Tampilkan postingan dengan label Tatjana Saphira. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tatjana Saphira. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 Januari 2018

AYAT-AYAT CINTA 2 (2017) REVIEW : Kisah Fahri Bagian Dua

AYAT-AYAT CINTA 2 (2017) REVIEW : Kisah Fahri Bagian Dua


Pada tahun 2008, Hanung Bramantyo hadir mengisahkan sosok Fahri yang lahir lewat tangan Habiburrahman El-Shirazy lewat novelnya. Kisah lika-liku Fahri mengarungi hidup dan kisah cintanya menjadi sangat fenomenal. Berkat itu, Ayat-Ayat Cinta menjadi salah satu film Indonesia terlaris sepanjang masa dengan raihan 3,5 juta penonton. Pada saat itu pula, lewat Ayat-Ayat Cinta, fenomena film-film bertema religi sangat digandrungi oleh pasaran. Muncul banyak kisah-kisah cinta dengan nuansa islami disuguhkan kepada penontonnya.

Bertahun-tahun setidaknya masih ada beberapa film bertema sama yang masih digandrungi oleh penontonnya. Tetapi, Habiburrahman El-Shirazy menghadirkan kembali kisah tentang Fahri lewat buku keduanya. Dengan dasar kesuksesan kisah dari buku yang pertama, Ayat-Ayat Cinta 2 pada akhirnya mendapatkan kesempatan untuk dijadikan sebuah film layar lebar. Kali ini, Ayat-Ayat Cinta 2diarahkan oleh Guntur Soeharjanto. Fedi Nuril tetap menjadi Fahri, tetapi ada beberapa pergantian pemain di jajaran aktrisnya.

Ayat-Ayat Cinta 2 sudah menjadi salah satu proyek yang sangat dipersiapkan oleh MD Pictures. Beberapa kali MD Pictures sudah mengingatkan calon penontonnya lewat beberapa cara promosi yang menarik. Pun, nama-nama aktris dalam film ini juga tak main-main. Mulai dari Chelsea Islan, Tatjana Saphira, hingga Dewi Sandra ikut meramaikan. Hal ini juga tentu menimbulkan rasa skeptis bagi penontonnya karena cerita apalagi yang ingin disampaikan dalam Ayat-Ayat Cinta 2.


Ayat-Ayat Cinta pertama mungkin menjadi sebuah terobosan baru dalam sinema Indonesia. Tak hanya berusaha membangun sebuah sub genre baru, tetapi juga memberikan sebuah topik yang baru yaitu tentang poligami. Lalu, berbagai macam film-film religi lainnya berusaha memberikan perspektifnya sendiri dengan topik yang sama. Lantas, apa yang membuat Ayat-Ayat Cinta 2memiliki urgensinya untuk hadir dalam perubahan sinema Indonesia yang semakin memiliki keberagaman?

Ayat-Ayat Cinta 2 adalah syiar islam tentang kebaikan dan usaha untuk menjadi perwakilan tentang Islam di dalam salah satu karakternya. Tetapi, bukan berarti ini serta merta menjadi keunggulan dalam Ayat-Ayat Cinta 2dalam presentasinya. Dalam pengarahannya, Guntur Soeharjanto sudah memiliki porsi yang pas. Hanya saja, dasar cerita dalam buku yang ditulis oleh Habiburrahman El-Shirazy inilah yang perlu untuk digarisbawahi dan mendapatkan perhatian lebih. 

 
Kali ini, Ayat-Ayat Cinta 2tetap berfokus kepada sosok yang tak lagi muda bernama Fahri (Fedi Nuril) yang hidup di Edinburgh, Skotlandia. Fahri memang telah menikah, tetapi nasib buruk menimpa sang Istri yang sedang menjadi relawan di sebuah arena perang. Fahri tak lagi menerima kabar dari sang Istri dan menganggap bahwa sang Istri telah tiada. Fahri berusaha melanjutkan hidupnya dengan menjadi seorang dosen dan hidup menjadi sosok yang baik bagi tetangga-tetangganya.

