Tampilkan postingan dengan label Romance. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Romance. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : JELITA SEJUBA

REVIEW : JELITA SEJUBA


“Ternyata berat menjadi seorang istri. Apalagi menjadi istri seorang tentara.” 

Kehidupan perwira dengan segala suka dukanya, termasuk saat menjalin asmara, sejatinya bukan bahan kupasan baru dalam film Indonesia. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa menengoknya melalui Merah Putih (2009), Doea Tanda Cinta (2015), serta I Leave My Heart in Lebanon (2016). Hanya saja, mengingat film-film tersebut mengambil sudut pandang penceritaan dari perwira, tak ayal ada satu yang absen dan tidak pernah tergali mendalam. Kehidupan para perempuan yang mendampingi mereka. Para perempuan memang memiliki peranan di film-film ini, tapi sebatas sebagai karakter sekunder dengan karakteristik satu dimensi yang tugasnya hanyalah memotivasi si karakter utama. Tidak pernah lebih dari itu. Padahal ada satu pertanyaan menarik yang sempat beberapa kali terbersit di benak, “bagaimana cara perempuan-perempuan ini menjalani hari demi hari yang dipenuhi dengan penantian tanpa kepastian?.” Ray Nayoan yang sebelumnya lebih aktif di pembuatan film pendek, agaknya menyadari posisi mereka yang cenderung terpinggirkan dalam film Indonesia. Melalui film panjang pertamanya bertajuk Jelita Sejuba yang mengambil latar di Natuna, Kepulauan Riau, Ray bercerita mempergunakan perspektif seorang istri perwira. 

Istri perwira yang dimaksud dalam Jelita Sejuba adalah Sharifah (Putri Marino). Putri sulung dari seorang nelayan (Yayu Unru) dan pemilik warung (Nena Rosier) ini menjalankan bisnis warung makan kecil-kecilan bersama dengan kawan-kawan baiknya yang dinamai Jelita Sejuba. Di warung makan inilah Sharifah berjumpa untuk pertama kalinya dengan Kapten Jaka (Wafda Saifan Lubis) yang sedang ditugaskan oleh batalionnya di Natuna. Telah ada saling pandang dan saling lirik diantara keduanya, tapi belum muncul keberanian untuk mengutarakan isi hati. Apakah ini sebatas kekaguman atau memang ada rasa bernama cinta? Selepas pertemuan pertama tersebut, Jaka dan Sharifah kembali bertemu – baik sengaja maupun tidak – beberapa kali yang sedikit demi sedikit menebalkan rasa diantara mereka. Belum sempat mereka saling menyatakan rasa, Jaka dipindah tugas ke tempat lain. Dalam penantian tersebut, Sharifah mulai menyadari bahwa cintanya memang hanya untuk Jaka. Maka begitu Jaka menjejakkan kaki lagi di Natuna dan mengajaknya untuk menikah, senyum bahagia mengembang di bibirnya. Yang tidak disadari oleh Sharifah kala itu, bukan perkara mudah menjadi istri seorang tentara. Sharifah kerap mengalami fase ditinggal pergi sang suami untuk bertugas selama berbulan-bulan lamanya tanpa pernah ada kepastian kapan dia bisa kembali ke rumah. Tanpa pernah ada kepastian apakah dia bisa kembali ke rumah dengan selamat atau tidak.


Berpatokan pada sinopsis di atas, mudah untuk menyebut Jelita Sejuba memiliki plot yang amat generik. Ya mau bagaimana, pola penceritaannya masih tidak jauh-jauh dari pertemuan seorang perwira yang kaku dengan seorang perempuan desa yang lugu, lalu benih-benih asmara menyeruak hadir ditengah-tengah keduanya, dan mereka pun memutuskan untuk menikah. Jika ini ditangani secara serampangan, kemungkinan besar film akan berakhir sebagai melodrama murahan yang lebih cocok disimak di layar beling. Tapi sensitivitas Ray Nayoan dalam mengarahkan ditunjang oleh skrip renyah garapan Jujur Prananto, elemen-elemen teknis seperti skoring musik beserta sinematografi yang baik sekali, dan performa mengesankan dari jajaran pelakonnya, sanggup membuat Jelita Sejuba berada di kelas yang berbeda. Bahasa kerennya sih, classy. Pilihan Ray untuk melantunkan Jelita Sejuba dengan nada penceritaan cenderung ringan nan jenaka alih-alih penuh ratapan sekalipun Sharifah kerap berjuang seorang diri dalam mengurus rumah tangga terbilang tepat guna. Bahkan, dia mengaplikasikan cara penuturan yang bergaya sekaligus unik (paling menonjol dalam adegan Sharifah-Jaka mengajukan berkas untuk pernikahan. Serius, ini ketje!) sehingga masa-masa berseminya cinta antara dua karakter utama yang sejatinya minim letupan konflik terasa sangat nyaman buat diikuti. Penonton berulang kali dibuat tergelak-gelak oleh tingkah polah para karakter di film, dan sempat pula dibuat menyerukan ‘awww’ berjamaah ketika Jelita Sejuba mencapai titik termanisnya: Jaka melamar Sharifah menggunakan teropong. 

Ini tidak mungkin bisa dicapai apabila penonton sedari awal mengalami kesulitan untuk menginvestasikan emosi kepada film. Naskah ramuan Jujur Prananto memungkinkan kita untuk terhubung pada Sharifah-Jaka. Dia memberi latar belakang mencukupi untuk Sharifah dan Jaka, merepresentasikan mereka sebagai karakter yang mudah kita jumpai di kehidupan sehari-hari, dan menghadirkan dialog-dialog yang mengalir secara natural. Selain itu, performa mengesankan dari Putri Marino beserta Wafda Saifan Lubis pun membantu. Wafda adalah sesosok pria bentukan militer yang kaku, sementara Putri adalah perempuan desa yang polos. Tampak cerah ceria di paruh pertama, Putri berubah menjadi sosok yang lebih kalem di paruh selanjutnya tatkala beban hidupnya menggelembung. Kita bisa mendeteksi adanya tekanan karena kesepian, ketidakpastian, serta himpitan ekonomi. Melalui atraksi akting yang diperagakannya dalam Jelita Sejuba, kita bisa pula merasakan perkembangan akting Putri yang cukup signifikan terlebih nyawa film bergantung penuh kepadanya (dia berhasil, film berhasil. Dia gagal, film gagal). Beruntung, Putri mempunyai rekanan akting yang tidak kalah mengesankannya seperti Wafda, Yayu Unru, Nena Rosier, sampai Aldy Maldini sebagai adiknya yang bengal sehingga amat membantunya menghidupkan sosok Sharifah. Alhasil, selama menonton Jelita Sejuba kita pun ikut tertawa, tersipu, sekaligus terharu.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : ANANTA

REVIEW : ANANTA


“Kita dipertemukan karena ikatan jodoh yang kuat.” 

