Tampilkan postingan dengan label Mystery. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mystery. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : TRUTH OR DARE

REVIEW : TRUTH OR DARE


“The game is real. Wherever you go, whatever you do it will find you.” 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, rumah produksi Blumhouse Productions berhasil menancapkan kukunya menjadi salah satu nama yang patut diperhitungkan di sinema horor. Betapa tidak, mereka sanggup menghasilkan pundi-pundi dollar dari film seram yang memiliki high-concept dengan bujet seminim mungkin (tidak pernah lebih dari $10 juta!) dan kualitas yang sebagian besar diantaranya dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa sajian yang membawa mereka membumbung tinggi antara lain Paranormal Activity (2009), Insidious (2011), The Purge (2013), Split (2017), sampai Get Out (2017) yang berjaya di panggung Oscar. Menyadari penuh bahwa formula ini terbukti berhasil, tentu tidak mengejutkan jika persembahan terbaru dari Blumhouse, Truth or Dare, yang digarap oleh Jeff Wadlow (Kick-Ass 2), masih menerapkan formula serupa. Premis yang diajukan sekali ini adalah “bagaimana jika permainan ‘jujur atau tantangan’ dibawa ke level lebih tinggi dengan konsekuensi berupa kematian apabila si pemain gagal menyelesaikan permainan?”. Harus diakui ini terdengar agak menggelikan sih, tapi di waktu bersamaan juga menggelitik rasa penasaran. Lebih-lebih trailer Truth or Dare yang dikemas begitu meyakinkan seolah-olah ini tontonan seram yang mengasyikkan semakin membuat hati ini sulit menampik godaan. Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah mungkin Truth or Dare dengan premis konyolnya ini mampu tersaji seru atau malah justru berakhir blunder? 

Truth or Dare sendiri mengawali penceritaannya dengan perjalanan enam sahabat; Olivia (Lucy Hale), Markie (Violett Beane), Lucas (Tyler Posey), Brad (Hayden Szeto), Tyson (Nolan Gerard Funk), dan Penelope (Sophia Ali), ke Meksiko untuk merayakan libur musim semi. Berbagai macam kegilaan anak muda khas film horor mereka lakukan sepanjang liburan seperti berpesta semalam suntuk, berhubungan seks, menenggak alkohol… you name it. Kegilaan ini kian tak bisa dipahami akal sehat saat mereka memutuskan untuk mengikuti ajakan seorang laki-laki yang baru dikenal Olivia di bar bernama Carter (Landon Liboirion) ke sebuah reruntuhan gereja. Di sana, mereka bermain ‘jujur atau tantangan’ yang secara cepat berubah menjadi canggung tatkala rahasia salah satu dari mereka tersentil. Suasana yang telah serba tidak mengenakkan ini kian bertambah parah tatkala Carter mengungkap tujuan utamanya membawa mereka ke tempat ini. Ternyata oh ternyata, permainan ‘jujur atau tantangan’ yang mereka mainkan ini tidak sesederhana tampaknya karena ada keterlibatan iblis didalamnya. Alhasil satu demi satu personil pun dihadapkan pada permainan ‘jujur atau tantangan’ versi supranatural sekembalinya mereka ke Amerika Serikat pada waktu dan tempat tak terduga dari seseorang (atau sejumlah orang) dengan seringai aneh menyerupai filter Snapchat yang buruk. Aturannya sederhana saja: tunaikan permainan tersebut hingga tuntas karena jika kamu gagal melaksanakannya… ajal akan dengan senang hati menjemputmu.


Untuk beberapa saat, Truth or Dare tampak seperti versi duplikat dari rangkaian film Final Destination. Sejumlah remaja berusaha mencurangi kematian yang mengejar mereka dengan urutan sesuai giliran mereka bermain ‘jujur atau tantangan’. Dari lubuk hati yang terdalam, saya pribadi sih berharap Truth or Dare akan menempuh jalur yang sama karena Final Destination termasuk tontonan seram yang seru (yaaa… setidaknya untuk tiga seri pertama) dengan penggambaran ‘cara untuk tewas’ yang kreatif. Akan tetapi, usai adegan pembukaan di sebuah pom bensin yang membangkitkan semangat untuk mengudap habis film ini, lalu dilanjut dengan kematian pertama yang melibatkan meja biliar, dan tantangan menyusuri pinggiran genteng seraya menenggak alkohol yang mendebarkan, perlahan tapi pasti Truth or Dare terasa seperti kehilangan arah dan kebingungan dalam mengembangkan premis miliknya. Berdasarkan premis yang diusung, Truth or Dare sebetulnya berpotensi bagus apabila: 

1) sadar diri bahwa premisnya memang menggelikan sehingga tidak ada upaya untuk menggulirkan kisah yang sok serius dan lebih memilih untuk menertawakan diri sendiri dengan menghadirkan eksekusi serba over the top 
2) memiliki aturan main yang jelas – tidak seenaknya diubah-ubah sampai bikin otak ini keriting memikirkannya, serta 
3) menghindari main aman dengan bersedia merangkul rating R (17 tahun ke atas) karena materinya yang membutuhkan pertaruhan akan kesulitan mencapai potensinya jika film enggan untuk menampilkan kekerasan dalam level cukup tinggi. 

Sayangnya, pihak pembuat film kekeuh mempertahankan Truth or Dare untuk tetap bermain-main di ranah horor dengan rating PG-13. Jeff Wadlow beserta tiga rekan penulis skrip malah memilih untuk menyisipi Truth or Dare dengan isu-isu berat tak perlu seperti homoseksual, bunuh diri, serta pelecehan seksual yang justru membuat film ini penuh sesak sekaligus tampak seperti salah satu episode sinetron percintaan remaja terlebih ada pula konflik mengenai pertikaian antar sahabat karena rebutan cowok. Ingin rasanya ku mengucap istighfar! Sederet isu ini sebetulnya memiliki potensi menjadi bumbu taburan yang mengikat apabila: 

1) premis yang diusung Truth or Dare tidak kelewat menggelikan untuk dibawa serius, serta 
2) ada perkembangan karakter mumpuni yang membuat penonton memahami lalu peduli terhadap masing-masing karakter. 