Meskipun, Fahri harus diperlakukan tak baik karena dirinya adalah seorang muslim. Terlebih dari keluarga Keira (Chelsea Islan) yang pernah memiliki hal traumatis dengan para muslim. Tetapi, Fahri tetap berusaha untuk senantiasa berbuat baik dengan para tetangganya. Lalu muncullah Hulya, sepupu dari Aisha yang mendatangi Fahri untuk belajar dan menuntut ilmu di tempat Fahri mengajar. Lalu, Fahri bimbang karena secara diam-diam Fahri mengagumi sosok Hulya.


Ayat-Ayat Cinta 2 memiliki kisah dramatis yang sebenarnya memiliki pengarahan yang sudah cukup. Begitu pula dengan adaptasi naskah yang dilakukan oleh Alim Sudio untuk berusaha memindahkan apa yang ada di novel untuk disampaikan dalam layar lebar. Apa yang dilakukan oleh mereka sudah sesuai dengan porsinya masing-masing. Hanya saja, mungkin ada beberapa minor-minor yang membuat Ayat-Ayat Cinta 2 masih jauh dari kesan Greatest Love Story seperti yang digadang-gadangkan.

Secara keseluruhan, Ayat-Ayat Cinta 2 bukanlah sebuah kisah cinta, ini adalah kisah tentang Fahri. Karakterisasi Fahri dari film pertama pun, sudah digambarkan sebagai sosok laki-laki yang sempurna. Begitu pula yang terjadi di Ayat-Ayat Cinta 2, Fahri semakin dibuat sesempurna mungkin. Hal ini malah menggiringi pemikiran penontonnya untuk menjadikan Fahri sebagai simbol identitas laki-laki baru. Fahri menetapkan sebuah standar baru bagi perempuan untuk memandang laki-laki yang baik buat mereka. Ini tidak salah, tetapi ini adalah fenomena menarik dalam film Ayat-Ayat Cinta 2 ini.

Keseluruhan durasi film yang mencapai 125 menit yang hanya berputar tentang kisah Fahri inilah yang membuat presentasi Ayat-Ayat Cinta 2 tak sempurna seperti Fahri. Plot utama dalam Ayat-Ayat Cinta 2 menjadi sesuatu yang kabur dan tak dapat dimengerti oleh penontonnya. Di 1 jam pertama, Ayat-Ayat Cinta 2 terasa kehilangan jalan untuk masuk dalam plot cerita. Penonton akan meraba plot utama dari film ini karena segala hal yang berada di 1 jam pertama hanya sebuah kisah pengantar yang terlalu diperpanjang.


Penonton sudah terlalu letih untuk meneruskan kisah Fahri yang pada akhirnya menyorot tentang kisah cintanya di satu jam berikutnya. Ayat-Ayat Cinta 2 ini memiliki sebuah subplot cerita misterius yang berusaha ditampilkan di satu jam selanjutnya. Ketika masuk ke dalam subplot tersebut, penonton mungkin hanya sekedar memberikan tanda bahwa dia tahu dengan subplot tersebut. Tak ada reaksi lebih ataupun merasa emotionally attacheddengan apa yang ada di layar. Sehingga, dalam perjalanan cerita selanjutnya, kisahnya pun semakin hambar.

Dengan berbagai pengantar cerita di satu jam pertama, Ayat-Ayat Cinta 2 pun merasa kewalahan untuk mengakhiri cerita-cerita itu. Maka di paruh akhir film, Ayat-Ayat Cinta 2 penuh dengan penyelesaian yang terburu-buru dengan cerita itu. Apalagi di satu poin cerita utama yang seharusnya menjadi titik balik film ini pun tak memiliki rasa emosional yang kuat. Pun, diakhiri begitu ajaib dengan banting setir genre menjadi sebuah film science fiction meskipun pada awalnya tak ada intensi untuk ke sana.


Dengan kisah-kisah ajaibnya dan berbagai fenomena menarik di dalam filnya, Ayat-Ayat Cinta 2 sebenarnya adalah telah menekankan dirinya sebagai sebuah kisah negeri dongeng dari antah berantah. Dalam filmnya, sang sutradara memunculkan intensi tersebut lewat bahasa gambar yang ditampilkan begitu dreamy di satu adegan penting dalam pernikahan. Inilah yang menerangkan bahwa adanya batas dalam Ayat-Ayat Cinta 2dengan realita penontonnya bahwa ini semua adalah kisah yang fiksi dan tak mungkin ditemukan di dunia nyata. Batas inilah sebenarnya yang perlu untuk dipahami oleh penontonnya.

