Tampilkan postingan dengan label 2016. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 2016. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : PERFECT STRANGERS (2016)

REVIEW : PERFECT STRANGERS (2016)


“We have everything in here (mobile phone). It’s the black box of our lives. How many couples would split up if they saw each other’s phones?” 

Tanyakan kepada dirimu sendiri: seberapa jauh kamu mengenal orang-orang yang kamu sebut sebagai sahabat, kekasih, maupun suami/istri? Apakah kamu benar-benar yakin bahwa mereka bisa sepenuhnya dipercaya? Benarkah tidak ada rahasia beracun yang disembunyikan rapat-rapat oleh mereka darimu? Bagaimana kalau ternyata mereka sejatinya tidak lebih dari orang asing yang kebetulan saja mendapat sebutan ‘sahabat, kekasih, maupun suami/istri’? Hmmm. Pertanyaan-pertanyaan ‘baper’ yang bisa jadi sempat menggelayuti pikiran kita ini menjadi landasan utama bagi Paolo Genovese untuk menghasilkan film layar lebar terbarunya yang bertajuk Perfect Strangers (dalam bahasa Italia berjudul Perfetti sconosciuti). Paolo bersama empat rekannya memformulasikan sederet pertanyaan tersebut ke dalam skrip yang lantas diejawantahkannya menjadi bahasa gambar. Demi membuatnya terasa kian menggigit, si pembuat film menyelubunginya dengan komentar sosial terkait dampak negatif dari kemajuan teknologi. Dampak negatif yang dijlentrehkan Paolo melalui Perfect Strangers adalah bagaimana teknologi telah merenggut habis privasi masyarakat modern melalui aplikasi maupun situs pertemanan (ironis!) dan mampu menjelma sebagai bahaya laten bagi hubungan antar manusia apabila tidak dipergunakan secara bijak. Dramaaaaaa! 

Guliran penceritaan Perfect Strangers mempertemukan penonton dengan tujuh sahabat lama yang konfigurasinya terdiri atas tiga pasangan menikah dan satu duda. Pasangan pertama adalah Lele (Valerio Mastandrea) dan Carlotta (Anna Foglietta) yang tidak lagi saling berkomunikasi secara intens. Pasangan kedua adalah pengantin baru, Cosimo (Edoardo Leo) dan Bianca (Alba Rohrwacher), yang gairah seksual keduanya masih menggebu-nggebu. Pasangan ketiga adalah Rocco (Marco Giallini) dan Eva (Kasia Smutniak) yang menapaki fase sebagai orang tua dari seorang remaja. Sementara sang duda adalah Peppe (Giuseppe Battiston) yang telah memiliki kekasih baru. Ketujuh sahabat ini berkumpul dalam sebuah jamuan makan malam yang dihelat di apartemen milik Rocco dan Eva. Mengingat mereka telah cukup lama tidak saling bersua, maka setumpuk obrolan dengan berbagai topik yang amat acak pun terus mencuat sampai akhirnya Eva memutuskan untuk membuat sebuah permainan menarik sekaligus ‘berbahaya’. Eva meminta setiap personil yang hadir untuk meletakkan ponsel cerdas masing-masing di atas meja makan lalu membiarkan seluruh pesan atau telepon yang masuk ke ponsel mereka diketahui oleh semuanya, tanpa terkecuali. Mulanya, permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini berlangsung menyenangkan. Namun saat rahasia-rahasia besar mulai terungkap, kesenangan tersebut berubah menjadi tragedi yang seketika menggoyahkan ikatan pernikahan dan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun. 



Perfect Strangers mengawali penceritaan dengan sekelumit babak introduksi yang menyoroti persiapan tiga pasangan sebelum menghadiri jamuan makan malam (Peppe baru diperkenalkan di lokasi acara). Tidak mendalam, tapi cukup untuk memberi kita gambaran mengenai hubungan yang terjalin diantara mereka; Lele-Carlotta dingin, Cosimo-Bianca menggelora, sementara Rocco-Eva cenderung berada di tengah-tengah. Begitu beranjak ke apartemen Rocco dan Eva yang akan menjadi panggung utama berlangsungnya ‘pertempuran’ sepanjang sisa durasi, Paolo lantas menyodori penonton dengan tek tokan remeh temeh antar sahabat yang berfungsi untuk menegaskan relasi ketujuh manusia ini sekaligus untuk menggelitik saraf tawa penonton. Dari obrolan-obrolan ini, kita pun menyadari bahwa guliran kisah Perfect Strangers bergantung sepenuhnya pada kekuatan dialog yang dikreasi oleh lima penulis naskah. Apabila materi pembicaraannya lembek, lalu chemistry antar pelakon tak bertenaga, dan penyuntingan kurang lincah, Perfect Strangers jelas berada dalam masalah besar. Beruntungnya apa yang terjadi justru sebaliknya. Obrolan ringan yang menghiasi belasan menit awal sedikit demi sedikit mengalami eskalasi, utamanya usai Eva memutuskan untuk memberikan bumbu pedas pada malam reuni kecil-kecilan ini. Disamping agar makan malam bersama ini terasa hidup (tentu tak akan ada tamu yang sibuk dengan ponselnya sendiri), tujuan Eva mencetuskan permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini adalah mengetes kejujuran – meski sejatinya telah melanggar privasi. Dia menantang, “jika memang tidak ada yang disembunyikan, kenapa harus takut?” 

Tentu saja, Paolo tidak membiarkan pesan atau telepon yang masuk ke ponsel para karakter berada di taraf aman. Kalau sebatas berhubungan dengan bisnis maupun panggilan dari kerabat atau sahabat, dimana asyiknya? Mesti ada ketegangan dong! Maka dari itu, si pembuat film menyelipkan rahasia pada masing-masing karakter. Tingkatannya beragam, ada yang biasa-biasa saja, sedang-sedang saja, sampai parah sekali yang seketika menciptakan ledakan hebat di meja makan dan memberi penonton suatu tontonan yang menarik – momen terbaik adalah ketika dua tamu bertukar ponsel yang tanpa disangka-sangka malah bikin geger karena dua pesan sederhana. Tidak ada yang terbebas dari konflik, tidak ada putih bersih di sini. Ketika kamu mengira bahwa satu persoalan telah cukup menggegerkan, tunggu sampai kamu mendengar rahasia lain yang siap diungkapkan. Yang jelas, Paolo tidak akan membiarkanmu terserang jenuh sampai jatuh terlelap di pertengahan durasi karena kolaborasinya bersama para penulis naskah yang mengkreasi dialog-dialog cepat nan tajam, penyunting gambar yang cekatan dalam menyusun ritme film, serta pemain ansambel dengan chemistry menyengat, memungkinkan Perfect Strangers untuk memiliki cita rasa mencekam dan mencengkram dari menit ke menit. Itulah mengapa menyaksikan Perfect Strangers yang dijual sebagai tontonan satir ini tak ubahnya menonton sebuah gelaran thriller. Kamu tidak akan rela memalingkan muka barang sejenak dari layar karena setiap percakapan yang meluncur dari mulut para karakter adalah kunci. 



Kunci yang akan menuntun para karakter untuk mengetahui ‘kebenaran beracun’ yang telah tersembunyi selama bertahun-tahun. Kunci yang akan melepaskan topeng yang selama ini dikenakan oleh tujuh manusia yang mengaku dirinya sebagai sahabat dan pasangan yang bisa dipercaya. Kunci yang akan membawa mereka pada keputusan penting; apakah hubungan (persahabatan dan pernikahan) penuh kepalsuan ini layak dipertahankan? Kunci yang akan mengusik pemikiran penonton dengan suatu pilihan; apakah kebenaran ini perlu dibeberkan sekalipun berpotensi merusak hubungan atau lebih baik disimpan erat-erat demi menjaga keutuhan hubungan sekalipun ini berarti ada ketidakjujuran? Dan kunci yang akan membuat kita bertanya-tanya; apakah kemajuan teknologi ini benar-benar telah membuat manusia tidak lagi peduli dengan privasi?

