Tampilkan postingan dengan label Marvel Universe. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Marvel Universe. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Februari 2018

REVIEW : BLACK PANTHER

REVIEW : BLACK PANTHER


“You cannot let your father’s actions define your life. You get to decide what kind of king you want to be.” 

Apabila ditengok sekilas lalu, film-film rilisan Marvel Studio memang memiliki corak seragam. Tergolong cerah ceria dengan setumpuk asupan humor dan laga yang membuatnya tampak ‘sepele’. Akan tetapi jika kita berkenan memperhatikannya lebih mendalam, film-film ini sejatinya mempunyai pendekatan berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam satu tahun terakhir saja kita telah menyaksikan bagaimana Doctor Strange (2016) menghadirkan visual bergaya psikedelik dengan konten terkait perjalanan spiritual, lalu Guardians of the Galaxy Vol. 2 (2017) yang menyisipkan banyak hati ke dalam penceritaan sehingga memunculkan momen luar biasa emosional (tanpa diduga!), dan Thor Ragnarok (2017) mengajak penonton untuk tidak terlalu serius dalam memandang tontonan eskapisme yang memang bertujuan untuk menghibur. Adanya pendekatan berbeda-beda yang membuat masing-masing judul memiliki ciri khasnya sendiri inilah yang memberi ketertarikan tersendiri terhadap superhero movies kreasi Marvel Studio. Pemantiknya berasal dari satu pertanyaan sederhana, “apa kejutan berikutnya yang akan dipersiapkan oleh mereka?” Maka begitu Black Panther yang keterlibatannya dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) pertama kali diperkenalkan melalui Captain America: Civil War (2016) diumumkan sebagai terbaru keluaran studio ini, kepenasaran dalam diri seketika membumbung. Terlebih lagi, sang sutradara, Ryan Coogler (Fruitvale Station, Creed), dan barisan pemainnya memiliki jejak rekam impresif dalam karir perfilman. 

Black Panther membuka jalinan pengisahannya dengan sekelumit narasi untuk membekali penonton dengan latar belakang Wakanda – sebuah negara fiktif di benua Afrika yang menjadi latar utama film – dan sosok Black Panther. Konon, berkat penemuan benda asing bernama Vibranium yang lantas dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk mengembangkan teknologi, negara cilik ini mampu tumbuh makmur. Demi mempertahankan kedigdayaan negara sekaligus menghindarkan Vibranium dari disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab, Wakanda memutuskan untuk mengisolasi diri sampai-sampai citra mereka di mata dunia tak lebih dari sebatas negara dunia ketiga. Usai penjabaran singkat ini yang kemudian dilanjut sebuah prolog bertemakan drama pengkhianatan berlatar tahun 1992, Black Panther secara resmi memulai penceritaannya dengan mempertemukan kita pada T’Challa (Chadwick Boseman) di masa kini. T’Challa diangkat menjadi raja baru di Wakanda sekaligus pemilik identitas baru Black Panther pasca tewasnya sang ayah dalam peristiwa pengeboman yang berlangsung di Captain America: Civil War. Pada hari-hari pertama pemerintahannya, T’Challa seketika dihadapkan pada situasi genting terkait pencurian Vibranium yang membawanya terbang ke Korea Selatan berbekal bantuan dari tiga perempuan hebat; mantan kekasihnya Nakia (Lupita Nyong’o), pengawalnya Okoye (Danai Gurira), dan adiknya Shuri (Letitia Wright). Dalam perburuannya ini, T’Challa tidak saja dihadapkan pada Killmonger (Michael B. Jordan) yang memiliki misi terselubung terhadap Wakanda tetapi juga kegamangan hati yang membuatnya mempertanyakan tentang jati dirinya sebagai seorang raja.


