Tampilkan postingan dengan label art movie. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label art movie. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 Juli 2017

Personal Shopper (2016) (4/5) : Review & Penjelasan

Personal Shopper (2016) (4/5) : Review & Penjelasan

So we made this oath... Whoever died first would send the other a sign.
RottenTomatoes: 81% | IMDb: 6,2/10 | Metacritic: 77/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated:
Genre: Mystery & Suspense, Drama, Thriller

Directed by Olivier Assayas ; Produced by Charles Gillibert ; Written by Olivier Assayas ; Starring Kristen Stewart, Lars Eidinger, Sigrid Bouaziz, Anders Danielsen Lie, Ty Olwin, Hammou Graia, Nora von Waldstatten, Benjamin Biolay, Audrey Bonnet, Pascal Rambert ; Cinematography Yorick Le Saux ; Edited by Marion Monnier ; Production company CG Cinéma, Vortex Sutra, Detailfilm, Sirena Film, Arte France, Cinéma Arte, Deutschland/WDR ; Distributed by Les Films du Losange ; Release date 17 May 2016 (Cannes), 14 December 2016 (France) ; Running time 110 minutes ; Country France ; Language English ; Budget $1 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Ketika saudara kembarnya meninggal, Maureen Cartwright (Kristen Stewart) menolak untuk meninggalkan Paris sebelum ia mendapat kontak dari saudara kembarnya yang sudah meninggal tersebut. Masalah bertambah ketika Maureen yang bekerja sebagai seorang personal shopper mulai mendapatkan pesan teks misterius. 

Review / Resensi :
Sebelum dimulai, perlu saya jelaskan reaksi awal saya ketika film Personal Shopper ini berakhir: bengong. Ini adalah tipikal film yang buat saya bingung dan nggak paham. Nggak paham karena nggak jelas. Absurd dan serba ambigu. Begitu film selesai, saya langsung hunting explanation tentang kenapa film ini dianggap bagus oleh sebagian besar kritikus. Untungnya kemudian saya menemukan penjelasan itu di situs Vulture dan blog lokal My Dirt Sheet yang seketika memberikan pencerahan bagi kapasitas otak saya yang terbatas ini. Oh, so this is a good movie!

Walaupun sempat di-boo-in pas screening di Cannes tahun 2016, setelahnya Personal Shopper memperoleh tanggapan positif dari para kritikus. Sang sutradara, Olivier Assayas bahkan akhirnya meraih Best Director di Cannes tahun lalu. Personal Shopper juga dielu-elukan oleh Indiewire berulang kali hingga bikin saya makin penasaran. Ketertarikan saya makin bertambah saat membaca premisnya (yang agak mirip film Indonesia Titik Hitam yang dibintangi Winky Wiryawan), tentang seorang perempuan yang berusaha mencari pertanda kemunculan roh saudara kembarnya yang sudah meninggal. Oh, wow... ini tentu film horror yang sangat menarik.

Tapi saya pun bingung ketika alur film Personal Shopper perlahan menjauhi premis sekilas yang tampaknya seperti film horror itu. Awalnya memang dimulai dengan sentuhan horror khas rumah kosong yang bikin merinding, namun Personal Shopper kemudian mulai bergerak ke ranah psychological thriller ala Hitchcock dengan sentuhan sensual (Kristen Stewart topless 2 kali di film ini). Nuansa thriller ini dimulai dari sebuah pesan teks misterius yang seolah-olah membuntuti sang tokoh utama Maureen kemana-mana yang kemudian berujung klimaks pada terbunuhnya seseorang. Personal Shopper lalu juga bermain ke arah drama ketika kita diajak mengenali sisi psikologis Maureen lebih dalam: krisis identitas, loneliness, dan bagaimana ia mengatasi rasa dukanya kehilangan saudaranya. 

Lho, jadi ini film horror, thriller atau drama?

Film ini adalah ketiganya! Saya jadi teringat film Spring, yang menggabungkan genre body-horror dengan romantis - sebuah perpaduan genre yang aneh dan rawan nggak nyambung. Demikian juga dengan Personal Shopper yang tampaknya menjadikan batas genre tersebut itu abu-abu dan ambigu. Seiring dengan alur cerita filmnya, Oliver Assayas dengan cerdas mampu "mengaburkan" batas dan membaurkan nuansa tone pada tiap masing-masing genre. Ia bagaikan memadukan yang realis dengan yang mistis. 

