pada opening credit-nya. Genre lagu hasil kurasi Wright pun beragam, menyesuaikan dengan mood si karakter utama dan situasi yang berlangsung. Asal muasalnya juga tak kalah beragam, mayoritas berasal dari iPod milik Baby yang tak pernah lepas dari genggamannya. Alasannya, musik dipergunakan Baby untuk memacu semangatnya sekaligus meredam bunyi dengungan di telinganya – beberapa kali kita dengar ketika musik tidak mengalun – akibat tinnitus yang diidapnya pasca kecelakaan semasa kecil. 

Memperhatikan betul bagaimana sekuens laga ditata demi memompa adrenalin penonton, memperhatikan betul soal pemilihan lagu beserta koreografi ‘tari’ yang menyokongnya guna memberi suntikan emosi lebih ke film, Edgar Wright tak kelupaan pula untuk memperhatikan betul perihal karakter-karakter yang hidup di film arahannya ini sehingga penonton dapat memiliki kepedulian terhadap mereka utamanya Baby. Betul, sekalipun bahan obrolan kisahnya tidak terlalu istimewa, naskah Baby Driver tetaplah digarap dengan sangat baik yang memungkinkan setiap karakter (termasuk mereka yang hanya nongol dalam satu dua adegan) mempunyai kontribusi terhadap pergerakan kisah. Keberadaan mereka tidak pernah sia-sia karena difungsikan untuk mengenalkan kita lebih dalam pada karakteristik Baby, memperkuat posisinya. 

Setiap dari mereka pun dimainkan oleh aktor-aktris yang tepat sehingga memberi kesan otentik. Ya, Baby Driver memang memiliki ansambel pemain yang berlakon juara seperti Ansel Elgort yang terlihat cool dan menghadirkan chemistry lekat bersama Lily James sampai-sampai adegan di laundry terasa begitu manis, lalu Jon Hamm bersama Eiza Gonzalez sebagai pasangan maut yang dimabuk asmara, kemudian CJ Jones yang memberikan kehangatan dalam perannya mengisi figur ayah bagi Baby, Jamie Foxx yang kocak dan berbahaya di waktu bersamaan, serta Kevin Spacey yang intimidatif. Perpaduan selaras antara laga seru, humor lucu, romansa manis, musik asyik, dan lakon apik inilah yang menghantarkan Baby Driver menjadi salah satu film terbaik dan paling mengasyikkan buat disimak tahun ini. Cadas!

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/9_htTq


Outstanding (4,5/5)

Enam menit pertama Baby Driver bisa juga kamu tengok di Youtube:


Senin, 28 Agustus 2017

REVIEW : AMERICAN MADE

REVIEW : AMERICAN MADE


“It’s not a felony if you’re doing it for the good guys.” 

Dalam kaitannya menjalankan misi tak masuk akal, Tom Cruise tentu sudah sangat terbiasa. Tengok saja salah satu franchise yang membantu melambungkan namanya ke jajaran pelakon kelas A, Mission: Impossible, yang seperti judulnya dipenuhi rangkaian laga melampaui nalar. Tapi seperti halnya sederet film laga yang dibintanginya dalam satu dekade terakhir – rupanya memasuki usia kepala 5, Tom Cruise malah makin sering berantem dan berlari – plotnya hanyalah fiktif belaka. Karakternya pun senada, sama-sama sebagai jagoan yang sulit terkalahkan. Jika kemudian si pelakon Ethan Hunt ini merasa jenuh dan ingin mencoba sesuatu yang sedikit berbeda dari beberapa peran terakhirnya, jelas sangat bisa dimaklumi. Dalam American Made yang mempertemukannya kembali dengan Doug Liman usai keduanya berkolaborasi di Edge of Tomorrow (2014), Tom Cruise memerankan sosok nyata yang semasa hidupnya kerap dilingkungi peristiwa tak masuk akal akibat campur tangan CIA bernama Barry Seal. Sosoknya pun tak sepenuhnya pahlawan, cenderung ke antihero, lantaran jalan hidupnya kerap mengabaikan moralitas dan sempat pula bersinggungan dengan aktivitas ilegal yang melibatkan kartel besar asal Amerika Selatan. Sesuatu yang terdengar agak menyegarkan, bukan? 

Mulanya, Barry Seal (Tom Cruise) hanyalah seorang pilot pesawat komersil biasa yang bekerja untuk maskapai Trans World Airlines demi menghidupi keluarga kecilnya yang terdiri atas seorang istri bernama Lucy (Sarah Wright) dan dua putri. ‘Kenakalannya’ guna memperoleh penghasilan tambahan tidak pernah lebih dari membantu menyelundupkan cerutu Kuba ke Kanada. Rupa-rupanya, aktivitas Barry ini terendus oleh CIA yang lantas memanfaatkan keahlian Barry dalam menerbangkan pesawat untuk mengambil foto udara dari kelompok militan di kawasan Amerika Selatan. Seiring berjalannya waktu, tugas yang mesti diemban oleh Barry terus bertambah sehingga hanya tinggal menunggu waktu identitasnya diketahui oleh masyarakat sekitar. Betul saja, Kartel Medellin di Kolombia – salah satu anggotanya adalah gembong narkoba ternama, Pablo Escobar – menyadari penuh tindak-tanduk Barry dan lantas merekrutnya menjadi kurir narkotika. Menjalani peran ganda sebagai mata-mata negara dan kurir narkoba jelas membawa Barry ke dalam serangkaian peristiwa yang sama sekali tak terbayangkan dan berbahaya. Ya, bahaya tentu tak bisa dilepaskan dari kehidupan Barry beserta keluarganya terlebih usai Barry memutuskan untuk mengkhianati salah satu pihak.