Tidak ada keraguan sama sekali dalam diri ini bahwa Black Panther akan mampu menjadi sebuah tontonan yang menghibur – berpatokan pada pengalaman menyaksikan film-film pahlawan berkekuatan super keluaran Marvel Studio sejauh ini. Dan memang untuk urusan membuat hati merasa bungah, tidak pula menyesali telah meluangkan waktu serta menyisihkan uang, Black Panther berhasil melakukannya. Secara mendasar, Black Panther telah memenuhi semua kriteria yang bisa kamu harapkan dari sebuah film mengenai pahlawan super yang ajib. Rentetan laga mendebarkan? Check. Guyonan-guyonan menyegarkan? Check. Sosok penjahat yang bikin gregetan (sekaligus bersimpati)? Check. Tampilan visual yang membuat mata terbelalak? Check. Guliran penceritaan sarat intrik mengikat? Check. Dan paling penting, pahlawan yang mengajak penonton untuk bersorak sorai kepadanya? Check. Ya, Ryan Coogler telah memberikan tanda centang untuk seluruh bahan utama yang diperlukan demi menghindari munculnya raut muka penuh kekecewaan dari penonton. Tidak sebatas menggugurkan kewajiban, tentu saja, Coogler juga terampil meramunya sehingga setiap komponen ini terasa padu dan nikmat buat dikudap kala disorotkan ke layar lebar. Gelaran laganya sekalipun tidak semelimpah (dan semegah) yang diperkirakan, muncul sesuai kebutuhan. Keberadaannya sanggup membuat penonton merasa terlibat yang ditandai dengan aktifitas meremas-remas kursi bioskop maupun keinginan untuk bersorak sorai. Entah dengan kalian, tapi bagi saya, pertarungan T’Challa dengan para pengincar tahta di air terjun merupakan salah satu adegan laga terbaik di Black Panther

Seperti halnya elemen tarung-tarungan yang sedikit direduksi, elemen haha-hihi dalam Black Panther juga tidak sepekat beberapa film terakhir rilisan Marvel Studio. Masih bisa dijumpai di berbagai titik, utamanya setiap kali melibatkan Shuri yang sedikit nyentrik tidak seperti anggota kerajaan lain yang cenderung formal, tapi kentara sekali si pembuat film tidak ingin mengedepankannya sebagai jualan utama dan hanya mempergunakannya tatkala dirasa urat syaraf penonton mulai mengencang. Dampak positifnya, humor yang dipergunakan dalam Black Panther terasa lebih efektif sekaligus memberi efek kejut (boom!). Dalam artian, kita tidak pernah benar-benar tahu kapan bakal dilontarkan. Ditunjang dengan penempatan waktu yang tepat, ledakannya dapat lebih maksimal dan ini terjadi beberapa kali dalam Black Panther sehingga riuh tawa terdengar menggema di dalam bioskop. Mengasyikkan, bukan? Sebagai tontonan eskapisme, Black Panther memang tidak mengecewakan. Tapi yang membuatnya terasa lebih istimewa adalah Coogler tidak semata-mata mengkreasinya menjadi sebuah sajian pelepas penat yang ringan-ringan saja. Dia menjumput sejumlah topik pembicaraan tergolong serius berkenaan dengan representasi kelompok minoritas, black power, kesetaraan jender, isolasionisme, hingga opresi lalu membubuhkannya ke dalam penceritaan secara cermat – bukan sebatas di permukaan saja. Poin lebihnya, keberadaan topik ini membuat Black Panther memiliki greget tersendiri dalam penceritaannya yang sejatinya telah dipenuhi intrik ala drama Shakespeare dan mengundang bahan diskusi panjang-panjang bersama kawan (atau dalam ruang seminar). 