Outstanding (4/5)

Senin, 04 Juni 2018

ILY FROM 38.000 FT (2016) WEBDL

ILY FROM 38.000 FT (2016) WEBDL

Michelle Ziudith) flies to Bali for a and meet with Arga (Rizky Nazar) 20 years. Arga is a student and creator of a program Geography Channel. Arga asks how long her to be. answers, actually she goes to Bali not for a holiday but running away from home. “From my childhood I grew up my parents’ care. I grew out of my mother’s milk. But, when I’m older, they do not give me the most important thing in my life, namely the right to choose and decide what is best for my life.” Their relationship become closer Arga asks to return to his home. Arga promises to catch up with her soon to Jakarta. But until the time promised, Arga never comes. Day by day always waits for Arga but he does not come.
DOWNLOAD
Artis : Negara : IndonesiaRilis : - (Indonesia) Kategori : Drama KomediDurasi : 1 jam 47 menitIMDb : tt1762358


Selasa, 03 April 2018

CEK TOKO SEBELAH (2016)

CEK TOKO SEBELAH (2016)

Film Cek Toko Sebelah ini mengisahkan sebuah keluarga kecil yang terdiri dari seorang ayah dan juga dua orang putranya. Sang ayah sangat menyayangi kedua anaknya, dan ingin mereka selalu bersama. Walaupun dia nantinya sudah tidak ada lagi bersama mereka, dan untuk itu dia membuat sebuah wasiat yang berisi mengenai pembagian warisan yang Ia lakukan berupa sebuah toko sembako milik Koh Afuk. Film Cek Toko Sebelah merupakan sebuah film komedi terbaru asal Indonesia. Film ini merupakan arahan sutradara Ernest Prakasa yang sekaligus penulis skenario dalam film ini. Sedangkan produser film ini adalah Chand Parwez Servia.
DOWNLOAD
Artis : Gisel, Dodit mulyanto, Ertnes prakasa Negara : USARilis : 10 Desember 2016Kategori : Komedi Durasi : 1 jam 28 menit ( 158 mb )IMDb : tt1762358

Kamis, 29 Maret 2018

MY STUPID BOSS (2016)

MY STUPID BOSS (2016)

Boss Bodoh saya menceritakan kisah bos absurd dan karyawannya. Bossman (Reza Rahadian) adalah seorang Indonesia yang memiliki perusahaan di Kuala Lumpur. Sebuah besar tapi tidak terorganisir perusahaan. Penyebab untuk kekacauan dalam organisasi adalah Bossman sendiri.
DOWNLOAD
Artis : Reza Rahadian, Bunga citra lestari, Alex Abbad Negara : IndonesiaRilis : 19 mei 2017Kategori : Drama, komediDurasi : 1 jam 48 menit IMDb : tt1762358


Minggu, 20 Agustus 2017

Top 6 : My Favorite Horror Movies 2016

Top 6 : My Favorite Horror Movies 2016


Maapkan saya karena akhir-akhir ini makin jarang nulis blog. Saya sampai heran kok bisa ada movie blogger lain yang bisa nulis dengan lancar jaya dan update setiap ada film baru, sementara saya setiap mau nulis blog harus ngumpulin mood dulu. Udah gitu frekuensi nonton film akhir-akhir ini juga makin berkurang. Kalau nganggur bawaannya pengen main game aja di handphone atau ngetroll di facebook haha :D

Waktu kemarin nulis artikel Top 10 : My Favorite Movies in 2016, saya janji untuk bikinkan artikel sendiri untuk kategori film horror. Satu bulan kemudian, akhirnya baru terwujud artikel ini... langsung aja mari dibaca film horror tahun 2016 apa saja yang menjadi favorit saya. I'm sorry, there is no The Conjuring 2 in this list... 

#6
OUIJA : ORIGIN OF EVIL
Directed by : Mike Flanagan


Walaupun mendapatkan hasil yang memuaskan di box office, di mata kritikus Ouija (2014) bukanlah film horror yang bagus. Dua tahun kemudian, film keduanya bertajuk Ouija: Origin of Evil dirilis. Mike Flanagan yang juga sukses lewat film horror Oculus dan Hush didaulat menjadi sutradaranya dengan budget 2 kali lipat dari film sebelumnya. Strategi itu berhasil, Ouija: Origin of Evil adalah salah satu film horror terbaik versi saya tahun lalu. Merupakan prekuel dari film pertamanya, Ouija: Origin of Evil bercerita tentang seorang single mother dan dua anak perempuannya yang hidup sebagai "cenayang palsu" untuk menyambung hidup. Sampai mereka kemudian "bermain-main" dengan papan Ouija beneran, dan saat itulah kengerian pun dimulai. Ouija: Origin of Evil tidak hanya bikin saya terloncat kaget dari tempat duduk selama nonton (adegan "kesurupannya" mengingatkan saya dengan kengerian ala The Exorcist. And God, itu gambar di atas serem abiz!), tapi juga indah dari segi estetika vintagenya yang memanjakan mata.

#5
DON'T BREATHE
Directed by: Fede Alvarez


Well, Don't Breathe adalah judul yang tepat mengingat sepanjang film ini kita emang beneran dibikin menahan napas saking tegangnya. Don't Breathe dimulai dengan sebuah misi pencurian yang kelihatannya sangat mudah: mencuri rumah seorang pria tua yang buta. Tapi pria tua buta yang kelihatannya ga berdaya ini justru jadi monster yang akhirnya membuat para pencuri yang masih muda ketakutan dan berusaha melarikan diri dari rumah. Ini adalah kebalikan film home invasion, dimana yang pencuri yang menyusup ke dalam rumah justru harus dikejar oleh sang pemilik rumah. Don't Breathe efektif di setiap menitnya, menghadirkan ketegangan tingkat tinggi yang bikin stress dan putus asa, dengan sebuah sick-twist di bagian menjelang akhirnya.

#4
10 CLOVERFIELD LANE
Directed by Dan Trachtenberg


Mengandung kata "Cloverfield" pada judulnya, menurut sang produser J.J. Abrams 10 Cloverfield Lane adalah saudara sedarah Cloverfield (2009), walau hadir dengan format dan cerita yang jauh berbeda. Seorang wanita, Michelle (Mary Elizabeth Winstead) terbangun dari sebuah kecelakaan dan menemukan dirinya berada di sebuah bunker milik seorang pria misterius, Howard (John Goodman) bersama pemuda lain bernama Emmet (John Gallagher Jr). Howard mengatakan bahwa di luar baru saja terjadi kiamat akibat serangan kimia berbahaya. Namun apakah yang dikatakannya benar? 10 Cloverfield Lane membangun level intensitas yang sangat mencekam melalui 3/4 filmnya, membuat kita sibuk menebak apa yang sesungguhnya terjadi dalam level frustasi yang sama seperti yang dirasakan Michelle. John Goodman bermain luar biasa sebagai karakter misterius yang sukses bikin kita takut sekaligus penasaran. Review lengkap bisa dilihat di sini. 

#3
THE WAILING
Directed by: Na Hong-Jin


The Wailing mungkin menjadi salah satu film Korea Selatan (selain The Handmaiden dan Train To Busan) yang paling banyak diperbincangkan tahun lalu. The Wailing akan mengajakmu mengikuti kehidupan khas pedesaan Korea Selatan, ketika seorang polisi lokal setempat Jong Goo (Kwak Do-Won) harus menyelidiki kejadian-kejadian mistik nan misterius yang terjadi di desanya. Hal buruk semakin parah ketika anak perempuan Jong Goo menjadi salah satu korban dan membuat Jong Goo berupaya sangat keras untuk menyelamatkan nyawa anak perempuannya. Yang paling menarik dari The Wailing adalah film ini memberikan kesan orisinil dan otentik, seperti menonton dunia perdukunan dan kesurupan versi Korea Selatan. And yes it is creepy af. Durasinya memang terlampau panjang untuk ukuran film horror, namun menontonnya sama sekali tidak membosankan karena Na Hong-Jin tidak memberikan adegan horror yang itu-itu aja.

#2
UNDER THE SHADOW
Directed by Babak Anvari


Dari kemaren menunda-nunda bikin artikel ini karena nungguin donwload-an film ini yang lumayan susah carinya haha. Jika The Wailing mengajakmu dalam petualangan mistik ala Korea Selatan, maka Under The Shadow membawamu ke dunia mistik Arab: makhluk ghaib Jin. Bersettingkan paska Revolusi Iran di tahun 80-an, Under The Shadow bercerita tentang seorang ibu dan anak perempuannya yang harus tinggal berdua di apartemen setelah sang suami terpaksa bertugas ke luar kota. Kejadian aneh yang menakutkan pun mulai terjadi. Under The Shadow adalah karya debut yang menarik dari sutradara kelahiran Iran, Babak Anvari. There is no disturbing scene in here, tapi adegan creepynya yang sedikit bernuansa surealis hadir bagaikan mimpi buruk yang sukses bikin saya jejeritan kaget sendirian selama nonton. 

#1
THE EYES OF MY MOTHER
Directed by Nicolas Pesce


Jeng-jeng! Tanpa ragu saya akan menyebut The Eyes of My Mother sebagai film horror favorit saya tahun 2016. Jika ada film horror yang bisa tampil mengerikan sekaligus artistik, maka The Eyes of My Mother adalah salah satunya. Film karya debutan dari Nicolas Pesce ini tampil dalam balutan visual hitam putih. Bercerita tentang seorang gadis bernama Fransica (Kika Magalhaes) yang tinggal bersama kedua orangtuanya di sebuah pertanian. Sang ibu, dahulunya adalah seorang dokter bedah di Portugal. Kehidupan yang damai seketika buyar saat seorang pria misterius tiba. The Eyes of My Mother menawarkan atmosfer khas film gore yang sukses bikin penonton merasa mulas dan tidak nyaman diam di tempat selama menonton. Uniknya, disturbing scene-nya ditampilkan dengan cara yang sangat elegan. Kika Magalhaes sukses menghadirkan sosok Fransisca sebagai perempuan polos dan kesepian yang sebenarnya adalah... monster. 