Menengok jalinan pengisahannya yang dibentuk dari kombinasi antara biopik mantan pilot pesawat komersil, permainan politik negeri adidaya, keterlibatan CIA, kartel raksasa, dan penyelundupan narkoba, mudah untuk mengira Doug Liman akan melantunkan American Made dalam format docu-drama berbumbu thriller. Terlebih, filmografi sang sutradara seperti The Bourne Identity (2002) dan Fair Game (2010) seolah mengonfirmasinya. Bahasa kasarnya sih, serius-serius njelimet gitu deh. Di saat telah mengantisipasi akan memperoleh penceritaan yang cukup berat dan belibet untuk dicerna mengingat muatan politiknya terbilang kental juga, Liman memberi kejutan untuk kita semua: American Made dibawakannya secara ringan dan bergaya. Ya, kandungan humor yang diinjeksikannya ke dalam film terhitung tinggi sehingga memungkinkan penonton untuk tergelak-gelak disela-sela berlangsungnya transaksi obat-obatan terlarang, puyengnya Barry dalam mengurus bisnis barunya yang membuat rumahnya kebanjiran uang (literally!) sampai upaya sang kurir melarikan diri dari kejaran pihak-pihak yang mengincar dirinya. Kalau itu belum cukup terdengar menyenangkan, maka tentu tambahkan sejumlah laga seru yang beberapa diantaranya melibatkan pesawat yang konon kabarnya dikemudikan sendiri oleh Tom Cruise. Hitung-hitung pemanasan sebelum sekuel Top Gun, bukan begitu? 

Keputusan Doug Liman dalam menarasikan American Made secara ringan dibubuhi canda tawa disana sini boleh jadi demi menghindarkan penonton dari rasa jenuh yang sangat mungkin menyerang. Memang sih, jalan hidup Barry yang penuh kejutan sangat menarik buat diikuti (seberapa jauh pelintiran dramatisasinya, hanya Tuhan dan si pembuat film yang tahu), namun ada banyak sekali hal yang melingkunginya. Banyak sekali informasi yang mesti dicerna dan beberapa diantaranya dilewatkan begitu saja tanpa ada penggalian lebih lanjut. Tak pelak, film sempat goyah pula begitu memasuki pertengahan durasi. Yang kemudian menyelamatkannya, siapa lagi kalau bukan Tom Cruise dengan karisma memancar yang dipunyainya? Dia bermain bagus sebagai Barry yang terpaksa menghempaskan jauh-jauh what-so-called moralitas serta integritas demi memberi sandang, pangan, dan papan yang layak bagi keluarganya, sekalipun sosok Barry sendiri ada kalanya masih terlihat terlalu ‘bersih’ di tangan Cruise. Dalam berolah peran, Tom Cruise mendapat sokongan memadai dari Sarah Wright sebagai istri Barry yang mencintainya dan Domhnall Gleeson sebagai Monty Schafer, agen CIA oportunis. Kekuatan lain yang dipunyai American Made bersumber dari pilihan tembang-tembang pengiring dan tata kostum yang menghidupkan nuansa era 70-80’an, lalu gerak kamera dan penyuntingannya yang dinamis.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/9_a5nf

Exceeds Expectations (3,5/5)


Senin, 14 Agustus 2017

REVIEW : BAD GENIUS

REVIEW : BAD GENIUS


“To me ‘cheating’ means someone gets hurt. What we do doesn’t hurt anyone. It’s win-win.” 

Siapa bilang perfilman Thailand hanya jago memproduksi film horor dan percintaan? Rumah produksi terkemuka di Negeri Gajah Putih, GDH 559 (sebelumnya dikenal dengan nama GTH), membuktikan bahwa mereka pun jagoan dalam mengkreasi tontonan mencekam dengan subgenre heist film melalui rilisan teranyar mereka bertajuk Bad Genius. Tak seperti para karakter dari film beraliran sama yang umumnya memiliki riwayat sebagai kriminal dan misi utamanya adalah melakukan perampokan demi mendapatkan setumpuk uang atau emas sebagai bekal dapatkan hidup sejahtera, para karakter dalam film arahan Nattawut Poonpiriya (Countdown) ini hanyalah siswa-siswi setingkat SMA yang masih berusia belasan. Yang mereka incar juga bukan kemilau emas melainkan skor bagus dalam ujian-ujian sekolah yang menentukan. Berbeda pula dengan The Perfect Score (2004) dimana tokoh-tokohnya saling berkonspirasi untuk nyolong kunci jawaban, Bad Genius lebih ke menyoroti sepak terjang sindikat penyedia jasa sontekan kecil-kecilan dalam menyusun trik menyontek agar tak kepergok pengawas ujian selama tes kemampuan akademis berlangsung. Suatu kecurangan semasa sekolah yang sejatinya pernah dilakukan hampir semua siswa, bukan? 