Disamping barisan laga cadas, asupan humor segar, beserta guliran pengisah mengikat, sumber energi lain yang mampu membantu Black Panther berdiri kokoh adalah elemen teknisnya. Tengok saja efek visualnya yang merealisasikan Wakanda yang futuristis, kostumnya dengan detil yang kaya (ada yang mirip baju koko yes!), sinematografinya yang tak saja menyuplai gambar indah tetapi juga bergerak lincah, penyuntingannya yang dinamis, sampai iringan musiknya yang meniupkan identitas ke film baik melalui skoring dengan sentuhan etnik maupun pilihan tembang bernuansa R&B/Hip-hop. Ini masih belum ditambah kekuatan terbesar dari Black Panther yakni performa ansambel pemainnya yang mampu menghadirkan atraksi akting mengagumkan. Chadwick Boseman menunjukkan wibawa (dengan sesekali guratan keraguan) sebagai seorang raja terpilih merangkap pahlawan, Michael B. Jordan memberikan kompleksitas terhadap sosok Killmonger yang menjadikannya tidak sebatas penjahat gila yang sepatutnya kita benci, Lupita Nyong’o bersama Danai Gurira adalah dua perempuan tangguh yang akan diidolakan para gadis cilik, Letitia Wright menghadirkan tawa dalam setiap kemunculannya, Angela Bassett memberi keteduhan seorang ibu, dan Forest Whitaker memperlihatkan ambiguitas yang membuat kita menyadari bahwa karakter-karakter kunci di Black Panther berada dalam area abu-abu – tidak sepenuhnya putih, tidak pula sepenuhnya hitam. Memiliki kombinasi maut dari berbagai departemen seperti ini, tak mengherankan jika kemudian Black Panther mampu tersaji sebagai sebuah produk unggul dan menjadi kontender kuat sebagai film terbaik di tahun 2018.

Note : Black Panther memiliki dua adegan tambahan saat credit scene bergulir yang memberikan kita petunjuk mengenai The Avengers: Infinity War.

Outstanding (4/5)


Kamis, 06 Juli 2017

REVIEW : SPIDER-MAN: HOMECOMING

REVIEW : SPIDER-MAN: HOMECOMING


"I'm nothing without the suit!"
"If you're nothing without the suit, then you shouldn't have it."

Reboot lagi, reboot lagi. Mungkin begitulah tanggapan sebagian pihak tatkala mengetahui film terbaru si manusia laba-laba, Spider-Man: Homecoming, memulai guliran pengisahannya dari awal mula (lagi!) alih-alih melanjutkan apa yang tertinggal di dwilogi The Amazing Spider-Man yang juga merupakan sebuah reboot dari trilogi Spider-Man asuhan Sam Raimi. Bisa jadi tidak banyak yang tahu – kecuali kamu rajin mengikuti perkembangan berita film terkini – bahwa keputusan untuk ‘back to the start’ ini dilandasi alasan agar Spider-Man dapat melebur secara mulus (dan resmi) ke dalam linimasa Marvel Cinematic Universe (MCU). Sebelum hak pembuatan film merapat lagi ke Marvel Studios yang diumumkan pada tahun 2015 silam, segala bentuk film yang berkenaan dengan alter ego Peter Parker ini memang berada sepenuhnya di tangan Sony Pictures. Itulah mengapa kita baru benar-benar bisa melihat Spidey bergabung bersama para personil Avengers untuk pertama kalinya dalam Captain America: Civil War (2016) selepas kesepakatan kerjasama antara Sony Pictures dengan Marvel Studios sukses tercapai. Menyusul perkenalan singkat nan berkesan yang menyatakan bahwa si manusia laba-laba telah ‘pulang ke rumah’ di film sang kapten tersebut, Spidey akhirnya memperoleh kesempatan unjuk gigi lebih besar dalam film solo perdananya sebagai bagian dari MCU yang diberi tajuk Spider-Man: Homecoming

