RottenTomatoes: 85% | IMDb: 7,3/10 | Metascore: 79/100 | NikenBicaraFilm: 4/5
Rated: R
Genre: Drama, Adventure
Directed by Martin Scorsese ; Produced by Barbara De Fina, Randall Emmett, Vittorio Cecchi Gori, Emma Tillinger Koskoff, Gaston Pavlovich, Martin Scorsese, Irwin Winkler ; Screenplay by Jay Cocks, Martin Scorsese ; Based on Silence by Shūsaku Endō ; Starring Andrew Garfield, Adam Driver, Tadanobu Asano, Ciarán Hinds, Liam Neeson ; Narrated by Andrew Garfield, Béla Baptiste ; Music by Kim Allen Kluge, Kathryn Kluge ; Cinematography Rodrigo Prieto ; Edited by Thelma Schoonmaker ; Production companiesSharpSword Films, AI Film, Emmett/Furla/Oasis Films, CatchPlay, IM Global, Verdi Productions, YLK Sikelia Fábrica de Cine ; Distributed by Paramount Pictures ; Release date November 29, 2016 (Rome), December 23, 2016 (United States) ; Running time161 minutes ; Country United States, Taiwan, Mexico, United Kingdom, Italy, Japan ; Language English, Japanese ; Budget $40 million
"But everyone knows a tree which flourishes in one kind of earth may decay and die in another. It is the same with the tree of Christianity. The leaves decay here. The buds die."
Sebagai seseorang yang saat ini sedang struggling dengan iman dan spiritualitas, saya harus mengakui bahwa saya memihak Jepang dalam hal ini. Saya percaya setiap orang memiliki jalan spiritualnya sendiri-sendiri, demikian juga saya percaya bahwa setiap masyarakat membangun struktur agama dan kepercayaannya masing-masing yang memang dirasa cocok dengan kondisi masing-masing. Tidak perlu ada pihak lain yang memaksakan kebenaran versinya sendiri sambil mengklaim kebenarannya adalah kebenaran mutlak yang universal.
"The path of mercy. That means only that you abandon self. No one should interfere with another man's spirit. To help others is the way of the Buddha and your way, too. The two religions are the same in this. It is not necessary to win anyone over to one side or another when there is so much to share,"
Bagaimana Christianity dan Buddha memahami Tuhan mungkin punya cara yang berbeda. Namun alih-alih berusaha "menconvert" atau mencari perbedaannya, keduanya sebenarnya punya persamaan yang universal: pengampunan, kebajikan, berlaku baik, atau menolong sesama. Tidak perlu ada pertunjukan kompetitif agama mana yang lebih benar. Saya menarik benang merah cerita Silence ini ke dalam situasi yang terjadi di Indonesia: bagaimana sejumlah orang berusaha memaksakan kebenaran versinya ke orang lain (termasuk saya sih, dengan argumentasi filosofis semacam ini di blog yang harusnya ngebahas film!). Tapi tentu saja, cara Jepang dengan menyiksa umat Kristen adalah cara yang ngawur...
Keteguhan hati Rodrigues (Andrew Garfield) yang didasari dari paham "The blood of martyrs is the seed of the church" sepintas nampak seperti sebuah pengorbanan yang luar biasa hebat. Namun, melihatnya dari kacamata lain saya akan menangkapnya sebagai sebuah kenaifan. Dalam situasi maha sengsara seperti ini saya mungkin akan bertindak seperti Kichijiro (Yosuke Kubozuka), yang bertindak oportunis nan egois sambil berharap akan pengampunan Tuhan. Dan bukankah sebagian besar kita adalah si munafik Kichijiro? Ia mewakili kita semua: berbuat dosa, minta ampun, berbuat dosa lagi, minta ampun. Hey, Tuhan Maha Pengampun kan?
Silence yang sinematografinya ditangani Rodrigo Pieto adalah sebuah film yang sangat cantik dan memukau dari awal hingga akhir. Sebuah kontradiksi yang menarik ketika sesuatu yang mengerikan bisa ditampilkan dalam visual yang cantik. Tidak salah ketika Silence masuk nominasi Best Cinematography dalam ajang piala Oscar tahun ini. Saya juga menggemari betapa konsisten unsur "Silence" - sebagaimana judulnya, menjadi atmosfer utama film Silence ini sendiri: hening dan dingin. Walaupun hening, namun film ini sendiri "berteriak" dengan caranya - semacam pekikan emosional yang mempertanyakan Tuhan. Situasi emosional dan keputusasaan itu berhasil dibawakan Andrew Garfield dengan baik sebagai aktor utama - dan ia memang mempunyai aura kenaifan yang juga likeable. Walaupun sebenarnya sih saya lebih suka jika Adam Driver yang jadi lead actor-nya (ini gara-gara film Paterson!).
