Tampilkan postingan dengan label Thailand. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Thailand. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Agustus 2017

REVIEW : BAD GENIUS

REVIEW : BAD GENIUS


“To me ‘cheating’ means someone gets hurt. What we do doesn’t hurt anyone. It’s win-win.” 

Siapa bilang perfilman Thailand hanya jago memproduksi film horor dan percintaan? Rumah produksi terkemuka di Negeri Gajah Putih, GDH 559 (sebelumnya dikenal dengan nama GTH), membuktikan bahwa mereka pun jagoan dalam mengkreasi tontonan mencekam dengan subgenre heist film melalui rilisan teranyar mereka bertajuk Bad Genius. Tak seperti para karakter dari film beraliran sama yang umumnya memiliki riwayat sebagai kriminal dan misi utamanya adalah melakukan perampokan demi mendapatkan setumpuk uang atau emas sebagai bekal dapatkan hidup sejahtera, para karakter dalam film arahan Nattawut Poonpiriya (Countdown) ini hanyalah siswa-siswi setingkat SMA yang masih berusia belasan. Yang mereka incar juga bukan kemilau emas melainkan skor bagus dalam ujian-ujian sekolah yang menentukan. Berbeda pula dengan The Perfect Score (2004) dimana tokoh-tokohnya saling berkonspirasi untuk nyolong kunci jawaban, Bad Genius lebih ke menyoroti sepak terjang sindikat penyedia jasa sontekan kecil-kecilan dalam menyusun trik menyontek agar tak kepergok pengawas ujian selama tes kemampuan akademis berlangsung. Suatu kecurangan semasa sekolah yang sejatinya pernah dilakukan hampir semua siswa, bukan? 

Guliran pengisahan Bad Genius sendiri terinspirasi dari berita mengenai pembatalan nilai tes SAT – tes standardisasi bagi pelajar yang ingin melanjutkan kuliah di universitas-universitas Amerika Serikat – setelah terbongkar adanya praktik menyontek massal dalam ujian di Tiongkok. Lewat Bad Genius, peristiwa tersebut direka ulang dan didramatisir sedemikian rupa menjadi kasus kecurangan dalam tes STIC yang merupakan fiksionalisasi SAT. Empat siswa yang dianggap bertanggungjawab antara lain Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying), Bank (Chanon Santinatornkul), Pat (Teeradon Supapunpinyo), dan Grace (Eisaya Hosuwan). Di permulaan film, kita mendapati mereka dibombardir pertanyaan dalam suatu ruang interogasi usai kedapatan menyontek. Ada yang mengakui, ada pula yang mengelak. Kita pun dibuat bertanya-tanya, bagaimana semuanya ini bisa terjadi? Guna memaparkan kronologi peristiwanya, si pembuat film lantas melempar alur penceritaan ke tiga tahun sebelumnya saat para siswa ini baru memulai tahun ajaran awal di sebuah sekolah swasta terbaik. Penonton diperkenalkan kepada Lynn, siswi berotak brilian dari keluarga berekonomi pas-pasan yang mengalami kesulitan dalam interaksi sosial. 

Satu-satunya teman Lynn di sekolah adalah Grace yang bergabung dengan klub drama dan mewakili stereotip siswi cantik yang tidak pintar. Mengetahui Grace bermasalah dengan nilainya, Lynn berinisiatif untuk membantunya termasuk memberikan sontekan secara sukarela saat ujian. Kebaikan serta kecerdasan Lynn ini lantas dimanfaatkan kekasih Grace yang kaya raya sekaligus oportunis, Pat, yang menjanjikan senilai uang asalkan Lynn bersedia memberi dia dan beberapa kawan baikannya berupa sontekan saat ujian. Mengingat sang ayah (Thaneth Warakulnukroh) mengalami kesulitan secara finansial, Lynn menerima tawaran Pat. Perlahan tapi pasti, bisnis ilegal berkedok ‘les piano’ ini berkembang pesat seiring semakin banyaknya siswa yang bergabung bahkan merambah lebih jauh hingga ke tes STIC. Ancaman akan terbongkarnya praktik terlarang ini muncul dari siswa teladan yang polos dan memiliki jiwa pekerja keras, Bank. Tapi tentu saja Nattawut Poonpiriya tak akan membiarkan ‘les piano’ ini bubar jalan begitu saja hanya karena seorang Bank terlebih misi raksasa belum tercapai. Agar perjalanan menuju klimaks kian terasa greget, dia pun menghadirkan beberapa kelokan-kelokan yang akan membuatmu enggan untuk memalingkan muka barang sedetikpun dari layar bioskop.


