Tampilkan postingan dengan label Spider-Man : Homecoming. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Spider-Man : Homecoming. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Juli 2017

SPIDER-MAN : HOMECOMING (2017) REVIEW : Lika Liku Hidup Remaja Super

SPIDER-MAN : HOMECOMING (2017) REVIEW : Lika Liku Hidup Remaja Super


Setelah memiliki berbagai macam transisi dan pengulangan, pada akhirnya Marvel dan Disney memutuskan untuk mengakuisisi Spider-Man dari Sony untuk bisa masuk jajaran Marvel Cinematic Universe-nya. Dengan begitu, Marvel Cinematic Universe memiliki ekspansi dunia yang semakin rumit dan punya deretan manusia super yang semakin penuh sesak. Tetapi, hal itu bukan menjadi sesuatu yang perlu ditakutkan oleh Marvel Cinematic Universe karena dunianya sudah memasuki fase ketiga yang memang butuh komplikasi lebih.

Dengan bergabungnya Spider-Man menjadi salah satu anggota dari Marvel Cinematic Universe, akhirnya manusia laba-laba ini masuk menjadi pemeran pendukung di Captain America : Civil War. Kemunculannya di seri ketiga dari Captain America ini menjadi usaha mencari perhatian dari Marvel kepada fansnya. Sehingga, Spider-Man seolah-olah dilahirkan kembali dengan citra diri yang berbeda dengan film-film sebelumnya.

Spider-Man milik Marvel Cinematic Universe ini digambarkan memiliki usia yang jauh lebih muda dibandingkan dengan film-film sebelumnya. Dan kali ini, Jon Watts menjadi orang yang memiliki kontrol atas apa yang ditampilkan di film Spider-Man terbaru dengan judul Spider-Man : Homecoming. Kali ini, kisah tentang Peter Parker memiliki atmosfir dunia sekolah menengah atas yang jauh lebih kental dari film-film sebelumnya. Serta, Spider-Man : Homecoming berusaha keluar dari kisah-kisah generik yang dipakai oleh film-film sebelumnya. 


Seiring dengan diakuisisinya Spider-Man, Disney dan Marvel tak ingin lagi terjebak dengan cerita-cerita yang serupa. Maka dari itu, Spider-Man : Homecoming berusaha memberikan perspektid yang berbeda. Begitu pula dengan pemeran Peter Parker yang juga ikut diganti. Dari Tobey McGuire menjadi Andrew Garfield, kali ini Peter Parker diperankan oleh Tom Holland yang masih remaja. Hal ini sesuai dengan bagaimana Marvel dan Disney berusaha keras memberikan diferensiasi dari film-film Spider-Man sebelumnya.

Dengan keluar dari babak cerita yang berbeda, Spider-Man : Homecoming berusaha untuk menjadi lebih dari sekedar film manusia super yang menyenangkan. Film yang diarahkan oleh Jon Watts ini membuat Spider-Man : Homecoming yang sedang menceritakan transisi dari kehidupan Peter Parker yang sedang dalam fase remaja. Menciptakan atmosfir coming of age dengan nuansa yang lebih kental untuk mengetahui bagaimana kehidupan Peter Parker secara lebih intim. 


Keintiman itu bermula di sebuah sekolah menengah atas di daerah Queens, kota kecil tempat Peter Parker (Tom Holland) tinggal. Paska pertemuannya dengan Tony Stark (Robert Downey Jr.) yang sedang bertarung sengit dengan Steve Rogers (Chris Evans), Peter merasa bahwa dirinya adalah orang yang sangat penting bagi dunia ini. Dengan keterlibatannya itu, Peter merasa bahwa di kota kecil ini penuh akan kejahatan dan ketidaknyamanan yang perlu dilibas olehnya. Tetapi sikap Peter Parker yang ingin terlibat itu, membuat dirinya malah terjebak dalam masalah.

Peter menemukan transaksi senjata ilegal dengan teknologi mutakhir yang diambil dari bekas-bekas pertarungan anggota Avengers dengan musuh-musuhnya. Peter berusaha memgingatkan Tony Stark tentang keadaan ini, tetapi tidak ada yang menggubrisnya. Dengan adanya kejahatan itu, Peter Parker tak tinggal diam. Dia berusaha sendiri untuk menangkap dan mencari tahu siapa dalang di balik penjualan senjata ilegal ini. Tetapi, Peter Parker juga mendapatkan resiko yang sangat besar dari apa yang dia lakukan.