Guliran pengisahan Bad Genius sendiri terinspirasi dari berita mengenai pembatalan nilai tes SAT – tes standardisasi bagi pelajar yang ingin melanjutkan kuliah di universitas-universitas Amerika Serikat – setelah terbongkar adanya praktik menyontek massal dalam ujian di Tiongkok. Lewat Bad Genius, peristiwa tersebut direka ulang dan didramatisir sedemikian rupa menjadi kasus kecurangan dalam tes STIC yang merupakan fiksionalisasi SAT. Empat siswa yang dianggap bertanggungjawab antara lain Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying), Bank (Chanon Santinatornkul), Pat (Teeradon Supapunpinyo), dan Grace (Eisaya Hosuwan). Di permulaan film, kita mendapati mereka dibombardir pertanyaan dalam suatu ruang interogasi usai kedapatan menyontek. Ada yang mengakui, ada pula yang mengelak. Kita pun dibuat bertanya-tanya, bagaimana semuanya ini bisa terjadi? Guna memaparkan kronologi peristiwanya, si pembuat film lantas melempar alur penceritaan ke tiga tahun sebelumnya saat para siswa ini baru memulai tahun ajaran awal di sebuah sekolah swasta terbaik. Penonton diperkenalkan kepada Lynn, siswi berotak brilian dari keluarga berekonomi pas-pasan yang mengalami kesulitan dalam interaksi sosial. 

Satu-satunya teman Lynn di sekolah adalah Grace yang bergabung dengan klub drama dan mewakili stereotip siswi cantik yang tidak pintar. Mengetahui Grace bermasalah dengan nilainya, Lynn berinisiatif untuk membantunya termasuk memberikan sontekan secara sukarela saat ujian. Kebaikan serta kecerdasan Lynn ini lantas dimanfaatkan kekasih Grace yang kaya raya sekaligus oportunis, Pat, yang menjanjikan senilai uang asalkan Lynn bersedia memberi dia dan beberapa kawan baikannya berupa sontekan saat ujian. Mengingat sang ayah (Thaneth Warakulnukroh) mengalami kesulitan secara finansial, Lynn menerima tawaran Pat. Perlahan tapi pasti, bisnis ilegal berkedok ‘les piano’ ini berkembang pesat seiring semakin banyaknya siswa yang bergabung bahkan merambah lebih jauh hingga ke tes STIC. Ancaman akan terbongkarnya praktik terlarang ini muncul dari siswa teladan yang polos dan memiliki jiwa pekerja keras, Bank. Tapi tentu saja Nattawut Poonpiriya tak akan membiarkan ‘les piano’ ini bubar jalan begitu saja hanya karena seorang Bank terlebih misi raksasa belum tercapai. Agar perjalanan menuju klimaks kian terasa greget, dia pun menghadirkan beberapa kelokan-kelokan yang akan membuatmu enggan untuk memalingkan muka barang sedetikpun dari layar bioskop.


Keengganan untuk memalingkan muka pada dasarnya telah terbentuk semenjak film memulai langkahnya. Cuplikan adegan interogasi di sela-sela babak introduksi mengapungkan kepenasaran untuk mengetahui lebih dalam kesulitan semacam apa yang menjerat keempat tokoh utama. Sedikit demi sedikit petunjuk yang mengarahkan pada adegan tersebut ditebar. Proses menuju detik-detik ‘pengungkapan fakta’ berlangsung amat menegangkan dengan intensitas yang tak sekalipun mengendur. Daya sentak untuk penonton secara resmi muncul pertama kali dalam adegan ujian di ruang kelas yang melibatkan Lynn dan Grace. Hanya bermodalkan properti berupa sepatu dan karet penghapus, sang sutradara yang memperoleh sokongan bagus dari penyuntingan lincah Chonlasit Upanikkit dan gerak kamera dinamis Phaklao Jiraungkoonkun berhasil menempatkan penonton dalam fase harap-harap cemas; menggigit-gigit kuku, menggenggam erat kursi bioskop, dan bercucuran keringat. Ya, ruang ujian dalam Bad Genius tak ubahnya bank atau ruang brankas di rumah seorang kaya dalam heist film pada umumnya. Situasinya memang tidak sampai tahapan seekstrim hidup-mati dan sekadar berhasil-gagal, namun tetap tak berdampak pada berkurangnya kadar ketegangan terlebih jika kamu pernah melakukan praktik menyontek atau memberi sontekan semasa sekolah. Mudah sekali untuk merasa terhubung. 