Sabtu, 15 Juli 2017

Top 10 : My Favorite Movies in 2016

Top 10 : My Favorite Movies in 2016


Udah bulan Juli 2017, tapi saya (seperti biasa) baru menuliskan daftar film favorit saya tahun 2016. Telat? Emang! Apa boleh dikata, banyak film yang dirilis tahun 2016 baru bisa saya saksikan tahun ini. Itupun masih banyak film tahun 2016 yang masih belum ditonton, seperti Fences, Hidden Figures, The Salesman, dan American Honey. Daripada ditunda-tunda lagi keburu males (dan basi), jadi ya sudah saya tulis dulu daftarnya dari yang udah saya tonton. 

Saya nggak bilang daftar yang saya susun ini adalah film terbaik. Itulah kenapa saya kasih judul "My Favorite Movies", karena saya cuma memasukkan film-film yang paling saya suka dan mengesankan buat saya pribadi. Itulah kenapa juga kamu nggak akan nemu film-film seperti Tony Erdmann dan Elle, karena biarpun dipuji-puji oleh banyak orang, otak saya nggak nyambung nonton film-film itu...

Berhubung saya suka film horror, saya bikin daftar khusus My Favorite Horror Movies di review selanjutnya, jadi film horror ga saya masukkan daftar ini.

#10 
LOVING (Jeff Nichols)

Sebuah kisah cinta nyata yang romantis dan mengharubiru antara Richard Loving (Joel Edgerton) dan Midget Jeter (Ruth Negga) yang pernikahannya dianggap ilegal oleh negara bagian Virginia. Loving adalah sebuah film dengan tema rasisme yang rawan disampaikan dengan emosi yang meletup-letup, namun sutradara Jeff Nichols melakukannya dengan caranya sendiri: lembut dan subtil, namun tetap sentimental dan penuh melankolia. Biar kata filmnya terasa agak membosankan karena terlalu "sunyi", saya.... mewek empat kali nonton film ini (apalagi pas tahu endingnya, saya sampai terisak-isak). Joel Edgerton dan Ruth Negga menampilkan akting memikat sebagai pasangan "pendiam", dan chemistry keduanya sebagai pasangan yang saling mencintai begitu menawan.

#9 
MOONLIGHT (Barry Jenkins)

It's not easy to live only with your drugs-addict mom, being black, poor, and gay. Moonlight yang merupakan Best Picture di Oscar tahun ini adalah potret coming-of-age story tentang seorang anak yang harus menjalani kehidupannya yang jauh dari kata ideal dalam 3 periode hidupnya: anak-anak, remaja, dan dewasa. Ini adalah tipikal film yang bisa mengiris-iris perasaan setiap orang dan sudah punya materi kuat untuk jadi jagoan di ajang festival film. Dengan budget yang sangat minim, Barry Jenkins bisa mengarahkan Moonlight menjadi film sentimental yang cukup melankolis tanpa kelewat-lewat mendayu-dayu dengan visual yang sangat artistik. Moonlight mungkin emang layak dapet Oscar, apalagi dengan ensemble cast yang bermain menawan semua, tapi saya pribadi tidak terlalu memfavoritkannya. That's why Moonlight ga masuk daftar 5 teratas. 

#8 
THE EDGE OF SEVENTEEN (Kelly Fremon Craig)

The Edge of Seventeen bercerita tentang Nadine (Hailee Steinfeld) yang merasa sebagai si itik buruk rupa yang jauh berbeda dengan saudaranya yang ganteng dan populer. Masalah semakin rumit ketika sahabatnya malah pacaran dengan saudaranya sendiri. Dunia Nadine pun terasa hancur lebur, dan satu-satunya tempat curhatannya cuma gurunya yang sarkastik (Woody Harrelson). Hailee Steinfeld mungkin terlalu cakep dan keren untuk jadi cewek culun dan outlier di sekolah, tapi abaikan persoalan itu maka The Edge of Seventeen adalah film high school coming of age yang sangat fun dan hilarious untuk ditonton. The Edge of Seventeen akan mengajakmu mengenang ke masa-masa SMA yang buat sebagian orang lumayan suram, terutama buat kamu yang bukan termasuk anak populer di sekolah. 

#7 
MANCHESTER BY THE SEA (Kenneth Lonargan)


Lee Chandler (Casey Affleck) adalah seorang handyman pemurung yang harus kembali ke kota asalnya setelah sang kakak meninggal dunia. Ia pun terpaksa harus mengurus keponakannya yang masih remaja dan kembali mengingat masa lalunya yang suram di kota tersebut. Manchester by The Sea adalah sebuah drama tentang pahit-manis kehidupan. Bagi sebagian orang film ini membosankan, tidak ada emosi meletup-letup yang berlebihan, namun naskahnya yang heartwarming sekaligus heartbreaking membuat saya terpikat dan terhanyut menontonnya dengan penuh perasaan dari awal hingga akhir. And Casey Affleck definitely deserves an Oscar. 

#6 
HUNT FOR THE WILDERPEOPLE (Taika Waititi)

One of the best 2016 comedy movie comes from New Zealand. Hunt for the Wilderpeople adalah sebuah drama petualangan seru antara dynamic duo yang aneh: paman pendiam yang sarkastik dan keponakan yang menyebalkan. Ricky Baker (Julian Dennison) adalah anak yatim piatu yang menjadi anak angkat pasangan paruh baya Bella (Rima Te Wiata) dan Hec (Sam Neill). Kehidupan mereka berubah ketika Bella meninggal dan Ricky harus berdamai dengan paman Hec yang tidak menyukainya. Hunt for the Wilderpeople tidak hanya dipenuhi jokes-jokes yang seru dan menyegarkan, namun juga punya naskah yang menyentuh dan bikin terharu. Soundtrack-nya catchy dengan pemandangan yang instagrammable saat Taika Waititi mengajak kita menjelajah hutan Selandia Baru yang indah. Chemistry menawan dan akting yang kocak juga diperlihatkan Sam Neill dan newcomer Julian Dennison.

#5
PATERSON (Jim Jarmusch)

Beauty is often found, in the smallest details. Paterson adalah sebuah kontemplasi filosofis yang puitis dari kehidupan 1 minggu seorang pria sederhana dan biasa-biasa saja bernama Paterson, bus-driver di kota yang punya nama sama dengannya. Paterson bukan karakter pria paling menarik di dunia, dan kehidupannya sangat standar dan monoton, namun entah bagaimana Jim Jarmusch bisa menghadirkan kisahnya begitu manis untuk disaksikan. Paterson adalah film yang sangat relatable, indah, dan bermakna. Seperti pengen ngajak kita untuk being grateful dengan kehidupan kita yang mungkin tidak spesial, namun kalau kamu teliti kamu bisa menemukan keindahannya. Adam Driver bermain sangat menawan sebagai Paterson, dan chemistrynya dengan sang istri Laura (Golshifteh Faharani) bikin baper paraahhhh! I want their peaceful life, please.... 


#4 

Nocturnal Animals adalah gabungan 2 genre favorit saya: drama percintaan ala Sam Mendes dan suspense thriller ala Coen Brothers. Seorang sosialita pemilik art gallery, Susan (Amy Adams) menerima draft novel dari mantan suaminya Edward (Jake Gyllenhaal). Novel bergenre thriller itu tampaknya merupakan simbolisme dari hubungan percintaan mereka yang berakhir dengan buruk, membacanya membuat Susan kembali mengenang awal dan akhir kisah cintanya dengan sang mantan suami. Nocturnal Animals punya naskah yang memikat dan sangat efektif, dengan ensemble cast yang luar biasa (Amy Adams, Jake Gyllenhaal, Michael Shannon, Aaron Taylor Johnson - yang aktingnya asli bikin saya pengen nendang mukanya, Laura Linney, dan Isla Fisher). Jangan lupakan juga nalar estetika di bawah pimpinan sang sutradara Tom Ford yang menjadikan Nocturnal Animals begitu cantik dan artistik secara visual. 

#3 
THE HANDMAIDEN (Park Chan-Wook)

The Handmaiden mungkin terlalu kontroversial untuk masuk nominasi Best Foreign Movie di Oscar tahun ini (alasan yang sama mungkin kenapa Elle juga ga masuk nominasi), namun hampir sebagian besar orang sepakat bahwa The Handmaiden adalah salah satu film wajib tonton tahun lalu. Apalagi kalau kamu tahu ada lesbian scene-nya hahaha... (lesbi boleh, homo jangan - prinsip pria homophobic). The Handmaiden bercerita tentang seorang pelayan (Kim Tae-Ri) yang sesungguhnya adalah penipu, yang bekerja untuk seorang wanita kaya Lady Hideko (Kim Min-Hee). Park Chan-Wook tampaknya ahlinya dalam mengupas seksualitas dan erotisme, dan di The Handmaiden ia bisa menjadikannya begitu artistik dan tidak sekedar eksploitasi seksual. Tidak hanya memiliki visual dan desain produksi yang sangat memanjakan mata, The Handmaiden juga akan mengajakmu ke dalam petualangan penuh twist yang mendebarkan.

