Tampilkan postingan dengan label Thriller. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Thriller. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : TRUTH OR DARE

REVIEW : TRUTH OR DARE


“The game is real. Wherever you go, whatever you do it will find you.” 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, rumah produksi Blumhouse Productions berhasil menancapkan kukunya menjadi salah satu nama yang patut diperhitungkan di sinema horor. Betapa tidak, mereka sanggup menghasilkan pundi-pundi dollar dari film seram yang memiliki high-concept dengan bujet seminim mungkin (tidak pernah lebih dari $10 juta!) dan kualitas yang sebagian besar diantaranya dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa sajian yang membawa mereka membumbung tinggi antara lain Paranormal Activity (2009), Insidious (2011), The Purge (2013), Split (2017), sampai Get Out (2017) yang berjaya di panggung Oscar. Menyadari penuh bahwa formula ini terbukti berhasil, tentu tidak mengejutkan jika persembahan terbaru dari Blumhouse, Truth or Dare, yang digarap oleh Jeff Wadlow (Kick-Ass 2), masih menerapkan formula serupa. Premis yang diajukan sekali ini adalah “bagaimana jika permainan ‘jujur atau tantangan’ dibawa ke level lebih tinggi dengan konsekuensi berupa kematian apabila si pemain gagal menyelesaikan permainan?”. Harus diakui ini terdengar agak menggelikan sih, tapi di waktu bersamaan juga menggelitik rasa penasaran. Lebih-lebih trailer Truth or Dare yang dikemas begitu meyakinkan seolah-olah ini tontonan seram yang mengasyikkan semakin membuat hati ini sulit menampik godaan. Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah mungkin Truth or Dare dengan premis konyolnya ini mampu tersaji seru atau malah justru berakhir blunder? 

Truth or Dare sendiri mengawali penceritaannya dengan perjalanan enam sahabat; Olivia (Lucy Hale), Markie (Violett Beane), Lucas (Tyler Posey), Brad (Hayden Szeto), Tyson (Nolan Gerard Funk), dan Penelope (Sophia Ali), ke Meksiko untuk merayakan libur musim semi. Berbagai macam kegilaan anak muda khas film horor mereka lakukan sepanjang liburan seperti berpesta semalam suntuk, berhubungan seks, menenggak alkohol… you name it. Kegilaan ini kian tak bisa dipahami akal sehat saat mereka memutuskan untuk mengikuti ajakan seorang laki-laki yang baru dikenal Olivia di bar bernama Carter (Landon Liboirion) ke sebuah reruntuhan gereja. Di sana, mereka bermain ‘jujur atau tantangan’ yang secara cepat berubah menjadi canggung tatkala rahasia salah satu dari mereka tersentil. Suasana yang telah serba tidak mengenakkan ini kian bertambah parah tatkala Carter mengungkap tujuan utamanya membawa mereka ke tempat ini. Ternyata oh ternyata, permainan ‘jujur atau tantangan’ yang mereka mainkan ini tidak sesederhana tampaknya karena ada keterlibatan iblis didalamnya. Alhasil satu demi satu personil pun dihadapkan pada permainan ‘jujur atau tantangan’ versi supranatural sekembalinya mereka ke Amerika Serikat pada waktu dan tempat tak terduga dari seseorang (atau sejumlah orang) dengan seringai aneh menyerupai filter Snapchat yang buruk. Aturannya sederhana saja: tunaikan permainan tersebut hingga tuntas karena jika kamu gagal melaksanakannya… ajal akan dengan senang hati menjemputmu.


Untuk beberapa saat, Truth or Dare tampak seperti versi duplikat dari rangkaian film Final Destination. Sejumlah remaja berusaha mencurangi kematian yang mengejar mereka dengan urutan sesuai giliran mereka bermain ‘jujur atau tantangan’. Dari lubuk hati yang terdalam, saya pribadi sih berharap Truth or Dare akan menempuh jalur yang sama karena Final Destination termasuk tontonan seram yang seru (yaaa… setidaknya untuk tiga seri pertama) dengan penggambaran ‘cara untuk tewas’ yang kreatif. Akan tetapi, usai adegan pembukaan di sebuah pom bensin yang membangkitkan semangat untuk mengudap habis film ini, lalu dilanjut dengan kematian pertama yang melibatkan meja biliar, dan tantangan menyusuri pinggiran genteng seraya menenggak alkohol yang mendebarkan, perlahan tapi pasti Truth or Dare terasa seperti kehilangan arah dan kebingungan dalam mengembangkan premis miliknya. Berdasarkan premis yang diusung, Truth or Dare sebetulnya berpotensi bagus apabila: 

1) sadar diri bahwa premisnya memang menggelikan sehingga tidak ada upaya untuk menggulirkan kisah yang sok serius dan lebih memilih untuk menertawakan diri sendiri dengan menghadirkan eksekusi serba over the top 
2) memiliki aturan main yang jelas – tidak seenaknya diubah-ubah sampai bikin otak ini keriting memikirkannya, serta 
3) menghindari main aman dengan bersedia merangkul rating R (17 tahun ke atas) karena materinya yang membutuhkan pertaruhan akan kesulitan mencapai potensinya jika film enggan untuk menampilkan kekerasan dalam level cukup tinggi. 

Sayangnya, pihak pembuat film kekeuh mempertahankan Truth or Dare untuk tetap bermain-main di ranah horor dengan rating PG-13. Jeff Wadlow beserta tiga rekan penulis skrip malah memilih untuk menyisipi Truth or Dare dengan isu-isu berat tak perlu seperti homoseksual, bunuh diri, serta pelecehan seksual yang justru membuat film ini penuh sesak sekaligus tampak seperti salah satu episode sinetron percintaan remaja terlebih ada pula konflik mengenai pertikaian antar sahabat karena rebutan cowok. Ingin rasanya ku mengucap istighfar! Sederet isu ini sebetulnya memiliki potensi menjadi bumbu taburan yang mengikat apabila: 

1) premis yang diusung Truth or Dare tidak kelewat menggelikan untuk dibawa serius, serta 
2) ada perkembangan karakter mumpuni yang membuat penonton memahami lalu peduli terhadap masing-masing karakter. 


Tapi kenyataannya kan tidak demikian. Premisnya konyol dan karakter di film ini tak lebih dari sekumpulan stereotip karakter dalam film horor yang dangkal. Alhasil, selama separuh akhir, Truth or Dare tak saja menjelma menjadi FTV bertajuk “Aku Jatuh Cinta Pada Kekasih Sahabatku” tetapi juga ketoprak lantaran setiap tindakan para karakternya mengundang gelak tawa tak disengaja (ehem, mencari solusi dari Google dan Facebook? Dasar generasi milenial!). Mengingat rating PG-13 membatasi film untuk tampil liar; adegan pencabutan nyawa yang monoton dengan sebagian besar hanya menggunakan pistol dan tantangan yang makin lama justru makin drama (serius, ini setan sepertinya gemar nonton reality show atau sinetron deh!), maka daya tarik yang tersisa dari film ini adalah kekonyolannya yang tak berkesudahan dan Lucy Hale yang rupawan. Aktingnya? Ah lupakan saja.

Poor (2/5)

Jumat, 22 Juni 2018

Gringo (2018) Bluray 720p

Gringo (2018) Bluray 720p


Gringo merupakan sebuah film komedi dan aksi yang dipenuhi dengan intrik dramatis. Film ini mengambil latar di Meksiko. Dalam film Gringo diceritakan kisah seorang pengusaha yang baik hati bernama Harold Soyinka (diperankan oleh David Oyelowo) yang harus menerima kenyataan karena ia dibohongi oleh rekan bisnisnya sendiri.
Karena merasa tidak terima, akhirnya Harold melakukan pertempuran yang makin lama menjadi semakin berbahaya. Bahkan ia menyimpang dari yang dulunya menjadi seorang warga yang taat dengan hukum negara namun dalam pertempuran tersebut ia berubah sebagai seorang kriminal. Hal ini tentunya mengundang tanya: apakah Harold keluar dari jati dirinya yang sebenarnya?

 TONTON CUPLIKAN 



Judul                  : Gringo(2018)Bluray 720p
Genre                 : Comedy, Thriller, Crime
Pemain               : Joel Edgerton & Charlize Theron
Kualitas              : 720P
Size                    : 1GB
Link Download  : Openload

Senin, 04 Juni 2018

MEREKA YANG TAK TERLIHAT (2017)

MEREKA YANG TAK TERLIHAT (2017)

The Indonesian horror film entitled “Invisible People” is a film that tells the story of a single parent family consisting of Lidya (Sophia Latjuba) along with two daughters named Saras (Estelle Linden) and Laras (Bianca Hello). Saras, since childhood different from other children generally because Saras has the ability of the sixth sense or commonly called indigo children.
DOWNLOAD
Artis : Negara : IndonesiaRilis : (Indonesia) Kategori : Drama KomediDurasi : 1 jam 47 menitIMDb : tt1762358


Jumat, 06 April 2018

A Quiet Place (2018) (4/5)

A Quiet Place (2018) (4/5)


"Who are we if we can't protect them? we have to protect them," 

  RottenTomatoes: 98% | IMDb : 8,4/10 | Metascore : 81/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: PG-13 | Genre: Drama, Horror, Thriller

Directed by John Krasinski ; Produced by Michael Bay, Andrew Form, Brad Fuller ; Screenplay by Bryan Woods, Scott Beck, John Krasinski ; Story by Bryan Woods, Scott Beck ; Starring Emily Blunt, John Krasinski ; Music by Marco Beltrami ; Cinematography Charlotte Bruus Christensen ; Edited by Christopher Tellefsen ; Production companies Sunday Night, Platinum Dunes ; Distributed by Paramount Pictures ; Release dateMarch 9, 2018 (SXSW), April 6, 2018 (United States) ; Running time 95 minutes ; Country United States ; Language American Sign Language, English

Story / Cerita / Sinopsis :
Sebuah keluarga harus bertahan hidup dalam sunyi saat bersembunyi dari makhluk misterius yang buta namun sensitif terhadap suara. 