Minggu, 02 Juli 2017

SWEET 20 (2017) REVIEW : Nafas Segar dalam Film Adaptasi

SWEET 20 (2017) REVIEW : Nafas Segar dalam Film Adaptasi


Adaptasi resmi dari film-film luar negeri pernah dilakukan oleh film “Love You, Love You Not” yang diadaptasi dari film thailand berjudul “I Fine, Thank You, Love You”. Kali ini, adaptasi resmi lainnya di perfilman Indonesia hadir dari film korea berjudul “Miss Granny”. Film dari negeri ginseng tersebut telah diadaptasi oleh berbagai macam negara mulai dari China, Thailand, Jepang, hingga Vietnam. Maka, kali ini Indonesia menghadirkan adaptasi resmi tersebut dengan judul “Sweet 20”.

Ody C. Harahap menjadi orang yang dipercaya untuk mengarahkan adaptasi dari Miss Granny ini. Pengarahan Ody C. Harahap ini dibantu oleh naskah yang ditulis oleh Upi. Film Sweet 20 ini  dimeriahkan pula oleh aktris dan aktor kawakan seperti Niniek L. Kariem, Widyawati, hingga Slamet Rahardjo. Juga, aktor dan aktris muda mulai dari Morgan Oey, Tatjana Saphira, dan Kevin Julio sehingga pemilihan pemainnya bisa digunakan sebagai segmentasi penonton dari film ini. Dengan jadwal perilisan yang pas saat lebaran, Sweet 20 muncul dengan harapan sebagai film keluarga yang pas untuk ditonton ramai-ramai.

Ody C. Harahap pernah berhasil membuat film drama komedi dengan takaran pas lewat Kapan Kawin?, bahkan Me Vs Mami juga bisa menghibur penontonnya. Sehingga ketika Ody C. Harahap kembali menggarap di ranah genre serupa, penonton sudah mulai percaya dengan apa yang mau dia arahkan. Meski diadaptasi dari film yang pernah ada, Sweet 20 berhasil menjadi sebuah film yang sangat segar dan begitu menyenangkan pas dengan suasana Lebaran. 


Seperti dengan Miss Granny, Sweet 20 menceritakan tentang seorang wanita lanjut usia bernama Fatma (Niniek L. Karim) yang tinggal bersama dengan anaknya, Adit (Lukman Sardi) dan menantunya. Keberadaan Fatma cukup menganggu ketenangan anak, menantu dan cucu-cucunya karena Fatma begitu cerewet dan suka menasihati mereka. Hingga pada akhirnya, Adit dan keluarganya memutuskan untuk memasukkan Fatma ke Panti Jompo.

Fatma yang mengetahui rencana tersebut merasa sedih dan memutuskan untuk kabur dari rumahnya. Di tengah perjalanannya, dia menemukan sebuah toko foto bernama “Forever Young”. Fatma masuk dan ingin mengabadikan fotonya agar bisa diingat oleh semua orang. Tetapi, keajaiban terjadi saat Fatma selesai difoto. Fatma berubah menjadi seorang perempuan muda belia berumur 20 tahun hingga semua orang tak mengenalinya. Fatma pun mengubah identitasnya menjadi Mieke Widjaja (Tatjana Saphira) dan hidup menjadi perempuan masa kini yang mengejar mimpi-mimpinya dulu. 


Ketakutan dalam sebuah adaptasi dari film lalu adalah tak ada pembeda dan hanya melakukan penyalinan yang serupa di dalam filmnya. Tetapi, pernyataan generik itu dipatahkan begitu saja oleh presentasi secara keseluruhan dari film Sweet 20 ini. Ketika mengarahkan film ini, Ody C. Harahap tak sekedar menyalin adegan demi adegan di dalam film Miss Granny untuk ditampilkan di dalam film Sweet 20. Ada cita rasa yang disesuaikan dengan referensi kultur Indonesia sehingga membuat Sweet 20 seperti sebuah film baru yang segar untuk dinikmati.