Seiring makin meluasnya bisnis yang dijalankan Lynn dan kawan-kawan, kemampuan Bad Genius dalam mencekam penonton turut berlipat ganda. Pasalnya, pertaruhannya terus ditingkatkan dan tidak lagi melibatkan satu dua karakter saja. “Apa yang akan terjadi selanjutnya?” adalah pertanyaan yang terus menerus berkecamuk di benak dan kandungan zat adiktif di Bad Genius memungkinkan kita untuk ketagihan mencari informasi yang lebih, dan lebih. Disamping pengarahan Nattawut, tata kamera Phaklao, serta editing Chonlasit, kunci keberhasilan lain dari Bad Genius sehingga penonton seolah-olah dilibatkan ke dalam film adalah akting cemerlang jajaran pemainnya khususnya pendatang baru Chutimon sebagai siswi yang dihimpit keadaan, Thaneth sebagai ayah yang sangat menyanyangi putrinya, dan Teeradon sebagai siswa kaya manja yang terkadang menyuplai humor, lalu naskah berisi racikan Nattawut bersama Tanida Hantaweewatana dan Vasudhorn Piyaromna. Tidak selamanya mulus – beberapa tindakan ada kalanya menyebabkan dahi mengerut – tapi masih sangat bisa dimaafkan karena terbayar oleh kesanggupannya menyuarakan kritik terhadap dunia pendidikan yang korup dan kerap kali menekan siswa dengan cara sangat mengasyikkan. Saya tak pernah sedikitpun menyangka lembar jawab pilihan ganda bisa membuat jantung berdegup begitu kencang kala ditampilkan dalam sebuah film layar lebar. Dalam Bad Genius, saya menjumpai itu.

Outstanding (4/5)


Jumat, 14 April 2017

REVIEW : FAST & FURIOUS 8

REVIEW : FAST & FURIOUS 8


“One thing I can guarantee... no one's ready for this.” 

Siapa pernah menduga franchise The Fast and the Furious yang dimulai sebagai film balap mobil liar pada 16 tahun silam, lalu disisipi beragam elemen dari subgenre laga lain guna ‘bertahan hidup’ hingga telah ditinggal pergi oleh salah satu pelakon utamanya, Paul Walker, yang tewas saat seri ketujuh tengah digarap, bakal menapaki jilid kedelapan? Satu dasawarsa lalu tentu tak sedikitpun terbayang, namun semenjak Fast Five yang menjadi titik baru dimulainya kehidupan dari franchise ini baik dari respon penonton – raihan dollar kian menggurita – maupun resepsi kritikus, kita sudah bisa mencium gelagat Universal Pictures bakal memperpanjang usia kisah petualangan Dominic Toretto (Vin Diesel) beserta ‘keluarga’ tercintanya. Mengingat sudah banyak kegilaan kita simak: menyeret brankas raksasa menggunakan mobil di jalanan, berkejar-kejaran dengan pesawat siap tinggal landas, sampai mobil yang melayang menembus dua gedung pencakar langit, tanya “apa lagi yang akan mereka lakukan kali ini?” pada Fast & Furious 8 (dikenal pula dengan tajuk The Fate of the Furious) pun sulit terelakkan – maklum, standar kegilaan laganya terus meninggi dari seri ke seri. Namun ketika kita mengira franchise ini akan mulai kehabisan bahan bakarnya, Fast & Furious 8 justru tetap melaju kencang dan menggeber kegilaan laga yang sanggup menandingi, atau malah bisa dikata melampaui, jilid-jilid pendahulunya. 

Salah satu trik yang juga dipergunakan oleh F. Gary Gray (The Italian Job, Straight Outta Compton) agar atensi penonton tertambat pada Fast & Furious 8 disamping menghadirkan tata aksi mencengangkan adalah membelokkan guliran kisah sedari mula: Dom yang semula berada di pihak protagonis, mendadak berpindah ke sisi gelap. Dia membelot dari kelompoknya, meninggalkan Letty (Michelle Rodriguez) yang kini telah dipersuntingnya dalam kegamangan, dan bergabung bersama teroris siber kelas kakap bernama Cipher (Charlize Theron). Tentu kita tidak mendapati penjabaran motivasi dibalik keputusan Dom merapat ke Cipher di menit-menit awal demi memunculkan daya pikat terhadap guliran pengisahan. Petunjuknya sebatas Dom telah melihat sebuah foto di layar ponsel genggam sang antagonis yang seketika merobohkan tembok pertahanannya. Penonton paham, jika Dom lantas bersedia menerima tawaran berbahaya dari Cipher untuk membantunya mencuri EMP – electromagnetic pulse – yang konon sanggup melumpuhkan gelombang elektromagnetik dan kode peluncuran nuklir kepunyaan Rusia, jelas siapapun (atau apapun) yang terpampang di foto tersebut amat penting baginya. Sekelumit sisi misteri ini nyatanya terhitung ampuh mengundang rasa penasaran penonton sehingga bersedia untuk mengikuti petualangan ala mata-mata yang melibatkan Dom beserta konco-konco. 

