Tampilkan postingan dengan label Black Panther. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Black Panther. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Maret 2018

BLACK PANTHER (2018) REVIEW : Genre Superhero dan Urgensinya Tentang
Representasi dalam Media

BLACK PANTHER (2018) REVIEW : Genre Superhero dan Urgensinya Tentang Representasi dalam Media


Menjajaki fasenya yang semakin dekat dengan akhir dari fase ketiganya, Marvel menawarkan sebuah representasi lain dari sosok manusia super. Berasal dari manusia super yang kedatangannya hanya muncul sebagai cameo di dalam Captain America : Civil War, Black Pantherpada akhirnya dikagumi oleh banyak orang. Tentu, tak sedikit orang yang menginginkan superhero yang masih dalam kategori baru ini memiliki filmnya sendiri.

Maka, untuk menyanggupi kemauan penonton, Black Panther hadir memiliki filmnya sendiri untuk disaksikan oleh banyak orang di dunia. Menggaet sutradara handal yang pernah mengarahkan film-film kecil seperti Fruitvale Station dan Creed, Ryan Coogler. Tentu, Black Panther tak hanya sekedar film yang hadir sebagai kemauan Marvel mengenalkan produk superhero baru dalam ranah sinematik. Tetapi juga sebagai jawaban atas representasi yang ada di dalam film-film serupa di Hollywood.

Minimnya representasi yang tepat atas kaum people of color, menjadikan Black Panther sebagai sebuah mega hit blockbuster yang rilis di bulan Februari dengan pencapaian yang sangat fantastis. Mendulang sukses dalam segi kuantitas ternyata juga berbanding lurus dengan kualitas yang dihasilkan oleh Ryan Coogler di dalam film Black Panther. Film ini mendapatkan pujian yang sangat luar biasa baik dari kritikus maupun dari pencinta film.


Black Panther main tak hanya dalam memuaskan ranah politik minoritas yang menjadi isu terkuat di luar sana. Sejatinya, sebagai sebuah film manusia super, Black Panther benar-benar memberikan sebuah hal yang baru di dalam filmnya. Tak sekedar menunjukkan Black Panther sebagai sosok superheroyang baru, tetapi juga memberikan pendekatan baru dalam kemasannya. Sehingga, Black Panther tentu adalah sebuah euforia bagi pecinta adaptasi komik manusia super sekaligus sebuah pesta representasi yang tepat.

Tak seperti Thor : Ragnarok, Spider-Man : Homecoming, maupun Guardians of the Galaxy yang hanya mengemas formula usangnya dengan cara mengutak-atik genre-nya, Black Panther bermain jauh daripada itu. Film superhero arahan Ryan Coogler ini memasukkan unsur budaya yang kental sehingga bisa memberikan nuansa yang sangat berbeda di film-film superheroyang ada, bahkan untuk jajaran film Marvel sendiri. Meskipun, sebenarnya Black Panther tetap bermain di ranah-ranah cerita yang sudah pernah dipakai dalam film-film bertema medieval.


Wakanda, sebuah negara yang didiami ini telah memiliki rajanya hingga suatu ketika sang raja meninggal. T’Challa (Chadwick Boseman) sebagai anak lelaki dari sang raja tentu secara tak langsung mewarisi tahta tertinggi di Wakanda. Tetapi, keberadaan T’Challa pada awalnya sangat diragukan untuk menjadi raja. Beberapa pihak masih belum terima bahwa T’Challa mampu untuk memimpin Wakanda yang terdiri dari berbagai suku dan budaya yang berbeda.

Kepantasannya sebagai seorang raja diuji dengan adanya Vibranium yang sedang diincar oleh banyak pihak yang ingin menyalahgunakan kegunaannya. T’Challa pun pergi memburu orang tersebut dibantu oleh Okoye (Danai Gurira) dan Nakia (Lupita Nyong’o). Tetapi, orang-orang yang sedang memburu Vibranium tersebut memiliki satu benang merah ke satu orang bernama Erik Killmonger (Michael B. Jordan) yang ternyata adalah seseorang dari masa lalu negara Wakanda ini.