Sweet 20 tampil dengan konsistensi energi yang sangat kuat dari awal hingga akhir yang berdampak kepada penontonnya yang akan sangat menikmati 115 menit film ini. Sehingga, penonton bisa sangat terhibur dengan segala komedi dan drama di dalam film ini.  Ody C. Harahap berusaha agar setiap unsur di dalam film ini mulai dari konflik, karakter, dan atmosfirnya berjalan sesuai dengan porsinya masing-masing. Pengarahan yang begitu teliti yang dilakukan oleh Ody C. Harahap inilah kunci kesuksesan dari performa dari Sweet 20

Ada perubahan suasana yang dilakukan secara signifikan di setiap babak di dalam film Sweet 20. Tetapi, apabila hal tersebut tak dilakukan dengan teliti, perubahan atmosfir itu malah akan mendistraksi pondasi cerita. Inilah kepiawaian dari Ody C. Harahap dalam mengarahkan Sweet 20, perubahan suasana itu bergantian tanpa merusak suasana penontonnya juga. Semua berjalan seirama yang malah semakin memperkuat lajurnya cerita dari Sweet 20 ini. Hal ini membuktikan bahwa Ody C. Harahap memiliki pandangan yang sangat visioner dalam mengarahkan genre-genre seperti ini.


Selain pengarahan penuh sensitivitas dari Ody C. Harahap, naskah adaptasi dari Sweet 20 ini patut diacungi jempol. Adaptasi yang dilakukan oleh Upi ini berhasil memasukkan kultur budaya yang relevan dengan Indonesia. Pun, hal itu tak sekedar sadur budaya saja, tetapi juga diperhatikan bagaimana penyaduran budaya itu dimunculkan di dalam adegan film. Mulai dari tembang-tembang lawas yang menghiasai beberapa adegan film Sweet 20hingga pemilihan kata yang disesuaikan dengan usia setiap karakternya. 

Apabila diperhatikan bagaimana setiap karakter mengucapkan dialognya akan muncul kesenjangan pemilihan kata antar generasi yang memang selalu terjadi ketika setiap orang melakukan komunikasi. Bahasa baku dan bahasa gaul terkadang menjadi hambatan bagi orang lanjut usia dengan generasi masa kini. Sehingga, Sweet 20 tak sekedar memiliki konflik di dalam plot ceritanya saja. Tetapi juga menjadikan gambaran bagi penontonnya tentang konflik komunikasi antar personal melalui pemakaian bahasa di setiap rentang usianya yang terkadang memunculkan kesenjangan dan konflik.

Konflik tentang problematika dalam menggunakan bahasa inilah yang disematkan di dalam karakter Fatma yang diperankan oleh Niniek L. Kariem yang berubah menjadi Mieke yang diperankan oleh Tatjana Saphira. Meskipun tubuhnya berubah menjadi sosok yang lebih muda, tetapi nilai-nilai budaya lama tetap tersematkan di dalam diri Mieke. Sehingga, Mieke tetap harus beradaptasi kembali dengan generasi masa kini. Bagusnya, Tatjana Saphira berhasil menerjemahkan kesenjangan budaya yang ada dengan gerakan dan mimik wajah yang kuat sekali. Berhasil meyakinkan penontonnya bahwa Tatjana Saphira memang seorang wanita lanjut usia yang sedang terjebak di tubuh perempuan usia muda.  


Meski menjadi sebuah film adaptasi dari film lain, Sweet 20 berhasil memberikan nafas baru dari film aslinya sendiri. Ketelitian dan sensitivitas Ody C. Harahap inilah yang menjadi pegangan bagi presentasi keseluruhan dari Sweet 20 hingga menjadi sebuah film drama komedi keluarga paket komplit. Akan ada tawa, haru, sekaligus kontemplasi tentang konflik-konflik di dalam film ini yang dengan mudah memberikan relevansi dengan penonton Indonesia. Hal itu juga karena kepiawaian Upi selaku penulis naskah yang dapat menyadur kultur budaya lokal yang tak sekedar tempel, tetapi juga diperhatikan penempatannya. Dengan begitu, konsistensi energi yang muncul di dalam Sweet 20 selalu terjaga dan akan menetap rasa bahagia di hati penontonnya. Ya, Sweet 20 adalah film libur lebaran yang pas ditonton ramai-ramai. Tatjana Saphira is a next big thing!

