Tampilkan postingan dengan label Drama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Drama. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : JELITA SEJUBA

REVIEW : JELITA SEJUBA


“Ternyata berat menjadi seorang istri. Apalagi menjadi istri seorang tentara.” 

Kehidupan perwira dengan segala suka dukanya, termasuk saat menjalin asmara, sejatinya bukan bahan kupasan baru dalam film Indonesia. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa menengoknya melalui Merah Putih (2009), Doea Tanda Cinta (2015), serta I Leave My Heart in Lebanon (2016). Hanya saja, mengingat film-film tersebut mengambil sudut pandang penceritaan dari perwira, tak ayal ada satu yang absen dan tidak pernah tergali mendalam. Kehidupan para perempuan yang mendampingi mereka. Para perempuan memang memiliki peranan di film-film ini, tapi sebatas sebagai karakter sekunder dengan karakteristik satu dimensi yang tugasnya hanyalah memotivasi si karakter utama. Tidak pernah lebih dari itu. Padahal ada satu pertanyaan menarik yang sempat beberapa kali terbersit di benak, “bagaimana cara perempuan-perempuan ini menjalani hari demi hari yang dipenuhi dengan penantian tanpa kepastian?.” Ray Nayoan yang sebelumnya lebih aktif di pembuatan film pendek, agaknya menyadari posisi mereka yang cenderung terpinggirkan dalam film Indonesia. Melalui film panjang pertamanya bertajuk Jelita Sejuba yang mengambil latar di Natuna, Kepulauan Riau, Ray bercerita mempergunakan perspektif seorang istri perwira. 

Istri perwira yang dimaksud dalam Jelita Sejuba adalah Sharifah (Putri Marino). Putri sulung dari seorang nelayan (Yayu Unru) dan pemilik warung (Nena Rosier) ini menjalankan bisnis warung makan kecil-kecilan bersama dengan kawan-kawan baiknya yang dinamai Jelita Sejuba. Di warung makan inilah Sharifah berjumpa untuk pertama kalinya dengan Kapten Jaka (Wafda Saifan Lubis) yang sedang ditugaskan oleh batalionnya di Natuna. Telah ada saling pandang dan saling lirik diantara keduanya, tapi belum muncul keberanian untuk mengutarakan isi hati. Apakah ini sebatas kekaguman atau memang ada rasa bernama cinta? Selepas pertemuan pertama tersebut, Jaka dan Sharifah kembali bertemu – baik sengaja maupun tidak – beberapa kali yang sedikit demi sedikit menebalkan rasa diantara mereka. Belum sempat mereka saling menyatakan rasa, Jaka dipindah tugas ke tempat lain. Dalam penantian tersebut, Sharifah mulai menyadari bahwa cintanya memang hanya untuk Jaka. Maka begitu Jaka menjejakkan kaki lagi di Natuna dan mengajaknya untuk menikah, senyum bahagia mengembang di bibirnya. Yang tidak disadari oleh Sharifah kala itu, bukan perkara mudah menjadi istri seorang tentara. Sharifah kerap mengalami fase ditinggal pergi sang suami untuk bertugas selama berbulan-bulan lamanya tanpa pernah ada kepastian kapan dia bisa kembali ke rumah. Tanpa pernah ada kepastian apakah dia bisa kembali ke rumah dengan selamat atau tidak.


Berpatokan pada sinopsis di atas, mudah untuk menyebut Jelita Sejuba memiliki plot yang amat generik. Ya mau bagaimana, pola penceritaannya masih tidak jauh-jauh dari pertemuan seorang perwira yang kaku dengan seorang perempuan desa yang lugu, lalu benih-benih asmara menyeruak hadir ditengah-tengah keduanya, dan mereka pun memutuskan untuk menikah. Jika ini ditangani secara serampangan, kemungkinan besar film akan berakhir sebagai melodrama murahan yang lebih cocok disimak di layar beling. Tapi sensitivitas Ray Nayoan dalam mengarahkan ditunjang oleh skrip renyah garapan Jujur Prananto, elemen-elemen teknis seperti skoring musik beserta sinematografi yang baik sekali, dan performa mengesankan dari jajaran pelakonnya, sanggup membuat Jelita Sejuba berada di kelas yang berbeda. Bahasa kerennya sih, classy. Pilihan Ray untuk melantunkan Jelita Sejuba dengan nada penceritaan cenderung ringan nan jenaka alih-alih penuh ratapan sekalipun Sharifah kerap berjuang seorang diri dalam mengurus rumah tangga terbilang tepat guna. Bahkan, dia mengaplikasikan cara penuturan yang bergaya sekaligus unik (paling menonjol dalam adegan Sharifah-Jaka mengajukan berkas untuk pernikahan. Serius, ini ketje!) sehingga masa-masa berseminya cinta antara dua karakter utama yang sejatinya minim letupan konflik terasa sangat nyaman buat diikuti. Penonton berulang kali dibuat tergelak-gelak oleh tingkah polah para karakter di film, dan sempat pula dibuat menyerukan ‘awww’ berjamaah ketika Jelita Sejuba mencapai titik termanisnya: Jaka melamar Sharifah menggunakan teropong. 

Ini tidak mungkin bisa dicapai apabila penonton sedari awal mengalami kesulitan untuk menginvestasikan emosi kepada film. Naskah ramuan Jujur Prananto memungkinkan kita untuk terhubung pada Sharifah-Jaka. Dia memberi latar belakang mencukupi untuk Sharifah dan Jaka, merepresentasikan mereka sebagai karakter yang mudah kita jumpai di kehidupan sehari-hari, dan menghadirkan dialog-dialog yang mengalir secara natural. Selain itu, performa mengesankan dari Putri Marino beserta Wafda Saifan Lubis pun membantu. Wafda adalah sesosok pria bentukan militer yang kaku, sementara Putri adalah perempuan desa yang polos. Tampak cerah ceria di paruh pertama, Putri berubah menjadi sosok yang lebih kalem di paruh selanjutnya tatkala beban hidupnya menggelembung. Kita bisa mendeteksi adanya tekanan karena kesepian, ketidakpastian, serta himpitan ekonomi. Melalui atraksi akting yang diperagakannya dalam Jelita Sejuba, kita bisa pula merasakan perkembangan akting Putri yang cukup signifikan terlebih nyawa film bergantung penuh kepadanya (dia berhasil, film berhasil. Dia gagal, film gagal). Beruntung, Putri mempunyai rekanan akting yang tidak kalah mengesankannya seperti Wafda, Yayu Unru, Nena Rosier, sampai Aldy Maldini sebagai adiknya yang bengal sehingga amat membantunya menghidupkan sosok Sharifah. Alhasil, selama menonton Jelita Sejuba kita pun ikut tertawa, tersipu, sekaligus terharu.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : TERBANG MENEMBUS LANGIT

REVIEW : TERBANG MENEMBUS LANGIT


“Beranikan hati. Raihlah kebebasan kau. Terbang, terbang setinggi-tingginya.” 