Review / Resensi :
Baru saja saya sedih mendengar berita perceraian Channing Tatum dan Jenna Dewan. Sebelumnya, daftar pasangan sweet-couple Hollywood yang berpisah baru-baru ini juga cukup bikin sedih: Chris Pratt dan Anna Faris, Jennifer Anniston dan Justin Theroux, dan menurut sumber gosip Nicole Kidman dan Keith Urban juga hendak berpisah. Sedih deh, apa di Hollywood sudah ga ada true love lagi? Oh but wait, masih ada John Krasinski dan Emily Blunt! Nih pasangan serasi bangeeeett! Sebelumnya, nama aktor John Kransisnki baru kedengeran di telinga saya sebagai sekedar Emily Blunt's husband dan "some guy from The Office series" (berhubung saya ga ngikutin The Office). Sebagai sutradara, John Krasisnki sebelumnya baru bikin dua film, dan saya baru nonton The Hollars (2016) - yang kurang sukses dan kurang dapat perhatian dari para kritikus, tapi saya cukup suka. John Kransiski akhirnya baru mendapat pengakuan sebagai sutradara lewat film horror A Quiet Place ini, dimana selain berperan sebagai aktor utama, ia juga mengajak sang istri Emily Blunt untuk menjadi pemeran utama. 

Bersetting tahun 2020, John Krasinski dan Emily Blunt berperan sebagai sepasang suami istri dengan kedua anaknya yang harus bertahan hidup dari makhluk misterius sebangsa alien yang mendeteksi mangsanya lewat suara. Untuk bertahan hidup, mereka bersembunyi di sebuah country-house dengan ladang jagung, dan berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikitpun supaya tidak diserang oleh makhluk misterius itu. 

Film yang berasal dari short story oleh Bryan Woods dan Scott Beck dan naskahnya juga dikerjakan oleh mereka berdua ini menawarkan sesuatu yang berbeda dari kebanyakan film. Bayangin donk, kamu masuk ke bioskop dengan sistem teknologi sound canggih dan berharap akan mendapatkan pengalaman nonton yang maksimal dengan segala efek sound dan musik yang tidak bisa kamu dapatkan kalo nonton lewat layar laptopmu yang murah. Tapi A Quiet Place malah mengajakmu untuk menonton film dengan efek suara minimal dengan dialog yang hampir seluruhnya dilakukan dalam bahasa isyarat. Nonton A Quiet Place mengingatkan saya kayak masuk ruang ujian sekolah. Pengalaman ini akan terasa makin maksimal jika penonton bioskop bisa berkompromi untuk tidak mengeluarkan suara selama nonton - dimana hal ini nggak bisa saya dapetin pas nonton kemarin karena saya nonton di bioskop dengan ruangan yang terisi setengah penuh dan mayoritas anak-anak sekolah. Tau kan anak-anak sekolah kalo nonton rame-rame pasti cenderung berisik. Ditambah lagi, sebelah saya tipe cewek yang kalo nonton film horror suka heboh sambil berbisik, "Aduh kasihannya... aduhh kaget...". Ya Allah. (Padahal saya kalau nonton sama teman bisa lebih berisik lagi. Nggak tau diri kok emang saya). 

Kalau saya disuruh menyebutkan dua hal gimana cara bikin film horror/thriller yang baik, maka saya akan menyebutkan dua poin utama sebagai berikut... Pertama, film thriller yang baik harus bisa membangun atmosfer menegangkan dengan baik. Jadi, ketika akhirnya muncul jumpscare scene, efeknya bisa bikin penonton jantungan dengan lebih maksimal. Atmosfer menegangkan ini tentu butuh momen sunyi-sepi-sendiri yang bikin deg-degan. Coba deh, kamu kalau rame-rame di kuburan malem-malem ga bakal takut. Tapi sekalinya sendirian di rumah, mau ke kamar mandi aja takut. Lalu kedua, penampakan hantu or creepy creature-nya harus ditampilkan dengan anggun. Artinya, ga boleh langsung diungkap semuanya di awal film, harus dengan cara semisterius dan "secantik" mungkin. Karena yang misterius itu kesannya lebih bikin cemas. Dan oh yes, penampakan hantu atau makhluk seremnya harus beneran serem. John Krasinski - yang ngaku tidak tumbuh besar dengan film horror - tampaknya tahu benar 2 hal penting ini dan bisa memanfaatkannya dengan baik. Screenplay aslinya yang kabarnya cuma ada satu baris dialog juga sudah sangat membantu untuk bisa dijadiin bahan film horror yang baik. Penampakan sang alien juga cool enough. Selain itu, A Quiet Place berhasil menjaga dinamika cerita makin ke belakang makin intens, sehingga atensi penonton sepenuhnya bisa terenggut. Selamat deh, selama 90 menit kamu akan dibuat deg-degan dan sport jantung.

Unsur dramatis dan melankolisnya didapatkan dengan mengambil tema sentral keluarga. Inti film ini adalah bagaimana orangtua melindungi anak-anak mereka. Hal ini makin spesial karena kita tahu John Krasinski dan Emily Blunt beneran suami istri dengan dua anak perempuan in real life. So, penjiwaan keduanya semakin terlihat di layar. Akting manis terutama ditunjukkan oleh Emily Blunt yang karakternya mengalami hal-hal yang sama sekali tidak diinginkan... And please deh, biarpun mukanya bare face gitu kenapa Emily Blunt bisa tetep secakep itu sihhhhh!

Sejauh ini saya menjelaskan A Quiet Place sebagai sebuah film horror sempurna. But anyway, atas nama selera pribadi saya sebenarnya berharap A Quiet Place bisa lebih digarap dengan nuansa "indie- hipster" yang lebih kental. Ada banyak poin dari film ini yang terasa sangat khas film indie-hipster, sehingga jika visi filmnya digarap dengan lebih "indie-style" lagi, maka saya akan lebih girang lagi. Contohnya, saya membayangkan scoring music-nya diisi oleh Disasterpeace (It Follows, 2015), Mica Levi (Under The Skin, 2014) atau Brian McOmber (Krisha, 2015). Saya merasa butuh bunyi-bunyian yang lebih asing dan lebih aneh. And then saya berharap filmnya juga bisa lebih emosional dan dramatis lagi dari ini, atau dengan kata lain: lebih depresif (semacam The Mist (2017), please?). Oh ya, rating film ini juga cuma PG-13. Bayangin donk kalau rating-nya R.. dan film ini bisa dibuat lebih berdarah-darah dan lebih sadis lagi. Pasti lebih keren lagiii uwuwuwuwu...

(Anyway, film yang disebut mirip A Quiet Place itu antara lain Don't Breathe (2016) dan Hush (2016). Dan kedua film itu ratingnya R. Sayang kok A Quiet Place ini dibikin PG-13. Apa faktor studionya milik Michael Bay?).

Overview :
A Quiet Place sangat menjanjikan sebagai salah satu film horror terbaik dan tercerdas tahun ini. John Kransisnki akan mengajak kita untuk "bersepi ria" dalam 90 menit penuh teror dan kecemasan tingkat tinggi. Ia juga mampu menjaga dinamika dan intensitas A Quiet Place tanpa bertele-tele, lalu perlahan-lahan meningkatkan ketegangan yang membuat penonton tidak akan pernah bosan. Penampakan sang makhluk jahat juga ditampilkan dengan sangat anggun. Ibarat kalau emang ada juklak "Cara Bikin Film Horror yang Baik", maka John Kransisnki ini sudah bikin sesuai juklak. Tapi saya sih berharap ada sentuhan style "indie-hipster" dan level kesadisan yang lebih parah. John Kransisnki sukses sebagai sutradara, dan istrinya Emily Blunt sukses mempertontonkan akting yang "manis". So, that's what people said: A couple who made horror movie together, stay together!




SPOILER!!
NB:
By the way, di akhir saya baru sadar lho kalo si anak perempuannya tuna rungu. HAHAHAHA. Makanya sepanjang film saya mikir nih keluarga kok hebat banget bisa belajar bahasa isyarat dalam waktu singkat. Baru deh di akhir saya baru sadar kalo si anak perempuan tuli, dan alat yang dikasih bapaknya itu adalah alat pembantu pendengaran (kirain alat apaan gitu). Pantesan pas adiknya nyalain roket kenapa dia santai aja... Ya Allah, emang lambat banget kok prosesor otak saya ini. Duh. 
Dan ngomong-ngomong, pemeran si anak perempuan ini Millicent Simmonds memang aktris tuna rungu. John Kransiski kabarnya memang sengaja mengcasting aktris yang beneran tuna rungu. 

Rabu, 04 April 2018

REVIEW : A QUIET PLACE

REVIEW : A QUIET PLACE


“Who are we if we can’t protect them? We have to protect them.” 

A Quiet Place, sebuah film horor arahan John Krasinski (The Hollars, Brief Interviews with Hideous Men), mempunyai sebuah premis menggigit yang bisa jadi akan seketika menarik perhatianmu. Dalam film tersebut, suami dari Emily Blunt (yang didapuk menjadi pemeran utamanya) ini mengajukan premis berbunyi, “bagaimana jika di masa depan manusia harus bertahan hidup dari serangan makhluk asing dengan cara tidak mengeluarkan suara sama sekali?”. Coba bayangkan, manusia dewasa ini yang tidak sanggup menahan godaan untuk mempergunjingkan orang lain saban beberapa menit sekali dipaksa untuk tutup mulut sepenuhnya. Tentu saja bukan perkara mudah. Tapi ada konsekuensinya jika kamu keberatan untuk tutup mulut: siap-siap saja dibantai oleh makhluk asing yang entah darimana datangnya. Seramnya lagi, ini tidak sebatas berlaku pada mengistirahatkan pita suara tetapi juga menghilangkan bunyi-bunyian yang diciptakan oleh derap kaki, tepukan tangan, batuk-batuk ringan, kipas angin, mainan berbaterai, kertas yang sobek, pemutar musik, ketikkan di gawai canggih, klakson kendaraan, serta aktivitas (berikut benda) sehari-hari lainnya yang menimbulkan bunyi. Gila, kan? Ya, A Quiet Place memang mempunyai premis gila, tapi ini belum ada apa-apanya tatkala dibandingkan dengan hasil akhirnya. Si pembuat film sanggup mentranslasinya ke dalam sebuah tontonan seram yang akan membuatmu enggan menghembuskan nafas barang sejenak. 