Dalam Spider-Man: Homecoming, Peter Parker (Tom Holland) dideskripsikan sebagai seorang remaja SMA berusia 15 tahun yang memiliki otak encer, penuh semangat, sekaligus masih labil. Pasca diajak berpartisipasi oleh Tony Stark (Robert Downey Jr) dalam pertempuran antar personil Avengers akibat perbedaan prinsip seperti diperlihatkan di Civil War, Peter berharap banyak dirinya dalam wujud Spider-Man akan dipercaya seutuhnya untuk menjadi bagian dari kelompok Avengers. Berbulan-bulan menanti panggilan dari Tony yang tidak kunjung datang, Peter pun memilih beraksi kecil-kecilan seorang diri di lingkungan sekitar tempat tinggalnya dengan harapan suatu saat akan menghadapi pelaku kriminal sesungguhnya. Tidak berselang lama, gayung bersambut. Peter berhasil menggagalkan aksi pembobolan ATM dari sejumlah perampok yang menggunakan senjata berkekuatan luar biasa dan berlanjut pada memergoki penjualan senjata ilegal dari pihak sama yang ternyata dikomando oleh mantan kontraktor yang menyimpan dendam kesumat pada Tony, Adrian Toomes (Michael Keaton). Dengan bantuan sang sahabat yang mengetahui jati diri Peter yang lain, Ned (Jacob Batalon), dan perlengkapan canggih hasil kreasi Tony, Peter/Spider-Man berupaya membuktikan kepada sang mentor bahwa dirinya telah memenuhi kualifikasi untuk bergabung ke dalam Avengers dengan cara menghentikan rencana besar Adrian untuk mencuri senjata berteknologi tinggi dari pemerintah.


Hanya butuh tiga huruf untuk mendeskripsikan seperti apa Spider-Man: Homecoming, yakni F-U-N. Ya, sajian rekaan Jon Watts (Clown, Cop Car) ini sanggup memberikan sebuah pengalaman sinematik yang bukan saja mengasyikkan tetapi juga memuaskan sehingga mudah untuk menempatkannya di jajaran terdepan dari film terbaik Spider-Man – menurut saya, hanya kalah dari Spider-Man 2. Guyonan yang dilontarkannya berulang kali menciptakan derai-derai tawa, sementara rentetan sekuens laga yang dikedepankannya pun amat seru. Terhitung sedari adegan Spidey melawan gerombolan Adrian Toomes di dalam bilik ATM yang menghadirkan semangat pula canda tawa, setahap demi setahap Watts mulai meningkatkan level kegentingan yang dihadapi pahlawan kita bersama ini yang membuat perjalanan selama 132 menit berlangsung tanpa terdengar helaan nafas panjang tanda munculnya kejenuhan. Tercatat setidaknya ada tiga momen laga mendebarkan yang mencuri atensi saya secara penuh di Spider-Man: Homecoming. Pertama, ketika si manusia laba-laba mencoba untuk menyelamatkan rekan-rekan sekolahnya yang terjebak di dalam lift yang hendak terperosok. Kedua, penghormatan terhadap adegan kereta listrik dari Spider-Man 2 tatkala Spidey melawan Vulture – jelmaan Adrian – di kapal feri yang berujung pada terbelahnya kapal tersebut. Dan ketiga, konfrontasi akhir yang panas dan dipicu oleh ‘interogasi’ tak disangka-sangka. 

Segala bentuk gegap gempita penuh kesenangan tersebut bisa kamu jumpai dengan mudah sejak babak pembuka hingga penutup dalam Spider-Man: Homecoming yang penceritaannya dilantunkan menggunakan pendekatan film remaja 80-an bertemakan coming of age seperti milik mendiang John Hughes (The Breakfast Club, Ferris Bueller’s Day Off) ini. Satu hal yang saya sukai sekaligus kagumi dari film solo untuk para superhero yang tergabung dalam MCU adalah adanya sempalan genre lain dibalik tampilan luar yang sepintas lalu tampak seragam sebagai superhero movie yang semata berhura-hura. Lihat bagaimana mereka membentuk Captain America: Winter Soldier selaiknya tontonan spionase, lalu Guardians of the Galaxy menyerupai space opera dengan bumbu komedi nyentrik, dan Ant-Man yang kentara terasa dipengaruhi oleh heist movie. Dalam Spider-Man: Homecoming, keputusan untuk membawanya ke arah film remaja pencarian jati diri terbilang masuk akal karena pendekatan ini efektif dalam mengenalkan pula mendekatkan penonton kepada sosok Peter/Spidey melalui serangkaian konflik internal khas remaja kebanyakan (contoh memendam asmara pada gadis tercantik di sekolah, teralienasi dari pergaulan dan haus akan pengakuan) yang dihadapi Spidey sebagai anggota paling muda di Avengers. Kita bisa mendeteksi semangatnya yang kelewat meletup-letup, idealismenya yang acapkali kebablasan, kepolosan generasi muda yang belum tersentuh pahitnya dunia, sampai ketidakstabilan emosinya sehingga membuat keberadaan Tony Stark di sisinya pun sangat bisa dipahami. Lagipula, bukankah menyegarkan melihat sepak terjang superhero remaja yang masih labil setelah selama ini kita lebih sering menyaksikan aksi para superhero dewasa yang memahami benar apa motivasi mereka dalam bertempur? 