Ya, Fast & Furious 8 yang disulap oleh Gray menjadi spy movie selayaknya rangkaian seri James Bond maupun Mission: Impossible, mempunyai modal cukup berlimpah untuk menempatkannya sebagai salah satu seri terbaik dari franchise sekaligus mesin pengeruk pundi-pundi dollar. Ekspektasi bakal peroleh spektakel fun-tastic yang ditanamkan sebelum melangkahkan kaki memasuki gedung bioskop, sukses dipenuhi Fast & Furious 8. Ini menunjukkan bahwa seri yang tergabung dalam franchise The Fast and the Furious selalu memiliki cara untuk mengkreasi gelaran laga over-the-top yang secara intensitas dan kreatifitas boleh dibilang lebih baik dibandingkan seri sebelumnya. Gray pun tak menyia-nyiakan kesempatan unjuk kebolehan tangani film laga yang terbukti dengan disodorkannya sejumlah momen yang rasa-rasanya bakal membuat penonton berdecak kagum sampai rahang terjatuh. Adegan pembuka Fast & Furious 8 berupa perlombaan balap mobil ilegal berlatar pemandangan eksotis kota tua di Kuba yang memberi penghormatan untuk jilid-jilid pertama franchise hanyalah pemanasan, begitu pula saat bola penghancur dilibatkan guna menghantam habis mobil-mobil lawan. Hidangan utama dari film baru disajikan sedari kekacauan besar di penjara akibat sistem keamanan yang mengalami malfungsi. Selepasnya, Fast & Furious 8 yang mula-mula dihantarkan menggunakan kecepatan sedang seketika tancap gas dan daya cengkram pun terus dieskalasi sampai film tutup durasi.


Pada titik ini, penonton mendapati setidaknya dua momen laga gila yang patut dikenang. Pertama, serangan ‘zombie’ di New York City kala siang bolong, dan kedua, kejar-kejaran beragam jenis kendaraan dari mobil Lamborghini mewah berwarna oranye mencolok, tank, sampai kapal selam (!) di atas kepingan es. Mengingat masing-masing momen dieksekusi dalam rentang durasi cukup panjang serta berlangsung saat sinar matahari masih bersinar terang benderang yang memungkinkan detail aksinya tertangkap jelas oleh mata, level keasyikkannya jelas tinggi. Maka dari itu, ada baiknya urusan belakang (baca: toilet) telah benar-benar dituntaskan sebelum film memulai langkahnya atau paling lambat sebelum baku hantam di penjara terjadi. Percayalah, kamu tidak akan rela melewatkan tiga gelaran laga dengan kata kunci penjara, zombie, dan es, yang notabene merupakan bagian terbaik yang dipunyai oleh Fast & Furious 8. Bahkan saya bersedia untuk kembali membayar tiket nonton hanya demi menyaksikan ketiga kegilaan laga tersebut, plus bromance yang terjalin antara Dwayne Johnson dan Jason Statham. Betul, selain rentetan “bang bang boom!”-nya yang mengasyikkan dan plot yang sekalipun klise khas spy film sekaligus cenderung berbau opera sabun namun tak bisa disangkal mempunyai magnet, Fast & Furious 8 unggul di departemen lakonan yang membuatnya bisa berdiri sejajar dengan film-film terbaik di genrenya. 

Dengan seabreknya pelakon yang memperkuat jajaran pemain, Fast & Furious 8 memang serasa penuh sesak. Namun si pembuat film yang telah berpengalaman menangani ansambel pemain, tahu betul bagaimana caranya membagi porsi tampil agar berimbang dan beberapa karakter kunci pun dapat bersinar. Mengingat perginya Paul Walker meninggalkan lubang yang menganga cukup lebar, beberapa penyesuaian pun dilakukan sehingga keluarga Dom tetap berasa utuh. Salah satunya, menggeret Jason Statham untuk berpindah haluan lalu menyandingkannya dengan Dwayne Johnson. Twist-nya adalah karakter mereka dikondisikan saling menaruh benci yang lantas menuntut keduanya adu jotos serta kemampuan berkelakar. Ini membuat bromance diantara mereka (atau bisa dikata, love-hate relationship) terasa menarik buat ditengok, ngangenin, dan memberi kesegaran bagi karakter masing-masing yang mulai berasa hambar di jilid ketujuh. Penyegaran bisa pula diraba pada sosok Dom yang memungkinkan Vin Diesel untuk memperlihatkan sisi tangguh dan rapuh dari karakternya secara bersamaan, serta karakter villain yang untuk pertama kalinya dalam sejarah franchise The Fast and the Furious tampak amat mengancam. Berkat performa efektif Charlize Theron, Cipher mempendarkan aura menggoda, cerdas, sekaligus berbahaya. Berkat performa efektif Charlize Theron yang kemudian disokong pula barisan pemain lain yang membentuk chemistry lekat, level keasyikkan Fast & Furious 8 yang sudah tinggi lantaran aksi dan intriknya pun kian meninggi. Fun-tastic tepat disematkan bagi jilid ini!