Dalam A Quiet Place, John Krasinski membawa kita ke beberapa tahun di masa depan saat bumi bukan lagi suatu planet yang layak huni bagi manusia. Penonton tidak pernah diberi narasi menyeluruh mengenai kekacauan yang membawa bumi pada kehancuran, melainkan hanya sekilas lalu dari tajuk utama di surat kabar bekas yang berserakan dimana-mana. Dari tajuk utama tersebut kita memperoleh informasi bagaimana suara telah menciptakan kematian misterius di berbagai belahan dunia. Populasi manusia menyurut dan kota-kota besar ditinggalkan sehingga membuat jalanan utama kosong melompong seperti di film-film zombie. Tidak diketahui secara pasti ada berapa umat manusia yang masih berlalu lalang di atas tanah karena fokus utama dari A Quiet Place yang memilih bercerita secara intim hanyalah sebuah keluarga yang terdiri atas Ayah (John Krasinski), Ibu (Emily Blunt), serta tiga orang anak dengan konfigurasi satu perempuan dan dua laki-laki. Mereka bertahan hidup dengan cara mengambil persediaan di supermarket terbengkalai, menangkap ikan di sungai, mendiami sebuah rumah pertanian, dan paling penting, tidak bersuara. Maklum, suara sekecil apapun dapat mendatangkan petaka besar bagi mereka. Demi meminimalisir munculnya suara, kelimanya pun sepakat untuk melepas alas kaki dan berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Akan tetapi, upaya mereka untuk membisu ini mengalami kegagalan tatkala salah satu dari mereka melakukan kesalahan besar yang tidak saja mendatangkan petaka tetapi juga penyesalan mendalam. 


Tanpa banyak berbasa-basi, Krasinski yang turut menempati posisi sutradara dan peracik skrip seketika membawa penonton pada situasi yang tidak menenangkan dalam A Quiet Place. Kita melihat keluarga kecil ini tengah berkeliling supermarket untuk mencari obat. Si kecil bermain-main, berlari-lari, yang belum apa-apa sudah membuat diri ini was-was. Mungkinkah ada sesuatu yang berbahaya tengah mengintai mereka di sana? Suasananya memang sangat sunyi. Kalaupun ada suara, itu berasal dari deru angin atau burung-burung yang menari-nari di udara seolah mengejek para manusia yang dibuat tak berdaya oleh ancaman makhluk asing. Interaksi antar karakter dilangsungkan menggunakan bahasa isyarat atau sekadar ekspresi wajah. Hanya jika keadaan memungkinkan (berdasar aturan main di film ini, mereka bebas bersuara saat ada suara lebih keras di sekitar mereka), dialog verbal dapat muncul. Bisik-bisik pun sebisa mungkin dihindari karena hey, tidak ada salahnya menghindari tindakan yang beresiko, bukan? Siapa yang tahu suara seperti apa yang masih bisa ditolerir? Dari kesunyian ini, Krasinski lantas membangun teror. Menciptakan situasi yang sangat mengusik kenyamanan sehingga memunculkan rasa tercekam dalam diri penonton. Betapa tidak, kita tidak pernah benar-benar tahu kapan ancaman tersebut akan datang menghampiri. Kelima karakter dalam A Quiet Place dapat berbuat blunder sewaktu-waktu mengingat benda-benda yang menghasilkan bunyi-bunyian masih mudah dijumpai di sekitar mereka. Kayu yang berderit, misalnya. 

Kelihaian Krasinski dalam membuat penonton megap-megap karena sulit untuk bernafas (ya gimana bisa bernafas kalau setiap menitnya adalah ancaman!) mendapat sokongan bagus dari tim tata suara yang mampu menghasilkan ‘kesunyian mencekam’. Saya justru merasa tenang saat ada suara, dentuman atau apalah-apalah itu, tapi begitu mode suara beralih ke senyap, hmmm… baiklah. Bersiap-siap buat merapal doa dalam hati seraya meremas-remas kursi bioskop nih. Oia, kesunyian ini bukan berarti tanpa suara sama sekali seperti halnya film bisu lho karena skoring musik mengejutkan khas film seram masih setia mengiringi utamanya tatkala si peneror telah tiba di sekitar personil keluarga. Hanya saja, A Quiet Place memang terasa lebih mencekam justru saat musik-musik ini tiada. Pada suasana yang sunyi ini pula, kita memperoleh kesempatan untuk menengok keluarga fiktifnya John Krasinksi-Emily Blunt. Dari sini, kita sebagai ‘pengamat’ menyaksikan munculnya figur orang tua yang rela melakukan apa saja demi menyelamatkan anak-anaknya, mendapati upaya mereka untuk berdamai dengan duka usai suatu kehilangan besar, serta melihat merenggangnya suatu hubungan yang dipicu oleh komunikasi yang kurang intens serta cenderung terhambat. Meski Krasinski ditemani duo penulis skrip, Bryan Woods dan Scott Beck, tidak menggali konflik internal ini lebih dalam lagi, tapi apa yang mereka paparkan telah cukup untuk menghasilkan momen emosional yang menonjok sekaligus membekali penonton sehingga mereka dapat membentuk afeksi dengan para karakter inti.


Beruntungnya, A Quiet Place memiliki jajaran pemain yang bisa diandalkan seperti John Krasinski, Emily Blunt, serta duo bocah Millicent Simmonds (sekadar informasi, dia memang tuna rungu di kehidupan nyata seperti karakter yang dimainkannya) dan Noah Jupe yang memerankan putra-putri dari Krasinski-Blunt. Mereka membentuk chemistry meyakinkan sampai-sampai kita bisa meyakini bahwa mereka adalah keluarga betulan. Kala berlakon sendiri-sendiri pun, keempat pemain ini memberikan performa yang impresif. Simmonds menyembunyikan kerapuhan dan kekecewaan dibalik topeng tangguhnya, sementara Jupe adalah bocah polos yang dipaksa tumbuh lebih cepat karena keadaan. Lalu Krasinski tampak seperti seorang ayah dan pejuang yang begitu menyayangi keluarganya tapi mengalami kesulitan dalam mengungkapkan rasa cintanya, sementara Blunt memancarkan aura keibuan yang sangat kuat. Blunt berkesempatan pula untuk unjuk gigi dalam A Quiet Place – membuktikan bahwa dia adalah aktris yang patut diperhitungkan – melalui adegan paling membekas dari film ini yaitu ‘tertimpa kesialan di hari H’. Tengok saja ekspresinya, air mukanya, yang menyiratkan rasa sakit bercampur ketakutan. Membuat diri ini ikut berada dalam fase berdebar-debar tidak karuan. Ikut merasa tertekan! Kemahiran para pelakon dalam berolah peran ini memang menjadi salah satu kunci keberhasilan A Quiet Place karena berkat mereka, penonton dapat menginvestasikan emosi. Dapat memberikan dukungan moril sehingga film pada akhirnya tak saja mampu menciptakan teror dan momen emosional yang mengesankan, tetapi juga kenangan (entah baik entah buruk).

Outstanding (4/5)

Kamis, 29 Maret 2018

The Millennium Bug (2011)

The Millennium Bug (2011)

Ketika keluarga Haskin mencari perlindungan dari Y2K histeria di hutan terisolasi dari Sierra Diablo pegunungan, kegilaan dan teror menemukan mereka di sana. Diculik oleh klan dusun setan
LK21 Unduh
Artis : John Charles Meyer, Jessica Postrozny, Christine Haeberman Negara : USARilis : 3 Juni 2011Kategori : Horor, Sci-Fi, ThrillerDurasi : 1 jam 28 menit ( 158 mb )IMDb : tt1762358

Sedang Proses...

Kamis, 15 Maret 2018

REVIEW : GAME NIGHT

REVIEW : GAME NIGHT


“This will be a game night to remember.” 

Bagaimana jadinya saat sebuah malam permainan yang semestinya cuma seru-seruan bersama kawan dekat di ruang tamu malah berujung petaka yang mengancam nyawa? Jelas ini bukan suatu kejadian yang diharapkan terjadi oleh siapapun, meski rasa-rasanya kita sama sekali tidak keberatan melihatnya terjadi di sebuah film layar lebar. Terdengar mengasyikkan, bukan? Premis seputar permainan sederhana yang malah berbalik mengancam keselamatan sang pemain memang tidak lagi baru di perfilman Hollywood – kita telah melihatnya dari Jumanji (1995) yang berbalut fantasi, The Game (1997) yang menjajaki teritori thriller, sampai paling baru The Commuter (2018) – akan tetapi duo sutradara John Francis Daley dan Jonathan Goldstein yang sebelumnya menggarap Vacation (2015) dan menulis naskah untuk Horrible Bosses (2014) memiliki cara agar sajian mereka yang bertajuk Game Night ini tidak terasa basi serta tetap mengasyikkan buat diikuti sekalipun guliran pengisahan yang diajukannya akan membuat kita seketika teringat pada The Game… pada mulanya. Yang lantas mereka lakukan yakni mengemas Game Night sebagai tontonan komedi gila-gilaan tanpa mengenal batas yang di dalamnya dipenuhi twist and turn pada tuturannya serta mengandung seabrek referensi budaya populer pada humornya yang dijamin akan membuat para movienthusiast bersorak gembira saat menontonnya. Dijamin. 