Tom Holland mampu menerjemahkan itu semua secara prima, termasuk ketengilan Spidey kala beraksi dan kekikukkan Peter dalam berinteraksi sosial. Meyakinkan. Apiknya performa Holland turut mendapat sokongan pula dari lini pendukung yang menghadirkan lakonan tak kalah apik; Michael Keaton adalah seorang villain yang mengintimidasi baik saat mengenakan kostum maupun tidak (tengok adegan di mobil!) serta manusiawi di saat bersamaan menilik motivasinya yang bukan semata-mata ingin menguasai dunia, Jacob Batalon adalah seorang sahabat kocak yang ingin kita miliki, Zendaya sebagai teman sekolah Peter adalah seorang perempuan dengan aura misterius yang ingin kita kenal, dan Marisa Tomei sebagai Bibi May adalah seorang bibi keren yang kita kagumi. Disamping mereka masih ada juga sumbangsih peran dari Jon Favreau, Robert Downey Jr., Tony Revolori, serta Chris Evans (dalam peran singkat yang bikin gemes!) yang membuat film kian memiliki cita rasa meriah. Meriah? Ya, memang demikian adanya Spider-Man: Homecoming seperti halnya kebanyakan film yang tergabung dalam MCU. Namun lebih dari itu, nada penceritaan sarat hingar bingar yang dipilih oleh Jon Watts sendiri merupakan sebentuk representasi untuk Peter/Spider beserta masa mudanya yang penuh gejolak. Masa mudanya yang mengasyikkan, seru, dan penuh warna lantaran mempunyai banyak kesempatan mengeksplor kekuatan baru tak terbayangkan sebelumnya. 

Note : Pastikan kamu bertahan hingga layar bioskop telah berubah sepenuhnya gelap. Ada dua adegan tambahan tatkala credit title bergulir yang berada di pertengahan dan penghujung.

Outstanding (4/5)


Jumat, 28 April 2017

REVIEW : GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 2

REVIEW : GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 2


“Sometimes, the thing you've been looking for your whole life, is right there beside you all along.” 

Mengkreasi sebuah sekuel bagi salah satu film superhero rilisan Marvel Studios, Guardians of the Galaxy (2014), yang merupakan bagian dari Marvel Cinematic Universe bukanlah perkara mudah. Pasalnya, judul satu ini telah menetapkan standar terhitung tinggi untuk film-film adaptasi komik. Guardians of the Galaxy hadirkan rentetan laga luar biasa seru ala Star Wars dengan suntikkan melimpah humor-humor kocak dan barisan soundtrack dari era 60-70’an yang melebur mulus ke setiap adegan dalam film. Seolah belum cukup, pemain ansambelnya pun tunjukkan lakonan dengan chemistry membius. Sebuah film superhero dengan kesenangan tiada tara! Menariknya, semua ini muncul tiga tahun silam tanpa pernah diperkirakan sebelumnya. Betapa tidak, diantara rekan-rekan sesama pahlawan penyelamat alam semesta binaan Marvel yang telah dibuatkan filmnya, pamor Guardians of the Galaxy terhitung paling rendah di mata penonton awam dan sang sutradara, James Gunn (Super), bukan pula nama besar. Tidak mengherankan penonton datang memenuhi bioskop tanpa dipenuhi ragam ekspektasi dan hasil akhirnya justru amat mengejutkan. Bisa dibilang, kejutan merupakan salah satu poin penting yang menghantarkan film menuju gerbang kesuksesan. Mengingat sebagian khalayak saat ini telah mengetahui formula yang diterapkan, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, akankah Guardians of the Galaxy Vol. 2 mempunyai kekuatan yang sama untuk memikat seperti jilid pertamanya? 