Trivia : Aktris senior penggenggam Oscar, Helen Mirren, ikut memeriahkan jilid ini. Apakah kamu tahu, berperan sebagai siapakah dia?

Note : Tidak ada post-credits scene dan format 3D film ini tidak memberi banyak dampak.

Outstanding (4/5)


Jumat, 10 Februari 2017

REVIEW : JOHN WICK: CHAPTER 2

REVIEW : JOHN WICK: CHAPTER 2


“You stabbed the devil in the back. To him this isn't vengeance, this is justice.” 

Dua tahun silam, pembunuh bayaran yang mematikan berjulukan The Boogeyman, John Wick (Keanu Reeves), keluar dari peraduannya selepas mobil Mustang 69 kesayangannya digondol dan anjing peninggalan mendiang istri dicabut paksa nyawanya. Rencana Wick untuk pensiun dari dunia kriminal bawah tanah – sekaligus mengobati duka lara lantaran ditinggal istri tercinta – pun terpaksa ditunda guna menuntaskan misi balas dendam. Mempunyai jejak rekam beringas di kalangan rekan-rekan seprofesinya, tentunya bukan perkara sulit bagi Wick untuk menundukkan para begundal-begundal yang telah merampas ketenangannya. Hanya dengan sekali hantaman, sekali tembakan, lawan-lawan bertumbangan dan secara cepat, niatan buat undur diri tampaknya segera tercapai... sampai kemudian petinggi studio di Hollywood melihat raihan angka box office yang direngkuh John Wick. Menyadari bahwa film memiliki potensi besar untuk ditumbuhkembangkan sebagai franchise, Summit Entertainment pun lantas mengupayakan agar The Boogeyman gagal beristirahat dengan tenang dan kembali ke jalanan. Caranya mudah, tinggal bumihanguskan saja kediaman John biar tak ada lagi tempat bernaung untuknya! 

Betul, selepas kehilangan mobil dan anjing secara bersamaan di jilid pertama, lewat John Wick Chapter 2, sang karakter tituler dibikin geram lantaran tempat tinggalnya dirudal oleh seorang mafia bernama Santino D’Antonio (Riccardo Scamarcio) pasca permintaan Santino ditolak John secara halus. Tidak lagi mempunyai rumah plus ada hutang budi di masa lalu yang belum terlunasi kepada sang mafia, John pun tiada memiliki pilihan lain selain mengeksekusi tugas yang dibebankan Santino kepadanya. Diterbangkan ke Roma, Italia, John dititahkan untuk menghabisi nyawa adik Santino, Gianna (Claudia Gerini), yang konon lebih dipercaya dalam menduduki posisi penting oleh ayah mereka ketimbang Santino. Dengan Gianna menyerah tanpa syarat, penugasan ini sepintas terlihat sepele saja bagi John hingga dia menjumpai tangan kanan korban, Cassian (Common), yang mempunyai kemampuan bertarung setara dengannya dan bersumpah akan membalas dendam atas kematian Gianna. Seolah belum cukup, John juga menerima pengkhianatan dari Santino yang mengerahkan sederetan personilnya dibawah komando Ares (Ruby Rose) untuk menghabisi John. Malam-malam panjang John demi meladeni amukan dari dua belah pihak dengan kepentingan berbeda pun dimulai. 

Melanjutkan apa yang tersisa dari jilid pendahulu, John menyantroni markas Abram Tarasov (Peter Stormare) untuk mengambil alih Mustang kesayangannya yang dicuri. Berkelindan dengan cerita Abram kepada salah satu pegawainya mengenai jejak rekam John – berfungsi sebagai recap buat mereka yang lupa atau belum menonton film pertama, kita melihat John melumpuhkan penjagaan di sekitar Abram. Sesekali hanya terdengar teriakan, sementara kita melihat ekspresi ketakutan Abram yang meringkuk tak berdaya di kursi kantornya. Ya, John Wick Chapter 2 telah menggila sejak menit-menit pembuka lewat geberan laga beroktan tinggi. Chad Stahelski yang kembali menempati kursi penyutradaraan mengondisikan film untuk senantiasa terjaga intensitasnya tanpa pernah mengendur sedikitpun. Bahkan tak membutuhkan waktu lama usai adegan penyambut yang asyik tersebut, penonton langsung dihadapkan pada muara konflik dari kisah instalmen kedua dimana kediaman John dibuat luluh lantak. Menyusul dituntaskannya misi, ‘kemeriahan’ yang dicari-cari para penggemar film laga mulai mencuat dan terhitung sedari baku tembak bersama pengawal-pengawal Gianna diantara reruntuhan bangunan kuno di Roma, John Wick Chapter 2 tidak lagi memperkenankan penonton untuk bernafas lega.