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, nama Onggy Hianata memang tidak terdengar familiar. Membutuhkan jasa teknologi canggih yang disebut Google untuk mengetahui latar belakang dan profesi dari pemilik nama tersebut. Dari hasil berselancar ke dunia maya – mengunjungi satu demi satu web dan blog yang membahas tentang Onggy – saya memperoleh satu kesimpulan bahwa Onggy merupakan seorang motivator keturunan Tionghoa asal Tarakan, Kalimantan Utara, yang menyebarkan pengalamannya selama merintis karir sebagai pebisnis melalui program bernama Value Your Life: A Life Changing Bootcamp. Beliau telah melanglang buana (ruang lingkupnya telah berada di taraf internasional) demi memotivasi para pebisnis pemula agar mereka mendapatkan kepercayaan diri dan keberanian dalam membangun kerajaan bisnis. Yaaaa kurang lebih seperti Merry Riana atau Mario Teguh lah. Kepenasaran saya untuk mengetahui sosoknya dilandasi oleh keputusan Demi Istri Production menitahkan Fajar Nugros (Moammar Emka’s Jakarta Undercover, 7/24) untuk menggarap film bertajuk Terbang: Menembus Langit yang guliran penceritaannya didasarkan pada kisah hidup Onggy Hianata. Saya dibuat bertanya-tanya, “apa sih yang begitu istimewa dari kehidupan sang motivator sampai-sampai dirasa perlu untuk diangkat ke dalam format film layar lebar?.” 

Well, jalan hidup Onggy Hianata (Dion Wiyoko) yang penuh lika-liku harus diakui merupakan sebuah materi yang seksi untuk difilmkan. Seorang pebisnis sukses yang memulai karirnya dari nol. Dia berasal dari sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang miskin di Tarakan, memiliki delapan saudara, dan nyaris tidak dapat mengenyam bangku pendidikan karena kedua orang tuanya terhimpit secara finansial. Sang ayah (Chew Kin Wah) hanyalah pekerja di toko kelontong, sementara ibunya (Aline Adita) mengurus rumah tangga. Selepas meninggalnya sang ayah, kedua kakak Onggy (Baim Wong dan Delon Thamrin) yang bertugas dalam menafkahi keluarga. Onggy sendiri memilih untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari jurang kemiskinan dengan cara mencari peruntungan di perantauan. Bermodal nekat, Onggy pun meninggalkan kampung halamannya dan bertolak menuju Surabaya – suatu kota yang sering dijadikan sebagai destinasi andalan oleh para perantau di kotanya. Tanpa uang saku dari kedua kakaknya, Onggy membiayai kuliah sekaligus menyambung hidup dengan menjadi distributor apel ke toko buah, menjual jagung bakar, memproduksi kerupuk, sampai akhirnya bekerja sebagai pegawai di pabrik pembuatan benang. Penghasilan tetap yang diperolehnya di pabrik ini nyatanya tak lantas membuat Onggy bahagia karena dia menyadari bahwa menjadi budak korporat bukanlah mimpinya. Dia ingin memperoleh kebebasan penghasilan dari usaha yang dibangunnya sendiri, bukan bergantung dari usaha yang dibangun oleh orang lain.


Menyoroti sepak terjang Onggy dalam mengentaskan dirinya, keluarganya di Tarakan, dan keluarga kecil yang baru dibinanya bersama sang istri, Candra (Laura Basuki), dari penderitaan hidup yang disebabkan kemiskinan, bahan obrolan yang disodorkan Terbang: Menembus Langit berkisar pada keberanian dalam menggapai mimpi, kekuatan tekad, serta kerja keras. Ini adalah modal utama yang dibutuhkan untuk mengkreasi sebuah film biopik yang inspiratif. Entah kalian suka atau tidak dengan pilihan kata ‘inspiratif’ yang kerap digunakan secara sembrono oleh sineas-sineas Indonesia demi jualan film asal bikin, kata ini nyatanya terasa tepat untuk mendeskripsikan seperti apa Terbang: Menembus Langit. Sebuah film yang akan menggugah semangatmu saat melangkahkan kaki ke luar bioskop untuk memperbaiki kualitas diri sekaligus mengoreksi etos kerja demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Penceritaannya memang tidak selalu mulus, seperti kehidupan subjeknya. Problematika paling mencolok kentara terasa kala menjelang klimaks yang cenderung tergesa seolah-olah ingin cepat tuntas sampai lupa menjabarkan satu pekerjaan baru yang dikejar-kejar oleh Onggy termasuk bagaimana sistem penggajiannya (karena ada kalanya dia tampak tak menerima hasil apapun) dan meminggirkan subplot terkait kerusuhan Mei 1998 yang sejatinya memiliki potensi dramatik menarik saat dikulik (semacam, apa impak peristiwa ini pada Onggy dan keluarganya?) terlebih film pun sejatinya ingin berceloteh soal kebhinekaan Indonesia. 