Para pembaca blog yang budiman, izinkanlah saya untuk menyampaikan satu kabar gembira sebelum mengulas Ananta keluaran MD Pictures. Kabar gembira tersebut adalah (jreng-jreng) Michelle Ziudith sudah terlepas dari film-film romantis picisan garapan Screenplay Films, saudara-saudara!... meski kemungkinan hanya untuk sementara sih. Tapi jangan langsung bersedih karena paling tidak, untuk sesaat kita tidak melihatnya memerankan perempuan tajir melintir yang hobi merajuk, remaja yang mengemis-ngemis cinta seolah dia akan tewas jika terlalu lama menjomblo, atau gadis yang gemar bersabda dengan kata-kata mutiara di setiap hembusan nafasnya. Ini tetap patut dirayakan. Kenapa? Karena saya selalu percaya bahwa Michelle Ziudith memiliki bakat dalam berakting (apalagi kalau sudah akting banjir air mata, saingan deh sama Acha Septriasa!) dan dia sangat perlu kesempatan untuk membuktikannya. Melalui Ananta yang didasarkan pada novel bukan horor bertajuk Ananta Prahadi rekaan Risa Saraswati (seri Danur), aktris yang akrab disapa Miziu ini mendapatkan kesempatan tersebut. Memang sih kalau ditengok dari segi genre, Ananta masih bermain-main di jalur andalan Miziu yakni drama percintaan yang sekali ini membawa muatan komedi cukup pekat. Hanya saja yang membuat film ini berbeda dan boleh jadi merupakan tiket emas baginya adalah Ananta mempunyai penggarapan beserta performa pemain yang baik sehingga menempatkannya berada di level lebih tinggi dibanding film-film Miziu terdahulu. 

Dalam Ananta, Michelle Ziudith berperan sebagai Tania yang dideskripsikan sebagai remaja SMA yang kesulitan dalam berinteraksi secara sosial sehingga dia memilih untuk membenamkan diri dengan dunianya sendiri: lukis melukis. Akibat sikapnya yang jauh dari kata bersahabat, Tania hidup dalam kesendirian. Dia tidak memiliki satupun teman bermain di sekolah, dia juga tidak memiliki satupun teman berbicara di rumah. Satu-satunya orang yang dipersilahkan Tania memasuki kehidupannya adalah Bik Eha (Asri Welas) – itupun sebatas berurusan dengan makanan. Kehidupan Tania yang terbilang sunyi dan monoton ini lantas mengalami perubahan saat Ananta Prahadi (Fero Walandouw), murid pindahan asal Subang yang memiliki logat Sunda kental, hadir di sisinya. Ini bisa diartikan secara harfiah karena Ananta duduk sebangku dengan Tania. Karakteristiknya yang periang jelas bertolak belakang dengan Tania yang muram. Pun begitu, Ananta berupaya memahami rekan sebangkunya ini termasuk memasakannya nasi kerak yang merupakan makanan favorit Tania dan membantunya menjual lukisan-lukisannya. Tania yang semula apatis perlahan tapi pasti bersedia membuka diri pada Ananta sehingga hubungan persahabatan sekaligus hubungan bisnis pun terbentuk. Kesedihan yang selama ini menggelayuti diri Tania pun memudar tergantikan oleh kebahagiaan sampai kemudian Ananta tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan Tania menyambut datangnya pria lain dalam kehidupannya, Pierre (Nino Fernandez). 



Seperti halnya jutaan umat manusia di luar sana, saya pun sebetulnya menganggap sepele Ananta. Satu-satunya yang berkontribusi terhadap tergeraknya hati dan kaki ke bioskop untuk menjajalnya adalah sang sutradara, Rizki Balki, yang memulai debutnya dengan apik melalui Aku, Benci, dan Cinta (2017). Michelle Ziudith? Kepercayaan saya sudah mulai meluntur. Membawa sikap skeptis ke dalam ruang pemutaran, diri ini merasa tertampar saat tanpa disangka-sangka Ananta ternyata mampu tersaji sebagai tontonan yang jenaka (ya, film ini lucu sekali!) sekaligus hangat, manis, dan menyentuh di waktu bersamaan. Rizki yang gaya penuturannya terasa sekali terpengaruh dari film-film romantis asal Korea Selatan membuktikan bahwa debutnya tersebut bukanlah suatu kebetulan pemula belaka dan Michelle Ziudith menunjukkan bahwa dia memang layak untuk diberikan kesempatan. Lanjutkan, Miziu! Michelle Ziudith berhasil melebur dengan baik ke dalam sosok Tania yang ajaib, sengak, dan temperamental. Berada di pengarahan maupun interpretasi pemain kurang tepat, Tania berpotensi menjadi karakter yang sukar diberi simpati. Namun performa Michelle Ziudith ditunjang chemistry padu bersama Fero Walandouw sebagai karakter tituler membuat saya cukup mampu memafhumi karakteristiknya yang kian meletup-letup tak terkontrol karena faktor duka. Adegan Tania terpuruk lalu menangis di pundak Ananta usai melempar lukisan-lukisannya ke luar jendela menjadi momen terbaik di film ini yang sekaligus menandai pertama kalinya simpati dapat disematkan secara resmi pada kedua karakter utama tersebut khususnya Ananta yang kebaikan dan kepolosannya membuat diri ini ingin memberinya pelukan hangat.  

Tidak hanya Michelle Ziudith yang membuktikan bahwa dia sanggup menunjukkan atraksi akting yang kejut nyata tatkala memperoleh peran beserta pengarahan yang tepat, tetapi juga Fero Walandouw. Merupakan kejutan terbesar dari Ananta, Fero adalah rekanan akting yang sesuai bagi Miziu. Chemistry yang dibina Miziu bersama Fero jauh lebih meyakinkan ketimbang saat dia beradu akting dengan Dimas Anggara maupun Rizky Nazar. Berkat performa keduanya, kita bisa menerima kenyataan bahwa Tania kelewat ngeselin dan Ananta kelewat mulia, lalu menikmati setiap momen kebersamaan mereka yang sebagian besar diantaranya mengundang gelak tawa – seperti berlari-larian di bawah guyuran ‘air hujan’ – dan menggoreskan rasa hangat di hati. Keberadaan Asri Welas yang kentara difungsikan sebagai comic relief jelas membantu meningkatkan level kelucuan yang sejatinya telah cukup kuat hanya dari interaksi Fero bersama Miziu. Sayangnya, segala kenikmatan menyaksikan Ananta yang ditimbulkan di satu jam pertama ini tak benar-benar bertahan hingga ujung durasi. Memang di separuh akhir masih ada sekelumit rasa manis dari benih-benih asmara antara Tania dengan Pierre atau terenyuh melihat kepedulian Ananta yang amat besar pada Tania, tapi upaya untuk menghadirkan kejutan yang membawa film ke ranah melodrama pada klimaks justru menurunkan greget. Andai si pembuat film (dan Risa sebagai pemilik materi sumber) tidak menjerumuskan Ananta pada tangis-tangisan klasik – plus misi Ananta tidak dipaksakan melibatkan perasaan – maka bukan tidak mungkin momen ‘perpisahan dan pertemuan’ di ujung film akan terasa lebih menohok. Andai ya…


Exceeds Expectations (3,5/5)

Sabtu, 26 Mei 2018

REVIEW : THE GIFT (2018)

REVIEW : THE GIFT (2018)


“Setiap kali kamu cerita, imajinasi kamu membuat dunia semakin luas. Dan aku ingin menaklukkan itu.” 

Sejujurnya, saya lebih antusias tatkala Hanung Bramantyo menggarap film-film ‘kecil’ ketimbang film-film berskala raksasa. Saat menggarap film yang jauh dari kesan ambisius (dan tendensius), Hanung terasa lebih jujur, intim, dan mampu menunjukkan kepekaannya dalam bercerita sehingga emosi yang dibutuhkan oleh film berhasil tersalurkan dengan baik ke penonton. Tengok saja beberapa karya terbaiknya seperti Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Hijab (2015). Bangunan komediknya amat jenaka sekaligus menyentil di waktu bersamaan sementara elemen dramatiknya sanggup membuat baper manusia-manusia berhati sensitif secara berkepanjangan. Melalui film-film tersebut, kita bisa memafhumi statusnya sebagai salah satu sutradara tanah air terkemuka saat ini. Maka begitu Hanung bersiap untuk merilis proyek kecilnya yang mengambil genre drama romantis bertajuk The Gift – saya tidak tahu menahu mengenai film ini sampai diputar perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017 – ada rasa penasaran yang menggelayuti. Lebih-lebih, dia mengajak turut serta sejumlah pemain besar yang terdiri atas Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Dion Wiyoko, beserta Christine Hakim untuk menyemarakkan departemen akting. Kombinasi maut yang terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja, bukan? 

