Tampilkan postingan dengan label Action. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Action. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : AVENGERS: INFINITY WAR

REVIEW : AVENGERS: INFINITY WAR


“The entire time I knew him, he only ever had one goal. To wipe out half the universe. If he gets all the Infinity Stones, he can do it with the snap of his fingers. Just like that.” 

Pertempuran terakbar di sejarah perfilman dunia dalam satu dekade terakhir telah tiba. Para pahlawan dengan kekuatan adidaya milik Marvel Studios yang pertama kali bahu membahu menyelamatkan dunia (atau New York?) dari kegilaan Loki melalui The Avengers (2012), lalu bereuni dalam Avengers: Age of Ultron (2015) tatkala mereka mendapat tugas dinas bersama di Sokovia yang terancam hancur lebur dari serangan Ultron, dan sempat pecah kongsi karena perbedaan ideologi di Captain America: Civil War (2016), akhirnya memperoleh perlawanan yang tidak lagi bisa dipandang sebelah mata lewat Avengers: Infinity War yang merupakan film ke-19 dalam rangkaian Marvel Cinematic Universe (MCU). Ya, di perayaan menapaki usia ke-10 sejak MCU pertama kali diperkenalkan dalam Iron Man (2008) ini, pertaruhannya benar-benar nyata dan berada di tingkatan sangat tinggi. Betapa tidak, para anggota Avengers kini mesti menghadapi Thanos yang digadang-gadang sebagai supervillain yang amat sulit untuk ditaklukkan. Dibandingkan dengan Thanos, Loki dan Ultron tidak lebih dari sebatas remah-remah renggingang. Dia mengoleksi enam batu akik, eh maksud saya, Batu Keabadian alias Infinity Stones, yang memungkinkannya untuk menguasai jagat raya dengan mudah semudah menjentikkan jari. Berbekal batu-batu tersebut, si Mad Titan ini akan melenyapkan separuh dari populasi galaksi yang dianggapnya telah berkontribusi terhadap kekacauan alam semesta sehingga suatu keseimbangan dapat dicapai. Gila, kan? 

Gila memang satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan Avengers: Infinity War disamping ambisius serta epik. Duo sutradara Anthony dan Joe Russo (Captain America: The Winter Soldier, Captain America: Civil War) memastikan bahwa penantian khalayak ramai selama satu dekade tidaklah sia-sia. Mereka berupaya untuk mengkreasi Avengers: Infinity War sebagai sebuah pemuncak yang layak dikenang dan lebih gegap gempita dibandingkan dengan dua predesesornya. Salah satu caranya adalah dalam penceritaan yang merentang panjang hingga 149 menit, duo ini tidak mempersilahkan para penonton untuk memalingkan muka barang sejenak dari layar bioskop maupun mengambil jeda satu dua menit untuk ngacir ke toilet demi menuntaskan panggilan alam. Ya bagaimana bisa melepaskan atensi saat film telah mencengkram perhatian secara erat sedari menit pertama. Russo bersaudara yang mengejawantahkan naskah kreasi Christopher Markus dan Stephen McFeely ini tidak banyak berbasa-basi kala memulai alunan penceritaan dari Avengers: Infinity War. Mereka seketika menempatkan kita dalam situasi mendebarkan yang merupakan kelanjutan dari adegan bonus di Thor: Ragnarok (2017) yang memperlihatkan nasib para pengungsi Asgard selepas para penumpang dari sebuah kapal ruang angkasa misterius dengan ukuran raksasa tiba-tiba menyantroni kapal mereka. Kita mengetahui bahwa salah satu penumpang kapal tersebut adalah Thanos (Josh Brolin) dan kita mengetahui bahwa Batu Keabadian koleksinya telah bertambah.


Itu artinya, alam semesta tengah terancam bahaya. Bruce Banner (Mark Ruffalo) yang kebetulan menjadi saksi mata kala Thanos merebut Space Stone dari genggaman Thor (Chris Hemsworth) seketika mengabarkan ke bumi bahwa ada ancaman besar yang segera datang dalam wujud Thanos beserta kroni-kroninya yang dikenal dengan sebutan Black Order. Saya tidak perlu menjabarkan proses bersatunya kembali para anggota inti Avengers seperti Tony Stark (Robert Downey Jr.), Steve Rogers (Chris Evans), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), Rhodey (Don Cheadle), Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen), Vision (Paul Bettany), serta Sam Wilson (Anthony Mackie) secara detil karena akan sedikit merusak kesenangan dalam menyaksikan Avengers: Infinity War. Yang jelas, mereka berkenan menyingirkan ego masing-masing dan memutuskan untuk bersatu sekali lagi lantaran dihadapkan pada satu musuh besar yang sama, yakni Thanos. Mengingat sang lawan sama sekali tidak bisa diremehkan – terlebih lagi jika dia sudah berhasil mengumpulkan keenam Batu Keabadian secara komplit – maka bala bantuan pun dibutuhkan oleh para personil Avengers yang sekali ini berasal dari Stephen Strange si penyihir (Benedict Cumberbatch), Peter Parker si remaja laba-laba (Tom Holland), T’Challa si Raja Wakanda (Chadwick Boseman), Bucky Barnes (Sebastian Stan) yang merupakan sohib kental Steve Rogers, sampai para bandit galaksi berhati mulia dari dwilogi Guardians of the Galaxy yang salah satu anggotanya memiliki keterkaitan secara langsung dengan Thanos. 

Semenjak adegan pembuka yang membuat diri ini terhenyak, daya cengkram memang tidak pernah sedikitpun mengendur sampai Avengers: Infinity War benar-benar mengakhiri gelarannya. Film ini memenuhi segala ekspektasi yang disematkan untuknya. Sepanjang durasi merentang, si pembuat film mengisinya dengan serentetan sekuens laga bombastis, humor yang efektif mengocok perut, serta momen emosional yang membuat mata sembab, yang menjadikan perjalanan panjang selama 2,5 jam terasa berlangsung dengan begitu cepat sampai-sampai kita tidak menyadari bahwa film telah tutup durasi. Seperti telah saya singgung di dua paragraf sebelumnya, mengalihkan pandangan dari layar dan melenggang ke toilet di sela-sela rangkaian konfrontasi adalah suatu hal yang hampir mustahil dilakukan selama menyaksikan Avengers: Infinity War. Ini tentu saja terdengar hiperbolis, tapi setidaknya begitulah situasi di bioskop tempat saya menyaksikan reuni para pahlawan bertubuh atletis ini. Penonton duduk anteng menyaksikan intrik yang menggeliat dalam film (jika ada suara tak diinginkan, akan terdengar ‘sssttt’ berjamaah), lalu gregetan dan harap-harap cemas ketika pertarungan antara Avengers melawan Black Order maupun Thanos mulai berlangsung, kemudian tertawa terbahak-bahak begitu mendengar celetukan atau tindakan kocak para karakter (favoritku secara personal: tatapan Okoye (Danai Gurira) saat melihat Hulkbuster terjerembab di medan tempur. Priceless!), sampai akhirnya menyeka air mata yang tidak nyana-nyana bakal mengalir di beberapa titik. Epik! 