#2 
LA LA LAND (Damien Chazelle)

Moonlight boleh jadi memenangkan Oscar, namun bagi saya La La Land lebih punya nilai jual sekaligus kualitas yang lebih layak diperbincangkan bertahun-tahun ke depan. Premisnya sangat sederhana, namun Damien Chazelle tahu benar bagaimana "menjual mimpi" (white people middle class's dream haha). Visually stunning, cute costume, great soundtrack, bittersweet love story, La La Land bisa mengubah image drama musikal yang biasanya hanya disukai orang-orang tua jadi lebih disukai oleh anak muda. And please, this movie has Ryan Gosling and Emma Stone! Nonton film ini bikin saya baper berhari-hari hingga bikin saya kepengen pegang-pegangan tangan di bioskop dan menari-nari di planetarium sama kekasih.

#1 
ARRIVAL (Dennis Villeneuve)

Berhubung fetish saya adalah luar angkasa, maka saya tempatkan Arrival di tempat yang terhormat dan sudah selayaknya: nomor 1 film favorit saya pada tahun 2016. Arrival adalah sudut pandang lain dari sebuah film alien yang datang ke bumi: mengajak kita berpikir bagaimana berkomunikasi dengan makhluk dengan kemampuan nalar yang jauh berbeda dengan kita. Film yang diambil dari short story Ted Chiang ini diadaptasi dengan baik oleh Eric Heisserer dan dieksekusi manis oleh sutradara Dennis Villeneuve. This movie is masterpiece for me: suspense-thriller yang kelam, melodramatic plot yang bikin saya emosional berhari-hari dan tentu saja brilliant twist. And please deh, ga habis pikir Amy Adams kenapa bisa ga dapet nominasi Oscar? 

...
(Anyway... I am sorry... there is no Deadpool in here hahaha...) 

Kamis, 06 Juli 2017

Personal Shopper (2016) (4/5) : Review & Penjelasan

Personal Shopper (2016) (4/5) : Review & Penjelasan

So we made this oath... Whoever died first would send the other a sign.
RottenTomatoes: 81% | IMDb: 6,2/10 | Metacritic: 77/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated:
Genre: Mystery & Suspense, Drama, Thriller

Directed by Olivier Assayas ; Produced by Charles Gillibert ; Written by Olivier Assayas ; Starring Kristen Stewart, Lars Eidinger, Sigrid Bouaziz, Anders Danielsen Lie, Ty Olwin, Hammou Graia, Nora von Waldstatten, Benjamin Biolay, Audrey Bonnet, Pascal Rambert ; Cinematography Yorick Le Saux ; Edited by Marion Monnier ; Production company CG Cinéma, Vortex Sutra, Detailfilm, Sirena Film, Arte France, Cinéma Arte, Deutschland/WDR ; Distributed by Les Films du Losange ; Release date 17 May 2016 (Cannes), 14 December 2016 (France) ; Running time 110 minutes ; Country France ; Language English ; Budget $1 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Ketika saudara kembarnya meninggal, Maureen Cartwright (Kristen Stewart) menolak untuk meninggalkan Paris sebelum ia mendapat kontak dari saudara kembarnya yang sudah meninggal tersebut. Masalah bertambah ketika Maureen yang bekerja sebagai seorang personal shopper mulai mendapatkan pesan teks misterius. 

Review / Resensi :
Sebelum dimulai, perlu saya jelaskan reaksi awal saya ketika film Personal Shopper ini berakhir: bengong. Ini adalah tipikal film yang buat saya bingung dan nggak paham. Nggak paham karena nggak jelas. Absurd dan serba ambigu. Begitu film selesai, saya langsung hunting explanation tentang kenapa film ini dianggap bagus oleh sebagian besar kritikus. Untungnya kemudian saya menemukan penjelasan itu di situs Vulture dan blog lokal My Dirt Sheet yang seketika memberikan pencerahan bagi kapasitas otak saya yang terbatas ini. Oh, so this is a good movie!

Walaupun sempat di-boo-in pas screening di Cannes tahun 2016, setelahnya Personal Shopper memperoleh tanggapan positif dari para kritikus. Sang sutradara, Olivier Assayas bahkan akhirnya meraih Best Director di Cannes tahun lalu. Personal Shopper juga dielu-elukan oleh Indiewire berulang kali hingga bikin saya makin penasaran. Ketertarikan saya makin bertambah saat membaca premisnya (yang agak mirip film Indonesia Titik Hitam yang dibintangi Winky Wiryawan), tentang seorang perempuan yang berusaha mencari pertanda kemunculan roh saudara kembarnya yang sudah meninggal. Oh, wow... ini tentu film horror yang sangat menarik.

Tapi saya pun bingung ketika alur film Personal Shopper perlahan menjauhi premis sekilas yang tampaknya seperti film horror itu. Awalnya memang dimulai dengan sentuhan horror khas rumah kosong yang bikin merinding, namun Personal Shopper kemudian mulai bergerak ke ranah psychological thriller ala Hitchcock dengan sentuhan sensual (Kristen Stewart topless 2 kali di film ini). Nuansa thriller ini dimulai dari sebuah pesan teks misterius yang seolah-olah membuntuti sang tokoh utama Maureen kemana-mana yang kemudian berujung klimaks pada terbunuhnya seseorang. Personal Shopper lalu juga bermain ke arah drama ketika kita diajak mengenali sisi psikologis Maureen lebih dalam: krisis identitas, loneliness, dan bagaimana ia mengatasi rasa dukanya kehilangan saudaranya. 

Lho, jadi ini film horror, thriller atau drama?

Film ini adalah ketiganya! Saya jadi teringat film Spring, yang menggabungkan genre body-horror dengan romantis - sebuah perpaduan genre yang aneh dan rawan nggak nyambung. Demikian juga dengan Personal Shopper yang tampaknya menjadikan batas genre tersebut itu abu-abu dan ambigu. Seiring dengan alur cerita filmnya, Oliver Assayas dengan cerdas mampu "mengaburkan" batas dan membaurkan nuansa tone pada tiap masing-masing genre. Ia bagaikan memadukan yang realis dengan yang mistis. 

*spoiler* Ada tiga scene yang menunjukkan bagaimana Assayas berusaha mencampurkan kesan realis dan mistis. Satu, pada adegan klimaksnya: ketika Maureen menemukan bossnya Kyra terbunuh. Ini adalah sebuah thriller, namun kemudian lampu apartemen tempat Kyra terbunuh padam-padam sendiri seperti menampakkan tanda-tanda hantu. Kedua, pada bagian ketika Maureen menemui pengirim pesan misteriusnya di sebuah hotel yang kemudian oleh Assayas di-cut tanpa sebuah penjelasan, namun menampilkan lift dan pintu hotel yang membuka sendiri dan mengesankan ada hantu di dalamnya. Ketiga, ketika kamu berpikir bahwa segala keanehan yang terjadi di hidup Maureen sebenarnya cuma campur tangan orang biasa, kamu akan teringat adegan ala Ghostbuster di bagian awal film dan juga gelas melayang pada bagian akhir film. Jadi film ini beneran film yang ada hantunya. *spoiler ends*

Personal Shopper bukanlah sebuah film dengan kepingan puzzle yang harus disusun lantas sebuah twist pada akhirnya akan membuat susunan puzzle tersebut jadi utuh dan masuk akal Endingnya malah justru puncak ambiguitas itu. Maureen adalah perantara antara dunia material dan non-material, dan ini membuat kita sebagai penonton ikutan rancu dengan segala hal yang terjadi pada kehidupan Maureen. Apakah ini semua hanya khayalan Maureen? Apakah benar sang "hantu" adalah saudara kembar Maureen? Semuanya tidak jelas. Setidak jelas dunia metafisik itu sendiri. Dan semua ini merupakan bagian dari proses duka Maureen karena kehilangan saudara kembarnya. 

Kristen Stewart mendapat pujian dari para kritikus berkat aktingnya di sini. Aktingnya memang oke sih, tapi berhubung saya sudah ilfil sama doi karena perannya sebagai Bella di Twilight, jadi saya ga bisa menilai doi secara subyektif. Haha. (Anyway pilihan karir Kristen Stewart untuk lebih milih peran di film-film indie adalah langkah yang baik). Sejujurnya, perannya juga nggak jauh dari peran-perannya sebelumnya: sebagai gadis grunge yang masam. Saya mungkin akan menilai ia lebih baik lagi jika ia mengambil peran yang jauh lebih optimis dan berbeda dari karakter-karakternya sebelumnya. But, style dia oke banget di sini...