Kentalnya atmosfir remaja di dalam film Spider-Man : Homecoming ini seakan-akan memberikan nafas baru di deretan film-film manusia super milik Marvel. Bagaimana Jon Watts memvisualisasikan bagaimana Peter Parker sebagai sosok karakter yang tetap tak bisa lepas dengan kehidupannya sebagai orang biasa. Memiliki alter ego menjadi sosok manusia super tetapi juga tetap menjadi remaja dengan perputaran problematika yang tak jauh-jauh dari percintaan, persahabatan, dan popularitas saat SMA.

Inilah yang membuat Spider-Man : Homecoming memiliki diferensiasi dengan film-film manusia laba-laba yang lain. Atribut remaja seperti malam prom, pesta, dan persahabatan yang sekaligus menjadi karakter pendukung ini selalu ada dalam film-film yang menggambarkan transisi kehidupan remaja. Tetapi, Jon Watts berusaha untuk berkiblat pada film-film remaja khas dari John Hughes seperti The Breakfast Club dan Sixteen Candles. Referensi itu pun semakin terlihat kentara dengan bagaimana Jon Watts menyelipkan sedikit cuplikan adegan dari Ferris Bueller’s Day Off di dalam filmnya.

Penonton diajak kembali ke masa-masa remaja sekolah menengah atas di dalam sebuah film manusia super dan Spider-Man : Homecoming berhasil memunculkan hal tersebut. Meskipun plot ceritanya masih terlihat generik sebagai sebuah film kisah asli dari seorang manusia super, tetapi ada usaha dari Jon Watts untuk berusaha memberikan diferensiasi tersebut. Tahu akan kelemahannya untuk membuat spektakel aksi, Jon Watts berusaha dengan memberikan kedekatan karakter Peter Parker dengan karakter lainnya. 


Secara aksi, Jon Watts masih belum bisa memberikan detil-detilnya. Pertarungan akhir yang diarahkan di dalam Spider-Man : Homecoming belum bisa memberikan sesuatu yang mencengkram dan kalah dengan adegan pertarungan sebelumnya. Tetapi, Jon Watts bisa mengemas dan menyatukan drama coming of age dengan tetap memiliki cita rasa film manusia super inilah yang perlu diapresiasi. Ketelitian Jon Watts ini adalah kekuatan dari Spider-Man : Homecoming yang bisa setara memberikan porsi di antara dua atmosfir yang berbeda ini dan tampil begitu menyenangkan di dalam film ini.

Spider-Man : Homecoming itu pun tak serta merta menjadi sebuah superhero spin-off film yang memang harusnya ada untuk menceritakan siapa itu manusia laba-laba ini. Tetapi, konflik yang ada di dalam film Spider-Man : Homecoming memberikan relevansi dan ekspansi dengan segala hal yang ada di Marvel Cinematic Universe. Dengan adanya film ini menandakan bahwa fase ketiga di dalam Marvel Cinematic Universe bukan sekedar tentang penambahan karakter, tetapi memang dunianya yang semakin besar. Tentang bagaimana apa yang dilakukan oleh manusia super ini benar-benar dapat berdampak kepada siapapun. 


Oleh karena itu, Spider-Man : Homecoming bisa dibilang menjadi salah satu film penting yang dapat memberikan ekspansi lebih terhadap Marvel Cinematic Universe. Sebuah kisah asli yang memang memiliki plot yang lurus-lurus saja, tetapi dikemas dengan atmosfir yang berbeda. Sehingga, Spider-Man : Homecoming menjadi sesuatu yang segar untuk disantap. Memiliki atmosfir coming of age dengan berbagai macam tribut kepada film-film John Hughes yang kental. Dengan begitu, penonton bisa merasa dekat dengan Peter Parker yang sedang berusaha keras dengan kehidupan remajanya. Jon Watts bisa memberikan pergantian dua atmosfir tanpa merusak esensi dari keduanya. Sehingga, Spider-Man : Homecoming adalah sebuah drama transisi remaja dengan kekuatan super yang sangat menyenangkan.  

Spider-Man : Homecoming juga tampil dalam berbagai format, salah satunya yaitu IMAX 3D Format. Berikut adalah rekapan dari format IMAX 3D film Spider-Man : Homecoming.

DEPTH 

Punya kedalaman yang menarik, sehingga menonton Spider-Man : Homecoming terasa seperti mengintip dari jendela kamar kita

POP-OUT 

Mungkin tidak ada apapun yang bisa keluar dari layar di film Spider-Man : Homecoming. Film ini hanya menekankan tentang kedalaman gambar saat ditonton di format IMAX 3D.

Tonton saja film ini dalam format IMAX 3D. Sangat direkomendasikan, apalagi format IMAX 3D hanya selisih sedikit saja dengan layar reguler.

