Tampilkan postingan dengan label Yowis Ben. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Yowis Ben. Tampilkan semua postingan

Senin, 19 Maret 2018

YOWIS BEN (2018) REVIEW : Bahasa Jawa Timuran, Bahasan Tetap Universal.

YOWIS BEN (2018) REVIEW : Bahasa Jawa Timuran, Bahasan Tetap Universal.


Budaya jawa timuran dalam sebuah film memang bukan lagi hal baru. Ada beberapa film yang setting jawa timurnya pun kental. Yowis Ben, film arahan dari Fajar Nugros yang berkolaborasi dengan Bayu Skak ini terlihat mengasyikkan. Bukan sekedar karena filmnya yang menggunakan bahasa jowoan, tetapi lebih karena trailernya yang terlihat menarik. Pun, lebih menarik lagi ketika ada nama Bayu Skak yang ikut membantu Fajar Nugros sebagai sutradara.

Selain itu, naskah dari Yowis Ben pun ditulis sendiri oleh Bayu Skak. Trailernya menarik tetapi tak disangka bahwa Yowis Ben bisa menjadi sebuah film yang mendatangkan jumlah penonton yang cukup banyak. Dengan kedekatan budaya, tentu saja Yowis Bensangat menarik penonton di daerah jawa timur mulai dari Surabaya, apalagi Malang yang setting filmnya pun berada di sana. Tentu ini adalah sebuah fenomena menarik dalam perfilman Indonesia.

Tetapi, akan masih banyak penonton yang meragukan bagaimana performa Yowis Ben secara utuh. Nama Bayu Skak tentu menjadi taruhan serta alasan lain bagi mereka yang tak dekat dengan budayanya untuk hadir menonton film Yowis Ben ini. Ketenaran Bayu Skak di media sosial tentu menjadi keunggulan sendiri bagi Yowis Ben untuk melakukan promosi dan mendatangkan jumlah penonton. Tetapi, kedekatan secara budaya ini adalah kata kunci bagaimana Yowis Ben bisa sangat sukses.


Kesuksesan yang didapatkan oleh Yowis Ben ini untungnya masih selaras dengan bagaimana 100 menit dari film ini dikemas oleh Fajar Nugros dan Bayu Skak. Yowis Ben memiliki kekuatan utama dalam bahasa jawa timurannya sebagai gong utama semua celotehan komedinya. Tak bisa dipungkiri bahwa bahasa lokal inilah yang menjadi keistimewaan dari Yowis Ben. Terlebih, sebenarnya Yowis Ben tak memiliki sesuatu yang baru di dalam genre-nya untuk ditawarkan kepada penontonnya.

Yowis Ben sangat menggantungkan dirinya dengan kedekatan budaya lokal yang sangat kental. Hal ini mungkin tak bisa sepenuhnya bisa membuat penonton yang tak kenal budaya tersebut akan mendapatkan efek yang sama dengan yang sudah kenal dengan budaya tersebut. Tetapi, Fajar Nugros dan Bayu Skak setidaknya sudah memberikan caranya sendiri untuk mengemas film Yowis Ben agar tetap bisa dinikmati setiap orang.


Yowis Ben menceritakan tentang seorang remaja sekolah menengah atas bernama Bayu (Bayu Skak) yang masih saja terjebak problematika zaman now yaitu popularitas. Bayu yang hidup bersama Ibunya yang berprofesi sebagai penjual nasi pecel membuat Bayu dikenal sebagai Pecel Boy. Ini karena Bayu sering membantu ibunya berjualan nasi pecel kepada teman-temannya di sekolah. Hal inilah yang membuat Bayu berpikir untuk memperbaiki reputasinya di sekolah.

Bersama dengan teman dekatnya,  Doni (Joshua Suherman), Bayu memutuskan untuk membuat band yang bisa mengangkat popularitasnya di sekolah. Ini juga menjadi alasan agar Bayu bisa mendekati cewek yang dia taksir di sekolah bernama Susan (Cut Meyriska). Akhirnya bertemulah Bayu dan Doni dengan Yayan (Tutus Thomson) dan Nando (Brandon Salim). Mereka menamai band mereka menjadi Yowis Bendan beberapa videonya berhasil menjadi viral.


Plot ceritanya tak ada yang spesial, Yowis Ben menggunakan pakem dan tema yang sama dengan beberapa film remaja yang ada. Sehingga, memang bagi yang sudah pernah menonton film dengan genre serupa, Yowis Ben tak akan menawarkan sesuatu yang baru. Tetapi, hal tersebut tak semata-mata membuat Yowis Ben tak bisa menjadi sajian yang menarik. Pintarnya Fajar Nugros dan Bayu Skak mengemas sesuatu yang usang itu sehingga memiliki daya tariknya yang baru.