Overview :
Kritikus mungkin akan memuji Personal Shopper karena sisi orisinilnya, namun penonton awam akan melihat Personal Shopper sebagai sebuah film absurd yang membosankan dan membingungkan. Olivier Assayas berhasil menjadikan Personal Shopper sebagai perpaduan antara genre thriller, horror, dan drama yang dicampurkan dalam batas-batas yang ambigu. Kristen Stewart bermain aman dengan peran-peran depresi yang tampaknya memang sesuai dengan karakternya, namun ia mampu memaksimalkannya dan menjadikan Maureen sebagai salah satu akting terbaik dalam perjalanan karirnya. 


Rabu, 28 Juni 2017

Silence (2016) (4/5)

Silence (2016) (4/5)


I pray too, Rodrigues. It doesn't help. Go on, pray. But pray with your eyes open.
RottenTomatoes: 85% | IMDb: 7,3/10 | Metascore: 79/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: R
Genre: Drama, Adventure

Directed by Martin Scorsese ; Produced by Barbara De Fina, Randall Emmett, Vittorio Cecchi Gori, Emma Tillinger Koskoff, Gaston Pavlovich, Martin Scorsese, Irwin Winkler ; Screenplay by Jay Cocks, Martin Scorsese ; Based on Silence by Shūsaku Endō ; Starring Andrew Garfield, Adam Driver, Tadanobu Asano, Ciarán Hinds, Liam Neeson ; Narrated by Andrew Garfield, Béla Baptiste ; Music by Kim Allen Kluge, Kathryn Kluge ; Cinematography Rodrigo Prieto ; Edited by Thelma Schoonmaker ; Production companiesSharpSword Films, AI Film, Emmett/Furla/Oasis Films, CatchPlay, IM Global, Verdi Productions, YLK Sikelia Fábrica de Cine ; Distributed by Paramount Pictures ; Release date November 29, 2016 (Rome), December 23, 2016 (United States) ; Running time161 minutes ; Country United States, Taiwan, Mexico, United Kingdom, Italy, Japan ; Language English, Japanese ; Budget $40 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Dua orang pendeta Jesuit tiba di Jepang pada abad ke-17 untuk mencari dan menemukan sang Guru yang kabarnya telah murtad dari keyakinannya. 

Review / Resensi :
Diangkat dari novel karangan Shusaku Endo yang terinspirasi dari kisah sejarah yang benar terjadi, kabarnya Silence adalah proyek lama yang tertunda-tunda dari sutradara kawakan Martin Scorsese selama 26 tahun sebelum akhirnya dirilis akhir tahun 2016. Silence merupakan sebuah perjalanan spiritual emosional yang brutal, yang akan membuat siapa saja kaum beriman akan mempertanyakan sejauh mana mereka bisa mempertahankan keimanannya. Hal ini disampaikan melalui sudut pandang Pendeta Rodrigues (Andrew Garfield), pendeta taat dan shalih yang berupaya menemukan sang guru, Ferreira (Liam Neeson) yang kabarnya telah murtad dalam misi misionarisnya di Jepang. Dalam misi pencariannya, ia dan rekannya Pendeta Garupe (Adam Driver) mengetahui fakta-fakta yang menyedihkan, bagaimana umat Kristen di Jepang pada masa itu harus menyembunyikan keimanannya dari para pemimpin Jepang yang tidak segan-segan membunuh mereka yang beragama Kristiani. 

Berhubung topik agama adalah salah satu topik favorit saya, mari kita bahas topik ini dengan lebih detail. Silence punya isu yang sangat menarik. Walaupun hanya mengangkat cerita 2 agama Kristen dan Buddha dengan lokasi di Jepang, namun secara garis besar kisahnya cukup relevan dengan situasi yang terjadi saat ini di Indonesia. Kamu tidak perlu beragama Kristen atau Buddha untuk berusaha engaged dengan pesan moral dalam film ini. Ya, ketika agama menjadi sumber konflik, ketika masing-masing berusaha memaksakan keyakinannya, ketika masing-masing pihak mengklaim yang paling benar, hingga pihak otoritas penguasa yang bisa melakukan apa saja kepada masyarakatnya: termasuk urusan agama yang seharusnya menjadi ranah privat antara manusia dan Tuhan-nya. Namun Silence tidak berupaya untuk menunjukkan jawabannya, tidak berusaha menunjukkan siapa yang benar siapa yang salah. Silence adalah sebuah pengalaman, bukan sebuah pencerahan. Silence hanya menjawab segala pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam bisu.
I pray but I am lost. Am I just praying to silence?
Jika kita mau menarik dikotomi moral hitam dan putih, maka jelas penguasa Jepang dalam film ini adalah mereka yang kejam. Namun menariknya, argumentasi mereka masuk akal. Dalam suatu percakapan juga disebutkan yang intinya menunjukkan bahwa Christianity tidak sesuai dengan kultur dan kondisi Jepang: 

"But everyone knows a tree which flourishes in one kind of earth may decay and die in another. It is the same with the tree of Christianity. The leaves decay here. The buds die."

Sebagai seseorang yang saat ini sedang struggling dengan iman dan spiritualitas, saya harus mengakui bahwa saya memihak Jepang dalam hal ini. Saya percaya setiap orang memiliki jalan spiritualnya sendiri-sendiri, demikian juga saya percaya bahwa setiap masyarakat membangun struktur agama dan kepercayaannya masing-masing yang memang dirasa cocok dengan kondisi masing-masing. Tidak perlu ada pihak lain yang memaksakan kebenaran versinya sendiri sambil mengklaim kebenarannya adalah kebenaran mutlak yang universal.

"The path of mercy. That means only that you abandon self. No one should interfere with another man's spirit. To help others is the way of the Buddha and your way, too. The two religions are the same in this. It is not necessary to win anyone over to one side or another when there is so much to share,"

Bagaimana Christianity dan Buddha memahami Tuhan mungkin punya cara yang berbeda. Namun alih-alih berusaha "menconvert" atau mencari perbedaannya, keduanya sebenarnya punya persamaan yang universal: pengampunan, kebajikan, berlaku baik, atau menolong sesama. Tidak perlu ada pertunjukan kompetitif agama mana yang lebih benar. Saya menarik benang merah cerita Silence ini ke dalam situasi yang terjadi di Indonesia: bagaimana sejumlah orang berusaha memaksakan kebenaran versinya ke orang lain (termasuk saya sih, dengan argumentasi filosofis semacam ini di blog yang harusnya ngebahas film!). Tapi tentu saja, cara Jepang dengan menyiksa umat Kristen adalah cara yang ngawur...

Keteguhan hati Rodrigues (Andrew Garfield) yang didasari dari paham "The blood of martyrs is the seed of the church" sepintas nampak seperti sebuah pengorbanan yang luar biasa hebat. Namun, melihatnya dari kacamata lain saya akan menangkapnya sebagai sebuah kenaifan. Dalam situasi maha sengsara seperti ini saya mungkin akan bertindak seperti Kichijiro (Yosuke Kubozuka), yang bertindak oportunis nan egois sambil berharap akan pengampunan Tuhan. Dan bukankah sebagian besar kita adalah si munafik Kichijiro? Ia mewakili kita semua: berbuat dosa, minta ampun, berbuat dosa lagi, minta ampun. Hey, Tuhan Maha Pengampun kan?

Silence yang sinematografinya ditangani Rodrigo Pieto adalah sebuah film yang sangat cantik dan memukau dari awal hingga akhir. Sebuah kontradiksi yang menarik ketika sesuatu yang mengerikan bisa ditampilkan dalam visual yang cantik. Tidak salah ketika Silence masuk nominasi Best Cinematography dalam ajang piala Oscar tahun ini. Saya juga menggemari betapa konsisten unsur "Silence" - sebagaimana judulnya, menjadi atmosfer utama film Silence ini sendiri: hening dan dingin. Walaupun hening, namun film ini sendiri "berteriak" dengan caranya - semacam pekikan emosional yang mempertanyakan Tuhan. Situasi emosional dan keputusasaan itu berhasil dibawakan Andrew Garfield dengan baik sebagai aktor utama - dan ia memang mempunyai aura kenaifan yang juga likeable. Walaupun sebenarnya sih saya lebih suka jika Adam Driver yang jadi lead actor-nya (ini gara-gara film Paterson!).

But then again, durasi 2 jam 40 menit adalah durasi yang terlalu panjang dan jatuhnya agak membosankan dan kurang efektif. Akhirnya saya merasa unsur menegangkan dan mengerikannya jadi nggak terlalu dapet feel-nya. Siksaan pertama mungkin terasa ngeri, tapi ketika siksaan demi siksaan ditampilkan lagi dan lagi, yang ada saya gemes pengen teriak ke si Pendeta Rodrigues, "Udah pura-pura murtad aja kenapa sih susah amat!" (Ngawur ya saya, astaghfirullah...).