Keberhasilan Russo bersaudara dalam melibatkan emosi penonton ini tentu berkat kombinasi dari pengarahan, naskah, elemen teknis (efek visualnya jempolan!), serta performa pemeran yang bekerja secara semestinya. Saat hendak menyaksikan Avengers: Infinity War, ada satu pertanyaan yang pastinya mencuat di benak sebagian penonton. Pertanyaan tersebut berbunyi, “bagaimana cara si pembuat film memberi mereka jatah tampil yang layak sementara jumlah mereka sangat banyak?.” Tidak bisa dipungkiri memang ada kekhawatiran bahwa beberapa pahlawan kesayangan kita akan terpinggirkan porsinya mengingat durasi film begitu terbatas sementara ada lusinan superhero dan satu penjahat besar yang mengambil peran. Namun kekhawatiran tersebut lenyap tak bersisa usai film menjalankan penceritaannya secara resmi. Pengarahan beserta naskah yang solid ditunjang oleh penyuntingan rapi dan akting jajaran pemain yang apik memungkinkan setiap karakter memiliki kesempatan untuk bersinar sekaligus berkontribusi nyata terhadap penceritaan termasuk pendatang baru macam Stephen Strange beserta para penjaga galaksi dan sang supervillain, Thanos, yang tak saja intimidatif tetapi juga menyimpan kompleksitas pada karakternya (dia bukanlah penjahat satu dimensi dengan motif dangkal) sehingga membuat kita berada di posisi serba salah; kita membencinya karena destruksi yang diciptakannya dan di saat bersamaan kita bersimpati kepadanya karena dibalik perangainya yang bengis, dia masih memiliki hati. 

Bagusnya, para karakter yang jumlahnya bejibun ini dimunculkan karena mereka memang dibutuhkan untuk menggerakkan kisah, bukan sebatas untuk memeriahkan film semata. Demi menegaskan peranan masing-masing, film berjalan sedikit pelan di paruh pertama – itupun sudah sarat laga dan humor jadi tak ada kesempatan untuk menguap. Ketika job description telah dipaparkan dengan jelas, Avengers: Infinity War seketika lepas landas di satu jam terakhir yang bersinonim erat dengan ‘kegilaan’. Pertaruhannya meningkat diikuti dengan pertempuran yang keseruannya mengalami eskalasi dan tonjokkan pada sisi emosi. Selepas film berakhir kita memang tidak akan langsung bertepuk tangan (momen itu telah muncul di adegan ‘kembalinya Thor’ yang disambut sorak sorai), tetapi muncul satu perasaan yang membuat kita pada perenungan. Memandang ke layar bioskop yang telah kosong seraya berusaha mencerna tontonan yang baru saja kita saksikan. Bahkan perasaan ini masih menghinggapi hingga beberapa jam kemudian. Sebuah perasaan yang hanya bisa muncul saat film yang baru saja kita saksikan telah meninggalkan impak yang sangat kuat pada emosi. 


Note : Avengers: Infinity War hanya memiliki satu adegan bonus di penghujung durasi, tapi penting untuk disimak.

Outstanding (4,5/5)
REVIEW : DEADPOOL 2

REVIEW : DEADPOOL 2


“You're no hero. You're just a clown, dressed up like a sex toy.” 
“So dark. You sure you're not from the DC universe?” 

Ditengah-tengah riuhnya film superhero yang menjunjung tinggi kebajikan, Deadpool (2016) yang diproduksi oleh 20th Century Fox berdasarkan komik berseri terbitan Marvel Comics menawarkan sebuah alternatif yang nyeleneh. Dia menjadi antitesis dari para pahlawan yang tergabung dalam Marvel Cinematic Universe berkat tutur kata dan tindakannya yang tak mengenal kompromi. Menerabas habis batasan-batasan rating yang biasanya membelenggu kreativitas dari film sejenis. Mengingat film ini dijual sebagai tontonan dewasa (jangan bilang belum diperingatkan, wahai para orang tua tukang ngeluh!), sang superhero dengan kostum ketat berwarna merah pekat ini pun mendapat keleluasaan dari pihak studio untuk menghabisi lawan-lawannya menggunakan cara yang berdarah-darah, berasyik masyuk dengan perempuan pujaannya, sampai melontarkan nyinyiran pedas penuh dengan referensi ke budaya populer yang tidak sedikit diantaranya mencakup F-word. Komponen-komponen yang amat sangat jarang dijumpai di film superhero belakangan ini, bukan? Pendekatannya yang berani ditambah gaya tuturnya yang nyentrik – merobohkan dinding keempat (berinteraksi dengan penonton) – ini menjadi sebuah kejutan manis sekaligus membuat Deadpool tampil menjulang. Tidak mengherankan jika kemudian sekuelnya yang bertajuk Deadpool 2 kembali mengaplikasikan formula yang terbukti berhasil ini meski tentunya bakal mengundang satu pertanyaan besar; akankah sensasi yang diberikannya kepada penonton masih sama seperti predesesornya? 

Berlatar dua tahun selepas peristiwa di film pertama, Wade Wilson (Ryan Reynolds) digambarkan telah menikmati kehidupannya sebagai pahlawan pembasmi kejahatan bernama Deadpool. Hubungannya dengan Vanessa (Morena Baccarin) pun kian mesra, bahkan keduanya telah berencana untuk memiliki momongan. Jika segalanya berjalan sesuai rencana seperti ini, lalu apa pemantik konflik dalam Deadpool 2 yang membuat penonton tertarik mengikuti guliran penceritaannya? Demi menghindari spoiler – saya peduli dengan kenyamanan kalian semua, para pembaca yang budiman! – rasa-rasanya tak perlu menjlentrehkan secara detil apa yang kemudian terjadi. Yang jelas, menginjak menit belasan, Deadpool mengalami goncangan hebat dalam hidupnya sampai-sampai mendorong Colossus (Stefan Kapičić) untuk turun tangan dan menyeretnya ke markas X-Men. Pertemuannya dengan para anggota X-Men yang sebagian besar diantaranya tidak terkenal (menurut si karakter tituler yang tak tahu sopan santun ini, tentu saja) perlahan tapi pasti membuat Deadpool menemukan kembali tujuan hidupnya. Bersama dengan sejumlah karakter baru, salah satunya adalah Domino (Zazie Beetz) yang kekuatan utamanya adalah ‘keberuntungan’, Deadpool membentuk kelompok superhero bernama X-Force. Misi besar yang mereka jalankan yakni menyelamatkan seorang mutan remaja bernama Russell (Julian Dennison) yang memiliki kekuatan dalam menyulut api dari mutan penjelajah waktu, Cable (Josh Brolin yang juga memerankan Thanos di Avengers: Infinity War), yang berniat untuk mencabut nyawanya. 



Tidak ada perubahan signifikan yang bisa dijumpai dalam Deadpool 2 sekalipun kursi penyutradaraan kini bergeser ke David Leitch (John Wick, Atomic Blonde). Leitch bersama dengan tiga penulis skrip memahami betul, tidak ada gunanya memperbaiki sesuatu yang tidak rusak. Oleh karena itu, Deadpool 2 dihidangkan sesuai dengan ekspektasi penonton yang telah menyaksikan jilid pertamanya; kekerasannya berada di level ‘pedas’, humornya yang nakal banyak mencuplik referensi ke budaya populer. Walau unsur kejutannya tak lagi besar, sensasi yang disalurkan kepada penonton kurang lebih masihlah sama. Deadpool 2 tetaplah sebuah sajian eskapisme gila-gilaan yang menghibur. Demi memenuhi aturan tidak tertulis untuk sekuel, cakupan skalanya pun sekali ini ditingkatkan. Si pembuat film mengkreasi lebih banyak laga di seri ini – dimulai dari menit pembuka yang membangkitkan semangat sampai klimaks yang lebih menggigit – begitu pula dengan lawakan-lawakan khas Deadpool yang makin tak terkontrol dan kian bejibun. Semuanya menjadi sasaran empuk nyinyirannya, terlebih jika namamu terafiliasi dengan semesta yang diciptakan oleh Marvel Cinematic Universe atau DC Extended Universe. Deadpool menyentil para personil Avengers sekaligus mencibir DC (duo Martha yang ikonik tentu tak terlewatkan). Dia juga tidak ragu-ragu mempertanyakan orisinalitas lagu ‘Do You Want to Build a Snowman?’ dari Frozen (2013), kebingungan dengan penulisan nama Kirsten Dunst yang benar (saya memahamimu, Deadpool!), mengeluhkan keputusan Logan (2017) untuk ikut-ikutan menjadi film superhero dewasa, menghujat karir aktor berkebangsaan Kanada bernama Ryan Reynolds (!), hingga paling meta: mengkritisi penulis skrip Deadpool 2 yang terlampau malas menciptakan konflik rumit. 