Tapi kenyataannya kan tidak demikian. Premisnya konyol dan karakter di film ini tak lebih dari sekumpulan stereotip karakter dalam film horor yang dangkal. Alhasil, selama separuh akhir, Truth or Dare tak saja menjelma menjadi FTV bertajuk “Aku Jatuh Cinta Pada Kekasih Sahabatku” tetapi juga ketoprak lantaran setiap tindakan para karakternya mengundang gelak tawa tak disengaja (ehem, mencari solusi dari Google dan Facebook? Dasar generasi milenial!). Mengingat rating PG-13 membatasi film untuk tampil liar; adegan pencabutan nyawa yang monoton dengan sebagian besar hanya menggunakan pistol dan tantangan yang makin lama justru makin drama (serius, ini setan sepertinya gemar nonton reality show atau sinetron deh!), maka daya tarik yang tersisa dari film ini adalah kekonyolannya yang tak berkesudahan dan Lucy Hale yang rupawan. Aktingnya? Ah lupakan saja.

Poor (2/5)

Kamis, 15 Maret 2018

REVIEW : GAME NIGHT

REVIEW : GAME NIGHT


“This will be a game night to remember.” 

Bagaimana jadinya saat sebuah malam permainan yang semestinya cuma seru-seruan bersama kawan dekat di ruang tamu malah berujung petaka yang mengancam nyawa? Jelas ini bukan suatu kejadian yang diharapkan terjadi oleh siapapun, meski rasa-rasanya kita sama sekali tidak keberatan melihatnya terjadi di sebuah film layar lebar. Terdengar mengasyikkan, bukan? Premis seputar permainan sederhana yang malah berbalik mengancam keselamatan sang pemain memang tidak lagi baru di perfilman Hollywood – kita telah melihatnya dari Jumanji (1995) yang berbalut fantasi, The Game (1997) yang menjajaki teritori thriller, sampai paling baru The Commuter (2018) – akan tetapi duo sutradara John Francis Daley dan Jonathan Goldstein yang sebelumnya menggarap Vacation (2015) dan menulis naskah untuk Horrible Bosses (2014) memiliki cara agar sajian mereka yang bertajuk Game Night ini tidak terasa basi serta tetap mengasyikkan buat diikuti sekalipun guliran pengisahan yang diajukannya akan membuat kita seketika teringat pada The Game… pada mulanya. Yang lantas mereka lakukan yakni mengemas Game Night sebagai tontonan komedi gila-gilaan tanpa mengenal batas yang di dalamnya dipenuhi twist and turn pada tuturannya serta mengandung seabrek referensi budaya populer pada humornya yang dijamin akan membuat para movienthusiast bersorak gembira saat menontonnya. Dijamin. 

Dalam Game Night, kita diperkenalkan kepada sepasang suami istri, Max (Jason Bateman) dan Annie (Rachel McAdams), yang kerap mengajak serta sahabat-sahabat mereka seperti pasangan sejak bangku SMP, Kevin (Lamorne Morris) dan Michelle (Kylie Bunbury), beserta Ryan (Billy Magnussen) yang kerap bergonta-ganti pasangan, untuk mengikuti malam permainan. Yang mereka mainkan sebetulnya simpel saja seperti monopoli, jenga, pictionary, charade, sampai Trivial Pursuit. Tidak ada yang benar-benar istimewa disini sampai kemudian saudara Max yang keren, Brooks (Kyle Chandler), ikut meramaikan malam permainan. Brooks mengundang ‘kelompok bermain’ ini untuk datang ke villa miliknya dan merubah peta permainan dengan menyewa penyedia jasa permainan peran demi memberi kesan riil. Nantinya, salah satu dari mereka akan ‘diculik’ oleh sekelompok penjahat sementara anggota yang tersisa berlomba-lomba mencari petunjuk yang dapat membebaskan kawan mereka tersebut. Yang tidak Max beserta konco-konco sadari, saat dua laki-laki bertopeng hitam tiba-tiba mendobrak masuk ke villa milik Brooks lalu bergumul dengan Brooks dan kemudian menculiknya, permainan belum sepenuhnya dimulai. Keenam personil – termasuk teman kencan Ryan, Sarah (Sharon Horgan) – baru menyadari ada sesuatu yang salah pasca petunjuk demi petunjuk telah terurai dan mereka mendapatkan telepon yang meminta mereka menyerahkan sebuah benda sebelum tengah malam yang nantinya akan ditukar dengan nyawa Brooks.


Terhitung sedari diculiknya Brooks sang tuan rumah, Game Night mengalami eskalasi baik dari sisi humor maupun laga. Dan ini sebuah kabar yang sangat bagus! Betapa tidak, sebelum kita mendapati apa permasalahan utama yang disodorkan oleh film, kelucuan sejatinya telah bertebaran dimana-mana. Mayoritas bersumber dari malam permainan yang diadakan oleh Max dan Annie. Ada seabrek referensi ke budaya popular terutama film yang akan membuat para pecandu film bersorak-sorak bergembira atau malah justru tertawa tergelak-gelak. Disamping kelucuan, Game Night turut menyematkan elemen misteri di awal mula yang ditandai oleh keberadaan polisi creepy yang tinggal di seberang rumah Max, Gary (Jesse Plemons). Sosok Gary begitu mencuri perhatian dalam setiap kemunculannya karena kemisteriusannya. Jangankan penonton, para personil malam permainan pun tidak bisa benar-benar yakin apa yang dapat dilakukan oleh Gary. Betulkah dia masih waras? Atau dia memiliki gangguan kejiwaan yang dapat melukai orang lain usai ditinggal pergi sang istri? Plemons memainkan perannya dengan baik; menunjukkan seringai dan tatapan menyeramkan, tapi masih memiliki sentuhan komikal. Duo Jason Bateman dan Rachel McAdams juga bermain kompak sebagai pasangan suami istri yang kompetitif, begitu pula dengan Billy Magnussen yang kebodohannya bikin gregetan dan duo Lamorne Morri beserta Kylie Bunbury yang kehadirannya mulai memberikan impak setelah karakter yang mereka mainkan dihadapkan pada permainan “guess who?”