Senin, 26 Juni 2017

REVIEW : SWEET 20

REVIEW : SWEET 20



“Mbak, pernah ada nggak yang nyuruh kamu untuk ngebuang muka rombeng kamu?” 

Bagaimana jadinya saat seorang nenek berusia 70 tahun yang luar biasa bawel dan menjengkelkan memperoleh kesempatan kedua untuk memperbaiki hidupnya usai secara tiba-tiba berubah menjadi perempuan muda berusia 20 tahun? Premis menggelitik yang sejatinya bukan juga sesuatu baru dalam khasanah film komedi keluarga berbasis fantasi ini lantas diterjemahkan oleh sineas Korea Selatan, Hwang Dong-hyuk, ke dalam sajian berpenggarapan apik bertajuk Miss Granny. Dilepas di bioskop pada tahun 2014, Miss Granny memperoleh sambutan luar biasa hangat dari khalayak ramai dan berujung pada dipinangnya hak cipta pembuatan versi lokal untuk film keluaran CJ Entertainment ini oleh berbagai negara. Dimulai dari Cina yang mendaur ulangnya melalui 20 Once Again, berturut-turut negara lain mengikuti yakni Vietnam (Sweet 20), Jepang (Ayashii Kanojo), Thailand (Suddenly 20), Filipina (segera tayang) hingga Indonesia yang menggunakan judul serupa dengan versi Vietnam. Menunjuk Ody C Harahap (Kapan Kawin?, Me Vs Mami) untuk menduduki kursi penyutradaraan, Sweet 20 produksi Starvision dimeriahkan barisan pelakon papan atas tanah air seperti Tatjana Saphira, Slamet Rahardjo, Niniek L Karim, Widyawati, Morgan Oey, sampai Lukman Sardi yang bisa dikata merupakan salah satu kekuatan utama yang dimiliki film.

Si nenek berusia 70 tahun yang bawel pula bikin gregetan dalam Sweet 20 bernama Fatmawati (Niniek L Karim). Dia tinggal bersama keluarga dari putra semata wayangnya, Aditya (Lukman Sardi), yang berprofesi sebagai dosen. Fatmawati amat sangat menyayangi Aditya dan cucu laki-lakinya, Juna (Kevin Julio), namun begitu sinis terhadap menantunya, Salma (Cut Mini), yang dipandangnya kurang becus mengurus rumah tangga serta cucu perempuannya, Luna (Alexa Key), yang tak memiliki kegiatan. Selepas suatu insiden yang menyebabkan Salma terbaring di rumah sakit, Fatma tanpa sengaja mencuri dengar obrolan antara Aditya beserta kedua anaknya mengenai rencana memindahkan Fatma ke panti jompo. Merasa dikecewakan oleh putra kesayangannya, Fatma meninggalkan rumah tanpa pamit. Di tengah kesendiriannya dalam suatu malam, Fatma menemukan sebuah studio foto dan memutuskan untuk mengambil foto demi pemakamannya kelak. Terkesan seperti studio foto biasa dari tampilan luar, nyatanya selepas Fatma difoto, fisiknya mengalami transformasi hingga 50 tahun lebih muda. Demi menghindari kecurigaan, Fatma pun mengubah identitasnya menjadi Mieke (Tatjana Saphira) sesuai nama artis idolanya, Mieke Wijaya, dan menyewa sebuah kamar di rumah kawan baiknya, Hamzah (Slamet Rahardjo), yang diam-diam menaruh hati. Menjelma menjadi gadis berusia 20 tahun, Mieke lantas memanfaatkannya untuk mewujudkan mimpinya menjadi penyanyi sekaligus memperbaiki hubungan dengan orang-orang terdekatnya. 