Tak pelak, kekuatan utama Deadpool 2 berada pada materi ngelabanya yang harus diakui cerdas dan kreatif. Ini masih belum ditambah dengan lelucon yang dikembangkan dari situasi-situasi yang berlangsung di sepanjang durasi. Saya juga tidak akan menyebutkannya satu demi satu karena lelucon merupakan bagian dari kejutan yang dimiliki oleh Deadpool 2. Hitung-hitung sebagai bentuk kompensasi atas jalinan kisah yang cenderung lurus-lurus saja, minim kelokan yang digemari sebagian penonton. Leitch mengombinasikan banyolan-banyolan dengan hidangan laga yang lebih gahar (plus sadis) dibandingkan film pertama. Menilik fakta bahwa Deadpool 2 tidak digelontori bujet sejor-joran Avengers: Infinity War, maka sebaiknya hempaskan bayangan adegan laganya bakalan segegap gempita film tersebut. Sebagian diantaranya memang tidak menawarkan pembaharuan (kamu telah melihatnya beberapa kali di film laga), tapi Leitch sanggup meniupkan excitement kedalamnya sehingga tak peduli seberapa pun seringnya kamu menjumpai adegan ini, tetap ada kesenangan tersendiri kala menyaksikannya. Malah, Deadpool 2 mempunyai momen klimaks membekas (sayangnya tak ada guyonan merujuk ke Carrie (1976)!) yang turut mengonfirmasi pelabelan ‘film keluarga’ oleh Deadpool di permulaan film – sekadar info, film pertama disebut ‘film percintaan’. Tentu ini bukan memiliki makna bahwa si pembuat film mempersilahkan penonton-penonton cilik memenuhi gedung bioskop, melainkan menunjukkan bahwa si pahlawan bermulut kotor ini tak lagi berjuang sendirian. Dia menjalin pertemanan dengan karakter-karakter baru yang mengisi kekosongan hatinya.


Pertemanan ini memungkinkan Deadpool 2 untuk menghadirkan sederet momen mengharu biru yang menghangatkan hati. Tidak semuanya bekerja dengan baik – ada kalanya diruntuhkan oleh guyonannya sendiri – seperti persahabatan Deadpool dan Russell yang tak segreget perkiraan, tapi paling tidak masih ada senyum mengembang di penghujung film ketika kita melihat sejauh mana Wade Wilson telah berkembang sebagai seorang manusia. Ryan Reynolds mampu menangani momen dramatik seiring bergejolaknya batin Wade seapik dia menangani momen komedik yang mengharuskannya melontarkan nyinyiran secara cepat seraya bertingkah nyeleneh. Chemistry yang dibangunnya bersama Julian Dennison berlangsung cukup baik, sementara pemeran-pemeran pendukung mampu mengimbangi performa ciamik dari Reynolds. Zazie Beetz mencuri perhatian sebagai Domino yang keberuntungannya tak pernah habis, Karan Soni sebagai Dopinder yang memiliki obsesi menjalani misi bersama Deadpool, dan Josh Brolin menunjukkan sisi rapuh dari Cable dibalik tampilan fisiknya yang sangar. Disamping kombinasi mulus antara banyolan, laga, beserta performa pemain, elemen lain yang membantu menciptakan kesenangan dalam Deadpool 2 adalah pilihan lagu pengiring di setiap adegannya. Bukan lagu-lagu beraliran rap, metal, atau rock yang menghentak-hentak melainkan tembang-tembang lembut dengan sisi emosional tinggi yang mungkin tak pernah terbayangkan akan menghiasi film superhero ‘ngaco’ semacam ini. Tembang-tembang tersebut antara lain ‘Take on Me’ milik A-Ha, ‘We Belong’ oleh Pat Benatar, ‘All Out of Love’-nya Air Supply, ‘Tomorrow’ dari drama musikal Annie (1977), sampai lagu tema film ini, ‘Ashes’, yang dibawakan Celine Dion bak lagu tema dari James Bond. Gokil!

Note : 1) Jangan terburu-buru tinggalkan gedung bioskop karena ada dua adegan bonus yang sangat layak buat dinanti. Keduanya terletak di sela-sela credit title jadi kamu tidak perlu menunggu terlalu lama.
2) Pastikan kamu menuntaskan urusan belakang sebelum film dimulai karena salah satu poin kejutan Deadpool 2 terletak pada cameo. Kemunculannya sangat cepat sehingga jika kamu keluar atau terlalu sibuk mengecek ponsel saat menonton, hampir bisa dipastikan akan terlewat. Blink, and you'll miss it

Outstanding (4/5)


Senin, 25 Juni 2018

REVIEW : INCREDIBLES 2

REVIEW : INCREDIBLES 2


“Done properly, parenting is a heroic act.” 

Saat dirilis ke hadapan publik pada tahun 2004 silam, The Incredibles bisa dikatakan menawarkan sebuah sajian menyegarkan yang menawarkan perspektif berbeda terhadap tontonan superhero terlebih pada masa itu adaptasi komik Marvel dan DC belum mendominasi layar lebar (FYI, Marvel Cinematic Universe baru dimulai pada tahun 2008 melalui Iron Man). Berceloteh mengenai dua pahlawan berkekuatan super yang memutuskan untuk menjalani kehidupan normal layaknya manusia kebanyakan dengan membina rumah tangga, film arahan Brad Bird (The Iron Giant, Ratatouille) ini menyisipinya dengan isu serius semacam krisis paruh baya dan rempongnya mengasuh anak ‘luar biasa’ seraya mengajak penonton bersenang-senang sekaligus memberi cemooh ke segala keklisean film superhero – persis seperti yang dilakukan oleh dwilogi Deadpool tempo hari. Sayangnya, sekalipun resepsi yang diterima dari publik dan kritikus amat positif, The Incredibles tak seketika mendapat instalmen kelanjutan. Membutuhkan waktu lebih dari satu dekade bagi Pixar Animation Studios untuk memberikan lampu hijau bagi pembuatan Incredibles 2 yang masih menempatkan Brad Bird di kursi penyutradaraan dan penulisan naskah. Kesuksesan Marvel Cinematic Universe lalu sambutan hangat yang diberikan oleh publik maupun kritikus kepada Monsters University (2013) dan Finding Dory (2016) tampaknya telah meluluhkan hati para petinggi Pixar. Lebih-lebih, mereka melihat masih adanya potensi kisah kepahlawanan keluarga Parr untuk dikembangkan lebih jauh lagi. 