Keengganan untuk memalingkan muka pada dasarnya telah terbentuk semenjak film memulai langkahnya. Cuplikan adegan interogasi di sela-sela babak introduksi mengapungkan kepenasaran untuk mengetahui lebih dalam kesulitan semacam apa yang menjerat keempat tokoh utama. Sedikit demi sedikit petunjuk yang mengarahkan pada adegan tersebut ditebar. Proses menuju detik-detik ‘pengungkapan fakta’ berlangsung amat menegangkan dengan intensitas yang tak sekalipun mengendur. Daya sentak untuk penonton secara resmi muncul pertama kali dalam adegan ujian di ruang kelas yang melibatkan Lynn dan Grace. Hanya bermodalkan properti berupa sepatu dan karet penghapus, sang sutradara yang memperoleh sokongan bagus dari penyuntingan lincah Chonlasit Upanikkit dan gerak kamera dinamis Phaklao Jiraungkoonkun berhasil menempatkan penonton dalam fase harap-harap cemas; menggigit-gigit kuku, menggenggam erat kursi bioskop, dan bercucuran keringat. Ya, ruang ujian dalam Bad Genius tak ubahnya bank atau ruang brankas di rumah seorang kaya dalam heist film pada umumnya. Situasinya memang tidak sampai tahapan seekstrim hidup-mati dan sekadar berhasil-gagal, namun tetap tak berdampak pada berkurangnya kadar ketegangan terlebih jika kamu pernah melakukan praktik menyontek atau memberi sontekan semasa sekolah. Mudah sekali untuk merasa terhubung. 

Seiring makin meluasnya bisnis yang dijalankan Lynn dan kawan-kawan, kemampuan Bad Genius dalam mencekam penonton turut berlipat ganda. Pasalnya, pertaruhannya terus ditingkatkan dan tidak lagi melibatkan satu dua karakter saja. “Apa yang akan terjadi selanjutnya?” adalah pertanyaan yang terus menerus berkecamuk di benak dan kandungan zat adiktif di Bad Genius memungkinkan kita untuk ketagihan mencari informasi yang lebih, dan lebih. Disamping pengarahan Nattawut, tata kamera Phaklao, serta editing Chonlasit, kunci keberhasilan lain dari Bad Genius sehingga penonton seolah-olah dilibatkan ke dalam film adalah akting cemerlang jajaran pemainnya khususnya pendatang baru Chutimon sebagai siswi yang dihimpit keadaan, Thaneth sebagai ayah yang sangat menyanyangi putrinya, dan Teeradon sebagai siswa kaya manja yang terkadang menyuplai humor, lalu naskah berisi racikan Nattawut bersama Tanida Hantaweewatana dan Vasudhorn Piyaromna. Tidak selamanya mulus – beberapa tindakan ada kalanya menyebabkan dahi mengerut – tapi masih sangat bisa dimaafkan karena terbayar oleh kesanggupannya menyuarakan kritik terhadap dunia pendidikan yang korup dan kerap kali menekan siswa dengan cara sangat mengasyikkan. Saya tak pernah sedikitpun menyangka lembar jawab pilihan ganda bisa membuat jantung berdegup begitu kencang kala ditampilkan dalam sebuah film layar lebar. Dalam Bad Genius, saya menjumpai itu.

Outstanding (4/5)


Kamis, 16 Maret 2017

xXx: Return of Xander Cage (2017)

xXx: Return of Xander Cage (2017)

Xander Cage yang tersisa untuk mati setelah insiden, meskipun ia diam-diam kembali ke tindakan untuk baru, tugas sulit dengan handler nya Augustus Gibbons.
LK21 Unduh
Artis : Vin Diesel, Donnie Yen, Deepika Padukone Negara : USA, India, China,Korea,ThailandRilis : 20 Januari 2017Kategori : Aksi, Petualangan, Thriller, Durasi : 1 jam 47 menit ( 133 mb )IMDb : tt1293847

Sedang Proses...

Jumat, 17 Februari 2017

Back to the 90s (2015)

Back to the 90s (2015)

2538 alter ma jib ,Setelah bertengkar dengan ayahnya, seorang remaja memutuskan untuk menghabiskan malam keluar. Tapi sengaja dia diangkut ke tahun 90-an, setelah menanggapi pager ia telah menemukan sebelumnya. Di sana ia mengambil
LK21 Unduh
Artis : Pimchanok Leuwisetpaiboon, Achita Pramoj Na AyudhyaNegara : ThailandRilis : 19 Maret 2015Kategori : Komedi, Fantasi, MusikalDurasi : 1 jam 51 menit ( 116 mb )IMDb : tt4556700

Sedang Proses...