Dalam The Gift, Hanung memanfaatkan relasi dan interaksi dua manusia yang tidak mengenal cinta, Tiana (Ayushita Nugraha) dan Harun (Reza Rahadian), sebagai pemantik konflik. Perkenalan diantara mereka bermula ketika Tiana, seorang penulis novel asal Jakarta yang sedang mencari ilham untuk menuntaskan novel terbarunya, menyewa sebuah kamar kos di rumah Harun yang berlokasi di Jogjakarta. Mengingat akses ke rumah utama senantiasa tertutup dan Harun bukanlah pria yang gemar beramah tamah, hubungan baik tidak seketika terbentuk. Malah, kesan pertama bagi masing-masing individu terbilang buruk. Pangkal permasalahannya, Harun memutar musik keras-keras yang membuat Tiana merasa terganggu. Sebagai permintaan maaf, lelaki tunanetra ini pun berinisiatif mengajak tamunya tersebut untuk sarapan bersama yang sayangnya tidak berjalan mulus karena tukar dialog diantara mereka berujung pada pertikaian verbal lebih lanjut. Menilik karakteristik Harun dan Tiana yang sama-sama keras, sebetulnya agak sulit membayangkan keduanya dapat menciptakan koneksi tanpa harus saling menyinggung satu sama lain. Tapi baik Tiana maupun Harun mencoba untuk melunak, lalu berusaha untuk saling memahami. Di saat inilah, benih-benih asmara perlahan mulai bersemi sampai kemudian datangnya teman masa kecil Tiana, Arie (Dion Wiyoko), membuyarkan kisah cinta yang siap dirajut oleh Tiana dan Harun.


Menyodorkan problematika “benci jadi cinta” lalu menghadirkan orang ketiga dalam hubungan asmara yang bersiap untuk mekar, tidak bisa dipungkiri bahwa The Gift memang terdengar generik di permukaan. Akan tetapi, apa yang kemudian membuat film ini tidak lantas menjelma sebagai ‘film percintaan pada umumnya’ adalah cara Hanung Bramantyo mengemasnya. Tidak ada lontaran dialog-dialog rayuan puitis, melainkan bergantung pada interaksi yang terbentuk diantara Tiana dengan Harun. Guliran penceritaannya sendiri mengalun lambat demi memberi cukup waktu dan ruang bagi penonton untuk mengobservasi dua karakter utama lebih dalam. Mereka digambarkan sebagai dua manusia yang tak pernah terpapar hangatnya cinta dan justru memelihara luka, amarah, serta rasa putus asa. Guna mempertegas karakteristik, kilas balik pun kerap disisipkan yang mengajak penonton berkelana ke masa lampau dan menengok masa kecil Tiana yang sungguh kelam. Dari sana, kita bisa mengerti kenapa dia tumbuh sebagai perempuan yang dingin, kaku, dan cenderung antisosial. Harun, sayangnya, tak mendapat perlakuan serupa dan penjabaran mengenai masa lalunya hanya diucapkan melalui beberapa patah kalimat. Akan tetapi, sebuah momen kebenaran yang meninggalkan rasa pilu ketika Harun akhirnya bersedia diri kepada Tiana merupakan titik balik yang menyadarkan penonton bahwa kedua insan ini sebetulnya saling membutuhkan. Mereka adalah korban ‘pengkhianatan’ orang-orang terkasih yang hanya bisa disembuhkan dengan cinta yang tulus. 

Reza Rahadian (tanpa perlu dipertanyakan lagi) memeragakan karakter Harun yang dilingkupi kemarahan dan kekecewaan dengan gemilang. Bersama Ayushita Nugraha dalam akting terbaiknya sebagai penulis dengan masa lalu menyakitkan yang memiliki dunianya sendiri, mereka membentuk chemistry memikat yang menarik atensi penonton untuk menyimak interaksi ‘ajaib’ keduanya. Naskah racikan Ifan Ismail membekali karakter-karakter ini dengan dialog-dialog mengalir nan tajam yang akan membuat penonton terkadang ingin melempar botol air mineral ke mereka, menyunggingkan senyum, tersipu-sipu malu, sampai ingin memberikan pelukan hangat. Turut menguarkan nuansa romantis, interaksi dua insan ini jelas merupakan kekuatan utama yang dimiliki oleh The Gift. Tak jarang pula, interaksi keduanya tidak dibekali dialog melainkan hanya sebatas pada ekspresi atau sentuhan – mengingat Harun tak dapat memandang Tiana secara langsung. Iringan musik merdu dari Charlie Meliala serta sumbangan lagu tema dengan lirik menyayat hati bertajuk ‘Pekat’ yang dibawakan oleh Reza beserta Yura Yunita membantu memperkuat emosi yang sedianya telah hadir sekalipun tanpa disokong skoring menggebu-nggebu. Jika ada titik lemah The Gift, maka itu adalah kebetulan-kebetulan sukar dipercaya yang mengiringi di satu dua sudut penceritaan, utamanya jelang tutup durasi, demi mempermudah penyelesaian konflik (persoalan klasik film Indonesia!). Ada kalanya membuat diri ini meringis geli dan menggaruk-nggaruk kepala, tapi untungnya tak sampai berdampak signifikan pada keseluruhan film.


Pada akhirnya, terlepas dari kekurangan yang ada, The Gift tak saja layak untuk bertengger di deretan karya terbaik Hanung Bramantyo, tetapi juga memperkuat pernyataan saya di paragraf awal bahwa Hanung memang lebih bergigi kala menggarap film kecil. Mungkin ada baiknya Mas Hanung fokus mengerjakan film-film semacam ini saja ketimbang menangani film biopik atau adaptasi dengan bujet bombastis tapi seringkali minim rasa.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Jumat, 06 April 2018

REVIEW : ARINI

REVIEW : ARINI


“Kenapa kamu selalu optimis, Nick?” 

“Karena kamu selalu pesimis. Dan karena itu pula Tuhan menciptakanku untuk mendampingimu.” 

Ada banyak alasan mengapa seseorang memiliki ketertarikan untuk menyaksikan rilisan terbaru dari MAX Pictures, Arini. Bisa jadi dia memang menyukai film-film percintaan yang membuat baper. Bisa jadi dia penasaran karena strategi promosinya amat gencar apalagi trailernya memang bagus. Bisa jadi dia ingin melihat garapan terbaru dari seorang Ismail Basbeth selepas dibuat terkesima oleh Mencari Hilal (2015), salah satunya seperti saya. Bisa jadi dia adalah penggemar sejati dari duo pemain utama, Aura Kasih-Morgan Oey. Bisa jadi dia terpikat oleh premis ceritanya yang terbilang tidak umum untuk ukuran film romansa tanah air terkait hubungan asmara dua sejoli yang memiliki perbedaan umur cukup jauh. Dan bisa jadi pula, dia adalah generasi lawas yang ingin menyaksikan interpretasi baru dari novel rekaan Mira W bertajuk Masih Ada Kereta yang Akan Lewat yang sebelumnya telah diadaptasi ke format film layar lebar di tahun 1987 dengan bintang Widyawati dan Rano Karno. Ya, Arini memang memiliki banyak sekali alasan untuk menarik perhatian seseorang sehingga saat digoreskan di atas kertas membuatnya tampak seperti tontonan percintaan yang menjanjikan… sampai kamu melihat sendiri hasil akhirnya yang penuh dengan masalah. Alhasil, materi bagus dan tim dengan jejak rekam tidak main-main yang diusungnya pun tersia-siakan begitu saja. 