Memasukkan bahasa lokal sebagai injeksi daya tarik sekaligus sorotan utama dalam film ini tentu bukanlah perkara mudah. Celotehan-celotehan bahasa jawa timuran ini adalah kekuatan utama dalam porsi komedinya dan ini harus punya ketelitian agar tak timbul adegan yang jatuhnya menganggu. Bayu Skak dalam naskahnya memiliki ketelitian itu di dalam Yowis Ben. Pun, bahasa lokal ini tak hanya sebagai dialognya saja, tetapi juga bahasa dalam lagu yang dimainkan oleh para karakternya ini berhasil menjadi cocok di kuping penontonnya.

Yowis Ben berhasil memberikan gambaran tentang dinamika remaja zaman sekarang yang sangat mempedulikan popularitas apalagi di dunia maya. Konflik inilah yang perlu digarisbawahi bahwa semua remaja di belahan provinsi manapun ternyata memiliki konflik yang sama. Pengikut di akun media sosial menjadi momok yang penting bagi perjalanan hidup remaja zaman sekarang. Tetapi, mereka tak benar-benar tahu apa yang didapatkan setelah sangat mempedulikan persona yang mereka tampilkan di dunia maya. Inilah yang membuat Yowis Ben bisa dinikmati oleh semua budaya.


Tetapi, tak bisa dipungkiri pula bahwa pentingnya penggambaran dinamika remaja zaman sekarang ini tak bisa tersampaikan dengan sempurna. Yowis Ben mengorbankan konflik ini kepada subplot lain tentang kekeluargaan dan cinta-cintaan yang pada akhirnya membuat Yowis Ben tak memiliki penceritaan yang baik. Beberapa adegan memiliki tempo yang melambat dan plot mereka menjadi saling tumpang tindih dan diselesaikan dengan secepat mungkin.

Performa Yowis Ben pada akhirnya memang tak bisa sempurna karena beberapa minor yang ada di dalam filmnya. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Yowis Ben masih memiliki beberapa hal yang bisa dinikmati oleh penontonnya. Film ini memang sangat bertumpu kepada bahasa lokalnya sebagai kekuatan utama untuk meluncurkan punchline komedi yang mengundang tawa. Meski akan ada beberapa yang meleset bagi mereka yang tak dekat dengan budayanya, setidaknya Yowis Ben sudah berusaha menjadi sajian yang universal lewat konfliknya.

Rabu, 28 Februari 2018

REVIEW : YOWIS BEN

REVIEW : YOWIS BEN


“Wong-wong kudu paham, suatu saat kene iso dadi keren.” 

Beberapa waktu lalu, Yowis Ben yang menandai untuk pertama kalinya Bayu Skak menempati posisi pemeran utama sekaligus sutradara – mendampingi Fajar Nugros, menciptakan kontroversi tak perlu di kalangan netizen-maha-benar lantaran dialog dalam film sebanyak 80% menggunakan Bahasa Jawa. Bermacam-macam bentuk kecaman dilayangkan dari menuduh berniat memecahbelah bangsa sampai bernada mengejek yang menyerang ke stereotip masyarakat Jawa. Memiliki segudang bahasa daerah yang tersebar di seantero Indonesia, tentu bukan sesuatu yang mengherankan jika kemudian ada film buatan sineas tanah air yang mempergunakan bahasa daerah tertentu untuk keperluan menghantarkan cerita. Dalam beberapa tahun terakhir saja, geliatnya mulai terasa yang diprakarsai oleh film-film asal Makassar yang mendapat sorotan di tahun 2016 silam berkat laris manisnya Uang Panai (menembus 500 ribu penonton!) dan film-film dari Yogyakarta seperti Siti (2015) atau Turah (2017) yang langganan wara-wiri ke ajang penghargaan. Yowis Ben tak ubahnya judul-judul tersebut yang bercerita menggunakan bahasa daerah demi mempertahankan autentisitas (mengingat latar utamanya di Malang, Jawa Timur, yang masyarakatnya memang berbahasa Jawa) dan penebalan pada rasa. Yang kemudian membedakan Yowis Ben dengan judul-judul tersebut hanyalah pada skalanya karena film ini diproduksi oleh Starvision yang terhitung sebagai pemain besar di perfilman Indonesia. 

Karakter sentral yang menjadi motor penggerak Yowis Ben adalah siswa SMA bertampang pas-pasan dengan kondisi finansial pas-pasan pula bernama Bayu (Bayu Skak). Tentu saja Bayu bukanlah siswa tenar karena bakat atau pencapaian akademiknya di sekolah. Bayu cukup dikenal oleh rekan-rekannya karena dia membantu menjajakan pecel buatan ibunya sehingga memiliki panggilan “Pecel Boy”. Statusnya sebagai siswa jelata ini jelas membuatnya kesusahan untuk menambat hati para perempuan, terlebih lagi Bayu secara spesifik mengincar siswi-siswi populer. Saat Bayu jatuh hati kepada Susan (Cut Meyriska) yang tak ubahnya primadona sekolah, dia memutuskan untuk melakukan perubahan dalam dirinya demi meningkatkan ‘strata sosial’. Bersama dengan sahabatnya, Doni (Joshua Suherman), yang tengah berusaha mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya, Bayu berinisiatif membentuk band. Dari hasil menyebar pamflet seadanya, dua sahabat ini berhasil merekrut pemukul bedug masjid yang diam-diam memiliki bakat terselubung sebagai drummer, Yayan (Tutus Thomson). Turut bergabung bersama mereka yakni murid pindahan yang digilai karena tampangnya, Nando (Brandon Salim). Mengusung nama Yowis Ben yang tercetus dari musyawarah berujung pertikaian, band ini mengusung satu misi: pembuktian diri. Suatu misi yang ternyata mudah saja untuk dicapai sampai kemudian cobaan menghadang dalam wujud seorang perempuan yang seketika mengancam keutuhan band. 