Memulai penceritaan tepat setelah film pertama berakhir, Incredibles 2 menyoroti bagaimana pengorbanan keluarga Parr yang terdiri dari Bob atau Mr. Incredible (Craig T. Nelson), Helen atau Elastigirl (Holly Hunter), Violet (Sarah Vowell), Dash (Huck Milner), serta Jack-Jack yang masih balita (Eli Fucile) dalam memberantas kejahatan ternyata tak memperoleh pengakuan yang sepantasnya dari pemerintah. Memperhitungkan kerusakan masif yang ditimbulkan akibat aksi-aksi para pahlawan kala beraksi, pemerintah memutuskan untuk melarang segala praktik kepahlawanan yang memanfaatkan kekuatan khusus. Akibat larangan ini, keluarga Parr pun mau tak mau menjauhi gemerlapnya sorotan media dan menyembunyikan identitas mereka yang sesungguhnya dari khalayak ramai. Situasi yang suram bagi para superhero ini perlahan tapi pasti mulai berubah tatkala seorang pebisnis sukses yang bergerak di bidang telekomunikasi bernama Winston Deavor (Bob Odenkirk) beserta sang adik, Evelyn (Catherine Keener), berinisiatif untuk membersihkan nama baik para superhero. Caranya dengan merekrut Elastigirl sebagai ‘brand ambassador’ lalu merekam setiap aksinya dalam memberantas kejahatan. Trik ini terbukti berhasil sehingga kepercayaan publik berhasil didapatkan, popularitas Elastigirl mendadak menjulang, dan Mr. Incredible pun terpaksa menggantikan posisi sang istri untuk mengurus rumah tangga. Akan tetapi, keadaan lagi-lagi tak berjalan sesuai rencana ketika Elastigirl mesti berhadapan dengan seorang penjahat dengan motif dipertanyakan bernama Screenslaver.


Menonton Incredibles 2 di laya bioskop kala libur panjang ternyata sungguhlah pilihan tepat. Sedari menit pertama, Brad Bird telah mengondisikan penonton untuk bersemangat, tergelak-gelak, hingga berdebar-debar di kursi bioskop. Bagi saya yang kebetulan sedang membutuhkan hiburan untuk menghempaskan kepenatan dari pikiran, apa yang ditawarkan oleh Incredibles 2 jelas lebih dari cukup. Laganya seruuu, humornya pun lucuuu. Menengok produk akhirnya yang sanggup membuat hati bergembira, penantian para penggemar selama belasan tahun (intermezzo; saya ingat betul menyaksikan instalmen pertamanya di Tunjungan 21 saat masih bocah) tentu tidaklah sia-sia. Kesenangan yang telah terbentuk sedari menit pembuka yang berlangsung gegap gempita kala menampilkan aksi keluarga Parr beserta Frozone (Samuel L. Jackson, si Nick Fury) dalam menghentikan Underminer, mampu terjaga secara stabil hingga babak pamungkasnya yang akan membuat klimaks dari sejumlah film superhero terlihat cupu. Sosok antagonis dalam jilid ini memang tidak terlampau mengancam yang membuat barisan karakternya bertekuk lutut dan motif kejahatannya pun klasik – bisa dimengerti mengingat bagaimanapun juga, Incredibles 2 mesti menghibur penonton cilik – akan tetapi si pembuat film mengompensasinya bagi penonton dewasa dengan serentetan sekuens laga yang tidak sedikit diantaranya membuat saya berdebar-debar, materi ngelaba yang jitu dalam menggelitik saraf tawa, hingga jalinan pengisahan yang mengikat meski tergolong berat untuk ukuran film keluarga. 

Keberadaan humor dalam Incredibles 2 menjadi pelengkap yang sangat baik bagi serentetan sekuens laganya. Elemen komedik mengambil tongkat estafet dari elemen laga ketika film tidak sedang menyoroti sepak terjang Elastigirl yang (tentu saja) menyumbang sebagian momen aksi di Incredibles 2. Dengan kata lain, kamu bisa menemukannya saat sorotan beralih ke Mr. Incredible atau Bob yang kelimpungan dalam mengurus anak-anaknya. Bob mesti membantu Violet yang sedang kesengsem kepada salah satu laki-laki di sekolahnya yang apesnya tidak bisa mengingat siapa Violet karena satu dan lain hal, lalu membantu Dash yang kesulitan mengerjakan tugas-tugas matematika, hingga mencari solusi untuk mengontrol kekuatan Jack-Jack yang mengerikan. Aksi heroik Bob dalam menjalankan tugasnya sebagai Ayah Rumah Tangga ini tidak saja mengundang gelak tawa heboh yang salah dua momennya dipersembahkan oleh adegan pertarungan antara Jack-Jack dengan seekor rakun di halaman belakang rumah yang pecah sekali (Rocket Raccoon, is that you?) dan pertemuan singkat dengan desainer langganan keluarga, Edna Mode (Brad Bird), tetapi juga memberi kehangatan pada hati sekalipun tonjokkan emosinya tidak sekuat, katakanlah, Coco (2017).


Seperti halnya instalmen pertama, disamping memberi hiburan dalam bentuk pertarungan dan lawakan, Incredibles 2 turut menghadirkan guliran penceritaan menarik yang didalamnya mengandung komentar-komentar sosial yang relevan dengan situasi terkini. Isu yang dibicarakannya sekali ini berkaitan dengan women empowerment, pembagian peran dalam sektor rumah tangga, prasangka, keegoisan pemerintah, sampai ketergantungan terhadap teknologi. Walau kedengarannya berpotensi bikin dahi mengernyit, Brad Bird sanggup menyampaikannya secara lancar dan ringan tanpa mengurangi esensinya barang sedikitpun. Bagus! 

Note : Saat hendak menonton Incredibles 2, pastikan untuk tidak terlambat memasuki ruang pemutaran. Ada sebuah film pendek berjudul Bao sebelum film utama yang akan membuatmu ingin memberikan pelukan hangat kepada ibu tercinta. Kalau ini, buagus!

Outstanding (4/5)

Jumat, 22 Juni 2018

Gringo (2018) Bluray 720p

Gringo (2018) Bluray 720p


Gringo merupakan sebuah film komedi dan aksi yang dipenuhi dengan intrik dramatis. Film ini mengambil latar di Meksiko. Dalam film Gringo diceritakan kisah seorang pengusaha yang baik hati bernama Harold Soyinka (diperankan oleh David Oyelowo) yang harus menerima kenyataan karena ia dibohongi oleh rekan bisnisnya sendiri.
Karena merasa tidak terima, akhirnya Harold melakukan pertempuran yang makin lama menjadi semakin berbahaya. Bahkan ia menyimpang dari yang dulunya menjadi seorang warga yang taat dengan hukum negara namun dalam pertempuran tersebut ia berubah sebagai seorang kriminal. Hal ini tentunya mengundang tanya: apakah Harold keluar dari jati dirinya yang sebenarnya?

 TONTON CUPLIKAN 



Judul                  : Gringo(2018)Bluray 720p
Genre                 : Comedy, Thriller, Crime
Pemain               : Joel Edgerton & Charlize Theron
Kualitas              : 720P
Size                    : 1GB
Link Download  : Openload

Rabu, 13 Juni 2018

REVIEW : OCEAN'S 8

REVIEW : OCEAN'S 8


“In three and a half weeks the Met will be hosting its annual ball and we are going to rob it. Sixteen point five million dollars in each of your bank accounts, five weeks from now.” 