Dalam Game Night, kita diperkenalkan kepada sepasang suami istri, Max (Jason Bateman) dan Annie (Rachel McAdams), yang kerap mengajak serta sahabat-sahabat mereka seperti pasangan sejak bangku SMP, Kevin (Lamorne Morris) dan Michelle (Kylie Bunbury), beserta Ryan (Billy Magnussen) yang kerap bergonta-ganti pasangan, untuk mengikuti malam permainan. Yang mereka mainkan sebetulnya simpel saja seperti monopoli, jenga, pictionary, charade, sampai Trivial Pursuit. Tidak ada yang benar-benar istimewa disini sampai kemudian saudara Max yang keren, Brooks (Kyle Chandler), ikut meramaikan malam permainan. Brooks mengundang ‘kelompok bermain’ ini untuk datang ke villa miliknya dan merubah peta permainan dengan menyewa penyedia jasa permainan peran demi memberi kesan riil. Nantinya, salah satu dari mereka akan ‘diculik’ oleh sekelompok penjahat sementara anggota yang tersisa berlomba-lomba mencari petunjuk yang dapat membebaskan kawan mereka tersebut. Yang tidak Max beserta konco-konco sadari, saat dua laki-laki bertopeng hitam tiba-tiba mendobrak masuk ke villa milik Brooks lalu bergumul dengan Brooks dan kemudian menculiknya, permainan belum sepenuhnya dimulai. Keenam personil – termasuk teman kencan Ryan, Sarah (Sharon Horgan) – baru menyadari ada sesuatu yang salah pasca petunjuk demi petunjuk telah terurai dan mereka mendapatkan telepon yang meminta mereka menyerahkan sebuah benda sebelum tengah malam yang nantinya akan ditukar dengan nyawa Brooks.


Terhitung sedari diculiknya Brooks sang tuan rumah, Game Night mengalami eskalasi baik dari sisi humor maupun laga. Dan ini sebuah kabar yang sangat bagus! Betapa tidak, sebelum kita mendapati apa permasalahan utama yang disodorkan oleh film, kelucuan sejatinya telah bertebaran dimana-mana. Mayoritas bersumber dari malam permainan yang diadakan oleh Max dan Annie. Ada seabrek referensi ke budaya popular terutama film yang akan membuat para pecandu film bersorak-sorak bergembira atau malah justru tertawa tergelak-gelak. Disamping kelucuan, Game Night turut menyematkan elemen misteri di awal mula yang ditandai oleh keberadaan polisi creepy yang tinggal di seberang rumah Max, Gary (Jesse Plemons). Sosok Gary begitu mencuri perhatian dalam setiap kemunculannya karena kemisteriusannya. Jangankan penonton, para personil malam permainan pun tidak bisa benar-benar yakin apa yang dapat dilakukan oleh Gary. Betulkah dia masih waras? Atau dia memiliki gangguan kejiwaan yang dapat melukai orang lain usai ditinggal pergi sang istri? Plemons memainkan perannya dengan baik; menunjukkan seringai dan tatapan menyeramkan, tapi masih memiliki sentuhan komikal. Duo Jason Bateman dan Rachel McAdams juga bermain kompak sebagai pasangan suami istri yang kompetitif, begitu pula dengan Billy Magnussen yang kebodohannya bikin gregetan dan duo Lamorne Morri beserta Kylie Bunbury yang kehadirannya mulai memberikan impak setelah karakter yang mereka mainkan dihadapkan pada permainan “guess who?”

Ini terjadi di malam penculikan Brooks. John Francis Daley dan Jonathan Goldstein mulai melancarkan ‘serangan’ bertubi-tubi kepada penonton dalam bentuk humor-humor segar yang terkadang menjajaki ranah slapstick tapi sebagian besar diantaranya tepat sasaran sehingga kita pun tidak keberatan sama sekali toh kita dapat dibuat tertawa hebat olehnya, sejumlah sekuens laga mendebarkan yang salah satu paling membekas di ingatan tatkala para personil malam permainan saling melempar ‘telur’ bak tengah bermain football yang dikemas dalam satu sekuens panjang tanpa putus, serta jalinan pengisahan mengikat yang akan membuatmu senantiasa menerka-nerka kemana muaranya terutama karena di dalamnya penuh dengan kelokan-kelokan tak terduga. Ditengah segala canda tawa, Daley dan Goldstein juga tidak lupa menyelipkan sejumput ‘hati’ ke dalam penceritaan yang berceloteh soal persaingan antar saudara, keengganan untuk tumbuh dewasa, hingga kepercayaan dalam pernikahan. Takarannya berada di level cukup, jadi tak mengganggu laju film yang bergegas cenderung ngebut dan nada film yang gila-gilaan. Si pembuat film mengupayakan agar Game Night yang mereka selenggarakan betul-betul meninggalkan kesan mendalam di hati para pesertanya (baca: penonton), dan itu berhasil. Game Night mampu memberikan banyak sekali kesenangan sepanjang durasi mengalun sampai-sampai membuat saya lemas begitu film berakhir lantaran berulang kali tertawa heboh. Pecah!


Note : Game Night memiliki dua adegan tambahan. Pertama, mengiringi bergulirnya end credit. Dan kedua, terletak di penghujung end credit. Jadi jangan terburu-buru beranjak dari kursi bioskop.

Outstanding (4/5)

Jumat, 02 Maret 2018

REVIEW : THE POST

REVIEW : THE POST


“If the government wins, The Washington Post will cease to exist.” 

Hanya berpatokan pada siapa-siapa yang terlibat, The Post sebetulnya telah terdengar begitu menggiurkan. Betapa tidak, film ini mengawinkan dua aktor besar, Tom Hanks dengan Meryl Streep, di garda terdepan departemen akting dan dibesut oleh Steven Spielberg yang telah memberi kita film-film legendaris seperti E.T. the Extra-Terrestrial (1982), Jurassic Park (1993), serta Saving Private Ryan (1998). Seolah ini belum cukup untuk membuat kita buru-buru memesan tiket bioskop, The Post turut menyodorkan materi cerita yang seksi terkait keterlibatan media massa di Amerika Serikat – khususnya The Washington Post – dalam mengungkap skandal militer yang berlangsung dibawah pemerintahan Richard Nixon pada awal dekade 70-an. Bukan, bukan mengenai Watergate yang menghebohkan itu, melainkan bocornya dokumen-dokumen rahasia setebal 4000 halaman lebih yang disebut Pentagon Papers. Dalam dokumen yang mencakup data-data dari tahun 1945 hingga 1967 tersebut, terpapar analisa mendalam yang menyatakan bahwa negeri Paman Sam sejatinya tidak memiliki kans untuk berjaya dalam Perang Vietnam. Alasan terbesar yang lantas membuat Amerika Serikat kekeuh bertahan dan enggan menarik pasukan dari medan tempur adalah ketidakrelaan untuk menanggung rasa malu karena kekalahan atau dengan kata lain, gengsi. 

Jatuhnya dokumen negara super rahasia ini ke tangan para jurnalis di The New York Times menjadi cikal bakal bagi The Post dalam memulai guliran pengisahannya. Dari sini, Steven Spielberg membagi fokus penceritaan menjadi dua cabang yang masing-masing dikomandoi oleh Katherine Graham (Meryl Streep) selaku penerbit dan Ben Bradlee (Tom Hanks) selaku editor eksekutif. Melalui sosok Katherine, penonton mendapati cerita cenderung personal mengenai perempuan pertama yang menempati posisi tertinggi dalam bidang penerbitan surat kabar di Amerika Serikat. Katherine mewarisi The Washington Post usai suami dan mertuanya berpulang. Meski memiliki kemampuan bersosialisasi yang mumpuni – terbukti dari lingkaran pertemanannya yang meliputi politikus-politikus besar, namun Katherine tidak cukup luwes dalam berbisnis. Keputusan-keputusan yang diambilnya, termasuk saat menjual saham perusahaan secara terbuka, acapkali dipengaruhi oleh penasehat-penasehatnya yang seluruhnya laki-laki. Sedangkan melalui sosok Ben, penonton memperoleh cerita mengenai upaya para jurnalis untuk mengangkat derajat The Washington Post yang selama ini dianggap sebatas koran lokal receh. Pasca mengetahui The New York Times memiliki materi berita yang berpotensi menggemparkan seluruh negara, Ben pun menitahkan anak buahnya untuk mengejar sang sumber berita sehingga mereka tidak saja dapat meningkatkan reputasi surat kabar tetapi juga menjalankan kewajiban untuk memberitakan kebenaran kepada masyarakat.