Andai Terbang: Menembus Langit berkenan memperpanjang durasinya, lalu mengupas ini lebih tuntas, memperlihatkan bagaimana Onggy sebagai keturunan Tionghoa dapat bertahan di masa orde baru yang sarat diskriminasi, dan memberi kita gambaran lebih utuh mengenai pekerjaan yang membawa Onggy pada masa kejayaannya, film bisa jadi akan tersaji lebih menggigit. Bahkan dengan adanya ganjalan di penghujung pun, Terbang: Menembus Langit masih mampu terhidang sebagai film biopik yang cukup memuaskan berkat kombinasi serba apik dari pengarahan Fajar Nugros, elemen teknis yang menyokongnya, serta performa jajaran pelakonnya. Di sini, kamu akan mendapati nuansa pekat dari era 80-90’an yang dipancarkan melalui pilihan busana, tata rias, sampai artistik, dan atraksi akting mengagumkan yang menggerakkan film. Dion Wiyoko sebagai Onggy yang dikenal gigih dalam memperjuangkan keinginannya adalah pilihan yang tepat karena dia sanggup membawa kita melewati berbagai fase emosi; kita kecewa dan terpuruk bersamanya, kemudian kita yakin dan bersorak kepadanya. Keinginan kita pun sejalan dengannya, yakni melihat Onggy mencicipi manisnya buah kerja keras. Beruntung bagi Dion, dia mempunyai lawan main yang mumpuni seperti Chew Kin Wah bersama Aline Adita sebagai orang tuanya yang menyuplai sisi haru berikut rasa hangat, lalu kuartet penghuni kos-kosan (Dayu Wijanto, Indra Jegel, Mamat Alkatiri, Fajar Nugra) yang memberi sejumput gelak tawa mengasyikkan pada film, dan Laura Basuki yang merupakan bintang sesungguhnya dari film ini.


Laura bertransformasi dengan amat meyakinkan sebagai Candra – lengkap dengan aksen Cina Suroboyoannya – yang menyediakan harapan hidup bagi Onggy. Sesosok perempuan kuat yang senantiasa memberi dorongan untuk suaminya sekalipun keputusan Onggy yang berani (kalau tak mau disebut nekat) seringkali menempatkan mereka pada posisi sulit. Adegan yang berlangsung di kontrakan, seperti saat Candra meluapkan kekecewaannya yang begitu mendalam atas pilihan suaminya atau ketika kandungannya bermasalah atau kala Rich (putra mereka yang masih bayi) merengek kepanasan, menunjukkan range emosi seorang Laura yang luas. Apakah ini akting terbaik sepanjang karirnya? Dapat dikatakan demikian. Chemistry yang dirajutnya bersama Dion pun tak kalah apiknya. Membuat kita cukup bisa memaafkan pergerakan kisah yang tergesa di paruh akhir (sungguh ini sayang sekali), membuat kita bersedia mendengarkan kisah hidup Pak Onggy beserta Bu Candra, membuat kita rela dihanyutkan ke dalam kisah mereka yang terkadang hangat terkadang lucu terkadang pilu, membuat kita berharap mereka berhasil menggapai mimpi mereka, dan pada akhirnya membuat kita terinspirasi untuk mencetak kisah sukses yang serupa. Performa Dion-Laura yang mempunyai emosi sedemikian kuat jelas berkontribusi banyak terhadap Terbang: Menembus Langit sehingga film dapat terbang cukup tinggi meninggalkan film-film sejenis seperti Menebus Impian (2010) atau Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar (2014) misalnya.

Exceeds Expectations (3,5/5)
REVIEW : SAJEN

REVIEW : SAJEN


“Tiap orang yang bunuh diri di sini, pasti dikasih sajen.” 

Telah cukup lama rumah produksi Starvision tidak memproduksi film horor. Terakhir kali mereka bersentuhan dengan dunia memedi yakni melalui film dengan format omnibus bertajuk Hi5teria yang dilepas pada tahun 2012 silam. Sajen garapan Hanny Saputra – jejak rekam film horornya meliputi Mirror (2005) dan Dejavu: Ajian Puter Giling (2015) – menandai kembalinya Starvision ke ranah film seram setelah enam tahun terakhir memilih untuk fokus menghasilkan film bertemakan percintaan dan keluarga. Mengambil latar penceritaan di sebuah SMA swasta unggulan serta menampilkan barisan bintang-bintang muda bertampang rupawan yang masih segar seperti Amanda Manopo, Steffi Zamora, Angga Yunanda, Jeff Smith, serta Chantiq Schagerl, pada permukaannya Sajen memang sepintas tampak seperti “another Indonesian teen horror movie” yang gemar sekali mengambil lokasi teror di dua tempat: sekolah dan hutan belantara. Yang kemudian mengusik keingintahuan saya sehingga berniat mencicipi Sajen adalah tema yang diusungnya. Bukan sebatas ‘jangan masuki ruangan terlarang itu!’ atau ‘jangan langgar pantangan ini itu!’, film ini mencoba menguliti persoalan perundungan (bullying) yang memang marak terjadi di kalangan remaja berseragam putih abu-abu – bahkan belakangan merambah ke dunia maya. Perundungan menjadi cikal bakal munculnya sederet teror bernuansa supranatural yang menghiasi sepanjang durasi Sajen

Ya, perundungan yang terjadi dalam Sajen memang membawa korban jiwa. Penonton tidak pernah benar-benar diberi tahu identitas dari tiga korban pertama. Namun keberadaan tiga sajen di beberapa titik SMA Pelita Bangsa, yaitu toilet, perpustakaan, serta ruang komputer, menjadi semacam pengingat bahwa tragedi telah terjadi di sekolah ini selama beberapa kali. Keengganan pihak sekolah untuk mengusut tuntas kasus perundungan demi mempertahankan nama baik membuat arwah ketiga siswa tersebut tak tenang sehingga peristiwa-peristiwa seram masih kerap dijumpai. Alanda (Amanda Manopo), salah satu siswi paling berprestasi di SMA tersebut, menyadari penuh tentang hal ini dan berupaya untuk memutus rantai perundungan yang sekali ini dilakukan oleh Bianca (Steffi Zamora), Davi (Jeff Smith), beserta rekan-rekan satu geng mereka. Sayangnya, langkah Alanda ini tidak pernah mendapat dukungan penuh dari kawan-kawan terdekatnya sehingga Alanda yang berjuang sendirian pun akhirnya terseret menjadi korban. Dalam satu malam, Alanda dijebak dengan alkohol yang menyebabkan dia mabuk, lalu tindak tanduknya selama mabuk ini direkam, dan disebarkan ke setiap siswa di sekolah. Video tersebut tak hanya mencemarkan nama baiknya tetapi juga berdampak pada hilangnya kesempatan Alanda untuk mendapatkan beasiswa. Tak tahan dengan penderitaan ini, Alanda memutuskan bunuh diri. Arwahnya yang dilingkupi kemarahan pun menciptakan gelombang teror yang lebih besar di SMA Pelita Bangsa. 