Sabtu, 10 Desember 2016

REVIEW : THE ISLAND FUNERAL

REVIEW : THE ISLAND FUNERAL


Menandai kembalinya Pimpaka Towira ke ranah film fiksi panjang usai dua belas tahun terakhir berkutat dengan karya dokumenter dan film pendek, The Island Funeral yang setahun silam berhasil memboyong penghargaan Best Asian Future Film Award di Tokyo International Film Festival adalah sebuah sarana sempurna untuk kembali ke dunia layar lebar. Sepintas, ini bak film berpendekatan road movie biasa yang mengetengahkan pencarian jati diri dari barisan karakter utamanya, namun seiring penonton semakin terlibat ke dalam film, nyata-nyatanya The Island Funeral lebih dari sekadar itu. Malahan ada upaya juga dari si pembuat film untuk mencampurbaurkan dengan elemen genre lain semacam horor bersifat supranatural dan dokumenter yang justru menginjeksikan daya tarik tersendiri bagi film bersisipan kritik sosial halus mengenai problematika sosial politik yang beranak pinak di Negeri Gajah Putih dibalik upaya mengadvokasi keberagaman serta kebebasan menyuarakan pendapat ini. 
Mula-mula penonton diperkenalkan pada tiga karakter utama dari film; kakak beradik Muslim, Laila (Heen Sashitorn) dan Zugood (Aukrit Aukrit Pornsumpunsuk), serta teman kuliah dari Zugood, Toy (Yossawat Sittiwong). Berasal dari Bangkok, mereka tersesat dalam perjalanan menuju Pattani – salah satu provinsi paling selatan di Thailand yang tengah mengalami konflik radikal dari kelompok separatis – lantaran ketidakmampuan membaca peta. Pada menit-menit pertama, Towira lebih banyak menyoroti adu mulut ketiga tokoh ini yang saling menyalahkan satu sama lain. Tujuan perjalanan mereka adalah menjumpai bibi Laila dan Zugood yang telah bertahun-tahun lamanya tak terdengar kabarnya. Untuk menjangkau kampung halaman sang bibi di suatu wilayah bernama Al-kaf sendiri tak berlangsung mulus khususnya karena mereka terus menerus salah mengambil jalur yang secara bertahap memupuk rasa tercekam dari masing-masing karakter. 

The Island Funeral memulai hentakan pertamanya ketika Laila tiba-tiba menghentikan mobil yang dikendarainya karena merasa melihat seorang perempuan telanjang berbalut rantai melintas di jalanan. Mencoba membuktikan penglihatannya, dia memutuskan menelusuri keberadaan si perempuan yang lantas tak membawa hasil apapun. Berada dalam kegelapan – well, posisi mereka jauh dari pemukiman warga – menebarkan aroma mistis tak mengenakkan. Apakah Laila benar-benar melihat sesosok perempuan tersebut atau itu sekadar ilusinya saja? Kita memang tidak memperoleh konfirmasi secara langsung dari Towira mengenai peristiwa ini, namun yang jelas, timbul ketertarikan mengikuti jalannya film dan jika mengaitkannya ke pembacaan film, keadaan terdesak atau terancam dapat mengungkap sifat asli manusia. Untuk kasus ini, bisa dilihat dampaknya pada Toy yang melontarkan komentar bernada prasangka buruk mengenai perasaan tidak amannya berada di Pattani yang notabene didominasi oleh masyarakat Muslim karena dia adalah seorang non-Muslim. 

Tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena wilayah tersebut tengah berkonflik – kadangkala Towira memperlihatkan aktifitas anggota militer – tapi penegasan tentang Toy dapat disimak saat mereka berkunjung ke sebuah masjid yang terhenti pembangunannya. Pun begitu, The Island Funeral bukan semata-mata berbicara mengenai prasangka (kendati, ya, ada banyak prasangka timbul di beberapa bagian), film ini diam-diam lebih kaya dari itu. Ada subteks terkait kegundahan hati Laila sebagai perempuan Thailand modern yang menjalani hidup di kota besar soal identitasnya dan obrolan tentang idealisme berkenaan kerukunan dibalik adanya keberagaman yang boleh jadi merupakan ekspresi kegalauan Towira terhadap situasi sosial politik Thailand yang tak bersahabat. Terdengar berat? Tidak juga. Sekalipun laju film seringkali lambat, The Island Funeral tak pernah menjemukan berkat kepiawaian Towira mengolah rasa dari tuturan yang teramat mengikat. Dia sanggup membetot atensi penonton sedari adegan gaib yang dialami Laila dan secara konstan film lantas dipenuhi teka-teki bernuansa mistis yang akan membuatmu mengalami fase “ingin mengetahui” tentang apa yang sesungguhnya terjadi.

Outstanding (4/5)