Menilik statusnya sebagai remake (resmi ya, bukan jiplakan!), tentu sama sekali tidak bisa dihindarkan bahwa guliran pengisahan yang diusung oleh Sweet 20 akan memiliki banyak sekali keserupaan dengan materi sumbernya, Miss Granny. Keserupaan yang lantas menuntun pada bermunculannya tanggapan-tanggapan sinis di dunia maya mengenai menciutnya daya kreativitas si pembuat film. Tunggu dulu, siapa bilang bikin remake tidak butuh kreativitas? Yang kerap disalahpahami oleh netizen, remake berarti sekadar copy paste plek ketiplek tiplek dari versi terdahulu tanpa sedikitpun memberikan corak tersendiri bagi versi termutakhir. Kenyataannya tidak sesederhana itu, saudara-saudara. Ketika film yang disadur berasal dari era apalagi negara dengan kultur berbeda, penyesuaian perlu dilakukan demi menghindari ‘lost in translation’ (Yes, I am looking at you, Love You Love You Not!). Disinilah sutradara berikut peracik skrip mesti memutar otak – mengerahkan seluruh kreativitas yang dimiliki – sehingga film saduran dapat tertranslasi secara baik. Apabila kamu telah mencicipi setidaknya sebagian besar produk olahan baru dari Miss Granny, jelas bakal menyadari bahwasanya ada pembeda di setiap versi. Paling terpampang nyata terletak pada pemilihan tembang-tembang kenangan khas masing-masing negara yang dibawakan sang protagonis, sementara pembeda lainnya dapat dicecap lewat lontaran-lontaran humor yang disesuaikan dengan budaya atau ‘kearifan lokal’ dari negara si pembuat. Mudahnya, serupa tapi tak sama.


Dalam Sweet 20, Ody C Harahap dan Upi selaku penulis skenario menyelipkan keriuhan jelang sungkem Lebaran, meriahnya orkes jalanan, dan sinetron stripping yang episodenya tak berkesudahan sebagai bagian dari ‘kearifan lokal’ yang berfungsi untuk memantik tawa. Hasilnya? Tidak buruk sama sekali. Malah boleh dibilang berhasil terutama adegan Mieke yang menempelkan koyo di kepalanya tengah menonton sinetron bersama Hamzah. Perhatikan ekspresi pemain sinetron! Dengarkan dialog yang pemain sinetron lontarkan! Perhatikan pula bagaimana Mieke dan Hamzah ikut gregetan menunggu datangnya moment of truth dalam adegan di sinetron! Sangat, sangat kocak. Tanpa perlu dikomando, seluruh penonton di tempat saya menonton film ini serempak tertawa terbahak-bahak. Inilah momen paling pecah dalam Sweet 20, namun bukan satu-satunya yang mengundang gelak tawa heboh. Film yang nada penceritaannya telah menggila sedari mula ini juga mempersembahkan kegilaan maksimal tatkala anggota band Mieke beserta Juna berkunjung ke taman ria bersama Hamzah dan produser acara musik di televisi, Alan (Morgan Oey), lalu saat Hamzah menjelaskan kepada Aditya dan Salma mengenai perkembangan terbaru keberadaan Fatma, pertengkaran dua nenek-nenek genit memperebutkan Hamzah, makan malam pertama antara Mieke dengan Juna yang disisipi kesalahpahaman, dan masih ada beberapa adegan kocak lainnya yang rasa-rasanya sayang jika dijabarkan seluruhnya. 