Duo sejoli yang dimabuk asmara dalam Arini adalah Arini (Aura Kasih) dan Nick (Morgan Oey) yang bertemu untuk pertama kalinya dalam sebuah perjalanan menggunakan kereta api di Jerman. Nick yang tidak membawa tiket mencari celah agar tidak bermasalah dengan kondektur dan melihat Arini sebagai dewi penyelamat. Lebih dari itu, Nick yang masih menimba ilmu di London sebagai mahasiswa, jatuh hati pada pandangan pertama dengan Arini yang usianya 15 tahun diatasnya. Berbagai topik obrolan dilontarkan demi menarik minat Arini yang senantiasa menanggapi setiap celotehan Nick secara dingin. Dari pertemuan perdana yang janggal tersebut, berharap bisa melihat dua manusia ini bersatu memang tampak mustahil. Terlebih, Arini menyimpan luka lama akibat dikhianati oleh mantan suaminya, Helmi (Haydar Saliz), dan sahabatnya, Ira (Olga Lydia), sehingga dia tidak lagi mempercayai apa yang disebut dengan ‘cinta’. Meski kerap mendapat penolakan dari Arini yang ketusnya bukan main ini, Nick tidak menyerah begitu saja. Segala upaya dia kerahkan agar hati perempuan pujaannya ini luluh termasuk mendatangi apartemennya, mengajaknya jalan-jalan, mengobrol panjang lebar (lebih tepatnya menggombal sih), sampai menghadapi langsung Helmi yang tiba-tiba kembali masuk ke dalam kehidupan Arini setelah sebuah rahasia besar terbongkar.


Menengok siapa-siapa yang berkontribusi terhadap Arini – berkaca pula pada materi sumber dan versi lawasnya yang disambut amat antusias baik oleh penonton maupun pengamat film – sudah barang tentu ada antusiasme tersendiri kala hendak menonton film ini. Terlebih, saya memang ‘kecanduan’ film romansa dan menggemari karya-karya Ismail Basbeth (termasuk film pendek buatannya). Akan tetapi, segala rasa bungah yang menyelimuti diri kala melangkahkan kaki ke dalam bioskop seketika rontok serontok-rontoknya hanya beberapa menit usai film memulai guliran pengisahannya. Cara si pembuat film mempertemukan kita dengan Arini dan Nick terasa janggal yang seketika menimbulkan pertanyaan, “kok si kondektur tidak mengecek toilet tempat Nick bersembunyi ya? Dan kenapa Nick mesti minta tolong ke Arini dengan menitipkan tas dan sebagainya jika pada akhirnya Arini juga tidak membantu apapun?”. Jangan harap pertanyaan ini akan terjawab dan jangan harap pula akan mendapat penjelasan memuaskan soal siapa mereka berdua karena film melaju secara tergesa-gesa. Apa benar saya sedang menonton Arini? Ini bukan remake dari Speed yang dulu dibintangi oleh Keanu Reeves dan Sandra Bullock kan? Oke, membandingkan Arini dengan Speed memang sangat berlebihan. Tapi mau bagaimana lagi, laju pengisahan dua film ini sama-sama ngebut. Wusss, wusss, wusss. Menonton Arini bak tengah menyaksikan film bergenre laga yang mengajak penonton melompat-lompat dari satu sekuens laga ke sekuens laga yang lain tanpa benar-benar memperhatikan perkembangan karakter. 

Belum sempat kita memahami sosok Arini, belum sempat kita memahami sosok Nick, kita ujug-ujug sudah diseret menuju sekuens rayu-rayuan atau marah-marahan yang lain tanpa ada kesinambungan berarti. Itulah mengapa ngikik dan “lha kok?” menjadi semacam reaksi langganan lantaran film sesak dengan adegan yang tidak sedikit diantaranya ‘kehilangan garis penyambung’ atau dieksekusi terlampau konyol (adegan telepon bocor. Ehem!) sampai-sampai sulit menganggapnya serius. Bahkan, hingga Arini mencapai penghujung durasi, saya masih belum kunjung mendapat jawaban atas pertanyaan, “apa sih yang membuat Nick sebegitu kesengsemnya dengan Arini?.” Arini memang paripurna dari segi fisik, tapi masa iya sih motivasi Nick untuk mendapatkan perempuan pujaannya ini (dia nguebet banget lho!) sedangkal itu? Jika ya, berarti keinginannya lebih didorong oleh hasrat semata dong? Saya kemudian benar-benar meyakininya setelah mereka berdua bertengkar hebat karena Arini menolak untuk diajak tidur bersama. Disamping naskah tipis dan penceritaan tergesa dari Ismail Basbeth yang membatasi pergerakan karakter, performa Aura Kasih yang cenderung datar juga tidak membantu sama sekali. Di tangannya, sosok Arini hanya terlihat seperti perempuan judes yang cemberut melulu, sangat menyebalkan dan sulit diberi simpati. Tidak pernah menunjukkan kompleksitas sedikitpun yang kemudian membuat kita mafhum atas tindakan-tindakannya. Morgan Oey yang tampil enerjik sebagai si berondong kasmaran sedikit banyak membantu menyelamatkan film, meski sebetulnya dia turut menjadi korban naskah. 

Ketiadaan motivasi yang jelas membuat Nick kadangkala lebih menyerupai seorang penguntit yang menyeramkan ketimbang pemuda yang charming. Bayangkan, dia ada dimanapun Arini berada (sekalipun telah ditolak!) termasuk menyelinap ke rumah pujaan hatinya tersebut yang berada di belahan dunia berbeda setelah sebelumnya mereka bertengkar hebat (yang kemudian diselesaikan begitu saja). Ini masih belum ditambah fakta bahwa dia selalu bisa menemukan keberadaan Arini tanpa menjumpai kesulitan berarti. Seram banget, nggak sih? Mempunyai dua karakter utama yang ajaib – masih ada pula karakter pendukung yang lagi-lagi jika diperhatikan akan mengundang kerutan lain di jidat – belum apa-apa telah menciptakan jarak antara penonton dengan film. Bisakah kita dibuat jatuh hati dengan dua karakter yang judesnya amit-amit (serius malah jadi pengen getok!) dan menyerupai seorang psikopat? Apabila didukung oleh performa berkelas dengan chemistry ciamik dan naskah yang tergarap baik, bisa saja. Tapi masalahnya di sini, ‘judes’ dan ‘psikopat’ itu sendiri muncul karena suatu kesalahan, bukan semata-mata diniatkan demikian. Sosok Arini dan Nick menjadi seperti itu akibat naskah yang tidak memberi latar belakang dan motivasi memadai. Tidak terlalu jelas, kalau tak mau disebut buram, penggambaran kedua karakter ini lebih-lebih Nick yang tidak pernah dijlentrehkan seperti apa kehidupan pribadinya sehingga dia bisa terobsesi kepada Arini. Yang lebih disayangkan lagi, Aura Kasih dan Morgan Oey pun tidak mampu menghadirkan chemistry yang membuat penonton yakin bahwa ada benih-benih cinta yang siap bermekaran dalam diri keduanya. Tidak ada pancaran di mata mereka yang menunjukkan rasa bernama cinta. Apabila hubungan ini sebatas nafsu belaka, masih agak bisa dipercaya. Namun jika dilandasi ketulusan hati? Masih sangat dipertanyakan.
 