Ini terjadi di malam penculikan Brooks. John Francis Daley dan Jonathan Goldstein mulai melancarkan ‘serangan’ bertubi-tubi kepada penonton dalam bentuk humor-humor segar yang terkadang menjajaki ranah slapstick tapi sebagian besar diantaranya tepat sasaran sehingga kita pun tidak keberatan sama sekali toh kita dapat dibuat tertawa hebat olehnya, sejumlah sekuens laga mendebarkan yang salah satu paling membekas di ingatan tatkala para personil malam permainan saling melempar ‘telur’ bak tengah bermain football yang dikemas dalam satu sekuens panjang tanpa putus, serta jalinan pengisahan mengikat yang akan membuatmu senantiasa menerka-nerka kemana muaranya terutama karena di dalamnya penuh dengan kelokan-kelokan tak terduga. Ditengah segala canda tawa, Daley dan Goldstein juga tidak lupa menyelipkan sejumput ‘hati’ ke dalam penceritaan yang berceloteh soal persaingan antar saudara, keengganan untuk tumbuh dewasa, hingga kepercayaan dalam pernikahan. Takarannya berada di level cukup, jadi tak mengganggu laju film yang bergegas cenderung ngebut dan nada film yang gila-gilaan. Si pembuat film mengupayakan agar Game Night yang mereka selenggarakan betul-betul meninggalkan kesan mendalam di hati para pesertanya (baca: penonton), dan itu berhasil. Game Night mampu memberikan banyak sekali kesenangan sepanjang durasi mengalun sampai-sampai membuat saya lemas begitu film berakhir lantaran berulang kali tertawa heboh. Pecah!


Note : Game Night memiliki dua adegan tambahan. Pertama, mengiringi bergulirnya end credit. Dan kedua, terletak di penghujung end credit. Jadi jangan terburu-buru beranjak dari kursi bioskop.

Outstanding (4/5)

Selasa, 13 Juni 2017

REVIEW : DETECTIVE CONAN: CRIMSON LOVE LETTER

REVIEW : DETECTIVE CONAN: CRIMSON LOVE LETTER


Selepas The Darkest Nightmare yang merupakan salah satu seri terbaik dalam rangkaian film layar lebar Detective Conan, antisipasi terhadap jilid ke-21 yang diberi tajuk Crimson Love Letter pun seketika meninggi. Terlebih, dua karakter kesayangan para penggemar; Heiji Hattori dan Kazuha Toyama, yang terakhir kali menampakkan diri dalam Private Eye in the Distant Sea (2013) akan memiliki andil besar dalam penceritaan bukan sebatas numpang lewat untuk memeriahkan suasana. Terdengar menggoda, bukan? Tingginya antisipasi terhadap Crimson Love Letter arahan Kobun Shizuno (yang juga menyutradarai enam jilid terakhir) dapat dibuktikan melalui besarnya raihan pundi-pundi uang yang diperoleh selama masa pemutaran di bioskop-bioskop Jepang. Mengantongi $59 juta dalam 9 pekan, Crimson Love Letter tercatat sebagai seri film dari Detective Conan dengan pendapatan tertinggi melibas pencapaian jilid sebelumnya. Berkaca dari respon memuaskan yang diperolehnya ini, satu pertanyaan lantas terbentuk: apakah hype sedemikian kuat yang melingkungi instalmen ke-21 ini berbanding lurus dengan kualitas penceritaan yang diusungnya?

Dalam Crimson Love Letter, Conan Edogawa (disuarakan oleh Minami Takayama) bersama keluarga Mori dan teman-temannya di klub Detektif Cilik bertolak ke Kyoto untuk menghadiri pertandingan Karuta, kartu berisi puisi-puisi tradisional Jepang, memperebutkan Piala Satsuki yang tengah dihelat di Nichiuri TV. Tatkala gladi bersih sedang berlangsung, pihak stasiun televisi menerima kabar mengenai ancaman bom yang disusul oleh sederetan ledakan-ledakan. Ledakan tersebut memerangkap Heiji Hattori (Ryo Horikawa) dan Kazuha Toyama (Yuko Miyamura) di dalam gedung sekaligus melukai pergelangan tangan salah satu finalis, Mikiko Hiramoto (Riho Yoshioka). Berbekal kemampuan serta peralatan canggih yang dimilikinya, Conan berhasil menyelamatkan kedua sahabatnya tanpa sedikitpun meninggalkan luka. Berakhir? Tentu saja belum. Dari sini, pengisahan bercabang menjadi tiga. Pertama, menyoroti kasus pembunuhan yang menimpa pemenang Piala Satsuki tahun sebelumnya. Kedua, kehadiran seorang perempuan bernama Momiji Ooka (Satsuki Yukino) yang secara tiba-tiba mengaku sebagai tunangan Heiji. Dan ketiga, upaya keras Kazuha yang menggantikan posisi Mikiko untuk memenangkan Piala Satsuki karena keberlangsungan klub Karuta di sekolahnya dan Heiji menjadi taruhannya.


Yang perlu dipersiapkan sebelum menyaksikan Crimson Love Letter adalah membekali diri dengan pengetahuan mengenai Karuta – saran saya, tonton film Jepang berjudul Chihayafuru – karena si pembuat film tidak memberikan penjabaran komprehensif terkait permainan tradisional ini berikut tata cara bermainnya. Keputusan yang jelas beresiko karena penonton yang tidak tahu menahu mengenai Karuta bisa jadi akan dibuat kebingungan serta mengalami kesulitan untuk menaruh atensi lebih terhadap pergerakan kisah apalagi basis persoalan dalam film bersumber dari permainan ini. Tatkala penonton telah ‘tersesat’ sedari awal, mengikuti langkah selanjutnya dari Crimson Love Letter tidak akan berlangsung mudah – bahkan mereka yang paham pun belum tentu bakal lancar-lancar saja. Pemicunya, tuturan yang terlampau berbelit-belit bahkan untuk standar film Detective Conan. Pembagian kisah menjadi beberapa cabang seringkali berasa tumpang tindih dan dimunculkannya setumpuk tersangka tanpa urgensi yang nyata kian menyebabkan segalanya terlalu rumit untuk dicerna. Ya, ada banyak sekali nama yang harus kamu hafalkan, saudara-saudara! Dengan kasus yang sebetulnya juga tidaklah seru-seru amat (well, bisa jadi karena kurang akrab dengan intrik di dalam dunia Karuta), menyaksikan film lebih sering digerakkan oleh percakapan-percakapan tentu memberi pengalaman kurang menyenangkan. 