Sajen sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi tontonan yang menjanjikan. Di separuh awal durasi yang penampakannya hanya dihadirkan selintas lalu dan si pembuat film lebih banyak menekankan pada elemen drama yang menyoroti dampak perundungan, Sajen mampu tampil menggigit. Performa sangat baik dari Amanda Manopo sebagai siswi berprestasi yang tertindas membuat penonton dapat bersimpati kepadanya. Kita berharap misi Alanda untuk memberangus perundungan mencapai titik hasil, kita berharap dia berhasil menundukkan geng Bianca. Maka begitu kenyataan berkata lain, ada rasa pedih yang menggelayuti di dada. Dukungan akting tak kalah baiknya dari Nova Soraya sebagai sang ibu yang penuh duka (kehilangan suami dan anak semata wayang tercinta. Betapa pilunya!) membuat paruh awal ini terasa menyesakkan. Saking tak relanya kedua karakter ini ketiban apes, keinginan melihat datangnya momen-momen pembalasan dendam dari Alanda kepada rekan-rekannya di sekolah pun besar. Saya hanya ingin menyaksikan geng Bianca kena getahnya atas ulah mereka pada Alanda. Akan tetapi, semangat yang telah timbul dalam menanti apa yang akan dihadirkan oleh Hanny R Saputra beserta sang penulis skrip, Haqi Achmad, di sesi horor ini malah mendadak merontok begitu film telah menjejakkan diri pada ranah memedi secara resmi. Pemicunya, rentetan penampakan yang dihamparkan serampangan diiringi musik memekakkan telinga (masalah klasik!) ditambah tata rias hantu yang dikerjakan ala kadarnya, transisi antar adegan yang melompat-lompat tak karuan sehingga membuat sebagian adegan terasa tak berkesinambungan, dan akting sebagian besar pemain pendukung yang memprihatinkan. 

Saking memprihatinkannya, saya sampai tak kuasa menahan tawa berulang kali selama menyaksikannya. Tengok saja pada salah satu momen terepik dari film ini yang berlangsung di sebuah prom night. Alanda melampiaskan dendamnya bak Carrie White pada salah seorang siswi – termasuk melempar-lemparnya ke atas maupun ke samping – dan tak seorangpun (!) yang bereaksi melihat aktivitas gaib di depan mata ini. Mereka hanya berdiri mematung tanpa ekspresi seolah-olah apa yang mereka saksikan itu sesuatu yang sudah teramat sangat wajar. Jika ada yang menunjukkan reaksi, maka itu adalah saya yang melongo saking takjubnya dengan keberanian mereka yang luar biasa ini. Semestinya saya pun tidak usah setakjub itu karena ada satu momen dimana hantu Alanda merangkak ke luar dari televisi bak Sadako dengan maksud menakut-nakuti kepala sekolahnya yang berhati dingin, Bu Tanya (Minati Atmanegara), dan tanpa segan-segan, Bu Tanya mengusirnya begitu saja dengan cara melempar sebuah pensil (!) ke arah Alanda. Mengagumkan sekali, bukan? Saya cukup yakin bahwa salah satu persyaratan masuk di SMA Pelita Bangsa baik bagi siswa maupun staf mencakup poin, “Anda telah terbiasa berurusan dengan hal-hal mistis atau memiliki keberanian dalam mengadapi situasi supranatural.” Karena jika tidak, tentu mereka sudah panik tidak karuan saat menyaksikan empat hantu datang beriringan atau kepala nongol dari televisi, bukan? Gara-gara adegan ini, saya malah justru lebih merinding melihat para guru dan murid SMA Pelita Bangsa ketimbang hantu Alanda. Jangan-jangan mereka sebenarnya adalah alien berkedok manusia seperti dalam film Invasion of the Body Snatchers (1978) sehingga mustahil bagi mereka untuk memancarkan emosi. Bisa jadi, kan?

Poor (2/5)


REVIEW : ANANTA

REVIEW : ANANTA


“Kita dipertemukan karena ikatan jodoh yang kuat.” 

Para pembaca blog yang budiman, izinkanlah saya untuk menyampaikan satu kabar gembira sebelum mengulas Ananta keluaran MD Pictures. Kabar gembira tersebut adalah (jreng-jreng) Michelle Ziudith sudah terlepas dari film-film romantis picisan garapan Screenplay Films, saudara-saudara!... meski kemungkinan hanya untuk sementara sih. Tapi jangan langsung bersedih karena paling tidak, untuk sesaat kita tidak melihatnya memerankan perempuan tajir melintir yang hobi merajuk, remaja yang mengemis-ngemis cinta seolah dia akan tewas jika terlalu lama menjomblo, atau gadis yang gemar bersabda dengan kata-kata mutiara di setiap hembusan nafasnya. Ini tetap patut dirayakan. Kenapa? Karena saya selalu percaya bahwa Michelle Ziudith memiliki bakat dalam berakting (apalagi kalau sudah akting banjir air mata, saingan deh sama Acha Septriasa!) dan dia sangat perlu kesempatan untuk membuktikannya. Melalui Ananta yang didasarkan pada novel bukan horor bertajuk Ananta Prahadi rekaan Risa Saraswati (seri Danur), aktris yang akrab disapa Miziu ini mendapatkan kesempatan tersebut. Memang sih kalau ditengok dari segi genre, Ananta masih bermain-main di jalur andalan Miziu yakni drama percintaan yang sekali ini membawa muatan komedi cukup pekat. Hanya saja yang membuat film ini berbeda dan boleh jadi merupakan tiket emas baginya adalah Ananta mempunyai penggarapan beserta performa pemain yang baik sehingga menempatkannya berada di level lebih tinggi dibanding film-film Miziu terdahulu. 