Perebutan tahta dan kekuasaan yang terjadi kepada T’Challa mungkin sudah pernah dialami oleh beberapa karakter di dalam film-film dengan genre yang berbeda. Bahkan yang paling dekat adalah plot utama dari Thor yang membahas tentang mitos-mitos kerajaan yang mungkin sama. Perbedaannya adalah bagaimana Ryan Coogler memberikan identitas bagi filmnya sehingga memiliki sentuhan yang berbeda dengan film-film superhero yang ada.

Adanya nilai-nilai etnis yang sangat beragam dan begitu kental masuk ke dalam film Black Panther. Membaur menjadi satu dengan plot utamanya sehingga menghasilkan perpaduan menarik yang membuat Black Panther memiliki cita rasa yang lebih signifikan berbeda dengan yang lain. Representasi yang tepat akan kekuatan people of color yang juga bisa memiliki kehidupan yang layak dengan orang-orang yang ada di sekitarnya ini terangkum dengan kemasan yang sangat menyenangkan.

Tak ada pretensi dalam Black Panther untuk menjadi sebuah film yang penuh akan muatan pesan dan perwakilan yang berat. Ryan Coogler masih tahu porsinya dan ingat bahwa Black Panther bukanlah drama satir dengan muatan pesan yang kuat seperti film-film yang pernah dia tangani sebelumnya. Dengan berbagai kekentalan budaya dan representasi yang tepat tersebut, Black Panther masih menjalankan misinya sebagai film manusia super yang layak untuk dikonsumsi semua pihak. Tetapi, masih memiliki signature khas dari Ryan Coogler yang berusaha memberikan urgensi representasi dalam media tentang people of color


Mungkin perjalanan cerita di paruh awal tak semulus yang dibayangkan banyak orang. Begitu pula dengan sekuens aksinya yang mungkin masih patah sehingga ada beberapa yang tensinya tak terjaga. Ryan Coogler menempatkan tensinya ke dalam kekuatan emosional bercerita tentang rumitnya perebutan tahta yang ada di Wakanda. Ini mungkin secara tak sadar membuat konfliknya terulur tetapi sesuai dengan kerumitan yang memang ditawarkan ke dalam konfliknya.

134 menit di dalam film Black Panther pun secara efektif terjalin dengan baik mulai dari performa deretan pemainnya hingga permainan gambar serta musik yang sangat dikelola dengan baik. Injeksi komedinya memang tak sebanyak Thor : Ragnarok, tetapi memiliki keefektifan yang maksimal untuk menghibur penontonnya. Tak juga lupa nilai dan desain produksi di dalam Black Panther yang diperhatikan dengan sangat detil. Sehingga, setiap karakternya memang sejatinya memiliki identitasnya masing-masing. Penonton akan dengan mudah membedakan setiap karakternya.


Black Panther memang hadir untuk menjadi sebuah pesan bagi khalayak tentang pentingnya sebuah representasi dalam media terlebih terhadap kaum people of color. Lewat film Black Panther, pesan ini seharusnya bisa secara efektif menimbulkan perilaku signifikan dari penonton dengan realita yang ada. Misinya memang sangat berat tetapi nyatanya sebuah pesan tentang representasi ini bisa dikemas semenarik mungkin untuk bisa diterima dan bahkan menghibur penontonnya. Sebuah perpaduan yang menarik. 

Minggu, 25 Februari 2018

REVIEW : BLACK PANTHER

REVIEW : BLACK PANTHER


“You cannot let your father’s actions define your life. You get to decide what kind of king you want to be.” 