Tatkala menonton The Post, ada dua hal yang mesti banget dipersiapkan, yakni kesabaran dan konsentrasi. Selepas disuguhi sajian berupa para tentara negeri adidaya kewalahan dalam melayani serbuan Vietkong lalu dilanjut pembobolan berkas-berkas penting milik Departemen Pertahanan terkait relasi Amerika Serikat dengan Vietnam yang menciptakan intensitas di permulaan film, The Post mulai menstabilkan lajunya di level ‘pelan’. Letupan-letupan besar disisihkan terlebih dahulu demi memberi ruang bagi penonton untuk berkenalan secara intim dengan dua karakter kunci dalam film; Katherine dan Ben, sekaligus memahami secara utuh rentetan peristiwa yang tengah dihadapi oleh The Washington Post. Ya, sebelum bergerak lebih jauh, Spielberg selaku tukang cerita mencoba untuk memastikan bahwa penonton benar-benar memahami tentang posisi Katherine, urgensi dalam meyakinkan para investor saham, obsesi Ben, serta kebohongan-kebohongan yang disembunyikan pemerintah melalui Pentagon Papers. Kelihaian Spielberg dalam bercerita membuat materi dongeng yang rada-rada njelimet ini terasa menarik buat disimak alih-alih menjemukan. Ketertarikan memang tidak serta merta terbentuk melainkan muncul sedikit demi sedikit seiring bergilirnya durasi. Seiring didapatnya gambaran lebih utuh mengenai apa yang sejatinya hendak disampaikan oleh The Post

The Post bukanlah Spotlight (2016) yang meletakkan sebagian besar fokus penceritaannya pada pengejaran berita. Di sini, duo penulis skrip, Liz Hannah dan Josh Singer, turut memecah fokusnya ke pergulatan batin si penerbit yang dihadapkan pada pilihan dilematis: memilih teman-teman politikusnya yang jelas merupakan pilihan aman atau mempersilahkan para jurnalisnya untuk mempublikasikan kebohongan yang ditutup rapat oleh pemerintah selama bertahun-tahun meski konsekuensinya adalah dijauhi oleh investor serta dipenjara lantaran dianggap menyalahi UU spionase. Tentu dibutuhkan keahlian bercerita yang tinggi agar dua cabang ini tidak terasa penuh sesak atau timpang sebelah. Spielberg, seperti telah diperkirakan, mampu menyeimbangkan dua fokus penceritaan tersebut sehingga keduanya dapat berjalan beriringan dan saling menopang. Cerita milik Ben memang mesti diakui lebih menggigit karena menyoroti pada jurnalisme investigasi. Akan tetapi, cerita milik Katherine tidak lantas melempem sekalipun cakupannya personal terkait upayanya memperoleh kepercayaan dari dirinya sendiri maupun laki-laki alpha di sekelilingnya. Ditunjang oleh akting gemilang Meryl Streep, kita bisa memahami keragu-raguannya, ketakutannya untuk berbuat kesalahan, harapannya untuk mendapatkan respek dari pria-pria di sekitarnya yang memandangnya sepele, kemauannya belajar dari kesalahan, serta keberaniannya dalam mengambil keputusan. 

Ndilalah, Meryl Streep memiliki lawan main yang tak kalah piawainya dalam berolah peran, Tom Hanks. Sosok Ben yang menyala-nyala memberi keseimbangan di saat sosok Katherine cenderung lebih kalem. Keduanya mulai sering bertatap muka tatkala dua cabang cerita saling beririsan yang sekaligus menandai terdeteksinya eskalasi ketegangan dalam The Post. Ketegangan dapat tercium dengan jelas pasca anak buah Ben menginformasikan bahwa dia telah mendapatkan materi berita yang dibutuhkan. Yang tidak disangka-sangka, adegan conference call yang berlangsung di rumah Katherine dan Ben demi mencapai mufakat mampu membuat diri ini berada dalam fase “dag dig dug” sekaligus meremas-remas kursi bioskop. Terhitung sedari momen emas ini, The Post secara konstan menghadirkan guliran pengisahan yang mencekam serta mencengkram. Kita mungkin telah mengetahui kemana muara film ini, tapi kita tidak ambil pusing karena yang diinginkan adalah menyaksikan proses para jurnalis di The Washington Post mencapai muara tersebut. Bagaimana mereka menyusun artikel bernas dari dokumen negara setebal ribuan halaman, bagaimana mereka memperjuangkan kebebasan pers di saat sang presiden mengancam akan membredel tempat mereka mencari penghasilan, dan bagaimana mereka menunjukkan tanggung jawab kepada masyarakat yang dianggap perlu mengetahui kebohongan-kebohongan pemerintah. Mengusung isu yang begitu relevan dengan dewasa ini yang mana kebebasan pers tengah terancam dan berita bohong kian marak dijumpai, tak salah kiranya menyebut The Post sebagai film yang penting disimak oleh siapapun.



Note : Satu lagi yang berkesan dari The Post, film ini memberi kita detil kecil mengagumkan tentang cara kerja mesin cetak surat kabar. Ya, kita tidak hanya diajak berkeliling ruang kerja jurnalis tetapi juga diajak mengunjungi percetakan!

Outstanding (4/5)

Kamis, 19 Oktober 2017

REVIEW : HAPPY DEATH DAY

REVIEW : HAPPY DEATH DAY


“Look, I know this isn’t going to make any sense. I feel like I’m losing my mind. I’ve already lived through this day.” 

Rumah produksi Blumhouse Productions tahu betul bagaimana caranya mengolah film berkonsep tinggi dengan bujet murah tanpa harus mengorbankan kualitas dari film bersangkutan. Tengok saja The Purge, Split, serta Get Out yang sanggup memanfaatkan ruang gerak serba terbatas secara efektif sehingga menghasilkan tontonan mencekam yang mencengkram erat. Usai melepas dua judul terakhir pada kuartal pertama tahun ini yang disambut sangat hangat oleh kritikus sekaligus khalayak ramai, Blumhouse kembali mencoba peruntungan di 2017 dengan meluncurkan Happy Death Day yang premisnya saja telah menggelitik rasa kepenasaran saya untuk segera menontonnya. Coba bayangkan, bagaimana seandainya kamu tewas dibunuh di hari ulang tahunmu lalu hari pembunuhanmu tersebut terus berulang dan berulang seolah tak pernah berakhir? Yang pertama kali terlintas di benak saat mendengar premisnya, film arahan Christopher B. Landon (Paranormal Activity: The Marked Ones) ini bagai percampuran antara Groundhog Day (1993) yang mengaplikasikan konsep time loop (satu waktu tertentu yang terus mengalami perulangan) dengan Scream (1996) yang berada di jalur slasher dengan bumbu komedi. Menarik sekali, bukan? Kabar baiknya, Happy Death Day sanggup tampil dalam kapasitas cukup memuaskan dan tidak mempermalukan sumber referensinya. 

Dalam Happy Death Day, kita diperkenalkan kepada seorang mahasiswi populer yang mewakili stereotip “dumb bitch” bernama Tree Gelbman (Jessica Rothe). Pada hari ulang tahunnya yang ke-18, Tree terbangun di kamar asrama seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, Carter Davis (Israel Broussard), tanpa sedikitpun mampu mengingat apa yang telah terjadi di malam sebelumnya. Selepas memberi respon sama sekali tak bersahabat kepada Carter yang ternyata telah membantunya, Tree berlari kembali ke asramanya di klub persaudaraan Kappa Kappa Gamma. Selama perjalanan, Tree dihampiri aktivis penyelamat lingkungan, menyaksikan sepasang kekasih batal bercumbu akibat semprotan air otomatis, berjumpa dengan seorang pria yang naksir berat kepadanya, dicecar pertanyaan oleh ketua klub persaudaraannya, sampai mendapat cupcake ulang tahun dari teman sekamarnya, Lori Spengler (Ruby Modine). Yang lantas dilakukan oleh Tree di sisa hari yakni menemui dosen sekaligus kekasih gelapnya, Gregory Butler (Charles Aitken), dan menghadiri sebuah pesta. Tatkala menuju ke lokasi digelarnya pesta, seseorang dengan topeng bayi menyergapnya kemudian membunuhnya. Alih-alih berpindah ke alam lain, jiwa Tree justru terjebak di hari ulang tahunnya dan terus mengulang kembali apa yang telah dialaminya selama sehari sampai dia mengetahui siapa dalang dibalik kematiannya. 


Happy Death Day telah memberikan pertanda bahwa film ini akan menjadi tontonan yang mengasyikkan semenjak logo Universal muncul dengan gaya tidak biasa mengikuti guliran pengisahan film yang mengaplikasikan konsep time loop: mendadak berhenti setelah satu detik mengalun, lalu diulang lagi dari awal. Dan memang, pertanda tersebut sama sekali tidak berbohong karena Landon sanggup mengemas Happy Death Day menjadi gelaran hiburan yang menyenangkan dengan nuansa yang sedikit banyak membuat saya bernostalgia ke sederet film slasher remaja di era 1990-an seperti Scream, I Know What You Did Last Summer, sampai Urban Legend. Kita diperkenalkan dengan karakter utama perempuan yang cantik, lalu diajak memasuki area kampus dan dipertemukan dengan karakter-karakter sampingan dari berbagai strata sosial (yang semestinya pula kita curigai satu persatu), kemudian sesosok pembunuh yang mengenakan topeng muncul dan pembunuhan pun terjadi. Pembedanya, si pembunuh tidak dikondisikan untuk mengenyahkan karakter-karakter sampingan terlebih dahulu melainkan seketika mengincar si karakter utama yang mulanya sungguh teramat menjengkelkan itu. Mengingat Happy Death Day mempergunakan konsep time loop, maka terbunuhnya Tree untuk pertama kalinya bukanlah akhir dari segalanya akan tetapi justru awal dari rentetan kesialan yang akan dihadapi oleh Tree. 