Dalam Ananta, Michelle Ziudith berperan sebagai Tania yang dideskripsikan sebagai remaja SMA yang kesulitan dalam berinteraksi secara sosial sehingga dia memilih untuk membenamkan diri dengan dunianya sendiri: lukis melukis. Akibat sikapnya yang jauh dari kata bersahabat, Tania hidup dalam kesendirian. Dia tidak memiliki satupun teman bermain di sekolah, dia juga tidak memiliki satupun teman berbicara di rumah. Satu-satunya orang yang dipersilahkan Tania memasuki kehidupannya adalah Bik Eha (Asri Welas) – itupun sebatas berurusan dengan makanan. Kehidupan Tania yang terbilang sunyi dan monoton ini lantas mengalami perubahan saat Ananta Prahadi (Fero Walandouw), murid pindahan asal Subang yang memiliki logat Sunda kental, hadir di sisinya. Ini bisa diartikan secara harfiah karena Ananta duduk sebangku dengan Tania. Karakteristiknya yang periang jelas bertolak belakang dengan Tania yang muram. Pun begitu, Ananta berupaya memahami rekan sebangkunya ini termasuk memasakannya nasi kerak yang merupakan makanan favorit Tania dan membantunya menjual lukisan-lukisannya. Tania yang semula apatis perlahan tapi pasti bersedia membuka diri pada Ananta sehingga hubungan persahabatan sekaligus hubungan bisnis pun terbentuk. Kesedihan yang selama ini menggelayuti diri Tania pun memudar tergantikan oleh kebahagiaan sampai kemudian Ananta tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan Tania menyambut datangnya pria lain dalam kehidupannya, Pierre (Nino Fernandez). 



Seperti halnya jutaan umat manusia di luar sana, saya pun sebetulnya menganggap sepele Ananta. Satu-satunya yang berkontribusi terhadap tergeraknya hati dan kaki ke bioskop untuk menjajalnya adalah sang sutradara, Rizki Balki, yang memulai debutnya dengan apik melalui Aku, Benci, dan Cinta (2017). Michelle Ziudith? Kepercayaan saya sudah mulai meluntur. Membawa sikap skeptis ke dalam ruang pemutaran, diri ini merasa tertampar saat tanpa disangka-sangka Ananta ternyata mampu tersaji sebagai tontonan yang jenaka (ya, film ini lucu sekali!) sekaligus hangat, manis, dan menyentuh di waktu bersamaan. Rizki yang gaya penuturannya terasa sekali terpengaruh dari film-film romantis asal Korea Selatan membuktikan bahwa debutnya tersebut bukanlah suatu kebetulan pemula belaka dan Michelle Ziudith menunjukkan bahwa dia memang layak untuk diberikan kesempatan. Lanjutkan, Miziu! Michelle Ziudith berhasil melebur dengan baik ke dalam sosok Tania yang ajaib, sengak, dan temperamental. Berada di pengarahan maupun interpretasi pemain kurang tepat, Tania berpotensi menjadi karakter yang sukar diberi simpati. Namun performa Michelle Ziudith ditunjang chemistry padu bersama Fero Walandouw sebagai karakter tituler membuat saya cukup mampu memafhumi karakteristiknya yang kian meletup-letup tak terkontrol karena faktor duka. Adegan Tania terpuruk lalu menangis di pundak Ananta usai melempar lukisan-lukisannya ke luar jendela menjadi momen terbaik di film ini yang sekaligus menandai pertama kalinya simpati dapat disematkan secara resmi pada kedua karakter utama tersebut khususnya Ananta yang kebaikan dan kepolosannya membuat diri ini ingin memberinya pelukan hangat.  

Tidak hanya Michelle Ziudith yang membuktikan bahwa dia sanggup menunjukkan atraksi akting yang kejut nyata tatkala memperoleh peran beserta pengarahan yang tepat, tetapi juga Fero Walandouw. Merupakan kejutan terbesar dari Ananta, Fero adalah rekanan akting yang sesuai bagi Miziu. Chemistry yang dibina Miziu bersama Fero jauh lebih meyakinkan ketimbang saat dia beradu akting dengan Dimas Anggara maupun Rizky Nazar. Berkat performa keduanya, kita bisa menerima kenyataan bahwa Tania kelewat ngeselin dan Ananta kelewat mulia, lalu menikmati setiap momen kebersamaan mereka yang sebagian besar diantaranya mengundang gelak tawa – seperti berlari-larian di bawah guyuran ‘air hujan’ – dan menggoreskan rasa hangat di hati. Keberadaan Asri Welas yang kentara difungsikan sebagai comic relief jelas membantu meningkatkan level kelucuan yang sejatinya telah cukup kuat hanya dari interaksi Fero bersama Miziu. Sayangnya, segala kenikmatan menyaksikan Ananta yang ditimbulkan di satu jam pertama ini tak benar-benar bertahan hingga ujung durasi. Memang di separuh akhir masih ada sekelumit rasa manis dari benih-benih asmara antara Tania dengan Pierre atau terenyuh melihat kepedulian Ananta yang amat besar pada Tania, tapi upaya untuk menghadirkan kejutan yang membawa film ke ranah melodrama pada klimaks justru menurunkan greget. Andai si pembuat film (dan Risa sebagai pemilik materi sumber) tidak menjerumuskan Ananta pada tangis-tangisan klasik – plus misi Ananta tidak dipaksakan melibatkan perasaan – maka bukan tidak mungkin momen ‘perpisahan dan pertemuan’ di ujung film akan terasa lebih menohok. Andai ya…


Exceeds Expectations (3,5/5)
REVIEW : PERFECT STRANGERS (2016)

REVIEW : PERFECT STRANGERS (2016)


“We have everything in here (mobile phone). It’s the black box of our lives. How many couples would split up if they saw each other’s phones?” 