Kamis, 06 Juli 2017

REVIEW : SPIDER-MAN: HOMECOMING

REVIEW : SPIDER-MAN: HOMECOMING


"I'm nothing without the suit!"
"If you're nothing without the suit, then you shouldn't have it."

Reboot lagi, reboot lagi. Mungkin begitulah tanggapan sebagian pihak tatkala mengetahui film terbaru si manusia laba-laba, Spider-Man: Homecoming, memulai guliran pengisahannya dari awal mula (lagi!) alih-alih melanjutkan apa yang tertinggal di dwilogi The Amazing Spider-Man yang juga merupakan sebuah reboot dari trilogi Spider-Man asuhan Sam Raimi. Bisa jadi tidak banyak yang tahu – kecuali kamu rajin mengikuti perkembangan berita film terkini – bahwa keputusan untuk ‘back to the start’ ini dilandasi alasan agar Spider-Man dapat melebur secara mulus (dan resmi) ke dalam linimasa Marvel Cinematic Universe (MCU). Sebelum hak pembuatan film merapat lagi ke Marvel Studios yang diumumkan pada tahun 2015 silam, segala bentuk film yang berkenaan dengan alter ego Peter Parker ini memang berada sepenuhnya di tangan Sony Pictures. Itulah mengapa kita baru benar-benar bisa melihat Spidey bergabung bersama para personil Avengers untuk pertama kalinya dalam Captain America: Civil War (2016) selepas kesepakatan kerjasama antara Sony Pictures dengan Marvel Studios sukses tercapai. Menyusul perkenalan singkat nan berkesan yang menyatakan bahwa si manusia laba-laba telah ‘pulang ke rumah’ di film sang kapten tersebut, Spidey akhirnya memperoleh kesempatan unjuk gigi lebih besar dalam film solo perdananya sebagai bagian dari MCU yang diberi tajuk Spider-Man: Homecoming

Dalam Spider-Man: Homecoming, Peter Parker (Tom Holland) dideskripsikan sebagai seorang remaja SMA berusia 15 tahun yang memiliki otak encer, penuh semangat, sekaligus masih labil. Pasca diajak berpartisipasi oleh Tony Stark (Robert Downey Jr) dalam pertempuran antar personil Avengers akibat perbedaan prinsip seperti diperlihatkan di Civil War, Peter berharap banyak dirinya dalam wujud Spider-Man akan dipercaya seutuhnya untuk menjadi bagian dari kelompok Avengers. Berbulan-bulan menanti panggilan dari Tony yang tidak kunjung datang, Peter pun memilih beraksi kecil-kecilan seorang diri di lingkungan sekitar tempat tinggalnya dengan harapan suatu saat akan menghadapi pelaku kriminal sesungguhnya. Tidak berselang lama, gayung bersambut. Peter berhasil menggagalkan aksi pembobolan ATM dari sejumlah perampok yang menggunakan senjata berkekuatan luar biasa dan berlanjut pada memergoki penjualan senjata ilegal dari pihak sama yang ternyata dikomando oleh mantan kontraktor yang menyimpan dendam kesumat pada Tony, Adrian Toomes (Michael Keaton). Dengan bantuan sang sahabat yang mengetahui jati diri Peter yang lain, Ned (Jacob Batalon), dan perlengkapan canggih hasil kreasi Tony, Peter/Spider-Man berupaya membuktikan kepada sang mentor bahwa dirinya telah memenuhi kualifikasi untuk bergabung ke dalam Avengers dengan cara menghentikan rencana besar Adrian untuk mencuri senjata berteknologi tinggi dari pemerintah.


Hanya butuh tiga huruf untuk mendeskripsikan seperti apa Spider-Man: Homecoming, yakni F-U-N. Ya, sajian rekaan Jon Watts (Clown, Cop Car) ini sanggup memberikan sebuah pengalaman sinematik yang bukan saja mengasyikkan tetapi juga memuaskan sehingga mudah untuk menempatkannya di jajaran terdepan dari film terbaik Spider-Man – menurut saya, hanya kalah dari Spider-Man 2. Guyonan yang dilontarkannya berulang kali menciptakan derai-derai tawa, sementara rentetan sekuens laga yang dikedepankannya pun amat seru. Terhitung sedari adegan Spidey melawan gerombolan Adrian Toomes di dalam bilik ATM yang menghadirkan semangat pula canda tawa, setahap demi setahap Watts mulai meningkatkan level kegentingan yang dihadapi pahlawan kita bersama ini yang membuat perjalanan selama 132 menit berlangsung tanpa terdengar helaan nafas panjang tanda munculnya kejenuhan. Tercatat setidaknya ada tiga momen laga mendebarkan yang mencuri atensi saya secara penuh di Spider-Man: Homecoming. Pertama, ketika si manusia laba-laba mencoba untuk menyelamatkan rekan-rekan sekolahnya yang terjebak di dalam lift yang hendak terperosok. Kedua, penghormatan terhadap adegan kereta listrik dari Spider-Man 2 tatkala Spidey melawan Vulture – jelmaan Adrian – di kapal feri yang berujung pada terbelahnya kapal tersebut. Dan ketiga, konfrontasi akhir yang panas dan dipicu oleh ‘interogasi’ tak disangka-sangka. 