John Wick Chapter 2 menjalankan tugasnya sebagai sebuah sekuel secara semestinya. Level kekerasan dalam rentetan laganya yang terkoreografi cantik – bukan sekadar asal seru, tapi ikut mendefinisikan karakteristik tokoh tertentu seperti Cassian yang sederhana namun brutal – ditingkatkan setinggi-tingginya. Menyulitkan mereka yang lemah terhadap darah untuk bisa duduk tenang di kursi bioskop seraya menyeruput minuman bersoda. Tengok saja pada aplikasi cerita Abram mengenai kemahiran John membunuh lawannya hanya bermodalkan pensil, sungguh bikin ngilu melihat telinga ditusuk-tusuk sampai menembus otak. Tapi itu jelas belum seberapa apabila disandingkan dengan jurus gun-fu andalan John di sebuah galeri guna menumpas para pelindung Santino yang memberi kita darah dan otak bertaburan di setiap sudut sejauh mata bisa memandang. Ngilu? Jelas. Seru? Banget. Sumber keasyikkan dalam hamparan laga nyaris tanpa putusnya pun tidak selalu memiliki keterkaitan dengan kata ‘sadis’. Ambil contoh pada pertarungan tangan kosong antara John dengan Cassian yang memberi sensasi gregetan atau kejar-kejaran keduanya di ruang publik yang menghadirkan salah satu adegan paling mengesankan dari film berkata kunci “mau nembak tapi malu-malu kucing”. Topangan gerak kamera dinamis beserta penyuntingan taktis, memunculkan candu di rentetan adegan ini sehingga ada keengganan untuk memalingkan pandangan sekejap dari layar atau beranjak sejenak dari kursi bioskop demi memenuhi panggilan alam. 

Disamping muatan laga pekat yang akan membuat para penikmat film action mengalami orgasme di dalam bioskop, daya pikat John Wick Chapter 2 berada di world building-nya. Dalam seri awal kita telah mengenal Hotel Continental sebagai tempat persinggahan para pembunuh bayaran lengkap dengan peraturan-peraturannya, jasa bersih-bersih mayat, serta koin emas sebagai alat tukar pengganti uang sekaligus membership card yang meleluasakan si pemilik mengakses tempat-tempat tertentu, maka melalui jilid kedua ini penonton diberikan paparan lebih mendalam mengenai bagaimana sistem di dunia bawah tanah ini bekerja termasuk kode etik pembunuh, pengadaan sayembara, sampai adanya dewan kriminal, tanpa harus menghilangkan sisi misteriusnya. Detilnya bangunan semesta oleh Derek Kolstad ditambah kulikan pada sisi rapuh John – kita merasakan kesepian dan keputusasaannya, membuat kita sanggup berinvestasi lebih kepada franchise ini yang menjadikannya lebih dari sekadar tontonan eskapisme pengisi waktu luang semata. Membuat John Wick Chapter 2 tidak sebatas film laga seru penuh isian ‘bak bik buk’ dan ‘dar der dor’ seperti tampak di permukaannya. Maka begitu ada tanda-tanda bahwa franchise ini masih berlanjut menjelang film tutup durasi, mencuat rasa gemas. Gemas karena harus menunggu dalam jangka waktu belum dapat dipastikan untuk bisa kembali melihat sepak terjang John Wick di jilid berikutnya. Sudah teramat tidak sabar!

Outstanding (4/5)


Sabtu, 04 Februari 2017

REVIEW : RAEES

REVIEW : RAEES


“No business is small and no religion is bigger than business.” 

Citra seorang Shah Rukh Khan (atau sebut saja SRK biar tidak kepanjangan) dalam karir keaktorannya memang tidaklah lekat dengan peran antagonis. Dia seringkali memerankan sosok jagoan yang memiliki karisma tinggi, bertampang rupawan, serta berselera humor bagus, meski kenyataannya awal karir SRK dibentuk dari peran-peran jahat seperti ditunjukannya melalui Baazigar (1993), Darr (1993), dan Anjaam (1994). Seiring membumbungnya karir SRK ke angkasa – diikuti upayanya merebut hati lebih banyak penggemar, dia mulai menjauhi peran beraromakan negatif sekalipun tidak sepenuhnya dihempaskan olehnya. Tercatat, SRK sempat kembali menyelami karakter antagonis lewat Duplicate (1998), Don (2006), serta Fan (2016), yang uniknya dalam ketiga film tersebut, dia memainkan peran ganda dengan salah satunya berada di sisi berlawanan. Raees, garapan Rahul Dholakia, adalah percobaan terbaru SRK dalam melakonkan karakter antihero dimana dia berperan sebagai bandar minuman keras kelas kakap yang sulit dijamah hukum. Seperti halnya tiga judul terakhir yang disebut, SRK pun tidak seutuhnya jahat lantaran karakter tituler yang dihidupkannya cenderung digambarkan abu-abu mengikuti tindak tanduk ala Robin Hood. Hasil keuntungan dari tindak kriminalnya dimanfaatkan untuk membantu hajat hidup masyarakat di lingkungannya. 