Anehnya, Crimson Love Letter justru menunjukkan gregetnya saat penceritaan menaruh fokusnya kepada hubungan tanpa status yang naik turun antara Heiji dan Kazuha. Ketimbang menaruh ketertarikan terhadap kasus menjemukan yang diusut oleh Conan beserta Heiji, keingintahuan lebih besar malah berkisar pada identitas Momiji Ooka. Siapakah dia? Mengapa dia benar-benar sangat yakin bahwa dirinya adalah tunangan dari Heiji? Penonton tentu tidak lantas memperoleh jawabannya dengan mudah. Dari pertanyaan-pertanyaan ini, Kobun Shizuno kemudian mengembangkannya menjadi satu dua cabang konflik; Momiji menantang Kazuha bertarung di Piala Satsuki dengan Heiji sebagai taruhannya yang memacu Kazuha untuk berlatih Karuta habis-habisan dibantu oleh ibu Heiji, Shizuka (Masako Katsuki), lalu Ran Mori (Wakana Yamazaki) tanpa sengaja melihat sebuah foto di dompet Momiji yang menjadi bukti otentik atas pernyataan Momiji mengenai statusnya di sisi Heiji. Nah lho! Dengan pekatnya kelakar-kelakar lucu yang menghiasi disana sini, ditambah pula bisa dijumpainya elemen romansa di beberapa titik dan adanya intensitas dibalik persaingan sengit antara Kazuha dengan Momiji, konflik yang melingkungi Kazuha-Heiji ini pun menjadi nyawa bagi Crimson Love Letter. Kalau sudah begitu, tentu sah-sah saja dong jika saya kemudian lebih memilih menyebut Crimson Love Letter sebagai film komedi romantis ketimbang film detektif?

Note : Ada post-credits scene di penghujung film dengan durasi cukup panjang.

Acceptable (3/5)


Jumat, 19 Mei 2017

REVIEW : THE INVISIBLE GUEST (CONTRATIEMPO)

REVIEW : THE INVISIBLE GUEST (CONTRATIEMPO)


“Focus on the details. They’ve always been in front of our eyes, but you have to analyze them from a different perspective.” 

Terakhir kali dibuat terperangah oleh tontonan thriller yakni dua tahun silam tatkala menyimak film asal India yang dibintangi Ajay Devgan, Drishyam. Mengetengahkan topik pembicaraan utama mengenai “seberapa jauh yang bisa dilakukan orang tua untuk menyelamatkan keluarganya”, film tersebut berhasil menjerat atensi sedari awal mula dengan tuturan berintensitas tinggi yang tergelar rapi dan pada akhirnya bikin geleng-geleng kepala saking kagumnya terhadap kapabilitas si pembuat film dalam mengkreasi suguhan mencekam sarat kejutan ini. Kepuasan tiada tara yang diperoleh usai menyimak Drishyam, lantas menimbulkan ekspektasi tinggi kepada gelaran sejenis yang muncul selepasnya. Tak ada satupun yang mampu menandingi apalagi melampaui sepanjang tahun 2016 sampai kemudian sutradara dari Spanyol, Oriol Paulo (The Body), mempersembahkan karya terbarunya yang amat mencengkram dan merupakan perwujudan dari gugatannya terkait keberpihakan hukum kepada manusia-manusia kaya bertajuk The Invisible Guest (atau dalam judul asli, Contratiempo) di kuartal pertama 2017. Jika Drishyam menaruh fokus penceritaan pada upaya seorang ayah dalam menjauhkan sang putri dari jeratan hukum, maka The Invisible Guest berkutat pada upaya seorang pria kaya dalam menyelamatkan dirinya sendiri berbekal kekuasaan yang dipunyainya. 

Si pria kaya dalam The Invisible Guest adalah Adrian Doria (Mario Casas), pebisnis muda yang karirnya tengah meroket tajam dan mempunyai keluaga kecil yang menyayanginya. Kesuksesan yang telah direngkuhnya di usia relatif muda ini sayangnya tak jua membuatnya puas hingga Adrian memutuskan menjalin hubungan gelap dengan seorang fotografer fashion, Laura Vidal (Barbara Lennie). Masalah besar lantas muncul dalam kehidupan Adrian ketika Laura ditemukan tewas terbunuh di sebuah kamar hotel yang tertutup rapat. Mengingat pengakuan dari para saksi menyebut tidak ada orang lain yang meninggalkan kamar selepas kegaduhan terdengar, maka secara otomatis Adrian yang tengah berada di TKP ditetapkan sebagai tersangka. Guna membebaskan diri sekaligus membersihkan namanya, Adrian yang menyatakan dirinya tidak bersalah pun meminta bantuan kepada pengacara handal, Felix (Francesc Orella), yang lantas merekrut pula seorang ahli dengan spesialisasi dalam bidang ‘witness preparation’, Virginia Goodman (Ana Wagener), untuk mempersiapkan Adrian jelang pengadilan baru yang konon kabarnya melibatkan saksi misterius dari pihak jaksa penuntut. Sesi persiapan antara Adrian dengan Virginia yang diperkirakan akan berlangsung lancar tanpa hambatan nyatanya justru berjalan rumit tatkala terungkap satu demi satu fakta yang selama ini sengaja dipelintir demi menyelamatkan nama baik sang tersangka. 

Tanpa banyak berbasa-basi, Oriol Paulo langsung mempertemukan penonton dengan Virginia dan membawa kita memasuki apartemen Adrian guna mengikuti sesi persiapan jelang persidangan. Adrian lantas menarasikan mengenai apa yang menurutnya terjadi di kamar hotel sebelum Laura ditemukan dalam kondisi telah meregang nyawa oleh pihak berwajib. Virginia yang pekerjaannya menuntut dia untuk senantiasa memperhatikan detail sekaligus menaruh kecurigaan, merasakan adanya kejanggalan dibalik cerita sang klien. Ini menjadi persoalan baginya yang mempunyai catatan impresif sepanjang karirnya karena ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh jaksa penuntut untuk mengalahkannya di kasus terakhir yang ditanganinya. Virginia pun mendesak Adrian secara keras untuk membeberkan peristiwa yang belum pernah diungkapkannya ke pihak lain karena kebohongan tidak akan menuntun mereka kemanapun. Selepas mendengar pengakuan pertama inilah, tensi dari The Invisible Guest yang sebetulnya sudah diatur di level sedang oleh si pembuat film sedari menit pembuka perlahan tapi pasti mulai mengalami eskalasi. Seperti halnya Virginia, penonton akan secara otomatis menaruh keraguan terhadap Adrian: apakah kronologi peristiwa yang dipaparkannya adalah sebentuk fakta atau ada kebenaran yang disembunyikannya sehingga menempatkannya sebagai narator tidak bisa dipercaya?