Momen-momen yang memperlihatkan Tree berhadapan langsung dengan si pembunuh menjadi daya tarik utama film. Landon mampu menginjeksikan intensitas yang mencukupi dan mengkreasi adegan-adegan pembunuhan yang kreatif sehingga tewasnya Tree senantiasa memberi sensasi berdebar-debar kepada penonton sekaligus memancing rasa penasaran karena cara Tree menjumpai ajal yang acapkali berbeda antara satu dengan yang lain. Memang sih sebagai film yang mengatasnamakan dirinya sebagai horor, Happy Death Day agak sulit dikata menakutkan (maklum, ratingnya di Amerika Utara sendiri hanya PG-13 yang cukup membatasi film untuk hadir dalam tingkat kekerasan dan teror yang lebih tinggi). Namun ketiadaan momen besar yang membuat diri ini meringkuk tampan di kursi bioskop atau mengalami mimpi buruk usai menontonnya, tidak sedikitpun menghalangi Happy Death Day dalam memberi pengalaman menonton yang mengasyikkan. Faktor penyebabnya adalah kemampuan si pembuat film untuk mengkreasi serentetan momen Tree diteror si pembunuh yang tidak saja mencekam tetapi juga mengundang derai tawa serta performa memikat dari Jessica Rothe yang mampu menghadirkan transformasi meyakinkan terhadap sosok Tree sehingga saya tidak merasa keberatan untuk memberi dukungan penuh kepadanya. Saya sempat berada di fase harap-harap cemas menanti apa yang akan menimpanya: akankah dia sanggup melewati hari kematiannya atau malah terperangkap di hari tersebut untuk selamanya.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Selasa, 26 September 2017

It (2017) (4,5/5)

It (2017) (4,5/5)


Bill? If you'll come with me, you'll float too
RottenTomatoes: 84% | IMDb: 8/10 | Metascore: 70/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: R | Genre: Horror, Drama, Thriller

Directed by Andy Muschietti ; Produced by Roy Lee, Dan Lin, Seth Grahame-Smith, David Katzenberg, Barbara Muschietti ; Screenplay by Chase Palmer, Cary Fukunaga, Gary Dauberman ; Based on It by Stephen King ; Starring Jaeden Lieberher, Bill SkarsgÃ¥rd ; Music by Benjamin Wallfisch ; Cinematography Chung-hoon Chung ; Edited by Jason Ballantine ; Production companiesNew Line Cinema, Ratpac-Dune Entertainment, Vertigo Entertainment, Lin Pictures, KatzSmith Productions ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release date September 8, 2017 (United States) ; Running time135 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $35 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Sekelompok anak kecil yang kerap dirundung di sekolah bersatu untuk menyelidiki teror mengerikan yang terjadi di kota mereka. 

Review / Resensi:
Saya memang belum pernah nonton miniseries It (1990) sih, tapi cukup familiar dengan sosok badut mengerikan nan ikonik bernama Pennywise (dulu dibintangi Tim Curry) yang ada di film ini. Saya pun jadi lumayan penasaran ketika mendengar kabar It akan diremake, apalagi animo penonton kayaknya cukup tinggi. Ketika dirilis, It versi baru ini langsung mendapat tanggapan positif yang nggak cuma dari para kritikus, tapi juga dari para penonton kebanyakan. Meme-meme si Pennywise nongkrong di bawah selokan langsung berseliweran di sana-sini. Tapi ketika saya nonton trailernya, saya merasa It bukan film yang ngeri-ngeri amat. Mungkin apa karena saya nggak takut badut, dan emang buat saya sih hantu cewek rambut panjang semacam Sadako jauh lebih nakutin dari sosok badut. Sampai kemudian saya nonton, dan saya langsung misuh-misuh kegirangan ketika film dibuka dengan adegan anak kecil yang tangannya putus digigit si badut setan. Saya kayaknya kelewatan informasi kalo It adalah film horror dengan rating R (dan trailernya tampaknya emang pintar menyembunyikan adegan-adegan "asyik" yang ada di film). Saat nonton di bioskop, saya langsung kegirangan dan optimis: It's gonna be one good horror show!

Ngomong-ngomong, berhubung saya belum pernah nonton miniseriesnya (dan sampai sekarang belum kepikiran pengen nonton).. jadi saya ga bisa ngebandingin It (2017) ini dengan versi awalnya - miniseries It (1990). Tapi kalo kata orang sih versi remake-nya ini cukup setia dengan materi awal filmnya walaupun ada perubahan setting waktu ke tahun 80-an. Dan... versi remake-nya ini jelas jauh lebih seram dan gore dibandingin versi awalnya. Sementara itu, kalo dibandingin ama novelnya sendiri sih katanya ada beberapa perbedaan. Biarpun filmnya lumayan gore, tapi filmnya sendiri sudah diperhalus dari novelnya, termasuk beberapa bagian yang melibatkan dark tone sexualization. Yang paling rame diperbincangkan tentu saja: infamous child orgy scene yang untungnya dipotong dari filmnya! Pembelaan Stephen King soal ini ketika diwawancarai sih begini: "It’s fascinating to me that there has been so much comment about that single sex scene and so little about the multiple child murders. That must mean something, but I’m not sure what.". He's crazy, but he had a point.  

Mungkin skeptisme awal saya bermula karena tokoh-tokohnya anak-anak kecil belasan tahun, sehingga saya langsung mikir film It adalah film-film horror untuk anak kecil (eh? emang ada ya film horror untuk anak kecil?). Saya pikir ini akan seperti versi lain dari Stranger Things (2016) - yang emang bagus, tapi benernya ga horror-horror banget. Untungnya enggak. Menonton It mengingatkan saya masuk ke sebuah sirkus, tapi yang tampil adalah setan/monster mengerikan. Mengutip kata pacar saya, It seperti novel Goosebumps rasa Evil Dead, dan emang bener. It nggak mengandalkan jump-scare andalan film horror (jump scare-nya nyaris ketebak semua), tapi lebih kepada gimana seremnya penampakan si Pennywise (dan teman-temannya) saat sudah muncul. Film yang disutradarai oleh Andy Muschietti yang sebelumnya juga menggarap film Mama (film serem juga nih, cuma sayang dirusak oleh bagian endingnya) berusaha variatif dalam menampilkan si badut Pennywise (dan teman-temannya): kadang bikin tegang, kadang bikin menjerit kaget (tapi seneng), hingga kadang terasa unsur komikal seperti yang saya rasakan saat nonton Evil Dead.

Diangkat dari novel karangan Stephen King, yang menarik dari It adalah ini tidak sekedar film horror. Ada nilai-nilai drama moral lain yang melibatkan para karakternya. Kalo kata orang-orang sih, It kurang lebih ingin mengajarkan kita untuk bersatu melawan ketakutan (ini kata orang sih, saya sendiri sepanjang nonton lebih fokus sama si Pennywise daripada nilai dramanya, dan sejujurnya... saya nggak pernah terlalu interest dengan karakter anak kecil di film... hahahaha...). Hal ini terangkum dari It yang karakter-karakter utamanya sekumpulan ABG 12 tahun The Losers Club dengan problemnya masing-masing: Bill yang gagap, Ben si anak baru yang tidak punya teman, Eddie yang mempunya ibu yang overprotective, hingga Beverly yang mempunyai masalah dengan sang ayah. Bahkan, karakter jahat yang kerap membully anak-anak The Losers Club, Henry, juga punya problem dengan ayahnya yang abusif.  By the way, favorit saya? Si Richie donk ("Do you need to be a virgin to see this fucking clown?!"). Dengan membaginya menjadi 2 bagian (sekuel It : Chapter Two yang kabarnya akan dirilis tahun 2019 akan fokus pada karakter mereka saat sudah besar), alur cerita It cukup solid dan mudah dinikmati, unsur dramanya juga pas dan punya hati, demikian dengan unsur komedinya yang cukup menghibur.

Bagi saya, It juga punya cast yang bermain dengan cukup baik, terutama Sophia Lilis sebagai Beverly, Jack Dylan Grazer sebagai Eddie, dan favorit saya Finn Wolfhard sebagai Richie (yang karakternya jelas berbeda dengan peran dia sebelumnya di Stranger Things). Chemistry di antara mereka juga terjalin dengan baik dan meyakinkan, membuat kita jadi lebih mudah untuk berempati dan feel related dengan karakter anak-anak kecil beranjak remaja ini. Dengan durasinya yang lebih dari 2 jam, naskah yang awalnya dikerjakan oleh Cary Fukunaga dan Chase Palmer lalu sedikit direvisi oleh sang sutradara Andy Muschietti dan Gary Douberman ini juga mahir mengeksplor setiap karakter tanpa membuatnya condong ke salah satu karakter, walaupun titik fokus utama hadir melalui karakter Bill. Namun tentu saja, yang paling spesial adalah Bill Skarsgard yang bermain sangat luar biasa sebagai Pennywise. Sebagai badut buat saya mungkin dia ga terlalu creepy (saya sendiri lebih takut sosok hantu), tapi jelas aktingnya sebagai Pennywise sangat iconic dan tidak mudah dilupakan. Please, itu senyumnya yang super creepy... sorot matanya... matanya yang bisa bergerak ke dua arah berbeda (yang katanya bukan efek CGI).. saya nggak akan keberatan kalo doi dapet Oscar!

Overview:
It seperti mengajakmu ke sebuah karnaval atau parade penuh terror yang menakutkan tapi juga mengasyikkan, dan menjadi pengalaman yang tidak mudah dilupakan. It's scary and disturbing, but also fun and has a heart. Bill Skarsgard sebagai Pennywise bermain dengan sangat luar biasa, saya bertaruh orang akan terus membicarakannya dan ia akan mendapat tempat sebagai cult character dari film horror. 

Kamis, 14 September 2017

REVIEW : AMERICAN ASSASSIN

REVIEW : AMERICAN ASSASSIN


“The enemy dresses like a deer and kills like a lion, which is what we’ve got to do.” 

Di tengah deburan ombak kecil serta terik sinar matahari yang menyinari pantai di Ibiza, Spanyol, seorang pemuda bernama Mitch Rapp (Dylan O’Brien) melamar kekasihnya, Katrina (Charlotte Vega). Memperoleh kejutan manis seperti ini, sang kekasih yang tersenyam senyum penuh kebahagiaan buru-buru mengiyakan yang lantas disambut sorak sorai para pelancong lain yang sedang berjemur. Usai memperoleh pelukan dan kecupan dari Katrina, Mitch undur diri sejenak untuk mengambil minuman beralkohol guna merayakan salah satu momen paling berharga dalam kehidupannya yang selama ini sarat penderitaan. Kebahagiaan meluap-luap yang melingkungi Mitch, tanpa dinyana-nyana kemudian terenggut habis usai kelompok teroris Muslim pimpinan Adnan Al-Mansur (Shahid Ahmed) melepaskan tembakan ke berbagai penjuru secara membabi buta. Para pelancong yang panik pun berhamburan kesana kemari demi menyelamatkan diri masing-masing. Sebagian yang beruntung berhasil melarikan diri dengan selamat, sementara sebagian lain meregang nyawa akibat tertembus timah panas. Salah satu korban jiwa adalah Katrina yang ditembak berkali-kali tepat di depan mata Mitch yang tak bisa berbuat apa-apa. 