*spoiler* Ada tiga scene yang menunjukkan bagaimana Assayas berusaha mencampurkan kesan realis dan mistis. Satu, pada adegan klimaksnya: ketika Maureen menemukan bossnya Kyra terbunuh. Ini adalah sebuah thriller, namun kemudian lampu apartemen tempat Kyra terbunuh padam-padam sendiri seperti menampakkan tanda-tanda hantu. Kedua, pada bagian ketika Maureen menemui pengirim pesan misteriusnya di sebuah hotel yang kemudian oleh Assayas di-cut tanpa sebuah penjelasan, namun menampilkan lift dan pintu hotel yang membuka sendiri dan mengesankan ada hantu di dalamnya. Ketiga, ketika kamu berpikir bahwa segala keanehan yang terjadi di hidup Maureen sebenarnya cuma campur tangan orang biasa, kamu akan teringat adegan ala Ghostbuster di bagian awal film dan juga gelas melayang pada bagian akhir film. Jadi film ini beneran film yang ada hantunya. *spoiler ends*

Personal Shopper bukanlah sebuah film dengan kepingan puzzle yang harus disusun lantas sebuah twist pada akhirnya akan membuat susunan puzzle tersebut jadi utuh dan masuk akal Endingnya malah justru puncak ambiguitas itu. Maureen adalah perantara antara dunia material dan non-material, dan ini membuat kita sebagai penonton ikutan rancu dengan segala hal yang terjadi pada kehidupan Maureen. Apakah ini semua hanya khayalan Maureen? Apakah benar sang "hantu" adalah saudara kembar Maureen? Semuanya tidak jelas. Setidak jelas dunia metafisik itu sendiri. Dan semua ini merupakan bagian dari proses duka Maureen karena kehilangan saudara kembarnya. 

Kristen Stewart mendapat pujian dari para kritikus berkat aktingnya di sini. Aktingnya memang oke sih, tapi berhubung saya sudah ilfil sama doi karena perannya sebagai Bella di Twilight, jadi saya ga bisa menilai doi secara subyektif. Haha. (Anyway pilihan karir Kristen Stewart untuk lebih milih peran di film-film indie adalah langkah yang baik). Sejujurnya, perannya juga nggak jauh dari peran-perannya sebelumnya: sebagai gadis grunge yang masam. Saya mungkin akan menilai ia lebih baik lagi jika ia mengambil peran yang jauh lebih optimis dan berbeda dari karakter-karakternya sebelumnya. But, style dia oke banget di sini...


Overview :
Kritikus mungkin akan memuji Personal Shopper karena sisi orisinilnya, namun penonton awam akan melihat Personal Shopper sebagai sebuah film absurd yang membosankan dan membingungkan. Olivier Assayas berhasil menjadikan Personal Shopper sebagai perpaduan antara genre thriller, horror, dan drama yang dicampurkan dalam batas-batas yang ambigu. Kristen Stewart bermain aman dengan peran-peran depresi yang tampaknya memang sesuai dengan karakternya, namun ia mampu memaksimalkannya dan menjadikan Maureen sebagai salah satu akting terbaik dalam perjalanan karirnya. 


Rabu, 07 Desember 2016

The Handmaiden (아가씨 - A-ga-ssi) (Korean, 2016) (5/5)

The Handmaiden (아가씨 - A-ga-ssi) (Korean, 2016) (5/5)


"You can even curse at me or steal things from me. But please don't lie to me. Understand?"

RottenTomatoes: 94% | Metascore: 84/100 | NikenBicaraFilm: 5/5

Rated: R
Genre: Thriller, Drama

Directed by Park Chan-wook ; Produced by Park Chan-wook, Syd Lim ; Screenplay by Park Chan-wook, Chung Seo-kyung ; Based on Fingersmith by Sarah Waters ; Starring Kim Min-hee, Ha Jung-woo, Cho Jin-woong, Kim Tae-ri ; Music by Cho Young-wuk ; Cinematography Chung Chung-hoon ; Edited by Kim Jae-bum, Kim Sang-bum ; Production companies Moho Film, Yong Film ; Distributed by CJ Entertainment ; Release dates 14 May 2016 (Cannes), 1 June 2016 (South Korea) ; Running time145 minutes ; Country South Korea ; Language Korean, Japanese ; Budget ₩10 billion ($8.8 million)

Story / Cerita / Sinopsis :
Sook-Hee (Kim Tae-ri) ditugaskan untuk bekerja sebagai pelayan seorang wanita kaya Lady Hideko (Kim Min-hee). Kelihatan sebagai perempuan polos dan baik-baik, namun Sook-hee sesungguhnya adalah penipu yang bekerjasama dengan "Count Fujiwara" (Ha Jung-woo) yang hendak mengambil harta kekayaan Hideko.