Usai menyelamatkan alam semesta di film pendahulu, ketenaran para Guardian yang terdiri atas Peter Quill (Chris Pratt), Gamora (Zoe Saldana), Drax (Dave Bautista), Rocket (Bradley Cooper), dan Baby Groot yang sungguh menggemaskan (Vin Diesel) seketika mengangkasa. Mereka lantas dipercaya oleh kaum Sovereign untuk merebut kembali sejumlah baterai bernilai tinggi dari sesosok monster lintas dimensi. Kerjasama tim membuahkan hasil memuaskan: monster berhasil ditumbangkan, baterai dikembalikan kepada sang pemimpin Sovereign, Ayesha, (Elizabeth Debicki), dan sebagai gantinya, Nebula (Karen Gillan) yang semula berstatus tahanan lantaran kepergok mencuri baterai diserahkan pada para Guardian. Sayangnya hubungan baik diantara dua pihak harus terlukai tatkala terungkap fakta bahwa Rocket mencuri beberapa baterai milik Sovereign. Alhasil, pengejaran atas Guardian pun dimulai. Dalam perang bintang yang berlangsung meriah, tiba-tiba sebentuk kapal misterius muncul dan membombardir pasukan Sovereign demi menyelamatkan Guardian. Sang nahkoda kapal, memperkenalkan dirinya sebagai Ego (Kurt Russell) yang tak lain adalah ayah kandung dari Peter yang selama ini tidak diketahui keberadaannya. Ditemani dengan tangan kanannya, Mantis (Pom Klementieff), Ego mengajak Peter beserta beberapa anggota Guardian untuk mengunjungi kampung halamannya demi memperbaiki kesalahan di masa lalu. Peter yang telah mendamba sosok ayah sejak lama, menyambut baik tawaran Ego sementara Gamora mencium ada sesuatu yang salah setibanya mereka di planet Ego.

Formula yang diterapkan oleh Guardians of the Galaxy Vol. 2 sebetulnya tidaklah berbeda jauh dengan instalmen pembukanya – kalau tak mau dibilang serupa. Beberapa menit selepas film memulai penceritaannya, ingatan seketika dilayangkan ke seri pertama. Beragam similaritas bisa dijumpai dengan mudah. Bukan sesuatu yang salah, tentu saja, terlebih James Gunn memperoleh cara agar kesenangannya tetap berada di level maksimal. Apabila ada kekurangannya, maka itu terhempasnya unsur kejutan karena kita telah cukup familiar dengan atraksi-atraksi yang ditebar sepanjang durasi mengalir. Pertanyaan di paragraf pertama pun terjawab: Guardians of the Galaxy Vol. 2 tidak mempunyai kekuatan yang sama untuk memikat penonton seperti halnya ‘sang kakak’. Jawab ini, mengundang tanya lain, apakah itu berarti film kelanjutan ini buruk atau berkurang jauh kadar kenikmatannya? Untungnya, sama sekali tidak. Walau sebagian diantaranya sebentuk pengulangan, Gunn piawai membuatnya tetap terasa segar sekaligus menyenangkan buat dinikmati. Formulanya adalah beri ruang gerak lebih luas bagi interaksi benci-tapi-sayang antara personil Guardian yang mengundang tawa pula rasa hangat, geber lebih banyak sekuens laga yang mengasyikkan, kurasi dengan cermat lagu-lagu dari era 60-70’an untuk menghipnotis penonton, dan paling penting: sajikan plot dengan muatan konflik mengikat sehingga penonton pun bersedia menginvestasikan emosinya secara sukarela kepada film. 