Lalu, cerita kedua mengemuka. Oriol Paulo tidak lagi memboyong penonton untuk menelusuri TKP, melainkan menarik tuturan jauh ke belakang sebelum Adrian dan Laura menjejakkan kaki di hotel. Pemantiknya, sebuah headline di surat kabar. Berdasarkan cerita kedua yang berujung pada kasus memilukan tak terpecahkan, baik kedua tokoh utama maupun penonton kemudian menelurkan hipotesis atas keterkaitannya terhadap kasus pembunuhan Laura di ruang tertutup. The Invisible Guest makin berasa mengasyikkan lantaran kita tidak pernah benar-benar bisa yakin mengenai apa yang selanjutnya terjadi. Ya, Oriol Paulo amat cerdik dalam mengatur tempo film. Dia paham betul kapan seharusnya mengecoh penonton yang seolah-olah diposisikan sebagai juri dalam persidangan dengan kebohongan yang dipermak sedemikian rupa sehingga amat menyerupai kenyataan dan kapan seharusnya menggelontorkan bukti-bukti otentik. Dengan ritme penceritaan yang senantiasa bergegas, jelas dibutuhkan konsentrasi selama menyaksikan The Invisible Guest. Sedikit saja terdistraksi, kepingan-kepingan bukti yang telah susah payah disusun sejak awal bisa jadi akan berakhir berantakan atau menuntut disusun ulang. Seperti diutarakan oleh Virginia dalam satu adegan, “fokuslah pada detil.” Apabila sanggup menurutinya, bukan tidak mungkin kamu akan bisa menerka kemana film bakal bermuara. 

Apakah dengan diri ini menganggap telah bisa menebak kenyataan yang tersembunyi, film seketika kehilangan daya cengkramnya? Tidak semudah itu, Tuan dan Nyonya. Nuansa mencekam masih bisa dirasakan, terlebih The Invisible Guest punya sokongan sinematografi apik yang membentuk mood tontonan yang condong ke arah suram mencekam sekaligus atraksi lakonan mengagumkan dari keempat pemain sentralnya; Mario Casas, Ana Wagener, Barbara Lennie, serta Jose Coronado sebagai seorang ayah yang berupaya keras menemukan keadilan. Para pelakon ini turut mendorong terwujudnya keinginan sang sutradara untuk terus mengombang-ambingkan dugaan penonton lewat serentetan kelokan mengejutkan yang secara mengagumkan dapat terajut begitu rapi. Baik Casas, Wagener, Lennie, maupun Coronado masing-masing menunjukkan ambiguitas dalam karakter yang mereka perankan; terkadang tampak terguncang dan rapuh, terkadang pula tampak sukar dipercaya dan mencurigakan, yang menjerat keingintahuan penonton untuk mengetahui motivasi dibalik tindakan mereka. Satu yang tampak jelas, Adrian ingin menyelamatkan karir dan nama baiknya. Melalui sosok Adrian inilah, Oriol Paulo menyuarakan kritik terhadap keberpihakan hukum kepada mereka yang mempunyai uang dan kekuasaan. Dibubuhkan sesuai takaran, kritik pun terasa sangat relevan dan menyentil yang berjasa pula dalam membantu menempatkan The Invisible Guest sebagai film thriller papan atas. Seriously, you should definitely not miss this one!

Outstanding (4,5/5)


Kamis, 06 April 2017

REVIEW : GET OUT

REVIEW : GET OUT


“Man, I told you not to go in that house.” 

Berkunjung ke rumah calon mertua untuk pertama kali agaknya kerap meninggalkan cerita menarik buat dikulik. Tatkala berkumpul bersama kerabat, pengalaman ini cukup sering diajukan sebagai topik pembicaraan. Ada yang mengaku biasa-biasa saja, ada pula yang mengaku memperoleh sensasi menegangkan terlebih jika terpampang perbedaan antara kedua belah pihak entah itu status sosial, pandangan politik, agama, budaya atau suku. Perbedaan umumnya mendasari mencuatnya konflik atau setidaknya begitulah yang terjadi dalam film mengenai kunjungan ke rumah calon mertua seperti dimunculkan di Guess Who’s Coming to Dinner (1967), Meet the Parents (2000), sampai The Journey (2014). Mengedepankan perbedaan sebagai sumbu konflik, ada satu kesamaan yang menjembatani ketiga film ini: kesemuanya digulirkan secara komedik. Versi terbaru untuk pengalaman berkunjung yang dikreasi oleh Jordan Peele – seorang komedian dari duo Key & Peele – berjudul Get Out (2017) pun mulanya mengisyaratkan akan mengambil jalur serupa mengingat latar belakang si pembuat film. Memang elemen komedinya masih pekat, hanya saja genre horor lah yang dikedepankan Peele untuk melantunkan penceritaan dalam Get Out. Sebuah pendekatan menarik yang rasa-rasanya akan membuat kunjungan ke rumah calon mertua serasa kian menegangkan.