Kejelian Ody C Harahap dalam mengatur timing yang tepat untuk melontarkan bom-bom humor memang telah terbukti di Kapan Kawin? dan Me Vs Mami. Akan tetapi melalui Sweet 20, kapabilitasnya kian terkonfirmasi. Beruntung bagi Ody karena dia dianugerahi pemain ansambel yang menyuguhkan lakon sungguh prima dalam Sweet 20. Dari Tatjana Saphira yang sanggup membuktikan bahwa hanya tinggal menunggu baginya untuk melesat ke jajaran pemain kelas A di perfilman tanah air dengan kecakapannya menghidupkan sosok Mieke yang merupakan nyawa bagi film sampai-sampai kita meyakini bahwa dia memang seorang nenek yang terjebak di tubuh seorang gadis, kemudian trio pemain senior Slamet Rahardjo-Niniek L Karim-Widyawati yang tampak begitu bersenang-senang dengan karakter yang mereka perankan, lalu kolaborasi pemain muda seperti Kevin Julio yang mengisi momen komedik dan Morgan Oey yang berkontribusi dalam momen romantik, ada pula Lukman Sardi yang ditugaskan untuk memberi sentuhan dramatik pada film khususnya di klimaks yang hangat pula mengharu biru, sampai penampilan singkat namun meninggalkan kesan mendalam dari Tika Panggabean, Alexa Key, Barry Prima, McDanny, Joe P Project, dan Aliando Syarief. 

Ya, pemain ansambel ini merupakan salah satu kekuatan utama yang dipunyai Sweet 20 disamping lontaran-lontaran kelakar yang tepat mengenai sasaran, tembang-tembang lawas pengiring film yang melebur mulus macam “Layu Sebelum Berkembang”, “Payung Fantasi”, dan “Selayang Pandang”, serta muatan emosional yang bekerja secara efektif. Dengan kombinasi maut semacam ini, tepatlah kiranya menyebut Sweet 20 sebagai sebuah tontonan hiburan menyenangkan untuk seluruh keluarga kala liburan sekaligus remake yang sangat pantas bagi Miss Granny. Bahkan, termasuk salah satu yang terbaik. Menghibur, lucu, dan hangat. Sungguh sebuah obat pelepas penat yang mujarab. Pecah! 

Outstanding (4/5)




Rabu, 26 April 2017

REVIEW : STIP & PENSIL

REVIEW : STIP & PENSIL


Menjumpai film berbasis genre komedi buatan dalam negeri tidaklah susah sama sekali. Nyaris saban bulan, senantiasa ada judul-judul baru memeriahkan jaringan bioskop tanah air. Yang susah adalah menemukan film dengan kualitas dapat dipertanggungjawabkan diantara genre ini. Tidak ada yang salah memang dari film komedi yang sekadar ngebanyol tanpa mempunyai muatan cerita kuat dan cenderung ringan-ringan saja toh tujuan akhirnya lebih ke tontonan eskapisme. Namun ketika ini dijadikan sebagai pembenaran untuk menghasilkan sebuah gelaran sarat kelakar yang digarap secara serampangan tanpa mempunyai struktur cerita yang jelas, minim lakonan apik maupun alpa production value memadai yang membuatnya sebelas dua belas dengan program lawak di televisi, maka saat itulah kesalahan terbesar diperbuat. Lantaran saking seringnya disuguhi tontonan komedi di layar lebar yang bikin mengelus dada semacam ini – ditambah kepala pusing tujuh keliling akibat keriuhan Pilkada – jelas sesuatu membahagiakan begitu mendapati bahwa Stip & Pensil arahan Ardy Octaviand (Coklat Stroberi, 3 Dara) tergarap cukup apik, dibekali plot berisi dan memberi efek bungah usai menontonnya. Jarang-jarang ada, kan? 

Dalam Stip & Pensil yang merupakan rilisan terbaru dari rumah produksi MD Pictures, barisan karakter penggerak roda cerita antara lain Toni (Ernest Prakasa), Bubu (Tatjana Saphira), Saras (Indah Permatasari), dan Aghi (Ardit Erwandha). Keempatnya adalah siswa SMA yang berasal dari keluarga kaya raya dan masing-masing menghadapi bullying di sekolah karena status sosial mereka. Demi membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar ‘anak kaya manja’ sekaligus mempunyai kontribusi nyata ke masyarakat, tatkala sebuah tugas penulisan esai diajukan oleh Pak Adam (Pandji Pragiwaksono), Toro beserta kawan-kawan turut mendirikan sebuah sekolah darurat di pemukiman kumuh. Mendapat sambutan hangat dari petinggi setempat, Pak Toro (Arie Kriting), mulanya mereka menduga akan mudah saja bagi keempatnya untuk menggelar kegiatan belajar mengajar. Nyatanya, kenyataan jauh dari pengharapan terlebih program tidak pernah disosialisasikan dan mereka buta dengan demografi kampung tersebut karena kelupaan untuk menggelar survey di lapangan terlebih dahulu. Tidak ingin rencana mereka sia-sia belaka, direkrutlah seorang bocah bernama Ucok (Iqbal Sinchan) untuk mengorganisir bocah-bocah di kampung agar bersedia bersekolah dengan iming-iming sejumlah uang. 