Tanyakan kepada dirimu sendiri: seberapa jauh kamu mengenal orang-orang yang kamu sebut sebagai sahabat, kekasih, maupun suami/istri? Apakah kamu benar-benar yakin bahwa mereka bisa sepenuhnya dipercaya? Benarkah tidak ada rahasia beracun yang disembunyikan rapat-rapat oleh mereka darimu? Bagaimana kalau ternyata mereka sejatinya tidak lebih dari orang asing yang kebetulan saja mendapat sebutan ‘sahabat, kekasih, maupun suami/istri’? Hmmm. Pertanyaan-pertanyaan ‘baper’ yang bisa jadi sempat menggelayuti pikiran kita ini menjadi landasan utama bagi Paolo Genovese untuk menghasilkan film layar lebar terbarunya yang bertajuk Perfect Strangers (dalam bahasa Italia berjudul Perfetti sconosciuti). Paolo bersama empat rekannya memformulasikan sederet pertanyaan tersebut ke dalam skrip yang lantas diejawantahkannya menjadi bahasa gambar. Demi membuatnya terasa kian menggigit, si pembuat film menyelubunginya dengan komentar sosial terkait dampak negatif dari kemajuan teknologi. Dampak negatif yang dijlentrehkan Paolo melalui Perfect Strangers adalah bagaimana teknologi telah merenggut habis privasi masyarakat modern melalui aplikasi maupun situs pertemanan (ironis!) dan mampu menjelma sebagai bahaya laten bagi hubungan antar manusia apabila tidak dipergunakan secara bijak. Dramaaaaaa! 

Guliran penceritaan Perfect Strangers mempertemukan penonton dengan tujuh sahabat lama yang konfigurasinya terdiri atas tiga pasangan menikah dan satu duda. Pasangan pertama adalah Lele (Valerio Mastandrea) dan Carlotta (Anna Foglietta) yang tidak lagi saling berkomunikasi secara intens. Pasangan kedua adalah pengantin baru, Cosimo (Edoardo Leo) dan Bianca (Alba Rohrwacher), yang gairah seksual keduanya masih menggebu-nggebu. Pasangan ketiga adalah Rocco (Marco Giallini) dan Eva (Kasia Smutniak) yang menapaki fase sebagai orang tua dari seorang remaja. Sementara sang duda adalah Peppe (Giuseppe Battiston) yang telah memiliki kekasih baru. Ketujuh sahabat ini berkumpul dalam sebuah jamuan makan malam yang dihelat di apartemen milik Rocco dan Eva. Mengingat mereka telah cukup lama tidak saling bersua, maka setumpuk obrolan dengan berbagai topik yang amat acak pun terus mencuat sampai akhirnya Eva memutuskan untuk membuat sebuah permainan menarik sekaligus ‘berbahaya’. Eva meminta setiap personil yang hadir untuk meletakkan ponsel cerdas masing-masing di atas meja makan lalu membiarkan seluruh pesan atau telepon yang masuk ke ponsel mereka diketahui oleh semuanya, tanpa terkecuali. Mulanya, permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini berlangsung menyenangkan. Namun saat rahasia-rahasia besar mulai terungkap, kesenangan tersebut berubah menjadi tragedi yang seketika menggoyahkan ikatan pernikahan dan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun. 



Perfect Strangers mengawali penceritaan dengan sekelumit babak introduksi yang menyoroti persiapan tiga pasangan sebelum menghadiri jamuan makan malam (Peppe baru diperkenalkan di lokasi acara). Tidak mendalam, tapi cukup untuk memberi kita gambaran mengenai hubungan yang terjalin diantara mereka; Lele-Carlotta dingin, Cosimo-Bianca menggelora, sementara Rocco-Eva cenderung berada di tengah-tengah. Begitu beranjak ke apartemen Rocco dan Eva yang akan menjadi panggung utama berlangsungnya ‘pertempuran’ sepanjang sisa durasi, Paolo lantas menyodori penonton dengan tek tokan remeh temeh antar sahabat yang berfungsi untuk menegaskan relasi ketujuh manusia ini sekaligus untuk menggelitik saraf tawa penonton. Dari obrolan-obrolan ini, kita pun menyadari bahwa guliran kisah Perfect Strangers bergantung sepenuhnya pada kekuatan dialog yang dikreasi oleh lima penulis naskah. Apabila materi pembicaraannya lembek, lalu chemistry antar pelakon tak bertenaga, dan penyuntingan kurang lincah, Perfect Strangers jelas berada dalam masalah besar. Beruntungnya apa yang terjadi justru sebaliknya. Obrolan ringan yang menghiasi belasan menit awal sedikit demi sedikit mengalami eskalasi, utamanya usai Eva memutuskan untuk memberikan bumbu pedas pada malam reuni kecil-kecilan ini. Disamping agar makan malam bersama ini terasa hidup (tentu tak akan ada tamu yang sibuk dengan ponselnya sendiri), tujuan Eva mencetuskan permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini adalah mengetes kejujuran – meski sejatinya telah melanggar privasi. Dia menantang, “jika memang tidak ada yang disembunyikan, kenapa harus takut?” 

Tentu saja, Paolo tidak membiarkan pesan atau telepon yang masuk ke ponsel para karakter berada di taraf aman. Kalau sebatas berhubungan dengan bisnis maupun panggilan dari kerabat atau sahabat, dimana asyiknya? Mesti ada ketegangan dong! Maka dari itu, si pembuat film menyelipkan rahasia pada masing-masing karakter. Tingkatannya beragam, ada yang biasa-biasa saja, sedang-sedang saja, sampai parah sekali yang seketika menciptakan ledakan hebat di meja makan dan memberi penonton suatu tontonan yang menarik – momen terbaik adalah ketika dua tamu bertukar ponsel yang tanpa disangka-sangka malah bikin geger karena dua pesan sederhana. Tidak ada yang terbebas dari konflik, tidak ada putih bersih di sini. Ketika kamu mengira bahwa satu persoalan telah cukup menggegerkan, tunggu sampai kamu mendengar rahasia lain yang siap diungkapkan. Yang jelas, Paolo tidak akan membiarkanmu terserang jenuh sampai jatuh terlelap di pertengahan durasi karena kolaborasinya bersama para penulis naskah yang mengkreasi dialog-dialog cepat nan tajam, penyunting gambar yang cekatan dalam menyusun ritme film, serta pemain ansambel dengan chemistry menyengat, memungkinkan Perfect Strangers untuk memiliki cita rasa mencekam dan mencengkram dari menit ke menit. Itulah mengapa menyaksikan Perfect Strangers yang dijual sebagai tontonan satir ini tak ubahnya menonton sebuah gelaran thriller. Kamu tidak akan rela memalingkan muka barang sejenak dari layar karena setiap percakapan yang meluncur dari mulut para karakter adalah kunci. 