Maka begitu mereka bermesra-mesraan, diri ini justru merasa geli-geli janggal ketimbang tersenyum-senyum gemas. Begitu pula saat big moment datang, tak ada rasa apapun yang hinggap kecuali rasa datar. Ya mau bagaimana lagi, lha wong kunci keberhasilan dari suatu film percintaan itu terletak pada dua karakter utama yang mampu membuat penonton bersedia untuk memberikan restunya. Jika kita tidak pernah benar-benar terhubung secara emosional dengan mereka lantas bagaimana mungkin sebuah restu bisa diberikan? Yekannn? Sayang banget lho ini. 

Poor (2/5)

Jumat, 30 Maret 2018

REVIEW : TEMAN TAPI MENIKAH

REVIEW : TEMAN TAPI MENIKAH


“Cinta pertama itu susah dilupain. Apalagi kalau cinta pertama lo itu sahabat lo sendiri.” 

Apakah kamu pernah jatuh cinta dengan sahabat terdekatmu sendiri? Pernah? Tidak? Kalau saya pribadi sih belum pernah merasakannya dan mengingat saat ini masih bujangan (hello, ladies!), hanya Tuhan yang tahu apakah diri ini nantinya akan melangkahkan kaki ke pelaminan bersama seorang kawan baik atau seorang lain. Ehem. Satu yang jelas, beberapa hari silam, mata kepala saya menjadi saksi atas terwujudnya ‘teman tapi menikah’ di kehidupan nyata. Dua teman akrab saya sedari 10 tahun lalu yang tidak pernah terdeteksi menjalin hubungan asmara – semua orang tahu mereka bersahabat dekat – tiba-tiba menikah. Dari sini saya tersadar bahwa kisah kasih seperti ini sejatinya lumrah terjadi karena sebelumnya saya mendengar cerita serupa dari kakak kandung. Tak mengherankan jika novel rekaan Ayudia Bing Slamet dan Ditto Percussion yang mempopulerkan istilah ‘teman tapi menikah’ banyak diserbu khalayak ramai. Dalam novel tersebut, mereka berdua berbagi pengalaman nyata tentang bagaimana hubungan persahabatan keduanya yang telah dibina selama 12 tahun justru berlanjut ke jenjang pernikahan. Pengalaman nyata yang rupa-rupanya memiliki kedekatan representasi bagi banyak orang. Menyadari bawah novel ini memperoleh resepsi begitu hangat, pihak Falcon Pictures pun memutuskan untuk memvisualisasikannya ke bentuk film layar lebar dengan tajuk Teman Tapi Menikah, lalu menunjuk Rako Prijanto (Sang Kiai, 3 Nafas Likas) sebagai sutradara, dan mendapuk Vanesha Prescilla dan Adipati Dolken untuk menempati posisi pelakon utama.  

Dalam Teman Tapi Menikah versi layar lebar, kedua karakter sentralnya tetaplah Ayudia Bing Slamet (Vanesha Prescilla) dan Ditto (Adipati Dolken). Mereka diceritakan telah menjalin hubungan persahabatan sedari duduk di bangku SMP. Awalnya sih Ditto sebatas mengagumi Ayu yang sedari kecil telah dikenal sebagai aktris. Namun seiring berjalannya waktu, Ditto ingin memperlakukan Ucha – sapaan akrabnya untuk Ayu – sebagai seorang teman istimewa. Dimana ada Ditto, maka disitu ada Ayu. Mereka berdua sulit untuk dipisahkan sampai-sampai acapkali dikira berpacaran saking lengketnya satu sama lain. Persahabatan mereka terus berlanjut sampai ke jenjang SMA dimana Ditto mulai menunjukkan potensinya sebagai pemusik sekaligus playboy kelas teri. Pada titik ini, sebetulnya kedua belah pihak telah menyadari ada setitik rasa antara satu dengan lain. Namun mereka berdua memilih untuk tak terlalu mengindahkannya. Ayu memutuskan untuk berkencan dengan anak band bernama Darma (Rendi John) sementara Ditto terus berganti-ganti pacar seiring berjalannya waktu. Adanya rasa tidak bahagia tatkala menjalin hubungan dengan sejumlah perempuan perlahan menyadarkan Ditto bahwa hatinya sebetulnya hanya untuk Ayu. Masalahnya, bagaimana cara mengungkapkan isi hatinya ini? Terlebih Ayu seolah sebatas menganggapnya sebagai teman curhat belaka dan sepertinya tidak pernah menyadari bahwa segala kerja keras yang dilakukan oleh Ditto seperti membeli scooter menggunakan uang tabungan sendiri adalah upayanya untuk membahagiakan Ayu. Hubungan yang terjalin diantara keduanya ini semakin terasa rumit saat pilihan menimba ilmu di universitas memaksa mereka untuk berpisah jalan. 


Ditengok dari premis, Teman Tapi Menikah sejatinya sederhana saja (kalau tak mau disebut klise ya). Tidak terhitung lagi sudah berapa banyak film romansa yang berceloteh mengenai hubungan persahabatan dua muda mudi yang berkembang menjadi hubungan percintaan. Dari zaman baheula sampai sekarang, kamu setidaknya akan menjumpai minimal satu film yang pokok kupasannya berkisar soal ‘teman tapi mesra’. Ya mau bagaimana lagi, kisah kasih semacam ini selalu memiliki sudut pandang baru untuk diceritakan sekalipun sudah teramat sering disampaikan. Teman Tapi Menikah pun demikian. Plotnya yang kelewat umum bisa saja membuat sebagian penonton memandangnya remeh, tapi film ini sanggup membuktikan bahwa jalinan penceritaan yang begitu sederhana dan terasa sangat familiar akan tetap menghasilkan tontonan yang meninggalkan kesan mendalam apabila mendapat penanganan yang tepat. Teman Tapi Menikah tidak berusaha mati-matian untuk tampil sophisticated demi menarik perhatian publik, melainkan hanya bergantung pada guliran kisahnya yang membumi dan tidak membentuk jarak terlampau jauh dengan penonton. Pertanyaan yang dilontarkan si pembuat film kepada penonton semacam “apakah kamu pernah jatuh cinta dengan teman baikmu sendiri?” dan “apakah kamu pernah melihat seseorang di dekatmu yang memiliki kisah seperti Ayu dengan Ditto?” merupakan bekal untuk membentuk keterikatan penonton kepada film. Kita merasa terikat karena kita pernah (atau sedang) berada di fase tersebut. Bukankah selalu mengasyikkan mendengar cerita mengenai pengalaman seseorang yang sama dengan kita? 

Ndilalah, tukang cerita Teman Tapi Menikah pun mampu menyusun potongan-potongan kisah kasih Ayu dengan Ditto sedari mereka masih belia sampai menikah di usia 20-an dengan amat baik. Rako Prijanto membuat kita tertambat lalu bersedia menyaksikan bagaimana hubungan dua sejoli ini mengalami transisi dari persahabatan menuju percintaan. Rako beruntung mendapat suplai naskah bagus yang dirancang oleh Johanna Wattimena beserta Upi. Rentetan konflik yang muncul secara silih berganti terhidang wajar namun tetap memikat, dialog-dialog yang dilontarkan terasa mengalir selayaknya percakapan sehari-hari namun tetap manis (tidak mencoba untuk berpuitis-puitis ria yang justru membuatnya janggal), dan karakterisasi untuk tokoh-tokoh sentral pun terbilang kuat. Sosok Ditto dan Ayu bukanlah karakter satu dimensi dengan perangai terlalu sempurna atau terlalu ajaib seperti kerap muncul di film-film percintaan. Mereka tidak ubahnya penonton yang sedang duduk di kursi bioskop seraya mencemil berondong jagung dan menyeruput minuman bersoda. Mereka adalah kita. Jika ada yang membuat Ayu terlihat agak berbeda dari perempuan sebayanya, itu karena dia menjalani profesi sebagai aktris sinetron. Tapi saat dia berada di lingkungan sekolah lalu berinteraksi dengan Ditto, dia tak ubahnya perempuan sebelah rumah yang kita kenal. Ditto yang dideskripsikan sebagai playboy pun senada, dia tidak lantas menjelma menjadi prince charming seutuhnya. Dia merasakan kegagalan, dia juga bekerja keras untuk menggapai mimpinya. Bukan tipe laki-laki berharta melimpah yang bisa memperoleh apapun yang dia mau dengan mudah.