Ketika menyambangi bioskop guna menyaksikan Stip & Pensil, ekspektasi yang ditanamkan tidaklah muluk-muluk: asal bisa bikin tertawa, kelar urusan. Yang kemudian tiada dinyana, tiada disangka, urusan telah dituntaskan sedari menit-menit pertama oleh Ardy Octaviand. Adegan pembuka dengan humor yang bisa dikata ‘receh’, efektif mengundang gelak tawa dari penonton. Mau tahu kabar baiknya? Tawa ini terus ada, berkelanjutan dan hampir enggan mengendur sampai film mengakhiri durasinya. Kunci keberhasilan terletak pada tiga poin. Pertama, kejelian si pembuat film memanfaatkan momentum. Kedua, naskah menggelitik gubahan Joko Anwar. Ketiga, barisan pemain yang mempunyai comic timing juara. Dengan ketiga poin ini saling bersinergi, tidak mengherankan jika lantas Stip & Pensil sanggup tersaji sebagai tontonan komedi menyenangkan yang akan membuat penontonnya keluar bioskop dengan ceria. Keempat bintang utamanya lihai mengutarakan kembali rentetan humor yang dibisikkan Ardy bersama Joko kepada mereka, terutama Ernest Prakasa yang kian mengukuhkan posisinya sebagai komika berbakat dan Tatjana Saphira yang diam-diam memiliki bakat ngelaba. Kemunculan Tatjana sendiri kerap mencuri perhatian hasil dari melimpahnya momen ‘ger-geran’ di dalam bioskop yang dipicu oleh sosok Bubu yang digambarkan agak absent-minded. Yakin deh, lagu Yamko Rambe Yamko tidak akan lagi terdengar sama. Tak kalah mencuri perhatian dari Tatjana yakni Gita Bhebhita sebagai Mak Rambe yang garang dan Yati Surachman dalam penampilan singkat berkesan sebagai pemilik warung yang gemar mendramatisir derita hidupnya. 

Stip & Pensil kian menarik berkat jalinan pengisahan yang diutarakan Joko. Apabila mengenali jejak rekamnya, Joko enggan sekadar bermain-main sekalipun di dalam film komedi yang mengisyaratkan main-main belaka. Keberadaan kritik sosial bisa dicecap melalui karya-karyanya terdahulu – seperti Arisan!, Janji Joni, serta Quickie Express – tak terkecuali Stip & Pensil. Konten pembicaraan dalam film ini relevan dengan situasi Indonesia masa kini menyoal perundungan di sekolah, pemberitaan buruk di media tanpa konfirmasi, sampai kesenjangan sosial yang salah satunya diperlihatkan dari pemberian pendidikan yang belum merata. Terdengar berat? Tak perlu risau. Joko cerdik menyiasatinya ditambah lagi pendekatan Ardy untuk melantunkan film secara ringan serta penuh canda tawa memungkinkan pesan-pesan yang terkandung tergolong berhasil menyentil tanpa pernah sedikitpun terkesan menceramahi. Berceloteh dengan solid, setidaknya sampai pertengahan durasi, Stip & Pensil agak tersandung begitu menapaki babak ketiga. Subplot asmara segirumit beserta penggusuran seolah-olah disisipkan di menit-menit akhir hanya demi memperpanjang durasi. Kemunculannya tak mulus, penyelesaiannya terlampau sepele. Andaikata subplot tersebut dihempaskan, niscaya film akan makin renyah buat disantap karena bahkan dengan kelemahan yang menyertainya, Stip & Pensil tetap teramat sayang untuk dilewatkan. Kocak sekali dan... penting!

Exceeds Expectations (3,5/5)