Apabila ditanya mengenai film perampokan terbaik yang pernah dibuat, rasanya kurang afdol kalau tak menyebut judul Ocean’s Eleven (2001) yang didasarkan pada film berjudul sama rilisan tahun 1960. Kisah perampokan beserta pembalasan dendam yang memercikkan ketegangan, kejutan, serta humor dipadupadankan dengan begitu elegan sehingga sulit untuk menyangkal pesonanya. Terlebih lagi, film ini dianugerahi pemain ansambel menggiurkan seperti George Clooney, Brad Pitt, Matt Damon, Andy Garcia, Don Cheadle sampai Julia Roberts. Menilik kombinasi mautnya tersebut, tak mengherankan jika resepsi hangat berhasil diperolehnya dari kritikus maupun penonton sehingga melahirkan dua buah sekuel yang juga renyah buat dikudap, Ocean’s Twelve (2004) dan Ocean’s Thirteen (2007). Satu dekade berselang sejak jilid ketiga dilepas, seri lain bertajuk Ocean’s 8 dikreasi yang masih menerapkan konsep serupa; perekrutan tim dengan jumlah beserta keahlian tertentu, perampokan besar yang penuh gaya, dan didukung barisan pemain ansambel. Yang kemudian membedakan Ocean’s 8 dengan trilogi utama adalah ini sebentuk spin-off alih-alih sekuel langsung dan seluruh pemain utamanya adalah perempuan alih-alih laki-laki. Jadi mari kita ucapkan selamat tinggal kepada Danny Ocean (George Clooney), lalu ucapkan selamat datang kepada sang adik, Debbie Ocean (Sandra Bullock). Era baru dari kisah perampokan yang dinahkodai klan Ocean yang lain telah dimulai! 

Seperti halnya Ocean’s Eleven, guliran penceritaan di Ocean’s 8 dimulai dengan adegan yang memperlihatkan karakter utama, Debbie, baru saja menghirup udara kebebasan usai meringkuk di tahanan selama lima tahun lamanya. Kakak tercintanya, Danny, diceritakan telah meninggal dan Debbie yang mewarisi bakat kriminal sang kakak sudah merencanakan perampokan akbar di helatan prestisius tahunan, Met Gala. Bukan uang yang menjadi incaran utamanya, melainkan kalung Toussaint senilai $150 juta yang akan dikenakan oleh seorang aktris yang tengah naik daun, Daphne Kluger (Anne Hathaway). Demi memuluskan rencananya, Debbie pun merekrut enam anggota yang konfigurasinya terdiri dari Lou (Cate Blanchett) yang merupakan sahabat baik Debbie, Amita (Mindy Kaling) si pengrajin perhiasan, Nine Ball (Rihanna) si peretas, Constance (Awkwafina) si pencopet jalanan, Tammy (Sarah Paulson) si penadah barang curian, serta Rose Weil (Helena Bonham Carter) si perancang busana. Lagi-lagi seperti halnya Ocean’s Eleven, motif utama Debbie dalam merancang perampokan ini bukanlah semata-mata untuk memperoleh penghasilan dari barang jarahannya melainkan demi membalas dendam kepada seseorang yang telah mengkhianatinya dan menghancurkan hidupnya. Seseorang tersebut adalah mantan kekasihnya, Claude Becker (Richard Armitage), yang telah menjadikan Debbie sebagai kambing hitam dalam suatu kasus penipuan sehingga dia berakhir di penjara selama lima tahun.


Sebagai sebuah tontonan yang mengatasnamakan hiburan, Ocean’s 8 sejatinya bisa dibilang cukup berhasil. Menyaksikan segambreng aktris-aktris kenamaan pemenang penghargaan dalam satu frame di Ocean’s 8 jelas merupakan keistimewaan dan kesenangan tersendiri bagi para penikmat film. Kapan lagi coba kita bisa melihat Sandra Bullock beradu akting dengan Cate Blanchett, Anne Hathaway, Helena Bonham Carter, dan Sarah Paulson? Ocean’s 8 menyediakan kesempatan langka tersebut dan aktris-aktris ini menyanggupinya dengan mempersembahkan performa yang tidak mengecewakan. Bullock memperlihatkan karisma sebagai pemimpin grup lalu menjalin chemistry rekat bersama Blanchett, sementara Hathaway yang memiliki sensitivitas kuat dalam ngelaba membentuk ‘duo gesrek’ bersama Carter yang memungkinkan keduanya untuk senantiasa mencuri perhatian sekaligus mengundang gelak tawa di setiap kemunculan. Harus diakui, performa dari jajaran pemain (khususnya Hathaway sebagai seorang aktris yang ego besarnya tidak sejalan dengan kapasitas otaknya) plus ditambah Awkwafina dan James Corden yang baru nongol di babak ketiga adalah sumber energi utama yang dimiliki oleh film. Penampilan mereka yang cenderung nyantai kayak di pantai terasa menyenangkan untuk disimak sekaligus membantu menyelamatkan film dari keterpurukan akibat penggarapan kurang bertenaga dari Gary Ross (Pleasantville, The Hunger Games) serta skrip lemah yang diracik Ross bersama dengan Olivia Milch. 

Di tangan Ross, Ocean’s 8 tak ubahnya versi inferior dari Ocean’s Eleven. Jalinan kisahnya bisa dikata serupa tapi tak sama (termasuk pembentukan karakter yang sebagian besar sekadar copy paste) dengan elemen komedi lebih ditekankan dan ketegangan yang anehnya malah direduksi. Jika Ocean’s 8 semata-mata menyebut dirinya sebagai komedi, tentu tidak ada keluhan berarti. Akan tetapi sebagai anggota keluarga Ocean dan heist film, Ocean’s 8 terasa kurang bernyali. Kemana perginya fase berdebar-debar serta harap-harap cemas kala para personil mengeksekusi rencana mereka? Terlihat mewah sih, menghibur juga sih, cuma saya tidak mendapatkan gregetnya. Tidak ada momen yang membuat saya bercucuran keringat seraya meremas-remas gemas kursi bioskop seperti saat menyaksikan Ocean’s Eleven. Ross terlalu banyak menghabiskan waktu pada perencanaan yang seringkali berlangsung monoton dan pertaruhan yang dihadapi oleh Debbie and the gang pun tidak ada apa-apanya dibandingkan Danny and the gang. Jika Danny mesti mengakali Terry (Andy Garcia) yang bengis, maka lawan terberat Debbie sebatas sistem keamanan yang ketat di lokasi perampokan. Itupun bisa diakali dengan satu jentikkan jari. Minimnya ketegangan yang mencekat ditambah guliran kisah yang kekurangan daya kejut membuat Ocean’s 8 kesulitan untuk memenuhi potensi besar yang dimilikinya dan gagal mengulangi pesona jilid-jilid terdahulu. Beruntung jajaran pemainnya bermain apik (kecuali Rihanna yang aposeeee) sehingga setidaknya film masih bisa dinikmati di kala senggang sekalipun akan sangat mudah untuk dilupakan dalam hitungan hari.

Acceptable (3/5)


Jumat, 08 Juni 2018

REVIEW : JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM

REVIEW : JURASSIC WORLD: FALLEN KINGDOM


“Do you remember the first time you saw a dinosaur? You don’t really believe it. It’s like a miracle.” 

Masih terpatri dengan baik di benak bagaimana seorang Steven Spielberg mampu membuat saya terperangah kala melihat sekumpulan dinosaurus berjalan-jalan santai di pulau fiktif Isla Nublar sekaligus membuat saya terpaksa mengintip dari balik telapak tangan kala seekor T.rex mengamuk melalui Jurassic Park (1993). Sebuah film yang mendefinisikan istilah ‘keajaiban sinema’ secara jelas dan salah satu alasan mengapa saya jatuh hati kepada film. Meski dua film kelanjutannya, The Lost World (1997) dan Jurassic Park III (2001), tidak meninggalkan sensasi menonton yang serupa, keduanya tetap terbilang sebagai sajian eskapisme yang menyenangkan buat disimak. Dalam Jurassic World yang dilepas pada tahun 2015, Colin Trevorrow mencoba memunculkan kembali sisi magis dari sang dedengkot. Mengingat standar film pertama sudah teramat tinggi, bisa dimafhumi saat hasil akhirnya tidak persis sama. Akan tetapi yang mengejutkan, Jurassic World mampu berdiri setingkat di atas dua seri terakhir dari segi kualitas sekaligus mengingatkan kita kembali mengapa franchise ini bisa sedemikian populer dan dicintai banyak kalangan. Resepsi hangat yang diperolehnya lantas mendorong Universal Pictures untuk memberikan lampu hijau pada rencana penggarapan trilogi baru. Berselang tiga tahun kemudian, instalmen kedua dalam trilogi baru bertajuk Jurassic World: Fallen Kingdom yang sekali ini dikomandoi oleh J. A. Bayona (The Impossible, A Monster Calls) pun dilepas ke pasaran dengan nada penceritaan yang cenderung lebih gelap dibanding instalmen-instalmen terdahulu. 