But then again, durasi 2 jam 40 menit adalah durasi yang terlalu panjang dan jatuhnya agak membosankan dan kurang efektif. Akhirnya saya merasa unsur menegangkan dan mengerikannya jadi nggak terlalu dapet feel-nya. Siksaan pertama mungkin terasa ngeri, tapi ketika siksaan demi siksaan ditampilkan lagi dan lagi, yang ada saya gemes pengen teriak ke si Pendeta Rodrigues, "Udah pura-pura murtad aja kenapa sih susah amat!" (Ngawur ya saya, astaghfirullah...).
Story / Cerita / Sinopsis :
Dua orang pendeta Jesuit tiba di Jepang pada abad ke-17 untuk mencari dan menemukan sang Guru yang kabarnya telah murtad dari keyakinannya.
Review / Resensi :
Diangkat dari novel karangan Shusaku Endo yang terinspirasi dari kisah sejarah yang benar terjadi, kabarnya Silence adalah proyek lama yang tertunda-tunda dari sutradara kawakan Martin Scorsese selama 26 tahun sebelum akhirnya dirilis akhir tahun 2016. Silence merupakan sebuah perjalanan spiritual emosional yang brutal, yang akan membuat siapa saja kaum beriman akan mempertanyakan sejauh mana mereka bisa mempertahankan keimanannya. Hal ini disampaikan melalui sudut pandang Pendeta Rodrigues (Andrew Garfield), pendeta taat dan shalih yang berupaya menemukan sang guru, Ferreira (Liam Neeson) yang kabarnya telah murtad dalam misi misionarisnya di Jepang. Dalam misi pencariannya, ia dan rekannya Pendeta Garupe (Adam Driver) mengetahui fakta-fakta yang menyedihkan, bagaimana umat Kristen di Jepang pada masa itu harus menyembunyikan keimanannya dari para pemimpin Jepang yang tidak segan-segan membunuh mereka yang beragama Kristiani.
Berhubung topik agama adalah salah satu topik favorit saya, mari kita bahas topik ini dengan lebih detail. Silence punya isu yang sangat menarik. Walaupun hanya mengangkat cerita 2 agama Kristen dan Buddha dengan lokasi di Jepang, namun secara garis besar kisahnya cukup relevan dengan situasi yang terjadi saat ini di Indonesia. Kamu tidak perlu beragama Kristen atau Buddha untuk berusaha engaged dengan pesan moral dalam film ini. Ya, ketika agama menjadi sumber konflik, ketika masing-masing berusaha memaksakan keyakinannya, ketika masing-masing pihak mengklaim yang paling benar, hingga pihak otoritas penguasa yang bisa melakukan apa saja kepada masyarakatnya: termasuk urusan agama yang seharusnya menjadi ranah privat antara manusia dan Tuhan-nya. Namun Silence tidak berupaya untuk menunjukkan jawabannya, tidak berusaha menunjukkan siapa yang benar siapa yang salah. Silence adalah sebuah pengalaman, bukan sebuah pencerahan. Silence hanya menjawab segala pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam bisu.
I pray but I am lost. Am I just praying to silence?
Jika kita mau menarik dikotomi moral hitam dan putih, maka jelas penguasa Jepang dalam film ini adalah mereka yang kejam. Namun menariknya, argumentasi mereka masuk akal. Dalam suatu percakapan juga disebutkan yang intinya menunjukkan bahwa Christianity tidak sesuai dengan kultur dan kondisi Jepang:
"But everyone knows a tree which flourishes in one kind of earth may decay and die in another. It is the same with the tree of Christianity. The leaves decay here. The buds die."
Sebagai seseorang yang saat ini sedang struggling dengan iman dan spiritualitas, saya harus mengakui bahwa saya memihak Jepang dalam hal ini. Saya percaya setiap orang memiliki jalan spiritualnya sendiri-sendiri, demikian juga saya percaya bahwa setiap masyarakat membangun struktur agama dan kepercayaannya masing-masing yang memang dirasa cocok dengan kondisi masing-masing. Tidak perlu ada pihak lain yang memaksakan kebenaran versinya sendiri sambil mengklaim kebenarannya adalah kebenaran mutlak yang universal.