Review / Resensi :
Empat belas tahun setelah Oldboy (2002) yang fenomenal itu, Park Chan-wook kembali menghasilkan sebuah karya jenius yang sama baiknya dengan apa yang pernah ia lakukan lewat Oldboy. Sejujurnya saya masih lebih menyukai Oldboy, karena Oldboy lebih bisa memberikan dampak emosional yang depresif daripada The Handmaiden. Namun tetap saja The Handmaiden yang dalam versi koreanya berjudul A-ga-ssi (artinya The Lady, merujuk pada karakter Hideko) adalah film yang.... totally brilliant. The Handmaiden disebut-sebut sebagai salah satu film Korea Selatan terbaik tahun ini dan kini tengah digadang-gadang untuk meraih nominasi pada Best Foreign Film di ajang penghargaan piala Oscar tahun depan (I hope it'll win). Seperti Oldboy, The Handmaiden punya semacam layering-twist (yang emang ga se-shocking Oldboy sih, but it's still good), sehingga saya agak bingung untuk nuliskan review-nya di sini karena takut bikin spoiler. Jadi buat yang anti banget sama spoiler (seperti saya), sebaiknya hentikan membaca review ini dan buruan langsung nonton aja.

Kisah The Handmaiden diambil dari novel Fingersmith milik Sarah Waters, yang telah difilmkan oleh BBC. Kalau baca di sejumlah forum, beberapa orang yang membandingkan keduanya mengatakan bahwa kedua versi ini punya visi yang agak berbeda. Versi BBC lebih jinak, lembut, dan romantis, sedangkan The Handmaiden ini kerasa banget lebih erotis. Kisahnya mengikuti seorang pelayan bernama Sook-hee (Kim Tae-ri) yang bertugas melayani seorang wanita kaya raya bernama Hideko (Kim Min-hee) yang tinggal bersama pamannya Mr. Kouzuki (Cho Jin-Woong) di wilayah Korea yang diduduki Jepang. Berpura-pura baik hati, Sook-hee sebenarnya hendak menipu sang majikan, bekerjasama dengan penipu ulung "Count" Fujiwara (Ha Jung-woo). Fujiwara akan berusaha untuk bisa mempersunting Hideko - dengan tujuan akhir memasukkan Hideko ke rumah sakit jiwa dan mengambil semua harta warisannya. Akan tetapi rupanya kisah intrik-intrik ini tidak sesederhana itu.

Waktu pertama kali nonton Oldboy, saya dibikin shock waktu tahu kalau perfilman Korea Selatan rupanya bisa cukup eksplisit dalam mempertontokan sexual scene-nya. Namun sex-scene di Oldboy itu punya makna - bukan sekedar sentuhan seks vulgar yang cuma ingin memancing nafsu penonton mesum. Tampaknya sexuality adalah salah satu keahlian Park Chan-wook, karena ia juga sempat menukangi Thirst (2010) yang kontroversial itu (belum nonton sih, tapi dari posternya cukup kontroversi karena agak seronok). The Handmaiden sendiri juga cukup eksplisit dalam materi seksualnya, bahkan beberapa orang merasa bahwa sex scene-nya terlampau berlebihan, serupa dengan Blue is The Warmest Color-nya Abdellatif Kechice. Namun saya merasa bahwa erotika The Handmaiden adalah sebuah erotika "kelas atas", alias ditampilkan dengan artistik, indah, dan yang terpenting - esensial dalam membangun konflik dan karakter tokohnya. Erotika ini juga mengandung sebuah simbolisme, nggak melulu adegan seks bahan masturbasi. Ambil contoh *spoiler* pada adegan akhirnya ketika Sook-hee dan Hideko telanjang bersama, bermain cinta sambil memainkan bola logam yang sebelumnya digunakan untuk menyiksa Hideko. Adegan terakhir ini terasa absurd dan mungkin seperti eksploitasi seksual, namun sebenarnya Park Chan-wook hendak menunjukkan bahwa bola logam yang sama, yang sebelumnya menjadi sesuatu yang traumatis bagi Hideko, berubah menjadi sex toys bagi dirinya dan kekasihnya. Ia telah lepas dari belenggu pamannya yang sick, dan berhasil membebaskan dirinya pada petualangan seksual dengan orang yang ia cintai *spoiler ends*.