Ditilik dari sisi gagasan cerita, Yowis Ben sejatinya tidak menghadirkan sesuatu yang baru. Plot formulaiknya mengenai seorang pemuda yang membentuk band demi menaklukkan hati seorang pemudi telah beberapa kali kita jumpai dalam film sejenis, termasuk Suckseed (2011) dan Sing Street (2016). Yang lantas memberi keasyikkan tersendiri dalam menyaksikan Yowis Ben adalah asupan humor yang kental, tembang-tembang renyah di telinga dan penuturannya yang enerjik. Sedari menit pembuka, film yang mengejawantahkan skrip rekaan Bagus Bramanti dan Gea Rexy ini memang telah tancap gas. Perkenalan kepada sosok Bayu ditempuh dengan cara ngelaba yang sekaligus bertujuan untuk membiasakan penonton kepada tone yang diterapkan oleh film. Bisa dibilang, sepanjang Yowis Ben mengalun di separuh awal durasi, canda tawa adalah menu utamanya. Canda tawanya bersumber dari humor-humor receh nirfaedah yang (saya meyakini) merupakan santapan sehari-hari kera-kera ngalam dan sebagian penonton. Adanya faktor kedekatan ini memiliki peranan penting terhadap bagaimana humor-humor yang dilontarkan bisa terdengar sangat lucu. Keputusan si pembuat film untuk tetap mempertahankan dialog dalam Bahasa Jawa dengan dialek Malangan harus diakui bukan saja berani tetapi juga tepat guna. Andai dialognya ditranslasi ke Bahasa Indonesia, kelucuan yang ditimbulkan mungkin tidak ‘ger-geran’ seperti ini dan malah bisa jadi berakhir jayus karena memang tidak semua guyonannya cocok diucapkan dalam Bahasa Indonesia. 

Faktor lain yang turut menentukan tersalurkannya banyolan dalam Yowis Ben dengan baik adalah performa jajaran pelakonnya. Baik Bayu Skak, Joshua Suherman, Brandon Salim, serta Tutus Thomson (yang kemunculannya senantiasa mencuri perhatian!) bermain secara santai dan effortless. Mereka menghadirkan chemistry lekat sehingga kita dapat memercayai bahwa keempatnya memang memiliki ikatan persahabatan. Tek-tokan diantara sesama mereka yang dipenuhi jancuk-jancukan terasa amat seru, begitu pula penampilan dari Arief Didu sebagai ‘penasehat spiritual’ Bayu, Erick Estrada sebagai penggemar nomor satu Yowis Ben, dan duo pelawak legendaris Jawa Timur, Cak Kartolo-Cak Sapari, sebagai pelanggan warung pecel yang kian meningkatkan level kelucuan film ini. Jika ada titik lemah, maka itu terletak pada Cut Meyriska yang memegang peranan krusial di separuh akhir. Aktingnya yang cenderung sinetron-ish memang bukan kesalahan tunggal karena terhitung sedari mencuatnya elemen dramatik, Yowis Ben mulai goyah. 

Kisah percintaan Bayu-Susan yang tereksekusi canggung cenderung tak meyakinkan dan sosok Susan yang tidak pernah tertambat di hati penonton karena pengenalan karakternya hanya sepintas lalu serta karakterisasinya yang tidak konsisten (serius, saya bingung. Apakah Susan ini benar-benar mencintai Bayu?) membuat saya mempertanyakan keputusan si pembuat film untuk memindahkan fokus penceritaan ke dua sejoli ini dan makin dipertanyakan setelah karakterisasi Susan bertransformasi secara drastis. Andai jalinan pengisahan tetap setia pada teritori persahabatan dan band tanpa harus dipaksa berbelok ke ranah romansa dan drama yang tidak juga tergarap matang, fun factor beserta greget Yowis Ben bisa jadi akan lebih tinggi. Cukup disayangkan mengingat Yowis Ben sejatinya sudah sangat menyenangkan untuk ditonton sebelum jatah tampil Susan tiba-tiba diperbanyak.


Note : Yowis Ben dilengkapi dengan subtitle Bahasa Indonesia yang komunikatif. Jadi kalian yang tak paham Bahasa Jawa, tak perlu risau bakal dibuat kebingungan.

Acceptable (3/5)