"The path of mercy. That means only that you abandon self. No one should interfere with another man's spirit. To help others is the way of the Buddha and your way, too. The two religions are the same in this. It is not necessary to win anyone over to one side or another when there is so much to share,"
Bagaimana Christianity dan Buddha memahami Tuhan mungkin punya cara yang berbeda. Namun alih-alih berusaha "menconvert" atau mencari perbedaannya, keduanya sebenarnya punya persamaan yang universal: pengampunan, kebajikan, berlaku baik, atau menolong sesama. Tidak perlu ada pertunjukan kompetitif agama mana yang lebih benar. Saya menarik benang merah cerita Silence ini ke dalam situasi yang terjadi di Indonesia: bagaimana sejumlah orang berusaha memaksakan kebenaran versinya ke orang lain (termasuk saya sih, dengan argumentasi filosofis semacam ini di blog yang harusnya ngebahas film!). Tapi tentu saja, cara Jepang dengan menyiksa umat Kristen adalah cara yang ngawur...
Keteguhan hati Rodrigues (Andrew Garfield) yang didasari dari paham "The blood of martyrs is the seed of the church" sepintas nampak seperti sebuah pengorbanan yang luar biasa hebat. Namun, melihatnya dari kacamata lain saya akan menangkapnya sebagai sebuah kenaifan. Dalam situasi maha sengsara seperti ini saya mungkin akan bertindak seperti Kichijiro (Yosuke Kubozuka), yang bertindak oportunis nan egois sambil berharap akan pengampunan Tuhan. Dan bukankah sebagian besar kita adalah si munafik Kichijiro? Ia mewakili kita semua: berbuat dosa, minta ampun, berbuat dosa lagi, minta ampun. Hey, Tuhan Maha Pengampun kan?
Silence yang sinematografinya ditangani Rodrigo Pieto adalah sebuah film yang sangat cantik dan memukau dari awal hingga akhir. Sebuah kontradiksi yang menarik ketika sesuatu yang mengerikan bisa ditampilkan dalam visual yang cantik. Tidak salah ketika Silence masuk nominasi Best Cinematography dalam ajang piala Oscar tahun ini. Saya juga menggemari betapa konsisten unsur "Silence" - sebagaimana judulnya, menjadi atmosfer utama film Silence ini sendiri: hening dan dingin. Walaupun hening, namun film ini sendiri "berteriak" dengan caranya - semacam pekikan emosional yang mempertanyakan Tuhan. Situasi emosional dan keputusasaan itu berhasil dibawakan Andrew Garfield dengan baik sebagai aktor utama - dan ia memang mempunyai aura kenaifan yang juga likeable. Walaupun sebenarnya sih saya lebih suka jika Adam Driver yang jadi lead actor-nya (ini gara-gara film Paterson!).
But then again, durasi 2 jam 40 menit adalah durasi yang terlalu panjang dan jatuhnya agak membosankan dan kurang efektif. Akhirnya saya merasa unsur menegangkan dan mengerikannya jadi nggak terlalu dapet feel-nya. Siksaan pertama mungkin terasa ngeri, tapi ketika siksaan demi siksaan ditampilkan lagi dan lagi, yang ada saya gemes pengen teriak ke si Pendeta Rodrigues, "Udah pura-pura murtad aja kenapa sih susah amat!" (Ngawur ya saya, astaghfirullah...).
Overview:
Silence melengkapi daftar film Martin Scorsese yang memiliki tema relijius setelah The Last Temptation of Christ dan Kundun. Silence adalah sebuah perjalanan spiritual panjang yang brutal, kelam, dan melelahkan. Jika film ini adalah film "Islami khas Indonesia" film ini tentu akan tendensius pada dikotomi moral hitam putih yang bersifat apologetik, namun Silence bermain pada ranah ambigu yang tidak akan memberikanmu jawaban. Durasi 2 jam lebih mungkin terlalu panjang dan membosankan, namun Silence mempunyai visualisasi yang mewakili kontradiksi paradoks sifat Tuhan: cantik sekaligus dingin. Andrew Garfield menunjukkan salah satu akting terbaiknya (lagi-lagi sebagai religious person setelah filmnya di Hacksaw Ridge).
Silence (2016) (4/5)
4/
5
By
Mimin