Berlatar tiga tahun setelah peristiwa di penghujung seri sebelumnya, Jurassic World: Fallen Kingdom menyoroti nasib para dinosaurus yang sekali lagi berada dalam ambang kepunahan. Pemicunya, letusan besar gunung berapi di Isla Nublar. Claire Dearing (Bryce Dallas Howard) yang kini menjabat sebagai pemimpin dari organisasi pembela hak-hak dinosaurus tentu tak akan membiarkan hewan-hewan langka ini kembali lenyap dari peradaban. Menilik proses evakuasi membutuhkan suntikkan dana besar, Claire mustahil untuk bergerak sendiri. Pemerintah jelas tidak bisa diharapkan karena mereka memilih untuk lepas tangan dalam misi penyelamatan para dinosaurus berdasarkan saran dari Dr. Ian Malcolm (Jeff Goldblum). Bala bantuan untuk Claire lantas datang dari seorang miliarder, Benjamin Lockwood (James Cromwell), yang berencana memindahkan para dinosaurus ke sebuah suaka di pulau lain secara diam-diam sehingga tidak mendapat gangguan dari manusia. Dibantu oleh mantan kekasih Claire, Owen Grady (Chris Pratt), lalu Eli Mills (Rafe Spall) selaku tangan kanan Benjamin, dan Ken Wheatley (Ted Levine) yang mengomandoi pasukan penyelamat, proses evakuasi dinosaurus dari Isla Nublar pun dilancarkan. Tanpa disadari oleh Claire dan Owen, sebuah pengkhianatan terjadi ditengah-tengah evakuasi. Alih-alih diboyong menuju suaka, para dinosaurus ini justru dibawa ke daratan untuk dijual ke sejumlah pembeli dari berbagai negara. Si pengkhianat melihat potensi dinosaurus sebagai senjata perang yang mumpuni dan mesin uang sehingga dia memilih untuk menjadikannya komoditas ketimbang melindunginya.


Saat ditanya seorang teman melalui pesan singkat mengenai pendapat saya mengenai Jurassic World: Fallen Kingdom usai menontonnya, saya hanya memberi jawaban: seruuuuuuu. Ya mau bagaimana lagi, begitulah perasaan saya selama berkelana ke wahana permainan yang diorkestrai oleh J. A. Bayona ini. Entah dengan kalian, tapi bagi saya Fallen Kingdom adalah seri terbaik kedua dalam franchise ‘taman dino’ setelah Jurassic Park. Bahkan lebih baik dari Jurassic World yang itu artinya Fallen Kingdom sanggup membuat saya berdecak kagum. Film telah membetot atensi sedari adegan pembukanya yang memberikan nuansa mendebarkan: ditengah hujan lebat, satu pasukan yang terbagi ke dalam tiga tim berusaha untuk mengambil DNA dari bangkai Indominus rex. Siluet Mosasaurus yang mengintai dari balik air, siluet Tyrannosaurus yang berkelebat di kegelapan, membuat diri ini meremas-remas kursi bioskop. Sesuatu yang buruk akan menimpa tim ini. Tentu saja, amukan dua makhluk tersebut menghadirkan adegan pembuka yang menjanjikan untuk Fallen Kingdom. Di beberapa menit selanjutnya, intensitas sengaja dikendurkan demi memberi ruang bagi duo penulis skrip, Colin Trevorrow dan Derek Connolly, untuk menjabarkan latar belakang kisah yang bakal dikedepankan sekaligus memperkenalkan karakter-karakter anyar termasuk anak buah Claire; Zia si dokter hewan (Daniella Pineda) dan Franklin si ahli IT (Justice Smith). Skrip buatan mereka memang tergolong generik seperti versi pembaharuan dari The Lost World dan mempersilahkan sederet kekonyolan untuk menyelinap masuk, namun untungnya masih cukup bergigi untuk mengundang ketertarikan terkait sejauh mana franchise ini akan dikembangkan ke depannya. 

Berbicara soal gigi, salah satu alasan yang membuat Fallen Kingdom tampak lebih bertaring dibanding kakak-kakaknya, kecuali si sulung, adalah kelihaian J. A. Bayona dalam menyampaikan cerita. Apabila kamu telah menyaksikan film-film garapan sang sutradara seperti The Orphanage (2007), The Impossible (2012), dan A Monster Calls (2016), rasa-rasanya akan menyadari Bayona memberi sentuhan yang sedikit banyak serupa ke dalam Fallen Kingdom. Paruh pertama film membawa ingatan melayang ke The Impossible dengan elemen disaster movie-nya, sementara paruh akhir mengingatkan pada The Orphanage yang merupakan tontonan horor atmosferik. Di paruh pertama, kita bisa menyaksikan bagaimana para karakter inti beserta dinosaurus berkejar-kejaran dengan aliran dan lontaran lava pijar dalam sekuens laga yang amat mengasyikkan. Ditunjang polesan efek khusus menakjubkan (satu hal yang tidak bisa kamu sangkal), beserta penyuntingan dinamis dan tangkapan kamera yang penuh presisi, hari-hari terakhir Isla Nublar terangkum ke dalam bahasa gambar yang membuat saya terperangah bak anak kecil yang diajak ke istana mainan. Tidak ketinggalan, Bayona menyisipkan momen andalannya yakni momen emosional yang diperlihatkan dalam siluet seekor dinosaurus yang tertutup debu vulkanik. Hanya diiringi suara pekikan, satu shot ini sudah cukup efektif untuk menyesakkan dada maupun mengalirkan air mata manusia-manusia berhati sensitif. Usai shot ini, Fallen Kingdom memang tak memilki shot lain yang menusuk hingga ke ulu hati. Akan tetapi, film mempunyai setumpuk bahan yang bakal membuat admin akun One Perfect Shot melompat-lompat kegirangan.


Peralihan nada penceritaan ke arah lebih kelam mulai ditunjukkan saat para manusia (dan dinosaurus) kembali ke daratan. Menapaki babak pamungkas, Fallen Kingdom dilantunkan bak tontonan horor yang bermain-main dengan antisipasi penonton dan atmosfer mengusik. Jika kamu mendamba film bakal diakhiri dengan ‘boom boom bang’ yang membahana, bisa jadi akan sedikit mendengus kecewa. Bukannya tidak ada, hanya saja Bayona lebih memilih untuk fokus pada menciptakan ketegangan yang merangkak perlahan tapi pasti. Ekspektasimu di babak ini sebaiknya ditetapkan saja menjadi ‘menyaksikan sajian seram’, niscaya ada kepuasan tersendiri ketika memasuki wahana permainan milik Bayona yang sejatinya cukup banyak diilhami dari Jurassic Park. Niscaya kamu juga akan mengamini bahwa adegan bersembunyi di dalam kamar itu bikin jantung berdebar-debar. Phew! Menilik jajaran pelakonnya yang bermain bagus; baik chemistry Pratt-Howard yang menguat, Pineda dan Smith sebagai comic relief yang cukup menyegarkan, sampai aktris cilik Isabella Sermon sebagai cucu Maisie yang kemunculannya senantiasa mencuri perhatian, maka satu-satunya keluhan saya untuk Fallen Kingdom adalah musik tema Jurassic Park warisan John Williams yang hanya memiliki peranan kecil di sini sekalipun kemunculannya berada di posisi yang tepat. Andai saja musik ikonis tersebut memperoleh tempat lebih besar, bukan tidak mungkin Fallen Kingdom yang bercita rasa megah nan mewah tetapi tetap mempunyai hati ini akan terasa semakin greget.