Guardians of the Galaxy Vol. 2 berasa agak penuh sesak kala memperbincangkan soal plot. Pembahasan utama yang dikedepankan Gunn memang terkait pertemuan Peter dengan Ego, namun di sela-sela plot utama kita juga mendapat suguhan berupa bagaimana Guardian harus menghindari kejaran kaum Sovereign yang meluap-luap amarahnya, lalu pemberontakan di dalam tubuh Ravager disusul adanya upaya mengkudeta Yondu (Michael Rooker) karena sang pemimpin dianggap kian lembek, sampai naik turunnya relasi Gamora dengan saudarinya, Nebula. Ada kalanya memunculkan rasa lelah – apalagi jika Gunn berkenan memangkas salah satu subplot, durasi bisa lebih ekonomis – tapi kabar baiknya, tak sampai memberi rasa pusing akibat kebingungan saking banyaknya cabang penceritaan apalagi kebosanan. Keputusan si pembuat film ini untuk menjlentrehkan banyak hal bisa dipahami begitu film tutup durasi dan segalanya terbayar lunas melalui klimaks emosional yang tanpa tersadar akan membuatmu merasakan adanya air menggenangi pelupuk mata. Ya, jika disandingkan dengan film pertama, Guardians of the Galaxy Vol. 2 bisa dikata lebih unggul dalam hal menguras emosi. Lalu bagaimana dengan humor, laga, dan pilihan lagu pengiring yang menjadi kekuatan franchise ini? Soundtrack masih ampuh menciptakan irama hentakkan kaki kendati tak semembekas jilid awal, sementara elemen komedik dan aksinya ditingkatkan. Telah dibombardir oleh Gunn sedari opening credit-nya yang lucu pula seru. 

Ya, Guardians of the Galaxy Vol. 2 tidaklah mengecewakan kala berkenaan dengan humor dan laga. Malah, tergolong memuaskan. Sekuens laga yang menginjeksikan semangat di volume ini berada di tataran mencukupi, seperti adegan pembuka menaklukkan monster yang diiringi tembang “Mr. Blue Sky”, kejar mengejar antara para Guardian dengan pasukan Sovereign, penumpasan para Ravager pengkhianat oleh Yondu dibantu Rocket dan Baby Groot, hingga konfrontasi akhir yang berujung pada perpisahan emosional. Sedangkan kelakar pemicu gelak tawa, berhamburan dimana-mana termasuk ketika para Guardian tengah sibuk bertempur melawan musuh. Kentara sekali pemain ansambelnya begitu menikmati peran masing-masing yang salah satu buktinya bisa ditengok dari betapa meyakinkannya chemistry diantara mereka: kita meyakini bahwa mereka adalah ‘keluarga’ sekalipun saban detik tak pernah berhenti saling ledek. Bagusnya, mereka tidak hanya tampak tangguh kala dipersatukan melainkan juga saat berdiri sendiri-sendiri. Chris Pratt punya karisma pemimpin dengan ketengilan sesuai porsi, Zoe Saldana tampak menggoda dibalik sikap garangnya, Dave Bautista memiliki kesempatan untuk bersenang-senang bersama Pom Klementieff yang sungguh lucu, Bradley Cooper menyebalkan sekaligus ngangenin di saat bersamaan, Vin Diesel... errr, maksudku, Baby Groot sangat menggemaskan, dan Kurt Russell menghadirkan ambiguitas menarik yang mengundang ketertarikan kita untuk mengetahui di sisi mana sebenarnya keberpihakannya. Pada akhirnya, walau tak sempurna, Guardians of the Galaxy Vol. 2 adalah sekuel yang apik. Kesenangan tetap berada dalam level maksimal. Amat kocak, amat seru, sekaligus mengharu biru. 

Note : Tak perlu terburu-buru tinggalkan gedung bioskop. Guardians of the Galaxy Vol. 2 punya lima (IYA, 5!) adegan bonus selama bergulirnya end credit.

Exceeds Expectations (3,5/5)