Duo Ayu-Ditto ini dimainkan dengan sangat asyik oleh Vanesha Prescilla dan Adipati Dolken. Saat dipersatukan dalam satu layar, mereka membentuk ikatan kimia yang amat meyakinkan. Mencuat rasa percaya bahwa keduanya adalah sahabat baik yang saling peduli satu sama lain. Ini ditonjolkan melalui pertukaran dialog yang seru diantara keduanya sampai-sampai kita merasa betah untuk berlama-lama di dekat mereka. Seiring bergulirnya kisah, kita perlahan tapi pasti dapat mendeteksi bahwa sejatinya tersembunyi rasa lain dibalik hubungan persahabatan ini. Sesuatu yang tidak akan mungkin bisa kita rasakan apabila dua pelakon utamanya tidak memberi performa dan chemistry diatas rata-rata. Chemistry Vanesha-Adipati adalah aset berharga yang dimiliki oleh Teman Tapi Menikah. Berkat mereka, kita bisa bersimpati lalu memberikan restu kepada hubungan Ayu-Ditto. Siapapun telah mengetahui bagaimana kisah mereka akan berakhir di penghujung film, tapi penampilan bagus jajaran pemainnya – termasuk Denira Wiraguna sebagai mantan Ditto dan Refal Hady sebagai mantan Ayu – ditunjang oleh naskah berisi, pengarahan yang lancar, penyuntingan yang dinamis, tangkapan kamera yang cantik nan bergaya, serta iringan musik beraroma jazz yang melebur mulus ke setiap adegan sekaligus membantu menciptakan nuansa romantis-menggemaskan, membuat proses menuju bersatunya Ayu-Ditto terasa sangat mengasyikkan untuk diikuti. Kita ikut tertawa, tersenyum-senyum gemas, sampai menyeka air mata haru. Jarang-jarang ada film percintaan tanah air yang penceritaannya bisa sedemikian mengalirnya. Teman Tapi Menikah jelas merupakan salah satu film percintaan terbaik yang pernah dibuat di Indonesia.

Outstanding (4/5)

Minggu, 18 Maret 2018

REVIEW : LOVE FOR SALE

REVIEW : LOVE FOR SALE


“Mencintai adalah sebuah pekerjaan yang berat dan penuh resiko. Tapi gue kira, mengambil resiko tidak ada salahnya.” 

Berpatokan pada aktor yang dipilih untuk menempati garda terdepan, sutradara yang dipercaya untuk mengarahkan film, serta jejak rekam rumah produksi di kancah perfilman nasional, kita sebetulnya sudah bisa menerka bahwa Love for Sale bukanlah film percintaan konvensional seperti yang kerap dicetuskan oleh sineas-sineas tanah air. Betapa tidak, Gading Marten (di usia 35 tahun) bukanlah pria dengan penampilan mentereng yang digila-gilai para perempuan seperti Chicco Jerikho atau Adipati Dolken misalnya, Andibachtiar Yusuf selaku sutradara lebih sering berkecimpung dalam teritori film olahraga seperti Hari Ini Pasti Menang (2013) dan Garuda 19 (2014), dan Visinema Pictures sebagai rumah produksi masih konsisten menghasilkan film-film dengan mutu dapat dipertanggungjawabkan sampai detik ini. Dengan modal cukup meyakinkan seperti ini, tentu tidak mengherankan jika kemudian muncul ketertarikan untuk mencicipi Love for Sale yang premis dasarnya mungkin akan sedikit banyak mengingatkan kita kepada Her (2013) arahan Spike Jonze yang berceloteh mengenai seorang pria kesepian yang jatuh cinta kepada perangkat lunak. Tapi tenang saja, kesamaan antara kedua film tersebut tak pernah lebih jauh lagi. Si pembuat film memilih untuk tak semata-mata melantunkan Love for Sale sebagai film cinta-cintaan tetapi juga menjajaki tema cukup kompleks terkait kesepian, berdamai dengan duka, serta mengikhlaskan masa lalu. 

Dalam Love for Sale, penonton diperkenalkan kepada bujang lapuk bernama Richard Achmad (Gading Marten). Di usia yang telah memasuki kepala empat, Richard masih betah hidup sendiri – hanya ditemani seekor kura-kura – dan lebih memilih untuk menenggelamkan diri pada pekerjaannya yang berkecimpung di bidang percetakan. Richard yang dikenal sebagai pakar cinta ini mulanya beranggapan tidak ada yang salah dengan kesendiriannya sampai kemudian Richard mendapat tantangan dari teman-temannya untuk memperkenalkan kekasihnya kepada mereka di pesta pernikahan Rudy (Rizky Mocil). Hanya memiliki waktu selama dua minggu, Richard jelas kelabakan terlebih dia tidak memiliki banyak kenalan perempuan yang masih lajang atau bersedia diajak berpura-pura menjadi kekasihnya. Ditengah keputusasaan, Richard tiba-tiba mendapatkan solusi dari sebuah aplikasi kencan online, Love.Inc., yang mempertemukannya dengan Arini Kusuma (Della Dartyan). Entah sial entah beruntung, kesalahan administrasi menyebabkan Richard mau tak mau ‘terjebak’ bersama Arini selama 45 hari alih-alih 5 hari saja. Kehadiran Arini yang anggun dan penuh perhatian di sampingnya, perlahan tapi pasti merubah kepribadian sekaligus kehidupan Richard yang tadinya monoton menjadi lebih berwarna. Untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir, Richard akhirnya merasakan lagi apa yang disebut dengan cinta.


Selama durasi mengalun yang mencapai 104 menit, penonton dihadapkan pada berbagai macam rasa yang datang secara silih berganti di dalam Love for Sale. Ada kejenakaan, ada rasa manis, dan ada pula rasa getir. Kejenakaan bisa ditengok melalui interaksi Richard dengan sahabat-sahabatnya, interaksi Richard dengan karyawan-karyawannya di percetakan, maupun interaksi Richard bersama teman baiknya, Panji (Verdi Solaiman), yang selalu memiliki materi untuk berdakwah. Kehadiran mereka – termasuk Richard sendiri – yang memiliki perangai ajaib kerap kali memunculkan gelak tawa dalam takaran cukup. Fungsinya, memberikan keseimbangan kepada Love for Sale sehingga tidak terjerembab menjadi tontonan depresif mengingat materi pembahasannya sendiri sukar dibilang ringan. Kejenakaan ini lalu dikawinkan dengan rasa manis yang bisa dicecap, tentu saja, lewat kebersamaan protagonis kita dengan Arini. Si pembuat film tidak menggeber dialog-dialog sarat gombalan yang bikin diabetes untuk menunjukkan romantisme, melainkan menekankan pada hubungan yang makin bertumbuh diantara dua sejoli. Sosok Arini digambarkan menaruh perhatian sangat besar terhadap pasangan kontraknya – meski ada keraguan bahwa kepedulian ini sejatinya tidak pernah dilandasi dengan ketulusan – sementara Richard seperti menemukan harapan hidup baru semenjak Arini berada di dekatnya. Dia merangkul orang-orang yang selama ini diberinya batasan dalam berinteraksi dengannya dan sosoknya yang cenderung keras perlahan tapi pasti melunak. 