Note : Jurassic World: Fallen Kingdom memiliki satu adegan tambahan di penghujung durasi. Jika kalian seperti saya (tidak mau rugi sepeserpun, jadi jika masih ada adegan yang sekalipun tidak penting ya mesti ditunggu), maka bertahanlah sampai detik terakhir.

Outstanding (4/5)


Minggu, 13 Mei 2018

Avengers : Infinity War (2018) (4,5/5)

Avengers : Infinity War (2018) (4,5/5)


"In time, you will know what it's like to lose. To feel so desperately that you're right. Yet to fail all the same. Dread it. Run from it. Destiny still arrives," - Thanos. 

RottenTomatoes: 84% | IMDb: 8.9/10  | Metascore: 68/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated : PG-13 | Genre: Action, Adventure, Fantasy

Directed by Anthony Russo, Joe Russo ; Produced by Kevin Feige ; Screenplay by Christopher Markus, Stephen McFeely ; Based on The Avengers by Stan Lee, Jack Kirby ; Starring Robert Downey Jr., Chris Hemsworth, Mark Ruffalo, Chris Evans, Scarlett Johansson, Benedict Cumberbatch, Don Cheadle, Tom Holland, Chadwick Boseman, Paul Bettany, Elizabeth Olsen, Anthony Mackie, Sebastian Stan, Danai Gurira, Letitia Wright, Dave Bautista, Zoe Saldana, Josh Brolin, Chris Pratt ; Music by Alan Silvestri ; Cinematography Trent Opaloch ; Edited by Jeffrey Ford, Matthew Schmidt ; Production company Marvel Studios ; Distributed by Walt Disney Studios Motion Pictures ; Release date April 23, 2018 (Dolby Theatre), April 27, 2018 (United States) ; Running time 149 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $316–322 million

Story / Cerita / Sinopsis :
The Avengers dan teman-teman sesama superhero lainnya harus berjuang mengalahkan Thanos.

Review / Resensi:
Bukan NikenBicaraFilm namanya kalo ngereviewnya nggak telat. Hahaha. Giliran hype-nya udah reda saya malah baru nulis review-nya. Sebenarnya nontonnya udah dari 2 minggu lalu (dua kali nonton pula), namun karena sibuk pacaran ngumpulin mood maka review ini baru ditulis sekarang. Tapi nge-review telat ada untungnya juga sih. Dengan asumsi banyak yang sudah nonton, maka saya bebas untuk ngasih spoiler tipis-tipis di review-nya tanpa perlu khawatir diamuk massa. Jadi, lebih tepatnya review ini lebih diperuntukkan untuk mereka yang sudah nonton Avengers: Infinity War (selanjutnya ditulis singkat IW aja ya biar cepet).

Sedari remaja saya punya kecenderungan untuk membenci sesuatu yang disukai oleh banyak orang. Yaa... semacam anak-anak sok edgy jaman sekarang lah, cuma jaman saya SMP istilah edgy belum ada. Maka ketika hype IW lagi tinggi-tingginya, dimana timeline Instagram dan Facebook saya dipenuhi oleh teman-teman yang pamer nonton premiere IW dengan bangga, saya sempat langsung ga mood dan agak males (padahal ngiri aja ga bisa nonton premiere). Dan biasanya kalo uda gini, hasrat nyinyir saya suka keluar. Tapi entah bagaimana ketika saya masuk ke bioskop dan nonton, hasrat nyinyir saya itu entah menguap kemana. Saya menikmati setiap adegan, tertawa di setiap leluconnya, dan ketika film berakhir saya menemukan diri saya bengong sambil mikir, "Hah? Udah?". Sejujurnya, waktu nonton yang pertama kali saya merasa film ini sempurna, tapi ketika nonton untuk kedua kalinya, saya baru ngerasa ada beberapa hal yang miss. But overall I can say that Infinity War is fullfill my expectation. So prepare yourself, racauan saya ini juga akan lumayan panjang. Sampe paragraf ini aja saya masih meracau nggak penting ~

 "It's all been leading to this.."

Sepuluh tahun sejak dimulai dengan Iron Man (2008) dan diikuti tujuh belas film berikutnya, Avengers: Infinity War adalah semacam titik kulminasi dari MCU. Apakah ini adalah laga pemungkas? Untungnya enggak kok, daftar film berikutnya masih panjang (so suck it up, trend superhero masih akan merajai layar bioskop kita). Setelah Joss Whedon menggarap Avengers (2012) dan Avengers : Age of Ultron (2015), untuk seri ketiganya ini Russo Brothers yang sebelumnya nggarap Captain America: Winter Soldier (2014) dan Captain America: Civil War (2016) didapuk menjadi sutradara. IW menceritakan tentang rival terbesar semua jagoan di MCU: Thanos (Josh Brolin). Thanos sebenarnya punya cita-cita mulia, yakni menyeimbangkan alam semesta. Tapi caranya  itu yang ngawur: dengan genosida separuh makhluk hidup di seluruh alam semesta. Untuk mencapai cita-citanya ini ia mengumpulkan batu akik infinity stones di seluruh alam semesta yang akan membuatnya menjadi makhluk terkuat di jagat raya. The Avengers dan geng superhero lainnya pun berusaha menggagalkan rencana ini.

Infinity War punya beban yang cukup berat dari sekedar membuat "film-action-seru-full-superhero-dengan-efek-CGI-maha-dahsyat". IW harus menyatukan banyak karakter dalam satu film (setidaknya, saya hitung ada lebih dari 30 karakter yang nongol di film ini) tanpa membuatnya terasa "keroyokan". Untuk itu, IW mencoba memecahnya menjadi empat tim dengan misi yang berbeda-beda. Sebuah langkah yang baik dan cukup bijaksana. Tapi tentu saja, buat banyak orang yang ga ngikutin film-film MCU dari awal pastinya cuma bisa bengong karena ga paham dengan begitu banyaknya karakter yang nongol.

Saya membaca salah satu komentar seseorang kalo IW kurang mampu mengembangkan karakter masing-masing superhero dengan baik. Nah, di sini uniknya. Buat saya IW memang tidak sedang mengembangkan karakter para superhero itu, MCU punya 18 film sebelum ini untuk mengembangkan karakter-karakter jagoannya. Tapi IW adalah tentang karakter Thanos itu sendiri. Setelah sempat dikritik banyak orang karena menghadirkan villain yang begitu-begitu aja, MCU kayaknya berusaha memperbaiki hal ini dengan bikin villain yang tidak satu dimensi. Setelah sukses dengan Vulture di Spiderman: Homecoming (2017), dan Eric Killmonger (dan Ulysses Klaue?) di Black Panther (2018), Thanos adalah villain berikutnya yang membekas di hati. Setelah sebelumnya Thanos cuma cameo doank di Guardians of the Galaxy (2004) dan akhir credit di Avengers: Age of Ultron (2015), kali ini Thanos diperankan full dan langsung oleh Josh Brolin. Hal ini bikin Thanos ga cuma villain dengan muka jelek doank, tapi ada gurat-gurat emosional dan manusiawi yang bisa ditangkap dari wajahnya. Melalui IW kita tidak hanya dikenalkan dengan sifat dan karakter Thanos, tapi juga motivasi dan prinsipnya. Tambahan lagi, Thanos bukan sembarang villain. Doi kuat banget! Jagoan superhero ada sebegitu banyaknya dan si Almighty Thanos ini cuma luka dikit di muka ("All this, just for drop of blood"). 