Overview:
Silence melengkapi daftar film Martin Scorsese yang memiliki tema relijius setelah The Last Temptation of Christ dan Kundun. Silence adalah sebuah perjalanan spiritual panjang yang brutal, kelam, dan melelahkan. Jika film ini adalah film "Islami khas Indonesia" film ini tentu akan tendensius pada dikotomi moral hitam putih yang bersifat apologetik, namun Silence bermain pada ranah ambigu yang tidak akan memberikanmu jawaban. Durasi 2 jam lebih mungkin terlalu panjang dan membosankan, namun Silence mempunyai visualisasi yang mewakili kontradiksi paradoks sifat Tuhan: cantik sekaligus dingin. Andrew Garfield menunjukkan salah satu akting terbaiknya (lagi-lagi sebagai religious person setelah filmnya di Hacksaw Ridge). 

Minggu, 18 Juni 2017

REVIEW : IN THIS CORNER OF THE WORLD

REVIEW : IN THIS CORNER OF THE WORLD


“Thank you for finding me in this corner of the world.” 

Pada tanggal 6 Agustus 1945, sebuah bom atom uranium jenis bedil yang dikenal dengan nama Little Boy dijatuhkan oleh Amerika Serikat di kota Hiroshima, Jepang. Pengeboman yang menelan ratusan ribu korban jiwa tersebut – sebagian besar diantaranya adalah masyarakat sipil – memberikan pukulan telak bagi Jepang sehingga tidak berselang lama mereka pun menyerah kepada pihak sekutu yang secara otomatis mengakhiri berlangsungnya Perang Dunia II. Inilah salah satu peristiwa penting dan berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Saking pentingnya, industri perfilman di Jepang pun tak ingin kelewatan untuk mengabadikannya melalui bahasa audio visual, baik berkenaan langsung dengan sejarahnya atau sekadar menjumputnya sebagai latar belakang penggerak kisah seperti dilakukan oleh film animasi pemenang beragam penghargaan berjudul In this Corner of the World (atau berjudul asli Kono Sekai no Katasumi ni). Ya, film arahan Sunao Katabuchi (Princess Arete, Mai Mai Miracle) yang disarikan dari manga bertajuk serupa ini bukanlah sebentuk rekonstruksi sejarah dengan alur kisah maupun karakter-karakter yang bisa dijumpai di buku teks melainkan sebentuk hikayat dengan bangunan cerita fiktif yang mencoba menawarkan perspektif perihal impak perang terhadap kemanusiaan. 

Karakter utama yang dimanfaatkan In this Corner of the World untuk menggulirkan roda penceritaan adalah Suzu (disuarakan oleh Non), seorang perempuan polos dan kikuk yang menaruh minat tinggi pada menggambar. Dipaparkan secara episodik, penonton mengikuti kehidupan Suzu sedari dia masih kecil dan tinggal bersama keluarganya di Eba, Hiroshima, pada tahun 1930-an hingga tumbuh menjadi perempuan dewasa dan meninggalkan kampung halamannya untuk tinggal bersama keluarga suaminya di Kure yang menjadi markas utama bagi Angkatan Laut Jepang semasa Perang Pasifik pada tahun 1940-an. Kepindahannya ke Kure sendiri tidak pernah diantisipasinya karena sebelum berlangsungnya prosesi pernikahan di usianya yang ke-18, Suzu tidak mengenal pria yang tiba-tiba datang untuk melamarnya, Shusaku (Yoshimasa Hosoya). Segalanya berlangsung begitu cepat dan mendadak bagi Suzu sehingga belum sempat dia mengatasi keterkejutannya, sang karakter utama harus sesegera mungkin beradaptasi dengan rutinitas barunya sebagai ibu rumah tangga. Tidak mudah bagi Suzu untuk menjalani kehidupan barunya ini terlebih dengan adanya pembatasan jatah ransum yang memaksanya berpikir kreatif agar keluarganya dapat makan secara layak dan kehadiran kakak iparnya, Keiko (Minori Omi), yang kerap bersikap dingin kepadanya sekalipun sang putri, Harumi (Natsuki Inaba), menjalin hubungan akrab dengan Suzu. 

Dalam menghantarkan kisahnya yang berbincang soal cinta, kemanusiaan, dan harapan di tengah-tengah berkecamuknya perang akbar, In this Corner of the World mengambil pendekatan berbeda dengan sejawatnya, Grave of the Fireflies (1988, Ghibli), yang poros utama kisahnya berada di rentang waktu sama. Alih-alih bermuram durja – meletakkan fokus pada kepedihan hidup tak terperi dari si karakter utama – Sunao Katabuchi memilih untuk melantunkannya dengan nada penceritaan yang bertolak belakang. Tidak meletup-letup, optimis, serta positif dalam memandang kehidupan. Memang sih Suzu kerap dinaungi ketidakberuntungan dalam hidupnya; dari cinta tak sampai, perjodohan, kakak ipar yang jutek bukan main, stok makanan serba terbatas, sampai peperangan yang merenggut kebebasan maupun orang-orang yang dikasihinya, namun ketimbang menggambarkannya secara dramatis sarat air mata, Sunao mentranslasinya ke bahasa gambar secara tenang mengikuti cara Suzu menyikapi persoalannya dengan kepala dingin. Alhasil, In this Corner of the World tidak menjelma sebagai tontonan ‘horor’ (baca: menguras air mata) seperti kerap dibayangkan banyak pihak dan hentakan-hentakan emosi dalam film pun diminimalisir sedemikian rupa sampai pesawat Amerika Serikat menjatuhkan bomnya. Keputusan untuk tidak mengumbar emosi, sedikit banyak berdampak pada alur yang mengalun cenderung tenang-tenang menghanyutkan ala film berjalur slice of life dan bisa jadi akan terasa menjemukan bagi sebagian penonton.

Mengingat kehidupan Suzu sebagai ibu rumah tangga yang repetitif serta jauh dari kata hingar bingar kecuali dari suara gemuruh pesawat perang dan ledakan bom di sekitar tempat tinggalnya maka pilihan si pembuat film dalam menuturkan kisah ini sangat bisa dipahami. Penonton dimaksudkan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Suzu sehingga ada ikatan emosi yang terbentuk antara penonton dengan sang protagonis utama maupun beberapa karakter kunci yang memiliki peranan dalam kehidupannya. Menariknya, Suzu bukanlah sesosok karakter yang lempeng apalagi hambar. Dia terlihat sangat mudah disukai dengan penggambaran pembawaan yang periang, kikuk, dan agak ceroboh sampai-sampai kerap memantik kejadian-kejadian konyol di sekelilingnya seperti tanpa sengaja menyebabkan teman-temannya bergelimpangan atau salah dikira sebagai mata-mata karena menggambar armada angkatan laut Jepang. Rentetan humor-humor segar yang efektif dalam menghadirkan derai tawa ini mewarnai dua pertiga awal durasi yang hampir tidak mempunyai momen dramatik mengikuti garis konflik yang acapkali berada di posisi horizontal. In this Corner of the World mulai menunjukkan geliatnya dari sisi emosi ketika salah satu karakter kunci tewas akibat terkena bom waktu. Keceriaan yang menaungi tahap sebelumnya perlahan mengabur – walau tidak sepenuhnya – dan kemuraman menyelinap masuk. 

Sedari titik ini, kita bisa melihat seberapa besar impak perang terhadap kemanusiaan. Sikap optimis dan positif yang coba dipromosikan oleh In this Corner of the World juga semakin menunjukkan taringnya disini. Bagaimana para karakter bertindak dalam menyikapi duka yang menyelimuti, bagaimana cinta, pengampunan dan kebaikan hati dapat membantu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh peperangan sekaligus memunculkan harapan. Meski bukan berarti Suzu tidak pernah diperlihatkan terpuruk, namun dia secara cepat mampu bangkit begitu pula beberapa karakter penting yang berhasil selamat. Salah satunya bahkan sempat berujar kepada Suzu, “tidak ada gunanya menangis. Kamu hanya akan membuang-buang garam.” Ucapan yang singkat pula menampar bagi si protagonis, utamanya di kala dirundung kesulitan memperoleh bahan pangan. Tapi penonton tak perlu merasa risau akan dihalang-halangi untuk meluapkan emosi karena seperti disinggung di penghujung paragraf sebelumnya, babak ketiga merupakan awal mula bermunculannya momen-momen merobek hati. 

Kendati (lagi-lagi) tidak seperti Grave of the Fireflies yang sudah berada di tahapan tanpa ampun menghujam emosi, keberadaannya dalam In this Corner of the World akan tetap mengusik nuranimu. Tengok saja pada adegan seorang pria dengan tubuh terpanggang, orang-orang yang kebingungan mencari keberadaan sanak saudara selepas Hiroshima luluh lantak oleh bom, atau seorang bocah kecil yang kehilangan ibunya. Sulit untuk tidak menitikkan air mata, mengutuk keras peperangan, seraya berkontemplasi untuk menemukan jawab atas tanya, “mengapa sih harus ada peperangan? Adakah urgensi mendesak dibaliknya atau sekadar ajang unjuk ego?.” Pada akhirnya, In this Corner of the World adalah sebuah hikayat memikat mengenai tragedi yang dihamparkan secara indah berkat goresan-goresan gambar yang sederhana namun amat indah, jenaka mengikuti cukup tingginya asupan humor tatkala menyoroti kehidupan rumah tangga Suzu, serta tetap efektif dalam mempermainkan emosi ketika akhirnya keluarga Suzu mulai benar-benar terkena dampak dari peperangan yang sebenarnya sama sekali tidak mereka pahami.