Di awal saya sudah mengatakan bahwa film ini punya layered twist. Twistnya emang ga sampai senonjok Oldboy, but it's still good. Yang menarik adalah bagaimana Park Chan-wook mengupas ceritanya satu demi satu demi mengungkap misteri apa yang sesungguhnya terjadi. Ini mengingatkan dengan apa yang pernah ia lakukan di Oldboy. Saya rasa kamu harus cukup detail dan perlu nonton dua kali untuk melihat bagaimana Park Chan-wook begitu jenius dan perfeksionis menyajikannya. Atensinya pada detail sangat luar biasa. *spoiler* Saya ambil satu contoh ketika Hideko menulis sesuatu di kertas dan menunjukkannya ke Sook-hee yang buta huruf di Part 1. Sebuah pilar akan mem-block tulisan itu dari kamera hingga tidak bisa dibaca, dan mungkin kamu tidak akan merasa adegan ini penting. Pada bagian kedua, kamu baru tahu bahwa tulisan Hideko itu punya nilai revelation yang cukup penting *spoiler ends*. Hal yang detail, penting tapi kelihatan tidak penting, itu juga dilakukan Park Chan-wook lewat naskah (beberapa kalimat seperti: "Love. A conman like you knows what love is?") dan editingnya. Wah, editingnya juara deh!

Dan siapa yang menyangka bahwa erotica thriller seperti ini punya beberapa momen yang bisa bikin kita tertawa lepas? Ini juga yang pernah dilakukan Park Chan-wook lakukan lewat Oldboy, dengan karakter Dae-su yang punya kesan komikal. The Handmaiden juga punya sentuhan itu, sebuah black comedy yang nafasnya terasa unik karena terasa komikal - nyaris konyol, feels like Asian's favorite jokes. Namun kesan konyol ini sama sekali nggak merusak keseluruhan atmosfer The Handmaiden. Saya ambil contoh adegan Hideko yang tiba-tiba berlari di awal ketika ketakutan di kamar tidurnya, atau bagaimana rupa pria-pria tua kaya pervert yang lagi terangsang, atau bagaimana Fujiwara berpura-pura terpesona melihat Hideko. 

Dari jajaran casting, saya rasa ketiga aktor utama (Kim Tae-ri sebagai Sook-hee, Kim Min-hee sebagai Hideko, dan Ha Jung-woo sebagai Fujiwara), dan sang paman Hideko (Cho Jin-woong) berhasil memerankan karakternya dengan baik. Kim Tae-ri tampil mencuri perhatian sebagai Sook-hee, padahal ini adalah feature film pertamanya. Ha Jung-woo yang merupakan salah satu aktor besar Korea Selatan juga tampil menarik sebagai Fujiwara yang brengsek (dan setelah nonton ini saya jadi ngefans, mungkin habis ini saya balik korea-korean lagi, setelah nonton ini saya langsung donlot film Ha Jung-woo lainnya lho seperti The Chaser dan The Yellow Sea). But omg... the real MVP is Kim Min-hee. Dia nggak cuma begitu cantik dan kulitnya flawless (ya ampun kayak iklan SK II) - sesuai dengan karakter Hideko yang kaya dan "terisolasi", namun ia juga begitu sempurna memerankan karakter Hideko yang tidak bisa ditebak. She's amazing!

Salah satu kesempurnaan lagi yang dimiliki The Handmaiden adalah dari segi visual. Jika novel aslinya bersettingkan Inggris jaman Victoria, The Handmaiden mengambil setting waktu 1930-an, pada masa pendudukan Jepang di Korea. Park Chan-wook mengajak kita era yang indah, termasuk melalui desain set, properti dan kostumnya, sentuhan Korea, Jepang dan keglamoran Eropa menyatu menghasilkan perpaduan yang luar biasa cantik dan stylish. Scoring music dari Cho Young-wook juga mendukung keseluruhan atmosfer The Handmaiden. 

Overview :
Mungkin tidak berefek emosional sedalam Oldboy, namun toh tidak adil membandingkannya karena keduanya punya visi yang berbeda. Dengan visualnya yang menawan dan scoringnya yang keren, The Handmaiden boleh jadi lebih baik daripada Oldboy. Materi seksualnya mungkin agak eksplisit, namun esensial dalam keseluruhan cerita - dan Park Chan-wook toh mampu menyajikannya menjadi sesuatu yang erotis sekaligus artistik. Layering twist-nya dikupas dengan perfek, editingnya juara, dan sentuhan komikal pada sebuah erotica thriller adalah kesan yang unik. Didukung akting menarik dari keempat aktor utama - terutama Kim Min-hee yang tampil paling memikat, The Handmaiden surely is one of the best in 2016!