Segala bentuk gegap gempita penuh kesenangan tersebut bisa kamu jumpai dengan mudah sejak babak pembuka hingga penutup dalam Spider-Man: Homecoming yang penceritaannya dilantunkan menggunakan pendekatan film remaja 80-an bertemakan coming of age seperti milik mendiang John Hughes (The Breakfast Club, Ferris Bueller’s Day Off) ini. Satu hal yang saya sukai sekaligus kagumi dari film solo untuk para superhero yang tergabung dalam MCU adalah adanya sempalan genre lain dibalik tampilan luar yang sepintas lalu tampak seragam sebagai superhero movie yang semata berhura-hura. Lihat bagaimana mereka membentuk Captain America: Winter Soldier selaiknya tontonan spionase, lalu Guardians of the Galaxy menyerupai space opera dengan bumbu komedi nyentrik, dan Ant-Man yang kentara terasa dipengaruhi oleh heist movie. Dalam Spider-Man: Homecoming, keputusan untuk membawanya ke arah film remaja pencarian jati diri terbilang masuk akal karena pendekatan ini efektif dalam mengenalkan pula mendekatkan penonton kepada sosok Peter/Spidey melalui serangkaian konflik internal khas remaja kebanyakan (contoh memendam asmara pada gadis tercantik di sekolah, teralienasi dari pergaulan dan haus akan pengakuan) yang dihadapi Spidey sebagai anggota paling muda di Avengers. Kita bisa mendeteksi semangatnya yang kelewat meletup-letup, idealismenya yang acapkali kebablasan, kepolosan generasi muda yang belum tersentuh pahitnya dunia, sampai ketidakstabilan emosinya sehingga membuat keberadaan Tony Stark di sisinya pun sangat bisa dipahami. Lagipula, bukankah menyegarkan melihat sepak terjang superhero remaja yang masih labil setelah selama ini kita lebih sering menyaksikan aksi para superhero dewasa yang memahami benar apa motivasi mereka dalam bertempur? 

Tom Holland mampu menerjemahkan itu semua secara prima, termasuk ketengilan Spidey kala beraksi dan kekikukkan Peter dalam berinteraksi sosial. Meyakinkan. Apiknya performa Holland turut mendapat sokongan pula dari lini pendukung yang menghadirkan lakonan tak kalah apik; Michael Keaton adalah seorang villain yang mengintimidasi baik saat mengenakan kostum maupun tidak (tengok adegan di mobil!) serta manusiawi di saat bersamaan menilik motivasinya yang bukan semata-mata ingin menguasai dunia, Jacob Batalon adalah seorang sahabat kocak yang ingin kita miliki, Zendaya sebagai teman sekolah Peter adalah seorang perempuan dengan aura misterius yang ingin kita kenal, dan Marisa Tomei sebagai Bibi May adalah seorang bibi keren yang kita kagumi. Disamping mereka masih ada juga sumbangsih peran dari Jon Favreau, Robert Downey Jr., Tony Revolori, serta Chris Evans (dalam peran singkat yang bikin gemes!) yang membuat film kian memiliki cita rasa meriah. Meriah? Ya, memang demikian adanya Spider-Man: Homecoming seperti halnya kebanyakan film yang tergabung dalam MCU. Namun lebih dari itu, nada penceritaan sarat hingar bingar yang dipilih oleh Jon Watts sendiri merupakan sebentuk representasi untuk Peter/Spider beserta masa mudanya yang penuh gejolak. Masa mudanya yang mengasyikkan, seru, dan penuh warna lantaran mempunyai banyak kesempatan mengeksplor kekuatan baru tak terbayangkan sebelumnya. 

Note : Pastikan kamu bertahan hingga layar bioskop telah berubah sepenuhnya gelap. Ada dua adegan tambahan tatkala credit title bergulir yang berada di pertengahan dan penghujung.

Outstanding (4/5)