Outstanding (4/5)


Rabu, 07 Juni 2017

REVIEW : MINE

REVIEW : MINE


“My next step will be my last.” 

Coba bayangkan dirimu berada dalam situasi semacam ini: tersesat di padang gurun tanpa membawa persediaan hidup mencukupi, lalu tanpa sengaja menginjak sesuatu yang besar kemungkinan adalah sebuah ranjau. Apa yang akan kamu lakukan? Memutuskan berdiam diri hingga batas waktu tertentu seraya menunggu bala bantuan yang mungkin saja tidak akan pernah datang karena lokasimu amat terpencil dan berada di sekitar area konflik atau nekat memutuskan untuk melangkah dengan resiko akan kehilangan anggota tubuh tertentu? Situasi ini, kemudian pertanyaan-pertanyaan yang melanjutinya merupakan gambaran penceritaan secara garis besar dari film debut penyutradaraan duo Fabio Guaglione dan Fabio Resinaro (memakai nama panggung Fabio & Fabio), Mine, yang promonya mengisyaratkan akan berada di jalur survival thriller. Hanya saja, berbeda dengan film-film yang mempunyai pokok persoalan serupa mengenai bertahan hidup di alam liar semacam 127 Hours (2010), Buried (2010), hingga paling anyar The Shallows (2016), Mine tidak semata-mata berceloteh mengenai upaya sang protagonis untuk bertahan hidup. Si pembuat film turut sibuk menyisipinya dengan muatan filosofis yang membicarakan tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan. 

Karakter sentral dalam Mine adalah seorang marinir asal Amerika Serikat bernama Mike Stevens (Armie Hammer). Bersama rekannya, Tommy Madison (Tom Cullen), Mike ditugaskan untuk menjalani misi di padang gurun yakni membunuh pemimpin dari sebuah kelompok ekstrimis di wilayah Afrika Utara. Pertentangan batin lantas menyergap Mike begitu mendapati bahwa targetnya tengah mengantarkan putranya ke tengah gurun guna menjalani prosesi pernikahan. Keragu-raguan untuk melesatkan tembakan berujung pada gagalnya misi yang membuat posisi keduanya terdesak. Guna melarikan diri dari kejaran antek-antek si target dan menjumpai bala bantuan yang konon akan dikirimkan ke desa terdekat, Mike dan Tommy pun melakoni perjalanan selama berjam-jam melintasi padang gurun. Perjalanan ini mengantarkan mereka menuju ke sebuah area yang ditanami ranjau darat. Mengabaikan peringatan karena menganggap ranjau telah berada di sana selama puluhan tahun dan tak lagi berfungsi, ada harga yang harus mereka bayar mahal. Tommy kehilangan kedua kakinya usai ranjau yang diinjaknya meledak seketika, sementara Mike yang sedikit lebih beruntung, harus bertahan di posisinya sampai batas waktu tertentu apabila tidak ingin ranjau di bawah kakinya meluluhlantakkan tubuhnya seperti terjadi pada rekannya.


Mesti diakui, Mine memulai langkah awalnya secara meyakinkan. Adegan menanti datangnya sang buron yang dilanjut kegamangan hati Mike antara ‘menembak atau tidak menembak’ dikonstruksi oleh Fabio & Fabio dengan tingkatan intensitas cukup tinggi dan laju penceritaan yang melesat cepat. Meski kita mengetahui ujungnya – well, kegagalan misi adalah pemantik munculnya rentetan konflik di film dan telah pula dijabarkan di sinopsis – tetap saja muncul sensasi berdebar-debar kala menanti keputusan Mike lantaran was-was pula kalau-kalau keberadaan kedua marinir ini diketahui oleh musuh. Ketegangan yang terbangun dengan baik di adegan pembuka ini lantas berlanjut saat penonton digiring memasuki area penuh ranjau. Detik-detik jelang meledaknya ranjau pertama akan membuatmu mencengkram erat kursi bioskop, begitu pula menit-menit selepasnya tatkala sang karakter sentral mencoba untuk menyesuaikan diri dengan pijakan beserta ‘lingkungan barunya’. Hingga titik ini, Mine masih berada di lajur seperti tersirat dari materi promosinya: survival thriller. Kita melihat Mike berjibaku untuk mendapatkan radio yang posisinya beberapa senti di depannya untuk menghubungi markas yang malah memberi jawaban tak memuaskan, bertahan dari gempuran badai pasir, hingga meminum air seninya sendiri akibat kehabisan stok air. 

Seiring dengan hadirnya karakter lain tanpa nama (Clint Dyer) yang berasal dari desa sekitar, nada pengisahan Mine perlahan tapi pasti mulai beralih. Kilasan-kilasan masa lalu yang bercampur dengan halusinasi datang silih berganti untuk mengenalkan kita pada sosok Mike. Dari sini, film menjelma bak pedang bermata dua. Bagi penonton yang tidak keberatan mendengar lontaran dialog filosofis untuk kemudian diajak berkontemplasi (keengganan Mike memindahkan kaki dari pijakannya adalah metafora bagi ketidakberanian sang protagonis untuk mengambil resiko demi melanjutkan hidup), maka sisa durasi Mine tidak akan kesulitan mencuri perhatianmu. Namun jika pengharapanmu terhadap Mine adalah film ini mengikuti pola pengisahan dari Buried atau The Shallows (which is, bukan sesuatu yang salah), sisa durasi dari film berlangsung kurang mengenakkan. Intensitas menurun drastis, laju mengalun pelan, dan kilasan masa lalu tidak cukup menjerat. Apabila ada jeratan, itu berasal dari performa gemilang yang dipersembahkan oleh Armie Hammer. Kita bisa mendeteksi kegamangannya, ketakutannya, hingga kemarahannya sehingga paling tidak kita peduli terhadap nasib karakter yang dimainkannya. Seandainya keadilan benar-benar ada di dunia ini, rasa-rasanya mudah bagi Armie Hammer untuk bertransformasi menjadi aktor besar dalam beberapa tahun ke depan mengingat bakat yang dipunyainya.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Selasa, 23 Mei 2017

REVIEW : THE AUTOPSY OF JANE DOE

REVIEW : THE AUTOPSY OF JANE DOE


“All these mistakes, my mistakes, and you had to pay for them.” 

Seperti halnya Last Shift yang sempat mampir di bioskop tanah air tahun lalu, nasib The Autopsy of Jane Doe bisa dibilang apes. Betapa tidak, mengingat jajaran pelakon utamanya bukanlah nama sembarangan, sang sutradara punya jejak rekam membanggakan dimana karya sebelumnya yakni Trollhunter disambut sangat hangat oleh para pecinta film horor dunia, dan premis usungannya terdengar menggoda, film ini tidak pernah memperoleh kesempatan untuk dipertontonkan secara luas. Selepas diperkenalkan pertama kali ke khalayak melalui Toronto International Film Festival, The Autopsy of Jane Doe lantas menyapa penikmat tontonan seram hanya melalui rilisan secara terbatas di bioskop, streaming platform, dan home video. Nyaris tiada terdengar gaungnya. Dugaan yang lantas muncul, apakah ini berarti film arahan André Øvredal tersebut mempunyai mutu kurang baik sampai-sampai pihak distributor emoh menggelontorkan dana besar untuk promosi dan perilisan? Tapi, (lagi-lagi) seperti halnya Last Shift, kualitas bukanlah alasan utama yang melatarbelakangi karena kenyataannya kedua judul ini – khususnya The Autopsy of Jane Doe – merupakan harta karun tersembunyi yang sebaiknya tidak dilewatkan begitu saja oleh para pecinta film horor. 

Judul dari film ini merujuk pada sesosok mayat perempuan cantik tanpa identitas (Olwen Catherine Kelly) yang ditemukan setengah terkubur di ruang bawah tanah dari sebuah rumah yang menjadi TKP pembunuhan. Sheriff Sheldon (Michael McElhatton) yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus aneh ini lantas membawa mayat si perempuan yang diberi nama Jane Doe pada ahli otopsi setempat, Tommy Tilden (Brian Cox) dan putranya Austin (Emile Hirsch), demi mengungkap penyebab kematiannya. Menguak pemicu tewasnya Jane Doe nyatanya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena mayat Jane Doe jelas bukanlah mayat biasa. Setidaknya ada tiga kejanggalan yang berhasil diendus oleh Tommy. Pertama, tidak ditemukan adanya tanda-tanda luka atau trauma dalam tubuh mayat. Kedua, tubuh korban mengindikasikan bahwa waktu kematian baru saja terjadi sementara mata korban menyatakan bahwa waktu kematian telah berlangsung beberapa hari silam. Dan ketiga, beberapa bagian dalam tubuh mengalami kerusakan tanpa meninggalkan bekas luka di bagian luar. Tatkala mencoba menggali lebih dalam mengenai kebenaran dibalik tewasnya Jane Doe inilah baik Tommy maupun Austin harus menghadapi berbagai peristiwa yang sulit dijelaskan oleh nalar.