Kunci yang akan menuntun para karakter untuk mengetahui ‘kebenaran beracun’ yang telah tersembunyi selama bertahun-tahun. Kunci yang akan melepaskan topeng yang selama ini dikenakan oleh tujuh manusia yang mengaku dirinya sebagai sahabat dan pasangan yang bisa dipercaya. Kunci yang akan membawa mereka pada keputusan penting; apakah hubungan (persahabatan dan pernikahan) penuh kepalsuan ini layak dipertahankan? Kunci yang akan mengusik pemikiran penonton dengan suatu pilihan; apakah kebenaran ini perlu dibeberkan sekalipun berpotensi merusak hubungan atau lebih baik disimpan erat-erat demi menjaga keutuhan hubungan sekalipun ini berarti ada ketidakjujuran? Dan kunci yang akan membuat kita bertanya-tanya; apakah kemajuan teknologi ini benar-benar telah membuat manusia tidak lagi peduli dengan privasi?

Outstanding (4/5)
REVIEW : TULLY

REVIEW : TULLY


“You’re convinced that you’re this failure, but you actually made your biggest dream come true.” 

Tully, suguhan terbaru dari Jason Reitman yang sekali lagi berkolaborasi dengan penulis naskah Diablo Cody usai Juno (2007) dan Young Adult (2011) yang amat mengesankan, dipersembahkan secara khusus untuk para ibu. Teruntuk para ibu yang mendedikasikan seluruh waktunya untuk mengasuh anak tanpa bala bantuan dari pengasuh anak bersertifikat. Teruntuk para ibu yang rela berjuang seorang diri dalam mengurus anak tanpa (atau minim) uluran tangan dari suami. Dan, teruntuk para ibu yang ikhlas seluruh mimpinya di masa muda terkubur dalam-dalam demi memastikan mimpi sang anak dapat tercapai. Tully tidak ubahnya sebuah surat cinta dari Reitman beserta Cody untuk para ibu di luar sana yang telah berjuang sepenuh tenaga demi memastikan anak-anak mereka memperoleh kehidupan yang layak. Menengok materi pembahasannya yang berjibaku dengan perjuangan seorang ibu, mudah untuk mengira bahwa film ini akan dikemas bak melodrama yang dipenuhi ratapan atau tangis haru. Kalaupun tidak, ya sarat letupan-letupan emosi dan dialog-dialog sinis khas Cody. Akan tetapi, alih-alih melantunkan kisah dengan pendekatan-pendekatan tersebut, Tully justru memilih untuk berbincang-bincang secara kalem. Ini seperti seorang sahabat yang menceritakan pengalaman-pengalaman serunya sebagai seorang ibu kepada sahabat terdekatnya seraya menyeruput teh di teras rumah pada sore hari yang cerah. Terdengar intim, jujur, tetapi juga lucu. 

Guliran penceritaan yang ditawarkan oleh Tully pun tidak rumit-rumit gimanaaaa gitu, malah cenderung sederhana. Fokusnya terletak pada seorang ibu bernama Marlo (Charlize Theron) yang telah dikaruniai dua buah hati dan kini sedang gelisah menanti lahirnya anak ketiga. Kegelisahan ini bukannya tanpa alasan karena Marlo sendiri sejatinya tidak mengantisipasi dirinya akan kembali hamil. Terlebih, si bungsu Jonah (Asher Miles Fallica) yang menunjukkan tanda-tanda mengidap autisme membutuhkan perhatian khusus dari Marlo dan sang suami, Drew (Ron Livingston), terlalu letih dengan rutinitasnya di kantor sehingga tidak memberi banyak bantuan terkait urusan rumah tangga. Tapi bagaimanapun, kehamilan itu terjadi dan dia pun melahirkan anak ketiga. Pada mulanya Marlo berniat mengurus kebutuhan si kecil dan krucil-krucil lainnya seorang diri sekalipun saudaranya, Craig (Mark Duplass), menunjukkan iktikad baik untuk membantu. Namun seiring berjalannya waktu, Marlo yang tidak lagi bisa tidur dengan nyenyak di malam hari perlahan tapi pasti mulai kewalahan sampai kemudian memutuskan untuk meminta bantuan pada night nanny seperti disarankan oleh Craig. Kehadiran night nanny bernama Tully (Mackenzie Davis) ini seketika mengubah kehidupan Marlo yang sebelumnya awut-awutan. Rumahnya bersih dari kotoran, dia bisa tidur dengan nyenyak, memasak untuk seluruh anggota keluarga, serta memuaskan Drew di ranjang. Berkat bantuan Tully, Marlo seperti menemukan gairah baru untuk menjalani hidup sebagai seorang manusia, seorang istri, dan seorang ibu.


Selepas menyaksikan Tully, ada satu perasaan ajaib yang mengemuka sehingga membutuhkan waktu bagi saya selama beberapa saat untuk akhirnya berhenti memandangi layar bioskop yang telah menggulirkan credit title, lalu beranjak dari kursi bioskop, dan melenggang pergi meninggalkan gedung pemutaran. Perasaan itu memunculkan kehangatan di hati. Membuat saya ingin memeluk diri sendiri serta (tentunya) ibu di rumah. Sungguh film yang sangat indah. Betapa tidak, melalui Tully, Reitman dan Cody kembali mengingatkan penonton betapa besarnya perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh para ibu agar anak-anaknya mendapatkan kehidupan yang layak. Tully tidak menceramahi penonton dengan setumpuk dialog-dialog pengobar semangat yang dirangkai puitis atau dramatisasi berlebihan yang memperlihatkan kehebatan seorang ibu. Yang dilakukannya semata-mata menyoroti rutinitas harian Marlo yang tidak jauh-jauh dari menyusui, mengganti popok, terbangun di tengah malam, mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, menghadapi keluhan pihak sekolah mengenai perilaku putranya yang dianggap ‘unik’, mendengarkan rajukan atau tangisan yang bikin gendang telinga pengang, membereskan cucian seraya mengawasi anak, tertidur di sofa pada siang bolong karena kelelahan, menyiapkan makan malam, dan siklus ini terus berulang selama berbulan-bulan (bahkan bertahun-tahun) lamanya. Serentetan aktivitas yang pastinya akan membuat para orang tua terkekeh-kekeh seraya berujar, “saya pernah berada di fase itu!,” dan menumbuhkan empati kepada para ibu dalam diri mereka yang belum mengalami fase menimang-nimang bayi. 