Melalui adegan pembuka berintensitas tinggi yang secara cepat berganti haluan dari semula romantis menuju horor ini, Michael Cuesta (Kill the Messenger, 12 and Holding) memberi penonton sebuah sentakan hebat. Kombinasi antara gerak kamera tangkas, penyuntingan dinamis, serta tata suara tajam memungkinkan kita seolah-olah sedang berada di resor yang mendadak disulap menjadi medan perang oleh kelompok teroris dengan suara tembakan, desingan peluru, serta gelimpangan mayat berlumuran darah menghiasi sekeliling. Apakah Cuesta terinspirasi dari peristiwa penyerangan di Tunisia pada tahun 2015 silam yang menewaskan 37 turis dalam mengonstruksi adegan pembuka yang sangat mengejutkan ini? Bisa jadi memang demikian. Satu yang pasti, adegan pembuka dari film yang didasarkan pada novel rekaan mendiang Vince Flynn ini merupakan peringatan dari si pembuat film untuk para penonton bahwa level kekerasan yang menyertai rentetan gelaran laga di sepanjang durasi American Assassin terbilang tinggi. Dia seolah berkata, “biasakan untuk mendengar suara lesatan peluru yang menembus tubuh manusia secara mendadak maupun pemandangan-pemandangan tak nyaman di mata karena itulah yang akan kamu sering jumpai di American Assassin.”


Kita dipersilahkan sedikit bernafas lega saat film memberi kesempatan untuk melongok sekelumit kehidupan Mitch usai tewasnya sang kekasih. Dia meninggalkan aktivitas normalnya, lalu menggembleng habis fisiknya, dan mempelajari cara menembak beserta berkomunikasi dengan Bahasa Arab. Tujuannya adalah agar dia mampu menyelinap masuk ke dalam markas Adnan dan menghabisinya. Keberhasilan Mitch melacak lokasi pria yang dianggapnya bertanggung jawab atas hancurnya kehidupan miliknya ini mendapat perhatian dari Wakil Direktur CIA, Irene Kennedy (Sanaa Lathan), yang lantas merekrutnya untuk bergabung dengan CIA. Digembleng oleh veteran Perang Dingin, Stan Hurley (Michael Keaton), Mitch dipersiapkan untuk menghentikan misi dari seorang misterius berjulukan Ghost (Taylor Kitsch) yang berencana memulai Perang Dunia III. Semenjak Mitch diterjunkan ke lapangan bersama Stan beserta seorang agen asal Turki, Annika (Shiva Negar), barulah kita menyadari bahwa peringatan dari Cuesta di awal mula bukanlah sebatas gertak sambal. American Assassin memang terhitung brutal kala memvisualisasikan adegan kekerasannya sampai-sampai diri ini sempat dibuat ngilu terutama pada adegan penyiksaan jelang klimaks. 

Apakah ini berarti American Assassin disesaki oleh parade adegan sarat kekerasan yang berdarah-darah? Saya bisa memastikan, semuanya ditampilkan sang sutradara dalam batasan yang masih bisa ditolerir. Lagipula kamu tidak akan terlampau merisaukannya, seperti kamu akan melupakan kenyataan bahwa skrip film ini terlampau tipis pula generik sebagai tontonan political thriller, begitu mendapati American Assassin mempunyai sederet sekuens laga beroktan tinggi dengan skala besar yang sedap buat disimak. Ya, mesti diakui bahwa Cuesta sangat terampil dalam mengkreasi adegan yang akan membuat adrenalinmu senantiasa terpacu. Disamping adegan pembuka, kita masih mendapati beberapa kali kejar-kejaran ditengah keramaian pusat kota yang intensitasnya tak sekalipun mengendur, ada pula salah satu adegan baku hantam paling keren dalam film laga yang berlangsung di atas perahu motor yang melaju kencang, sampai sebuah klimaks menghentak di tengah laut melibatkan beberapa kapal perang yang ditampilkan bak film bencana alam. Keseruan sekuens laganya yang terus datang silih berganti ditambah lagi performa barisan pemainnya yang cukup baik khususnya Dylan O’Brien dan Michael Keaton membuat American Assassin berhasil tersaji sebagai sebuah tontonan eskapisme yang mengasyikkan untuk dipirsa di layar lebar seraya mengunyah berondong jagung meski ada kemungkinan tidak akan mengendap lama di ingatanmu.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Senin, 14 Agustus 2017

REVIEW : BAD GENIUS

REVIEW : BAD GENIUS


“To me ‘cheating’ means someone gets hurt. What we do doesn’t hurt anyone. It’s win-win.” 

Siapa bilang perfilman Thailand hanya jago memproduksi film horor dan percintaan? Rumah produksi terkemuka di Negeri Gajah Putih, GDH 559 (sebelumnya dikenal dengan nama GTH), membuktikan bahwa mereka pun jagoan dalam mengkreasi tontonan mencekam dengan subgenre heist film melalui rilisan teranyar mereka bertajuk Bad Genius. Tak seperti para karakter dari film beraliran sama yang umumnya memiliki riwayat sebagai kriminal dan misi utamanya adalah melakukan perampokan demi mendapatkan setumpuk uang atau emas sebagai bekal dapatkan hidup sejahtera, para karakter dalam film arahan Nattawut Poonpiriya (Countdown) ini hanyalah siswa-siswi setingkat SMA yang masih berusia belasan. Yang mereka incar juga bukan kemilau emas melainkan skor bagus dalam ujian-ujian sekolah yang menentukan. Berbeda pula dengan The Perfect Score (2004) dimana tokoh-tokohnya saling berkonspirasi untuk nyolong kunci jawaban, Bad Genius lebih ke menyoroti sepak terjang sindikat penyedia jasa sontekan kecil-kecilan dalam menyusun trik menyontek agar tak kepergok pengawas ujian selama tes kemampuan akademis berlangsung. Suatu kecurangan semasa sekolah yang sejatinya pernah dilakukan hampir semua siswa, bukan? 

Guliran pengisahan Bad Genius sendiri terinspirasi dari berita mengenai pembatalan nilai tes SAT – tes standardisasi bagi pelajar yang ingin melanjutkan kuliah di universitas-universitas Amerika Serikat – setelah terbongkar adanya praktik menyontek massal dalam ujian di Tiongkok. Lewat Bad Genius, peristiwa tersebut direka ulang dan didramatisir sedemikian rupa menjadi kasus kecurangan dalam tes STIC yang merupakan fiksionalisasi SAT. Empat siswa yang dianggap bertanggungjawab antara lain Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying), Bank (Chanon Santinatornkul), Pat (Teeradon Supapunpinyo), dan Grace (Eisaya Hosuwan). Di permulaan film, kita mendapati mereka dibombardir pertanyaan dalam suatu ruang interogasi usai kedapatan menyontek. Ada yang mengakui, ada pula yang mengelak. Kita pun dibuat bertanya-tanya, bagaimana semuanya ini bisa terjadi? Guna memaparkan kronologi peristiwanya, si pembuat film lantas melempar alur penceritaan ke tiga tahun sebelumnya saat para siswa ini baru memulai tahun ajaran awal di sebuah sekolah swasta terbaik. Penonton diperkenalkan kepada Lynn, siswi berotak brilian dari keluarga berekonomi pas-pasan yang mengalami kesulitan dalam interaksi sosial. 

Satu-satunya teman Lynn di sekolah adalah Grace yang bergabung dengan klub drama dan mewakili stereotip siswi cantik yang tidak pintar. Mengetahui Grace bermasalah dengan nilainya, Lynn berinisiatif untuk membantunya termasuk memberikan sontekan secara sukarela saat ujian. Kebaikan serta kecerdasan Lynn ini lantas dimanfaatkan kekasih Grace yang kaya raya sekaligus oportunis, Pat, yang menjanjikan senilai uang asalkan Lynn bersedia memberi dia dan beberapa kawan baikannya berupa sontekan saat ujian. Mengingat sang ayah (Thaneth Warakulnukroh) mengalami kesulitan secara finansial, Lynn menerima tawaran Pat. Perlahan tapi pasti, bisnis ilegal berkedok ‘les piano’ ini berkembang pesat seiring semakin banyaknya siswa yang bergabung bahkan merambah lebih jauh hingga ke tes STIC. Ancaman akan terbongkarnya praktik terlarang ini muncul dari siswa teladan yang polos dan memiliki jiwa pekerja keras, Bank. Tapi tentu saja Nattawut Poonpiriya tak akan membiarkan ‘les piano’ ini bubar jalan begitu saja hanya karena seorang Bank terlebih misi raksasa belum tercapai. Agar perjalanan menuju klimaks kian terasa greget, dia pun menghadirkan beberapa kelokan-kelokan yang akan membuatmu enggan untuk memalingkan muka barang sedetikpun dari layar bioskop.