Apabila ditengok sekilas lalu, film-film rilisan Marvel Studio memang memiliki corak seragam. Tergolong cerah ceria dengan setumpuk asupan humor dan laga yang membuatnya tampak ‘sepele’. Akan tetapi jika kita berkenan memperhatikannya lebih mendalam, film-film ini sejatinya mempunyai pendekatan berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam satu tahun terakhir saja kita telah menyaksikan bagaimana Doctor Strange (2016) menghadirkan visual bergaya psikedelik dengan konten terkait perjalanan spiritual, lalu Guardians of the Galaxy Vol. 2 (2017) yang menyisipkan banyak hati ke dalam penceritaan sehingga memunculkan momen luar biasa emosional (tanpa diduga!), dan Thor Ragnarok (2017) mengajak penonton untuk tidak terlalu serius dalam memandang tontonan eskapisme yang memang bertujuan untuk menghibur. Adanya pendekatan berbeda-beda yang membuat masing-masing judul memiliki ciri khasnya sendiri inilah yang memberi ketertarikan tersendiri terhadap superhero movies kreasi Marvel Studio. Pemantiknya berasal dari satu pertanyaan sederhana, “apa kejutan berikutnya yang akan dipersiapkan oleh mereka?” Maka begitu Black Panther yang keterlibatannya dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) pertama kali diperkenalkan melalui Captain America: Civil War (2016) diumumkan sebagai terbaru keluaran studio ini, kepenasaran dalam diri seketika membumbung. Terlebih lagi, sang sutradara, Ryan Coogler (Fruitvale Station, Creed), dan barisan pemainnya memiliki jejak rekam impresif dalam karir perfilman. 

Black Panther membuka jalinan pengisahannya dengan sekelumit narasi untuk membekali penonton dengan latar belakang Wakanda – sebuah negara fiktif di benua Afrika yang menjadi latar utama film – dan sosok Black Panther. Konon, berkat penemuan benda asing bernama Vibranium yang lantas dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk mengembangkan teknologi, negara cilik ini mampu tumbuh makmur. Demi mempertahankan kedigdayaan negara sekaligus menghindarkan Vibranium dari disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab, Wakanda memutuskan untuk mengisolasi diri sampai-sampai citra mereka di mata dunia tak lebih dari sebatas negara dunia ketiga. Usai penjabaran singkat ini yang kemudian dilanjut sebuah prolog bertemakan drama pengkhianatan berlatar tahun 1992, Black Panther secara resmi memulai penceritaannya dengan mempertemukan kita pada T’Challa (Chadwick Boseman) di masa kini. T’Challa diangkat menjadi raja baru di Wakanda sekaligus pemilik identitas baru Black Panther pasca tewasnya sang ayah dalam peristiwa pengeboman yang berlangsung di Captain America: Civil War. Pada hari-hari pertama pemerintahannya, T’Challa seketika dihadapkan pada situasi genting terkait pencurian Vibranium yang membawanya terbang ke Korea Selatan berbekal bantuan dari tiga perempuan hebat; mantan kekasihnya Nakia (Lupita Nyong’o), pengawalnya Okoye (Danai Gurira), dan adiknya Shuri (Letitia Wright). Dalam perburuannya ini, T’Challa tidak saja dihadapkan pada Killmonger (Michael B. Jordan) yang memiliki misi terselubung terhadap Wakanda tetapi juga kegamangan hati yang membuatnya mempertanyakan tentang jati dirinya sebagai seorang raja.


Tidak ada keraguan sama sekali dalam diri ini bahwa Black Panther akan mampu menjadi sebuah tontonan yang menghibur – berpatokan pada pengalaman menyaksikan film-film pahlawan berkekuatan super keluaran Marvel Studio sejauh ini. Dan memang untuk urusan membuat hati merasa bungah, tidak pula menyesali telah meluangkan waktu serta menyisihkan uang, Black Panther berhasil melakukannya. Secara mendasar, Black Panther telah memenuhi semua kriteria yang bisa kamu harapkan dari sebuah film mengenai pahlawan super yang ajib. Rentetan laga mendebarkan? Check. Guyonan-guyonan menyegarkan? Check. Sosok penjahat yang bikin gregetan (sekaligus bersimpati)? Check. Tampilan visual yang membuat mata terbelalak? Check. Guliran penceritaan sarat intrik mengikat? Check. Dan paling penting, pahlawan yang mengajak penonton untuk bersorak sorai kepadanya? Check. Ya, Ryan Coogler telah memberikan tanda centang untuk seluruh bahan utama yang diperlukan demi menghindari munculnya raut muka penuh kekecewaan dari penonton. Tidak sebatas menggugurkan kewajiban, tentu saja, Coogler juga terampil meramunya sehingga setiap komponen ini terasa padu dan nikmat buat dikudap kala disorotkan ke layar lebar. Gelaran laganya sekalipun tidak semelimpah (dan semegah) yang diperkirakan, muncul sesuai kebutuhan. Keberadaannya sanggup membuat penonton merasa terlibat yang ditandai dengan aktifitas meremas-remas kursi bioskop maupun keinginan untuk bersorak sorai. Entah dengan kalian, tapi bagi saya, pertarungan T’Challa dengan para pengincar tahta di air terjun merupakan salah satu adegan laga terbaik di Black Panther