Mengingat Cody menulis naskah Tully tatkala dia baru saja melahirkan anak ketiga, maka bukan sesuatu yang mengherankan jika dia memahami betul pergulatan yang dialami oleh Marlo. Dibantu oleh Reitman yang mempunyai kepekaan tinggi, keduanya memberi penggambaran yang realistis mengenai keseharian seorang ibu dalam menyambut datangnya bayi baru. Agar tidak terasa menjemukan, humor ditaburkan disana sini yang tidak sedikit diantaranya membuat tawa saya meledak di dalam bioskop. Perihal meramu dialog tajam dan guyonan sinis, Cody memang jago. Sensitivitas naskah dan pengarahan dalam Tully ini beruntung sekali memperoleh sokongan yang sangat baik dari jajaran pemainnya, terutama Charlize Theron yang totalitasnya berperan bisa kalian tengok melalui transformasi fisiknya: berat badannya menjulang tinggi hingga tubuhnya terlihat seperti kumpulan lemak. Maka begitu putrinya bertanya, “apa yang terjadi dengan tubuhmu, Bu?,” penonton tidak sukar diyakinkan apa yang memantik pertanyaan tersebut. Performa Theron yang ciamik membuat kita dapat menyematkan empati kepada Marlo yang digambarkan tak ubahnya emak-emak kebanyakan. Terlampau fokus pada tiga buah hatinya, Marlo tidak memiliki waktu untuk mengurus diri sendiri sampai kemudian Tully mengetuk pintu rumahnya dan memberinya kesempatan membenahi hidup. Theron menjalin chemistry menyengat bersama Mackenzie Davis yang gairah mudanya meletup-letup. Interaksi keduanya terasa nyata dan mengalir sampai-sampai muncul keinginan untuk bergabung dengan klub kecil ini. Saking nyamannya bersama mereka, saya tidak rela untuk berpisah dengan Marlo maupun Tully kala film telah mencapai detik terakhir. Ah, andai saja Tully memiliki durasi lebih panjang!

Outstanding (4/5)


Senin, 25 Juni 2018

Dilan 1990 Download 360p

Dilan 1990 Download 360p


Milea (Vanesha Prescilla) bertemu dengan Dilan (Iqbaal Ramadhan) di sebuah SMA di Bandung. Itu adalah tahun 1990, saat Milea pindah dari Jakarta ke Bandung. Perkenalan yang tidak biasa kemudian membawa Milea mulai mengenal keunikan Dilan lebih jauh. Dilan yang pintar, baik hati dan romantis... semua dengan caranya sendiri. Cara Dilan mendekati Milea tidak sama dengan teman-teman lelakinya yang lain, bahkan Beni, pacar Milea di Jakarta. Bahkan cara berbicara Dilan yang terdengar kaku, lambat laun justru membuat Milea kerap merindukannya jika sehari saja ia tak mendengar suara itu. Perjalanan hubungan mereka tak selalu mulus. Beni, gank motor, tawuran, Anhar, Kang Adi, semua mewarnai perjalanan itu. Dan Dilan... dengan caranya sendiri...selalu bisa membuat Milea percaya ia bisa tiba di tujuan dengan selamat. Tujuan dari perjalanan ini. Perjalanan mereka berdua. Katanya, dunia SMA adalah dunia paling indah. Dunia Milea dan Dilan satu tingkat lebih indah daripada itu.

 TONTON CUPLIKAN 


Judul                  : Dilan 1990
Genre                 : Drama, Romantic
Pemain               : Iqbaal Ramadhan, Vanesha Prescilla
Kualitas              : 360P
Size                    : 322MB
Link Download  : Openload

Minggu, 24 Juni 2018

One Day (2016) WebRiP 720p Download

One Day (2016) WebRiP 720p Download


Denchai (Ter- Chantavit Dhanasevi) adalah seorang pekerja IT yang hidupnya penuh kesendirian. Rekan-rekan kerjanya tidak menganggap ia ada, kecuali kala membutuhkan bantuannya untuk tech support.
Kehidupan Denchai berubah ketika ia membetulkan printer Nui (Mew – Nittha Jirayungyurn), anak baru di divisi Marketing. Nui memangil dan mengingat namanya dengan benar. Denchai merasa hidupnya kembali bermakna, dan merasa dihargai. Sejak itu ia memiliki perasaan pada Nui, namun lagi-lagi hanya bisa mengagumi diam-diam.
Suatu ketika kantor mereka mengadakan perjalanan perusahaan ke resor ski di Hokkaido. Di sana Denchai berharap Nui bisa menjadi pacarnya untuk satu hari saja. Tak disangka, Nui mengalami kecelakaan ketika sedang bermain ski dan ketika terbangun terdiagnosis TGA, Nui mengalami gangguan kehilangan memori ingatan  sementara, yang hanya berlansung selama satu hari.
Disisi lain, Denchai melihat yang dialami Nui sebagai suatu peluang, mengambil kesempatan ini untuk berbohong pada gadis impiannya itu dengan mengatakan pada Nui bahwa ia kekasihnya, dan mereka memiliki rencana untuk berjalan-jalam mengelilingi Hokkaido bersama-sama.
Apakah Anda mempertaruhkan segalanya , hanya untuk jatuh cinta hanya untuk satu hari ?

 TONTON CUPLIKAN 


Judul                  : One Day 2016
Genre                 : Drama, Romantic
Pemain               : Chantavit Dhanasevi, Nittha Jirayungyurn
Kualitas              : WebRip 720p
Size                    : 455MB
Link Download  : Openload