Sebelum Arini memasuki hidup Richard dan kemudian dia tiba-tiba menghilang, Love for Sale berada pada titik getirnya. Jomlo menahun akibat keengganan untuk mengikhlaskan masa lalu telah menyebabkan Richard terperangkap dalam kesepian. Duka yang merundung hatinya dilampiaskan dalam kemarahan-kemarahan kepada anak buahnya sekaligus membentengi diri dari interaksi sosial. Alih-alih membuat dirinya menemukan kedamaian, langkah ini justru membuat dirinya kian nelangsa sekalipun tidak pernah benar-benar disadarinya. Malam-malam sunyi ditemani suara pertandingan sepakbola dari televisi yang berisik menjadi kawan akrabnya selama bertahun-tahun, disamping seekor kura-kura tua bernama Kelun. Gading Marten dalam performa sangat mengesankan (yang mungkin tidak pernah diantisipasi oleh kebanyakan penonton) sanggup memperlihatkan sisi rapuh dan menyedihkan dari seorang Richard dibalik topeng tangguh yang dikenakannya. Ditunjang skrip bagus rekaan Andibachtiar Yusuf bersama M. Irfan Ramli, mudah untuk terhubung lalu memberikan dukungan kepadanya karena karakter Richard sendiri dekat dengan realita: dia bisa saja kamu, dia bisa saja orang yang kamu kenal. Lebih-lebih, Gading membentuk ikatan kimia meyakinkan bersama pendatang baru Della Dartyan yang auranya memancar kuat sehingga kita mafhum mengapa sosok Arini bisa membuat Richard bertekuk lutut. Saking meyakinkannya chemistry diantara mereka berdua, bukan tidak mungkin pendukung tim Gisel dan Gempi akan merasa cemas setiap kali melihat Richard dan Arini bermesraan.


Outstanding (4/5)

Sabtu, 24 Februari 2018

REVIEW : EIFFEL... I'M IN LOVE 2

REVIEW : EIFFEL... I'M IN LOVE 2


“Dalam hubungan cowok dan cewek, itu cuma ada dua. Pacar atau mantan pacar. Jadi nggak ada tuh yang namanya sahabat.” 

Reuni Cinta dengan Rangga usai terpisahkan selama ratusan purnama dalam Ada Apa Dengan Cinta? 2 (2016) yang memperoleh resepsi memuaskan baik dari penonton maupun kritikus, telah menginspirasi para produser untuk menghidupkan kembali kisah cinta pasangan-pasangan fiktif kenamaan di perfilman Indonesia. Upaya tersebut bisa ditengok melalui Ayat-Ayat Cinta 2 (2017) yang menjadi saksi kebesaran cinta Fahri kepada Aisha dan paling baru adalah Eiffel… I’m in Love 2 (2018) yang sekali lagi mempertemukan kita dengan dua sejoli Tita-Adit. Keputusan untuk memberi kisah kelanjutan bagi Eiffel… I’m in Love (sekadar informasi, Lost in Love yang dibintangi oleh Pevita Pearce tidak pernah dianggap sebagai sekuel resmi) tentunya bukan tanpa alasan jelas. Film pertamanya yang didasarkan pada novel laris rekaan Rachmania Arunita mampu mendatangkan 3 juta penonton untuk berduyun-duyun memenuhi gedung bioskop sekaligus menciptakan tren “film percintaan remaja dengan latar negeri orang.” Soraya Intercine Films tentu ingin mengulang kembali fenomena tersebut terlebih nostalgia bersama Cinta-Rangga dan Aisha-Fahri tempo hari terbilang sukses dari segi finansial. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah sebuah sekuel bagi kisah percintaan Tita-Adit yang digarap ole Rizal Mantovani ini memang benar-benar dibutuhkan? 

Demi menyegarkan ingatan penonton sekaligus menguarkan aroma nostalgia, Eiffel… I’m in Love 2 membuka gelarannya dengan opening credit berhiaskan foto-foto adegan dari film pertamanya. Berlangsung selama kurang lebih dua menit, pembuka ini cukup ampuh dalam meningkatkan mood sehingga terbersit sekelumit rasa tidak sabar untuk mengetahui sejauh mana kisah kasih Tita (Shandy Aulia) dengan Adit (Samuel Rizal) telah berkembang setelah kita tidak lagi mendengar perkembangannya selama belasan tahun. Hanya beberapa menit usai film memulai pengisahannya, penonton menyadari bahwa Tita tidak benar-benar berubah – dalam artian masih manja dan ibunya tetap bersikap kelewat protektif kepadanya – serta hubungan Tita dengan Adit yang telah dibina selama 12 tahun masih awet-awet saja sekalipun LDR (long distance relationship) dan diwarnai pertengkaran saban hari tiap kali saling berkomunikasi. Tak pernah naik level dari ‘tunangan’, Tita mulai berharap Adit akhirnya akan mengajaknya ke pelaminan pasca dia beserta keluarganya diajak pindah sementara ke Paris untuk mengurus bisnis restoran milik orang tua Adit yang terbengkalai. Harapan Tita yang menggebu-nggebu ini perlahan tapi pasti mulai pupus tatkala Adit menunjukkan ketidaksiapannya dan muncul orang ketiga dalam hubungan mereka

Tidak banyak ekspektasi yang disematkan kala melangkahkan kaki ke bioskop untuk menyaksikan Eiffel… I’m in Love 2. Pasalnya, sekalipun cukup menikmati jilid pertamanya, saya tidak pernah benar-benar menggemarinya. Tita-Adit jelas bukan Cinta-Rangga yang mempunyai daya tarik begitu kuat sampai-sampai kelanjutan hubungan mereka pun dinanti-nantikan. Sikap netral (cenderung mendekati pesimis, sejujurnya) ternyata membawa kejutan tersendiri bagi saya. Tanpa dinyana-nyana, Eiffel… I’m in Love 2 sanggup dihadirkan sebagai tontonan percintaan yang memikat, manis-manis menggemaskan, sekaligus jenaka. Ya, ini adalah kejutan manis di permulaan tahun 2018. Perjalanannya yang berlangsung selama 117 menit memang tidak selamanya berlangsung mulus. Selepas opening credit yang dikemas cakep, Eiffel… I’m in Love 2 agak tergagap-gagap dalam menyampaikan kisahnya. Salah satu faktor pemicunya terletak pada barisan pemain pendukung dengan performa menyerupai robot. Mereka terlihat seperti tengah mengingat-ingat dialog apa yang hendak diucapkan. Konsekuensinya, selama belasan menit pertama, film tak begitu nikmat untuk dikudap terutama setiap kali Tita berinteraksi dengan keluarganya. Berharap sekali bioskop menyediakan fitur fast forward atau minimal mute sehingga meniadakan suara. Gangguan ini sedikit demi sedikit mulai tereduksi tatkala latar film berpindah ke Paris. 