Dalam membangkitkan bulu kuduk penonton di The Autopsy of Jane DoeAndré Øvredal kerap bermain-main dengan atmosfir yang menciptakan rasa tidak nyaman. Sukar untuk bisa duduk di kursi bioskop tanpa dirongrong perasaan gelisah ketika pemandangan yang terhampar di layar adalah lift sempit yang menjadi akses satu-satunya untuk keluar masuk, lorong panjang dengan pencahayaan temaram, dan ruang otopsi penuh mayat yang bertempat di ujung dari sebuah basement. Belum apa-apa, si pembuat film telah menciptakan nuansa klaustrofobik yang mencekat. Lalu tambahkan semua hal-hal mengganggu ini dengan mayat Jane Doe. Yang belum dijabarkan di sinopsis – tapi bisa diketahui melalui poster – adalah mata si mayat yang senantiasa terbuka. Coba bayangkan dirimu dalam posisi keluarga Tilden: mengautopsi mayat yang matanya seolah-olah tengah memandang ke arahmu di suatu ruangan tertutup di bawah tanah. Mengerikan? Jelas. Terlebih, asal muasalnya belum diketahui secara pasti. The Autopsy of Jane Doe berasa sedap buat disimak bukan saja karena kepiawaian sang sutradara dalam menciptakan rasa ngeri akibat kegelisahan tetapi juga berkat pekatnya misteri yang melingkungi guliran pengisahan. 

Ditengah ketidaknyamanan, kita turut dibuat bertanya-tanya mengenai identitas dari Jane Doe. Siapakah dia sebenarnya? Apakah dia mempunyai keterkaitan dengan pembunuhan yang ditangani oleh Sheriff Sheldon? Apa penyebab utama kematiannya? Mengapa tidak ditemukan tanda-tanda semacam luka atau trauma yang umumnya muncul pada mayat? Rentetan pertanyaan ini merupakan pisau bedah utama yang dipergunakan oleh André Øvredal guna menjerat atensi penonton agar berkenan mengikuti jalannya film hingga tutup durasi. Munculnya sejumlah peristiwa ganjil di ruang otopsi seperti kanal radio yang mendadak berubah dengan sendirinya bisa dikata efektif membantu tingkatkan kengerian, namun begitu film lepas dari babak kedua yang ditandai tersibaknya misteri, The Autopsy of Jane Doe tidak lagi semencekam paruh awalnya. Penyebabnya, perpaduan antara penjabaran jawaban kurang memuaskan (sempat nyeletuk, “yah... begini lagi!”) dan kebergantungan André Øvredal terhadap jump scares receh. Bukannya buruk toh intensitasnya masih dapat dirasakan, hanya saja jauh dari kesan istimewa seperti langkah awalnya lantaran sejumlah trik menakut-nakutinya telah cukup sering diterapkan di film sejenis. Cukup mengecewakan memang, tapi untungnya tak sampai menodai film secara keseluruhan. The Autopsy of Jane Doe tetaplah salah satu ‘harta karun tersembunyi’ bagi penikmat tontonan seram.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Selasa, 09 Mei 2017

REVIEW : A SILENT VOICE

REVIEW : A SILENT VOICE


Didasarkan pada manga bergenre slice of life berbumbu romansa rekaan Yoshitoki Oima, A Silent Voice (Koe no Katachi) menjual dirinya sebagai film romansa untuk segmen young adult. Yang terbersit pertama di pikiran, film ini mungkin akan semanis dan semengharu biru Your Name yang telah berkontribusi dalam menetapkan standar tinggi bagi film anime asal Jepang. Mengingat materi promosinya memunculkan kesan demikian, tentu ekspektasi khalayak ramai tersebut tidak bisa disalahkan. Satu hal perlu diluruskan, A Silent Voice gubahan sutradara perempuan Naoko Yamada (K-On!) ini tidak semata-mata mengedepankan kisah kasih sepasang remaja sebagai jualan utamanya. Malahan sebenarnya, percintaan bukanlah bahan pokok buat dikulik. Topik pembahasan yang dikedepankan oleh A Silent Voice justru terbilang sensitif meliputi perundungan, kecemasan sosial, sampai bunuh diri berlatar dunia sekolah. Ya, ketimbang Your Name, A Silent Voice justru lebih dekat dengan film rilisan tahun 2010, Colorful, yang mengapungkan materi kurang lebih senada hanya saja tanpa mencelupkan elemen fantasi dan lebih realistis dalam bertutur. 

Karakter inti dari film adalah remaja laki-laki usia belasan bernama Shoya Ishida (Miyu Irino). Semasa duduk di bangku sekolah dasar, Ishida mempraktikkan tindak bullying terhadap seorang murid baru yang tuli, Shoko Nishimiya (Saori Hayami). Meski ditindas setiap hari, Nishimiya enggan melawan dan justru kerap melempar senyuman seraya mengucap “maaf”. Mengetahui sang korban tidak memberikan respon keras, Ishida dan kawan-kawannya justru makin getol menindas Nishimiya sampai kemudian tindakan mereka melampaui batas dan ibu Nishimiya pun memutuskan memindahkan putrinya ke sekolah lain. Semenjak kepergian Nishimiya, keadaan berbalik arah ditandai dengan status Ishida yang mengalami degradasi: dari penindas menjadi yang tertindas. Merasakan sebagai korban perundungan, Ishida menyesali perbuatannya dan memilih menjadi outsider di jenjang sekolah berikutnya. Kehidupan Ishida yang erat dengan ‘kesepian’ serta ‘penyesalan’ perlahan mulai berubah tatkala menapaki bangku SMA. Takdir mempertemukannya kembali bersama Nishimiya. Ishida menyadari bahwa perjumpaannya dengan Nishimiya merupakan kesempatan terbaik baginya untuk berdamai dengan masa lalu yang selama ini terus menghantui.


Sejalan dengan materi kupasannya, A Silent Voice pun berceloteh secara serius. Bisa dikata, mendekati depresif. Bukan perkara mudah menengok Nishimiya menghadapi perundungan di sekolahnya tanpa ada seorang kawan pun yang berpihak kepadanya – meski belakangan dia memiliki kawan baik bernama Miyoko Sahara (Yui Ishikawa) yang bersedia mempelajari bahasa isyarat. Ketika Nishimiya menghilang, lalu target berpindah ke Ishida, nada penceritaan pun kian muram. Akibat gangguan yang diterimanya, Ishida memilih jalur antisosial. Mengikuti materi sumbernya, si pembuat film pun menempelkan sebentuk silang besar menyerupai huruf X di wajah teman-teman sekolah Ishida yang mengisyaratkan adanya ketidakpercayaan atau keengganan si karakter utama berinteraksi lebih intensif dengan mereka. Kemuraman lantas sedikit mencair menyusul kemunculan Tomohiro Nagatsuka (Kensho Ono) yang memproklamirkan dirinya sebagai sahabat Ishida usai diberi bantuan. Nagatsuka memegang dua peranan penting dalam film; pertama, memberi asupan humor, dan kedua, mendorong Ishida untuk bersosialisasi serta membuka diri pada jalinan pertemanan yang selama ini dipandangnya sinis. Sampai pada titik ini, meski mood kerap diombang-ambingkan, film sejatinya masih enak untuk dikudap. 

Persoalan-persoalan pada film mulai mencuat ketika sejumlah karakter baru mulai hilir mudik memasuki arena penceritaan seiring kian terbukanya Ishida. Disamping Ishida, karakter-karakter lain di A Silent Voice tak pernah memperoleh jatah waktu memadai untuk memperkenalkan diri. Penonton hanya mengenal Sahara, Nagatsuka, kemudian ada pula Kawai (Megumi Han), Yuzuru (Aoi Yuki), Mashiba (Toshiyuki Toyonaga), serta Ueno (Yuki Kaneko) sambil lalu. Bahkan, Nishimiya pun sejatinya memperoleh perlakuan serupa. Tokoh-tokoh ini dikonstruksi dalam satu dimensi saja yang membuatnya berasa hampa. Sosok Nishimiya kelewat putih bersih, sementara Ueno berada di sisi seberangnya dalam tingkatan ekstrim pula. Lantaran tidak mampu terhubung kepada barisan karakter ini, rentetan konflik yang menyertainya pun sukar menjerat dan durasi yang merentang sampai 129 menit hanya menjadikannya kian melelahkan. Yang lantas menghindarkan A Silent Voice untuk bergabung dengan ‘film mudah terlupakan’ adalah pesan penting usungannya yang masih sanggup tersampaikan secara baik dan penutup manis nan hangatnya yang paling tidak mampu sedikit mengobati rasa lelah akibat tuturan berlarut-larut kurang mengikatnya.

Acceptable (3/5)