Keengganan untuk memalingkan muka pada dasarnya telah terbentuk semenjak film memulai langkahnya. Cuplikan adegan interogasi di sela-sela babak introduksi mengapungkan kepenasaran untuk mengetahui lebih dalam kesulitan semacam apa yang menjerat keempat tokoh utama. Sedikit demi sedikit petunjuk yang mengarahkan pada adegan tersebut ditebar. Proses menuju detik-detik ‘pengungkapan fakta’ berlangsung amat menegangkan dengan intensitas yang tak sekalipun mengendur. Daya sentak untuk penonton secara resmi muncul pertama kali dalam adegan ujian di ruang kelas yang melibatkan Lynn dan Grace. Hanya bermodalkan properti berupa sepatu dan karet penghapus, sang sutradara yang memperoleh sokongan bagus dari penyuntingan lincah Chonlasit Upanikkit dan gerak kamera dinamis Phaklao Jiraungkoonkun berhasil menempatkan penonton dalam fase harap-harap cemas; menggigit-gigit kuku, menggenggam erat kursi bioskop, dan bercucuran keringat. Ya, ruang ujian dalam Bad Genius tak ubahnya bank atau ruang brankas di rumah seorang kaya dalam heist film pada umumnya. Situasinya memang tidak sampai tahapan seekstrim hidup-mati dan sekadar berhasil-gagal, namun tetap tak berdampak pada berkurangnya kadar ketegangan terlebih jika kamu pernah melakukan praktik menyontek atau memberi sontekan semasa sekolah. Mudah sekali untuk merasa terhubung. 

Seiring makin meluasnya bisnis yang dijalankan Lynn dan kawan-kawan, kemampuan Bad Genius dalam mencekam penonton turut berlipat ganda. Pasalnya, pertaruhannya terus ditingkatkan dan tidak lagi melibatkan satu dua karakter saja. “Apa yang akan terjadi selanjutnya?” adalah pertanyaan yang terus menerus berkecamuk di benak dan kandungan zat adiktif di Bad Genius memungkinkan kita untuk ketagihan mencari informasi yang lebih, dan lebih. Disamping pengarahan Nattawut, tata kamera Phaklao, serta editing Chonlasit, kunci keberhasilan lain dari Bad Genius sehingga penonton seolah-olah dilibatkan ke dalam film adalah akting cemerlang jajaran pemainnya khususnya pendatang baru Chutimon sebagai siswi yang dihimpit keadaan, Thaneth sebagai ayah yang sangat menyanyangi putrinya, dan Teeradon sebagai siswa kaya manja yang terkadang menyuplai humor, lalu naskah berisi racikan Nattawut bersama Tanida Hantaweewatana dan Vasudhorn Piyaromna. Tidak selamanya mulus – beberapa tindakan ada kalanya menyebabkan dahi mengerut – tapi masih sangat bisa dimaafkan karena terbayar oleh kesanggupannya menyuarakan kritik terhadap dunia pendidikan yang korup dan kerap kali menekan siswa dengan cara sangat mengasyikkan. Saya tak pernah sedikitpun menyangka lembar jawab pilihan ganda bisa membuat jantung berdegup begitu kencang kala ditampilkan dalam sebuah film layar lebar. Dalam Bad Genius, saya menjumpai itu.

Outstanding (4/5)


Kamis, 06 Juli 2017

Personal Shopper (2016) (4/5) : Review & Penjelasan

Personal Shopper (2016) (4/5) : Review & Penjelasan

So we made this oath... Whoever died first would send the other a sign.
RottenTomatoes: 81% | IMDb: 6,2/10 | Metacritic: 77/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated:
Genre: Mystery & Suspense, Drama, Thriller

Directed by Olivier Assayas ; Produced by Charles Gillibert ; Written by Olivier Assayas ; Starring Kristen Stewart, Lars Eidinger, Sigrid Bouaziz, Anders Danielsen Lie, Ty Olwin, Hammou Graia, Nora von Waldstatten, Benjamin Biolay, Audrey Bonnet, Pascal Rambert ; Cinematography Yorick Le Saux ; Edited by Marion Monnier ; Production company CG Cinéma, Vortex Sutra, Detailfilm, Sirena Film, Arte France, Cinéma Arte, Deutschland/WDR ; Distributed by Les Films du Losange ; Release date 17 May 2016 (Cannes), 14 December 2016 (France) ; Running time 110 minutes ; Country France ; Language English ; Budget $1 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Ketika saudara kembarnya meninggal, Maureen Cartwright (Kristen Stewart) menolak untuk meninggalkan Paris sebelum ia mendapat kontak dari saudara kembarnya yang sudah meninggal tersebut. Masalah bertambah ketika Maureen yang bekerja sebagai seorang personal shopper mulai mendapatkan pesan teks misterius. 

Review / Resensi :
Sebelum dimulai, perlu saya jelaskan reaksi awal saya ketika film Personal Shopper ini berakhir: bengong. Ini adalah tipikal film yang buat saya bingung dan nggak paham. Nggak paham karena nggak jelas. Absurd dan serba ambigu. Begitu film selesai, saya langsung hunting explanation tentang kenapa film ini dianggap bagus oleh sebagian besar kritikus. Untungnya kemudian saya menemukan penjelasan itu di situs Vulture dan blog lokal My Dirt Sheet yang seketika memberikan pencerahan bagi kapasitas otak saya yang terbatas ini. Oh, so this is a good movie!

Walaupun sempat di-boo-in pas screening di Cannes tahun 2016, setelahnya Personal Shopper memperoleh tanggapan positif dari para kritikus. Sang sutradara, Olivier Assayas bahkan akhirnya meraih Best Director di Cannes tahun lalu. Personal Shopper juga dielu-elukan oleh Indiewire berulang kali hingga bikin saya makin penasaran. Ketertarikan saya makin bertambah saat membaca premisnya (yang agak mirip film Indonesia Titik Hitam yang dibintangi Winky Wiryawan), tentang seorang perempuan yang berusaha mencari pertanda kemunculan roh saudara kembarnya yang sudah meninggal. Oh, wow... ini tentu film horror yang sangat menarik.

Tapi saya pun bingung ketika alur film Personal Shopper perlahan menjauhi premis sekilas yang tampaknya seperti film horror itu. Awalnya memang dimulai dengan sentuhan horror khas rumah kosong yang bikin merinding, namun Personal Shopper kemudian mulai bergerak ke ranah psychological thriller ala Hitchcock dengan sentuhan sensual (Kristen Stewart topless 2 kali di film ini). Nuansa thriller ini dimulai dari sebuah pesan teks misterius yang seolah-olah membuntuti sang tokoh utama Maureen kemana-mana yang kemudian berujung klimaks pada terbunuhnya seseorang. Personal Shopper lalu juga bermain ke arah drama ketika kita diajak mengenali sisi psikologis Maureen lebih dalam: krisis identitas, loneliness, dan bagaimana ia mengatasi rasa dukanya kehilangan saudaranya. 

Lho, jadi ini film horror, thriller atau drama?

Film ini adalah ketiganya! Saya jadi teringat film Spring, yang menggabungkan genre body-horror dengan romantis - sebuah perpaduan genre yang aneh dan rawan nggak nyambung. Demikian juga dengan Personal Shopper yang tampaknya menjadikan batas genre tersebut itu abu-abu dan ambigu. Seiring dengan alur cerita filmnya, Oliver Assayas dengan cerdas mampu "mengaburkan" batas dan membaurkan nuansa tone pada tiap masing-masing genre. Ia bagaikan memadukan yang realis dengan yang mistis. 

*spoiler* Ada tiga scene yang menunjukkan bagaimana Assayas berusaha mencampurkan kesan realis dan mistis. Satu, pada adegan klimaksnya: ketika Maureen menemukan bossnya Kyra terbunuh. Ini adalah sebuah thriller, namun kemudian lampu apartemen tempat Kyra terbunuh padam-padam sendiri seperti menampakkan tanda-tanda hantu. Kedua, pada bagian ketika Maureen menemui pengirim pesan misteriusnya di sebuah hotel yang kemudian oleh Assayas di-cut tanpa sebuah penjelasan, namun menampilkan lift dan pintu hotel yang membuka sendiri dan mengesankan ada hantu di dalamnya. Ketiga, ketika kamu berpikir bahwa segala keanehan yang terjadi di hidup Maureen sebenarnya cuma campur tangan orang biasa, kamu akan teringat adegan ala Ghostbuster di bagian awal film dan juga gelas melayang pada bagian akhir film. Jadi film ini beneran film yang ada hantunya. *spoiler ends*

Personal Shopper bukanlah sebuah film dengan kepingan puzzle yang harus disusun lantas sebuah twist pada akhirnya akan membuat susunan puzzle tersebut jadi utuh dan masuk akal Endingnya malah justru puncak ambiguitas itu. Maureen adalah perantara antara dunia material dan non-material, dan ini membuat kita sebagai penonton ikutan rancu dengan segala hal yang terjadi pada kehidupan Maureen. Apakah ini semua hanya khayalan Maureen? Apakah benar sang "hantu" adalah saudara kembar Maureen? Semuanya tidak jelas. Setidak jelas dunia metafisik itu sendiri. Dan semua ini merupakan bagian dari proses duka Maureen karena kehilangan saudara kembarnya. 

Kristen Stewart mendapat pujian dari para kritikus berkat aktingnya di sini. Aktingnya memang oke sih, tapi berhubung saya sudah ilfil sama doi karena perannya sebagai Bella di Twilight, jadi saya ga bisa menilai doi secara subyektif. Haha. (Anyway pilihan karir Kristen Stewart untuk lebih milih peran di film-film indie adalah langkah yang baik). Sejujurnya, perannya juga nggak jauh dari peran-perannya sebelumnya: sebagai gadis grunge yang masam. Saya mungkin akan menilai ia lebih baik lagi jika ia mengambil peran yang jauh lebih optimis dan berbeda dari karakter-karakternya sebelumnya. But, style dia oke banget di sini...


Overview :
Kritikus mungkin akan memuji Personal Shopper karena sisi orisinilnya, namun penonton awam akan melihat Personal Shopper sebagai sebuah film absurd yang membosankan dan membingungkan. Olivier Assayas berhasil menjadikan Personal Shopper sebagai perpaduan antara genre thriller, horror, dan drama yang dicampurkan dalam batas-batas yang ambigu. Kristen Stewart bermain aman dengan peran-peran depresi yang tampaknya memang sesuai dengan karakternya, namun ia mampu memaksimalkannya dan menjadikan Maureen sebagai salah satu akting terbaik dalam perjalanan karirnya.