Pasangan yang bersiap-siap menunaikan kunjungan di Get Out adalah Chris Washington (Daniel Kaluuya) dan Rose Armitage (Allison Williams). Berbeda ras; Chris berkulit hitam, sementara Rose berkulit putih, membuat Chris sempat was-was ketika diundang untuk mengunjungi keluarga sang kekasih. Dalam upayanya menenangkan Chris, Rose sendiri menegaskan bahwa kedua orang tuanya tidaklah rasis yang dibuktikan salah satunya dengan pernyataan akan memilih Obama sebagai Presiden untuk ketiga kalinya. Tentu Chris tidak semudah itu diyakinkan. Masih diliputi kekhawatiran, dia mencoba mengontrolnya demi menghindarkan Rose dari kekecewaan. Sesampainya mereka di rumah orang tua Rose yang lokasinya terbilang terisolasi, kecemasan Chris sempat mereda begitu mendapati calon mertuanya, Dean (Bradley Whitford) dan Missy (Catherine Keener), menyambutnya dengan tangan terbuka. Seperti halnya Rose, keduanya pun berupaya meyakinkan Chris bahwa mereka tidak mempunyai kecenderungan rasis dan bersedia memilih Obama sekali lagi. Tidak menemukan sesuatu yang salah dari Dean maupun Missy kecuali ada kalanya mereka tampak terlalu ramah, Chris justru menjumpai kejanggalan dari dua pelayan kulit hitam di rumah itu. Dari mereka, ketidakberesan keluarga Armitage bisa diendusnya dengan jelas. Kekhawatiran Chris kembali mengemuka dan akhirnya terkonfirmasi pada satu malam tatkala dia berjalan ke pekarangan rumah untuk menyalakan sebatang rokok. 

Dalam mempermainkan rasa takut penonton, Jordan Peele enggan untuk menerapkan konsep “geber saja jump scares sebanyak mungkin.” Meski bukannya tidak tersedia, keberadaan trik usang tersebut di Get Out bisa dihitung menggunakan jemari tangan. Ketimbang membuat kita terlonjak dari kursi bioskop untuk sesuatu yang tidak perlu, Peele lebih suka membangun kengerian melalui emosi yang tumbuh bersama sang protagonis serta nuansa mengusik ketidaknyamanan yang intensitasnya terbangun setapak demi setapak. Resep dalam membangun kengerian yang dijumput si pembuat film sebetulnya bukan juga sesuatu baru yakni “kamu bisa mencium adanya sesuatu yang tidak benar di sekelilingmu, tetapi kamu tidak bisa melihatnya”. Yang memberikannya kesegaran, ada taburan isu rasisme diatasnya. Tengok saja pada satu momen di titik lontar film sebelum judul menyelinap masuk: seseorang berjalan sendirian dalam kegelisahan di perumahan pinggir kota yang sunyi pada suatu malam, lalu sebuah mobil membuntutinya. Sepintas tampak klise karena teror semacam ini kerap dipergunakan di genre horor. Pembedanya, sekali ini korban bukanlah seorang perempuan melainkan laki-laki muda berkulit hitam. Dimulai semenjak menit pembuka, Peele telah mempergunakan Get Out sebagai medium untuk melontarkan komentar sosial. Bukan sebentuk keluhan melainkan lebih ke cerminan atas realita di Amerika Serikat yang kian tak bersahabat bagi warga kulit berwarna. Ini pun seringkali disempalkan dalam wujud satir menggelitik atau malah subteks sehingga atensi penonton tidak terpecah dan tidak pula mendistraksi bangunan terornya.


Selepas adegan pembuka yang terbingkai mencekam, Get Out mengalun santai. Kita berbasa basi bersama Chris dan Rose, serta diperkenalkan pula dengan kawan baik Chris, Rod (Lil Rel Howery), yang nantinya bukan saja memegang peranan dalam melemaskan urat-urat tegang penonton dengan banyolan-banyolan segarnya tetapi juga berkontribusi ke pergerakan kisah. Begitu kendaraan yang ditumpangi Chris dengan Rose dalam perjalanan menuju rumah orang tua Rose menabrak seekor rusa lalu mendatangkan seorang polisi yang gigih meminta kartu identitas Chris, eskalasi ketegangan mulai terpampang nyata. Pertambahannya terus terdeteksi seiring Chris menjejakkan kakinya di rumah sang calon mertua. Keramahan Dean beserta Missy kadang tampak terlalu dibuat-buat, sementara kedua pelayan berkulit hitam di rumah tersebut; Georgina (Betty Gabriel) dan Walter (Marcus Henderson) memperlihatkan emosi bak robot – kelewat terkontrol secara laku dan tutur. Berada dalam situasi ganjil semacam ini, siapa tak merasa was-was? Belum lagi ketika rombongan tamu yang memeriahkan pesta keluarga Armitage yang kesemuanya berkulit putih berdatangan. Chris terjebak di kerumunan tamu dengan warna kulit sama sekali berbeda dan rentang usia terpaut cukup jauh yang mengaguminya secara tidak wajar termasuk menyinggung soal kehebatannya di atas ranjang. Bukankah ini amat sangat mengganggu? Seperti ketika kita terjebak bersama kerabat yang tidak dikenal akrab lalu mereka memberondong kita dengan serentetan pertanyaan bersifat personal. Sebuah kisah horor yang sesungguhnya. 

Chris sangat bisa merasakan ada sesuatu yang salah disini tetapi tidak sanggup menyebutkan dimana letak kesalahannya. Dimainkan amat baik oleh Daniel Kaluuya, sosoknya mudah menjerat simpati dari penonton. Ketika seorang kulit hitam lain secara misterius tiba-tiba memintanya untuk meninggalkan kediaman keluarga Armitage, kita pun berharap Chris bersedia menurutinya sekalipun mustahil bakal dikehendaki si pembuat film karena si protagonis utama baru sekadar mengalami teror secara psikis – dan film baru separuh jalan. Saya tidak akan memberi paparan lebih lanjut terkait keanehan apalagi yang menyergap Chris demi menjaga kenikmatanmu dalam menonton. Satu hal yang jelas: ada rahasia mengerikan tersembunyi dibalik topeng-topeng cantik yang dikenakan oleh keluarga Armitage. Benarkah mereka tidak rasis? Bukankah ada kalanya mereka yang mengaku demikian justru lebih patut diwaspadai ketimbang mereka yang secara terang-terangan bertindak rasis? Performa mengesankan dari Bradley Whitford, Catherine Keener, Caleb Landry Jones (memerankan saudara Rose), Betty Gabriel, serta Allison Williams membuat kita yakin sepenuhnya bahwa mereka bukanlah keluarga kelas menengah biasa. Ditunjang iringan musik ngehe gubahan Michael Abels, Get Out kian membangkitkan sensasi merinding terutama sedari satu fakta dibongkar oleh Rod. Kegelisahan yang terus menerus mengusik akhirnya mencapai puncaknya di babak penutup yang menghadirkan pertunjukkan berdarah nan memuaskan. Memiliki muatan teror mencekam, kunjungan ke rumah calon mertua bersama Jordan Peele di Get Out pun meninggalkan pengalaman mengasyikkan bagi para penikmat film horor.