Seperti halnya elemen tarung-tarungan yang sedikit direduksi, elemen haha-hihi dalam Black Panther juga tidak sepekat beberapa film terakhir rilisan Marvel Studio. Masih bisa dijumpai di berbagai titik, utamanya setiap kali melibatkan Shuri yang sedikit nyentrik tidak seperti anggota kerajaan lain yang cenderung formal, tapi kentara sekali si pembuat film tidak ingin mengedepankannya sebagai jualan utama dan hanya mempergunakannya tatkala dirasa urat syaraf penonton mulai mengencang. Dampak positifnya, humor yang dipergunakan dalam Black Panther terasa lebih efektif sekaligus memberi efek kejut (boom!). Dalam artian, kita tidak pernah benar-benar tahu kapan bakal dilontarkan. Ditunjang dengan penempatan waktu yang tepat, ledakannya dapat lebih maksimal dan ini terjadi beberapa kali dalam Black Panther sehingga riuh tawa terdengar menggema di dalam bioskop. Mengasyikkan, bukan? Sebagai tontonan eskapisme, Black Panther memang tidak mengecewakan. Tapi yang membuatnya terasa lebih istimewa adalah Coogler tidak semata-mata mengkreasinya menjadi sebuah sajian pelepas penat yang ringan-ringan saja. Dia menjumput sejumlah topik pembicaraan tergolong serius berkenaan dengan representasi kelompok minoritas, black power, kesetaraan jender, isolasionisme, hingga opresi lalu membubuhkannya ke dalam penceritaan secara cermat – bukan sebatas di permukaan saja. Poin lebihnya, keberadaan topik ini membuat Black Panther memiliki greget tersendiri dalam penceritaannya yang sejatinya telah dipenuhi intrik ala drama Shakespeare dan mengundang bahan diskusi panjang-panjang bersama kawan (atau dalam ruang seminar). 


Disamping barisan laga cadas, asupan humor segar, beserta guliran pengisah mengikat, sumber energi lain yang mampu membantu Black Panther berdiri kokoh adalah elemen teknisnya. Tengok saja efek visualnya yang merealisasikan Wakanda yang futuristis, kostumnya dengan detil yang kaya (ada yang mirip baju koko yes!), sinematografinya yang tak saja menyuplai gambar indah tetapi juga bergerak lincah, penyuntingannya yang dinamis, sampai iringan musiknya yang meniupkan identitas ke film baik melalui skoring dengan sentuhan etnik maupun pilihan tembang bernuansa R&B/Hip-hop. Ini masih belum ditambah kekuatan terbesar dari Black Panther yakni performa ansambel pemainnya yang mampu menghadirkan atraksi akting mengagumkan. Chadwick Boseman menunjukkan wibawa (dengan sesekali guratan keraguan) sebagai seorang raja terpilih merangkap pahlawan, Michael B. Jordan memberikan kompleksitas terhadap sosok Killmonger yang menjadikannya tidak sebatas penjahat gila yang sepatutnya kita benci, Lupita Nyong’o bersama Danai Gurira adalah dua perempuan tangguh yang akan diidolakan para gadis cilik, Letitia Wright menghadirkan tawa dalam setiap kemunculannya, Angela Bassett memberi keteduhan seorang ibu, dan Forest Whitaker memperlihatkan ambiguitas yang membuat kita menyadari bahwa karakter-karakter kunci di Black Panther berada dalam area abu-abu – tidak sepenuhnya putih, tidak pula sepenuhnya hitam. Memiliki kombinasi maut dari berbagai departemen seperti ini, tak mengherankan jika kemudian Black Panther mampu tersaji sebagai sebuah produk unggul dan menjadi kontender kuat sebagai film terbaik di tahun 2018.

Note : Black Panther memiliki dua adegan tambahan saat credit scene bergulir yang memberikan kita petunjuk mengenai The Avengers: Infinity War.

Outstanding (4/5)