Chemistry Shandy Aulia dan Samuel Rizal adalah kunci utama yang membuat Eiffel… I’m in Love 2 terasa bernyawa. Dinamika diantara keduanya masih seperti yang kita saksikan 15 tahun lalu, bahkan kali ini lebih asyik. Ada keseruan tersendiri menyaksikan mereka bersama-sama baik saat ribut-ribut yang memunculkan elemen komedi menyegarkan maupun saat bermesraan yang menghadirkan elemen romantis yang bikin senyum-senyum. Disamping itu, pendewasaan karakter menjadikan Tita dan Adit tidak lagi semenyebalkan dulu. Tita mampu menunjukkan ketegasan dalam mengambil keputusan, sementara Adit tampak lebih bertanggungjawab. Adegan rekonsiliasi usai perang dingin yang berlangsung di menara Eiffel tidak saja menjadi salah satu adegan paling romantis dalam sejarah film percintaan tanah air, tetapi juga memberi penjabaran masuk akal mengenai hubungan asmara Tita-Adit yang tidak kunjung diboyong ke pelaminan. Adegan ini sendiri berkontribusi besar terhadap Eiffel… I’m in Love 2 sehingga membuatnya terasa layak ditonton. Yang turut mendongkrak dalam menaikkan kelas Eiffel… I’m in Love 2 adalah production value-nya yang tidak main-main. Pemilihan kostum yang turut mempertegas karakteristik tiap tokoh, bidikan gambar yang membingkai sudut-sudut Paris dengan begitu cantik, dan iringan musik yang menebalkan cita rasa romantis. Kombinasi ketiganya membantu memberi kesan mewah sekaligus mahal pada film. Inilah alasan mengapa film ini tidak bisa disebut sekelas FTV. Just saying. Kelanjutan kisah percintaan Tita-Adit mungkin tidak benar-benar dibutuhkan, tapi Eiffel… I’m in Love 2 menunjukkan bahwa ini bukanlah sebuah sekuel yang sia-sia.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Kamis, 22 Februari 2018

REVIEW : LONDON LOVE STORY 3

REVIEW : LONDON LOVE STORY 3


“Cinta sejati tidak punya sebuah akhir. Aku mohon sama kamu, jangan menyerah.” 

Mungkin tidak sedikit dari kalian yang bertanya-tanya, kok bisa sih intrik dalam kisah cinta Caramel (Michelle Ziudith) dengan Dave (Dimas Anggara) yang tidak rumit-rumit amat ini membutuhkan sampai tiga jilid London Love Story untuk diselesaikan? Jawabannya sebetulnya sederhana saja – dan saya cukup yakin, kalian pasti telah mengetahuinya – yakni produk diterima dengan baik oleh publik. Instalmen pertama London Love Story menandai untuk pertama kalinya film produksi Screenplay Films mampu mencapai 1 juta penonton, sementara seri keduanya sekalipun mengalami penurunan tetap dapat dikategorikan laris manis. Menilik pencapaian ini, tentu tidak mengherankan jika kemudian drama percintaan yang mendayu-dayu ini diekspansi ke dalam tiga seri sampai-sampai judulnya tidak lagi relevan dengan latar penceritaan. Ya, London hanya muncul sekitar 15 menit di seri kedua yang sebagian besar memanfaatkan panorama Swiss sebagai jualan utama dan hanya sekejap saja di seri ketiga yang memboyong latar kisah ke Bali sehingga lebih tepat rasanya jika London Love Story 3 beralih judul menjadi Bali Love Story

London Love Story 3 membuka kisahnya dengan adegan wisuda Caramel (saya baru nyadar ternyata selama ini dia kuliah lho, Guys!) yang dilanjut acara lamaran. Jangan bayangin lamaran yang dihadiri sanak saudara ya karena di sini lamarannya berlangsung di atas kapal pesiar yang mengarungi Sungai Thames. Usai dilamar oleh Dave, Cara pun memutuskan untuk pulang kampung ke Indonesia – bersama dengan calon suaminya yang tajir melintir itu, tentu saja. Mereka berencana untuk melangsungkan pernikahan di Pulau Dewata, tempat dimana mereka bertemu untuk pertama kalinya. Tidak lama setelah mengutarakan niat ini kepada orang tua Cara, dua sejoli ini pun bertolak ke Bali dengan maksud mengenang momen-momen perjumpaan mereka seraya (mungkin) mencari lokasi pernikahan yang cocok di hati. Berselancar, jalan-jalan di pantai, dan berkeliling dengan mobil mevvah adalah hal pertama yang keduanya lakukan sesampainya di Bali. Sayangnya belum juga puas bernostalgia, mereka diusik oleh kehadiran Rio (Derby Romero) yang membawa pesan dari masa lalu. Tidak hanya sosok Rio yang membuat liburan Cara dan Dave kurang khidmat, tetapi juga sebuah kecelakaan mobil yang menyebabkan kaki Cara terancam lumpuh untuk selamanya.


Sejujurnya, saya cukup menikmati London Love Story 2. Dibandingkan film pembukanya yang cenderung “suka-suka gue” dalam bertutur, jilid ini lebih bisa ditolerir dengan konflik dan barisan karakter yang (sedikit) lebih bisa diterima oleh nalar. Bahkan, muncul rasa pedih tatkala sosok Gilang (Rizky Nazar) – yang sejatinya lebih menarik disimak ketimbang Dave dan Cara – ‘dibunuh’ oleh si pembuat film demi memberi keleluasaan bagi dua sejoli utama untuk melanjutkan hubungan mereka. Mengetahui ada perbaikan pada seri kedua, maka jelas bohong jika saya mengatakan tidak optimis terhadap babak pamungkas London Love Story. Saya optimis sekali. Siapa tahu kisah percintaan Cara-Dave bisa berakhir segreget Cinta-Rangga, yekannnn? Ya siapa tahu. Untungnya saya tidak pernah mengutarakan angan-angan (berlebihan) ini kepada siapapun karena jika melihat hasil akhir London Love Story 3, saya yakin beberapa kawan akan mengatakan, “loe halu banget, sumpah!.” Berharap lebih terhadap film percintaan remaja buatan Screenplay Films jelas bukanlah pilihan. Malah diri ini juga sangat menyesal telah berbaik sangka kepada London Love Story 3 karena alih-alih menghadirkan penutup layak yang membuat kita terkenang pada kisah asmara Cara-Dave, seri ini justru lebih menyerupai dagelan yang bertujuan untuk menertawakan kisah cinta mereka berdua. 

Paham sekali alasan dibalik keputusan produser untuk merentangkan London Love Story hingga ke seri ketiga. Hanya saja, sulit disangkal bahwa kisah kasih Cara-Dave yang secethek sungai di musim kemarau ini jelas tidak memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh lagi. Alhasil, konfliknya pun berputar-putar disitu-situ saja dengan berbagai kekonyolan yang mengikutinya. Selama tiga seri, karakter-karakter inti yang terlibat dalam cinta segitiga Cara-Dave-Gilang mengalami kecelakaan. Ada yang koma, ada yang lumpuh, ada pula yang meninggal. Apakah mereka terkena kutukan? Bisa jadi. Yang jelas, si pembuat film menganggap satu-satunya cara membuat penonton termehek-mehek adalah memberi musibah kepada karakter kesayangan mereka ini. London Love Story 3 terasa semakin menjadi-jadi kekonyolannya berkat rengekan Cara mengenai kaki lumpuhnya yang tak berkesudahan (sampai-sampai muncul keinginan buat berteriak, "Mbak, Istighfar, Mbak!" lalu melakban mulutnya) dan penyelesaian yang membuat saya menyadari bahwa ‘keajaiban’ beserta ‘kebetulan’ adalah kata kunci yang dijunjung tinggi oleh franchise ini. Andai saja konklusi pada Ayat-Ayat Cinta 2 tempo hari tidak memelintir logika sedemikian rupa, mungkin saya sudah memberikan standing ovation heboh untuk penyelesaian masalah yang ditawarkan oleh London Love Story 3. Film ini membuktikan bahwa keajaiban cinta sejati itu memang nyata adanya.

Poor (2/5)