Outstanding (4/5)


Rabu, 04 Januari 2017

REVIEW : THE GIRL ON THE TRAIN

REVIEW : THE GIRL ON THE TRAIN


“You're not gonna get rid of me. You're gonna pay for this for the rest of your life.” 

Salah satu penyebab tingginya hype yang melingkungi The Girl on the Train adalah gencarnya penyematan label “the next Gone Girl” oleh berbagai kalangan. Komparasi keduanya memang sulit terelakkan mengingat ada keserupaan pada genre, tema, sampai gender sang penulis. Konflik besarnya boleh dikata segendang sepenarian terkait menghilang secara misteriusnya seorang perempuan yang telah menyandang status “istri”. Disandingkan-sandingkan berulang kali jelas menarik perhatian khalayak ramai. Menyandang predikat best-selling novel beserta memperoleh resepsi hangat kritikus, kentara sekali “si perempuan dalam kereta” memenuhi pengharapan banyak pihak yang seketika menghantarkannya ke tahapan lebih lanjut dari sebuah novel laris: adaptasi. Nah, tahapan inilah yang lantas membawa dua novel ini berpisah jalan. Gone Girl yang beruntung digaet oleh David Fincher mendapatkan jalan mulus nyaris tanpa hambatan berarti, sementara The Girl on the Train yang ditukangi Tate Taylor (The Help) memperoleh jalur bertolak belakang. Penuh lubang dimana-mana sehingga perjalanan pun berlangsung kurang nyaman dan hanya menyisakan keluh kesah usai menontonnya. 

Diekranisasi dari novel bertajuk sama karangan Paula Hawkins, The Girl on the Train mengandalkan sang tokoh utama yang notabene seorang pecandu minuman beralkohol, Rachel (Emily Blunt), untuk bernarasi. Saban hari, dalam perjalanan pulang pergi dari pusat kota, Rachel menumpangi kereta dengan jadwal persis sama. Guna mengusir kejenuhan rutinitas yang begitu-begitu saja, Rachel kerap melempar pandangan ke luar jendela kereta lalu menciptakan kisah rekaannya sendiri. Subjek pilihannya adalah pasangan Scott (Luke Evans) dengan Megan (Haley Bennett) yang tampak mempunyai kehidupan rumah tangga sempurna di permukaan. Entah kebetulan atau tidak, pasangan ini tinggal di samping rumah mantan suami Rachel, Tom (Justin Theroux), yang kini telah dikaruniai momongan hasil dari pernikahan barunya bersama Anna (Rebecca Ferguson). Sembari berfantasi, Rachel yang sebetulnya masih belum kunjung berdamai dengan masa lalunya diam-diam memperhatikan pula keseharian Tom dan Anna. Pengintaian intensif ini lantas menyeret Rachel ke persoalan lebih kompleks tatkala Megan tiba-tiba menghilang tanpa jejak dan Rachel menjadi orang terakhir yang melihatnya. 

Sebagai sebuah film yang memproklamirkan dirinya sebagai thriller, The Girl on the Train sejatinya kekurangan amunisi berupa daya cengkram beserta daya cekam untuk mengikat atensi penonton. Gerak langkahnya teramat lambat tanpa memberi banyak signifikansi pada film secara keseluruhan disamping membentuk nada penceritaan yang depresif sehingga belum apa-apa kemungkinan terserang rasa jenuh telah meninggi. Ini diperkarakan lantaran skrip Erin Cressida dan pengarahan dari Tate Taylor tidak cukup memadai dalam menciptakan karakterisasi kuat maupun laju nyaman buat diikuti. Oke, Rachel mempunyai bekal mencukupi yang memungkinkan kita menaruh perhatian terhadapnya – terutama statusnya sebagai “narator tidak dapat dipercaya” – walau gaya hidupnya yang berantakan sedikit banyak mengurangi simpati penonton, tetapi Anna dan Megan? Nope. Anna adalah ibu rumah tangga monoton yang keliaran masa lalunya hanya disampaikan sepotong-sepotong, lalu Megan lebih sering tampak sebagai “annoying bitch” karena motivasi atas tindakannya tak pernah terpapar dengan semestinya. Selain sulit untuk peduli pada nasib masing-masing karakternya, persepsi kita terhadap Rachel, Anna, Megan, pun tak banyak berubah sampai film berakhir. Padahal, bukankah film ini mengenai “persepsi seringkali tak sejalan dengan realita” dan seharusnya penonton dijalinkan ikatan dengan para karakternya demi terwujudnya ketertarikan mendalam pada film? 

Ketiadaan pembacaan subteks menarik yang mengusik pikiran maupun memunculkan bahan obrolan lebih lanjut seperti halnya Gone Girl (kamu bisa menjumpainya di versi novel!), pada akhirnya, menempatkan The Girl on the Train tidak lebih dari tontonan melodrama generik. Tunggu, tunggu, melodrama? Betul. Daya cekam atau rentetan momen penggenjot adrenalin urung hadir disini, malah kita disodori sejumlah adegan penuh amarah bertabur air mata lengkap disertai dialog perngenyit dahi khas opera sabun dengan contoh paling nyata ada di klimaks tanpa ketegangannya. Sensasinya, seperti menonton film-film televisi di kanal berbayar Lifetime. Yang lantas menyelamatkan film dari keterpurukan lebih mendalam adalah betapa baiknya lakonan dari para bintang utama dalam menginterpretasikan peran ditengah-tengah kekacauan naskah, utamanya bintang-bintang perempuan atau lebih spesifik lagi, Emily Blunt. Paling tidak berkat performa berkelas dari Emily yang menampilkan kerapuhan Rachel secara meyakinkan, penonton masih mempunyai sedikit ketertarikan pada karakter yang dimainkannya serta bagaimana kelanjutan persoalan yang dihadapi olehnya sekalipun Rachel acapkali tampak menjengkelkan. Andaikata departemen akting tidak memberi kontribusi sebaik ini, boleh jadi pihak distributor akan mempertimbangkan The Girl on the Train untuk rilis dalam format FTV atau Video on Demand semata ketimbang diboyong ke layar lebar.