Raees – merujuk pada nama tokoh utama di film, tumbuh di pemukiman kumuh Gujarat yang merupakan markas bisnis minuman keras. Didorong oleh keinginannya meringankan beban finansial sang ibu, Raees nekat terjun ke bisnis ilegal ini bersama sahabat baiknya, Sadiq (Mohammed Zeeshan Ayyub), dengan mengabdikan diri mereka pada Jairaj (Atul Kulkarni). Dideskripsikan sebagai sosok yang “licin bak pedagang, pemberani bak pejuang”, tidak mengherankan Raees cepat mempelajari seluk beluk dunia ini sehingga hanya tinggal menunggu waktu baginya untuk mengucapkan salam perpisahan kepada Jairaj dan membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Usai dipersulit oleh Jairaj yang setengah hati memberikan bantuan, Raees mendapat suntikan dana dari seorang mafia bernama Musabhai (Narendra Jha) yang mengagumi keberanian serta kegigihan Raees. Menggunakan pengalamannya selama bertahun-tahun bekerja dibawah naungan Jairaj untuk menjalankan usaha, perlahan tapi pasti bisnis Raees kian menggurita bahkan melampaui pencapaian mantan atasannya. Menjamurnya pasokan minuman keras ilegal lantas tercium oleh petugas kepolisian idealis, Majmudar (Nawazuddin Siddiqui), yang seketika menyusun strategi untuk membubarkan kerajaan bisnis Raees dan membuatnya bertekuk lutut. 

Dari sinopsis telah terbaca, Raees tidak menawarkan sesuatu baru kepada para penontonnya. Dan memang, Rahul Dholakia mengemasnya seperti tontonan Masala khas Bollywood generasi lawas dengan memadukan tiga unsur sekaligus; laga, komedi, dan romansa. Tontonan enteng saja yang tidak meminta penonton untuk memaksimalkan kinerja otak demi mencerna isi film. Si pembuat film berharap kita bersiul-siul kegirangan melihat sang tokoh utama menghajar musuh-musuhnya sampai babak belur, disusul beromantis ria bersama pasangannya, Aasiya (Mahira Khan), dan tertawa terbahak-bahak mendengar celetukan-celetukan konyol dari barisan karakternya. Misi ini boleh dikata berhasil dituntaskan secara mulus. Sekalipun lagu-lagu pengiringnya tidak cukup melodius untuk ikut didendangkan oleh penonton, Raees masih mempunyai amunisi tinggi dalam menjerat perhatian penontonnya lewat gelaran bak bik buk yang tertata amat mengesankan dan performa kelas kampiun dari SRK beserta Nawazuddin Siddiqui. Inilah penampilan terbaik SRK sejak My Name is Khan yang rilis 7 tahun silam. Di tangannya, sosok Raees menjelma sebagai sosok berwibawa dan mengerikan yang sanggup membunuhmu hanya bermodalkan kacamata di satu sisi, serta rapuh layaknya manusia normal dan simpatik mengikuti ketulusannya dalam memberi bantuan pada wong cilik di sisi yang lain. Tanpa tersadar, kita telah dibuat jatuh hati kepada karakternya lalu secara suka rela memafhumi setiap tindak tanduknya. 

Difungsikan sebagai antitesis dari SRK, Nawazuddin Siddiqui menghadirkan akting tak kalah mengesankannya. Malah, dia mencuri perhatian di setiap kemunculannya dengan tingkah nyelenehnya yang mengundang tawa dan ambisi besarnya untuk meringkus Raees yang agak menyebalkan. Saling bersinergi satu sama lain, adegan-adegan yang menampilkan SRK dan Nawazuddin dalam satu frame merupakan kumpulan momen terbaik dari film. Tatapan keduanya mengisyaratkan kehormatan, kepedulian, serta kebencian sekaligus – menghadirkan hubungan benci tapi rindu. Mereka memimpin departemen akting yang setiap barisan pemainnya suguhkan lakon pas sesuai takarannya seperti Mahira Khan, Mohammed Zeeshan Ayyub, sampai Narendra Jha. Apiknya atraksi akting dari para pemain ini sedikit banyak mengampuni paruh akhir yang serasa bertele-tele lantaran ingin membicarakan beragam topik termasuk mengkritisi politisi-politisi korup yang munafik dan maraknya praktik pemanfaatan agama sebagai barang dagangan. Materinya harus diakui memikat, hanya saja keputusan untuk seketika menumpuknya selepas Intermission tanpa diberikan set up memadai membuat film serasa penuh sesak dan mengurangi kadar keasyikkan dalam menikmati jualan utama film: permainan kucing tikus antara Raees dengan Majmudar. Walau sempat goyah beberapa kali, untungnya daya cengkram Raees bisa betul-betul pulih di saat dibutuhkan keberadaannya, yakni menjelang konfrontasi akhir yang berlangsung mendebarkan.

Exceeds Expectations (3,5/5)