Acceptable (2,5/5)



Sabtu, 10 Desember 2016

REVIEW : THE ISLAND FUNERAL

REVIEW : THE ISLAND FUNERAL


Menandai kembalinya Pimpaka Towira ke ranah film fiksi panjang usai dua belas tahun terakhir berkutat dengan karya dokumenter dan film pendek, The Island Funeral yang setahun silam berhasil memboyong penghargaan Best Asian Future Film Award di Tokyo International Film Festival adalah sebuah sarana sempurna untuk kembali ke dunia layar lebar. Sepintas, ini bak film berpendekatan road movie biasa yang mengetengahkan pencarian jati diri dari barisan karakter utamanya, namun seiring penonton semakin terlibat ke dalam film, nyata-nyatanya The Island Funeral lebih dari sekadar itu. Malahan ada upaya juga dari si pembuat film untuk mencampurbaurkan dengan elemen genre lain semacam horor bersifat supranatural dan dokumenter yang justru menginjeksikan daya tarik tersendiri bagi film bersisipan kritik sosial halus mengenai problematika sosial politik yang beranak pinak di Negeri Gajah Putih dibalik upaya mengadvokasi keberagaman serta kebebasan menyuarakan pendapat ini. 
Mula-mula penonton diperkenalkan pada tiga karakter utama dari film; kakak beradik Muslim, Laila (Heen Sashitorn) dan Zugood (Aukrit Aukrit Pornsumpunsuk), serta teman kuliah dari Zugood, Toy (Yossawat Sittiwong). Berasal dari Bangkok, mereka tersesat dalam perjalanan menuju Pattani – salah satu provinsi paling selatan di Thailand yang tengah mengalami konflik radikal dari kelompok separatis – lantaran ketidakmampuan membaca peta. Pada menit-menit pertama, Towira lebih banyak menyoroti adu mulut ketiga tokoh ini yang saling menyalahkan satu sama lain. Tujuan perjalanan mereka adalah menjumpai bibi Laila dan Zugood yang telah bertahun-tahun lamanya tak terdengar kabarnya. Untuk menjangkau kampung halaman sang bibi di suatu wilayah bernama Al-kaf sendiri tak berlangsung mulus khususnya karena mereka terus menerus salah mengambil jalur yang secara bertahap memupuk rasa tercekam dari masing-masing karakter. 

The Island Funeral memulai hentakan pertamanya ketika Laila tiba-tiba menghentikan mobil yang dikendarainya karena merasa melihat seorang perempuan telanjang berbalut rantai melintas di jalanan. Mencoba membuktikan penglihatannya, dia memutuskan menelusuri keberadaan si perempuan yang lantas tak membawa hasil apapun. Berada dalam kegelapan – well, posisi mereka jauh dari pemukiman warga – menebarkan aroma mistis tak mengenakkan. Apakah Laila benar-benar melihat sesosok perempuan tersebut atau itu sekadar ilusinya saja? Kita memang tidak memperoleh konfirmasi secara langsung dari Towira mengenai peristiwa ini, namun yang jelas, timbul ketertarikan mengikuti jalannya film dan jika mengaitkannya ke pembacaan film, keadaan terdesak atau terancam dapat mengungkap sifat asli manusia. Untuk kasus ini, bisa dilihat dampaknya pada Toy yang melontarkan komentar bernada prasangka buruk mengenai perasaan tidak amannya berada di Pattani yang notabene didominasi oleh masyarakat Muslim karena dia adalah seorang non-Muslim. 

Tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena wilayah tersebut tengah berkonflik – kadangkala Towira memperlihatkan aktifitas anggota militer – tapi penegasan tentang Toy dapat disimak saat mereka berkunjung ke sebuah masjid yang terhenti pembangunannya. Pun begitu, The Island Funeral bukan semata-mata berbicara mengenai prasangka (kendati, ya, ada banyak prasangka timbul di beberapa bagian), film ini diam-diam lebih kaya dari itu. Ada subteks terkait kegundahan hati Laila sebagai perempuan Thailand modern yang menjalani hidup di kota besar soal identitasnya dan obrolan tentang idealisme berkenaan kerukunan dibalik adanya keberagaman yang boleh jadi merupakan ekspresi kegalauan Towira terhadap situasi sosial politik Thailand yang tak bersahabat. Terdengar berat? Tidak juga. Sekalipun laju film seringkali lambat, The Island Funeral tak pernah menjemukan berkat kepiawaian Towira mengolah rasa dari tuturan yang teramat mengikat. Dia sanggup membetot atensi penonton sedari adegan gaib yang dialami Laila dan secara konstan film lantas dipenuhi teka-teki bernuansa mistis yang akan membuatmu mengalami fase “ingin mengetahui” tentang apa yang sesungguhnya terjadi.

Outstanding (4/5)

Kamis, 09 April 2015

Durarara!!x2 Shou (S2) Episode 1-12(END) Subtitle Indonesia

Durarara!!x2 Shou (S2) Episode 1-12(END) Subtitle Indonesia

Yosh baru rilis tahun ini gan :D masih panas nih

     Bagian pertama dari musim kedua Durarara. Setengah tahun setelah kejadian di musim pertamanya, Ikebukuro mulai kembali normal. Sekolah berlangsung, Izaya kembali menyusun rencana jahat, dan Celty, sang pengendara tanpa kepala yang legendaris, masih dikejar oleh polisi saat ia berkendara di kota. Tapi ada beberapa hal aneh yang juga terlibat. Perlahan, berkat faktor dari luar, Ikebukuro pun kembali menjadi kacau




Type: TV Series
Episode: 12
Status: Completed
Genres: Action, Mystery, Supernatural
Skor : 8.27 (http://myanimelist.net/anime/23199/Durarara!!x2_Shou)
Tahun Rilis : 2015
Subtitle : Indonesia



Special Thanks to wardhanime.net, tontonanime.com
Shared by RuneAnime