(Spoiler: Ngomong-ngomong, saya pengen menyoroti bahwa Thanos rela mengorbankan Gamora untuk mencapai tujuannya. Hal ini beda dengan para superhero lainnya yang ga rela mengorbankan sesama superhero demi kedamaian alam semesta. Wanda ga rela Vision mati, Gamora ga rela Thanos nyiksa Nebula, Starlord mikir lama sebelum nembak Gamora, Dr. Strange ga membiarkan Iron Man mati (yang ini sih mungkin ada hubungannya dengan penglihatan Dr. Strange), Loki ga rela Thor mati... Intinya, mengorbankan diri sendiri tampaknya lebih mudah daripada mengorbankan orang lain yang kita cintai. Tapi please yes ini taruhannya alam semesta, dan ga ada yang cukup berani untuk melakukannya - kecuali Thanos. Jangan salah, Thanos beneran sayang sama Gamora. dan ingat ketika di bagian akhir Thanos ketemu Gamora kecil dan dia bilang bahwa dia kehilangan semuanya. Tapi itu sepadan dengan "cita-cita mulia" yang dimpikannya. Adegan RCTI Oke (saat Thanos duduk santai di sawah sambil lihat matahari terbit) di bagian akhir juga menarik. Sejauh ini, kayaknya belum ada film superhero yang "membiarkan" villainnya menang. Pertanyaan yang muncul adalah, kalo villain seperti Thanos menang apa sih yang bakal dia lakukan? Oh, dia ga berniat menguasai alam semesta dan memperbudak makhluk lainnya. Dia duduk santai aja di sawah menikmati "kedamaian" yang ia ciptakan).

Thanos bisa jadi adalah fokus utama dari IW, namun bukan berarti IW melupakan jagoan-jagoannya. Porsi kemunculan masing-masing karakter memang sangat terbatas, saya aja agak sebel Black Panther cuma nongol bentar dan kemunculannya kurang seksi. Tapi IW punya beberapa adegan yang memunculkan masing-masing karakter superhero lainnya dengan cukup seksi. Sebut saja: Iron Man dan Spiderman dengan kostum barunya, Thor dengan kekuatan barunya, dan bagaimana Captain America muncul dengan sangat dramatis dari balik kereta yang lewat. Momen-momen ini yang luput dari film Justice League (2017) kemaren dimana ga ada momen yang bikin saya berdecak kagum saat jagoannya muncul. Sejauh ini dari kubu sebelah momen kemunculan dramatis cuma pas Wonder Woman muncul di BvS : Dawn of Justice (2016). Saya juga suka setiap karakter di MCU masih cukup dikenali sifat-sifat aslinya. Yeng belum nonton film-film sebelumnya bisa dengan gampang menyebut sifat Tony Stark yang flamboyan, Peter Parker yang cerewet dan kaya dengan referensi pop-culture, Steve Rogers yang kaku (tapi makin hot ya Allaaaahh ~), hingga Star Lord yang konyol dan "tidak berwibawa". Sungguh MCU punya banyak stock superhero yang sangat menjual. Kamu tinggal milih aja.

Mengumpulkan seluruh karakter jadi satu adalah persoalan yang sulit, tapi menggabungkan berbagai tema dalam satu film juga adalah yang persoalan sulit yang lain. Dua seri Avengers sebelumnya menurut saya lebih mudah meleburkan tema dan atmosfer dari film-film sebelumnya, karena realitanya masih berpijak pada bumi. Namun IW ini harus menggabungkan semesta Captain America + Iron Man dkk di bumi dengan Guardians of The Galaxy (GoTG) dan Thor yang intergalactic. Semesta Captain America + Iron Man bernuansa lebih realis, high-tech, dengan mengikuti hukum-hukum fisika, kalau Guardians of the Galaxy lebih berasa space fantasy dengan warna-warna yang colorful. Untungnya, Thor: Ragnarok (2017) kemarin telah meleburkan semesta Asgardnya Thor dengan semesta universe GoTG, jadinya ga rancu ketika Thor bertemu untuk pertama kali dengan GoTG. Thanos sendiri dan pasukannya adalah makhluk luar angkasa, sehingga semesta IW dengan setting luar angkasa kemudian jadi terasa lebih dominan fantasi - yang mungkin tidak terlalu disukai oleh sebagian orang.

Sebagian orang yang saya tahu protes bahwa IW terasa sangat kekanak-kanakan dan kebanyakan humor yang tidak pada tempatnya. Banyak yang lebih suka momen di bumi dan Wakanda daripada momen-momen di luar angkasa (baca: GoTG). Lantas kemudian mereka membanding-bandingkan dengan betapa awesome-nya Winter Soldier, atau film superhero sebelah seperti Watchmen, The Dark Knight (TDK), dan Logan. Hey, saya juga sangat suka Winter Soldier dan TDK, tapi saya merasa MCU memang punya semesta dan visinyanya sendiri. MCU (kayaknya) enggak pernah berniat untuk jadi film superhero yang realis dan depresif macam TDK. MCU emang berniat jadi film yang fun, ringan, dan menyenangkan para penonton mainstream - meluaskan target market Marvel dari kaum comic-nerd menjadi penonton mainstream. Justru, menurut saya seri Captain America yang serius dan penuh drama-politik adalah yang agak menyimpang dari sebagian besar film-film MCU lainnya. Karena itulah, ketika banyak yang merasa jokes di IW maksa dan ga lucu, saya justru tertawa paling keras di bioskop. Saya kepikiran kalo sisipan leluconnya kayaknya dibikin oleh James Gunn. And anyway, GoTG-nya James Gunn sejauh ini tetap film MCU favorit saya (#teamyondu #teamdrax), saya melonjak kegirangan ketika terdengar Rubberband Man dari The Spinners seiring dengan ditampilkannya tim GoTG. Vibe-nya GotG banget.

Jikapun ada kekurangan, maka itu adalah sejak awal saya selalu merasa MCU adalah film yang bermain aman. Lakon menang mburi, lakon ga mungkin kalah (pahlawan menang belakangan, pahlawan ga mungkin kalah). Maka biarpun ending IW cukup menyesakkan yang mengingatkan saya akan series depresif bin absurd The Leftover, tapi saya tahu bahwa pada akhirnya akan baik-baik saja. Prasangka saya di awal juga akan begini: MCU akan membunuh salah satu karakter sentral, tapi superhero lainnya akan baik-baik saja - dan kayaknya ini yang mungkin akan dilakukan di untitled Avengers 4. Bakalan bikin lumayan sedih, tapi ga akan bikin penonton depresi. Faktor inilah yang kemudian bikin saya tidak pernah "melibatkan diri secara emosional seutuhnya" akan perjuangan the Avengers. Karena saya tahu mereka bakal menang....

Selain itu, yang bikin comic-nerd-nya merasa kecewa adalah karena pasukan anak buah Thanos, si Black Order tidak ditampilkan dengan cukup baik dan matinya juga.... gitu doank. Berhubung saya bukan pembaca komiknya, saya sih ga merasa terlalu keberatan, apalagi hal ini kepentok durasi terbatas. Tapi saya sedikit kecewa kalau anggota Black Order yang mengesankan cuma si Ebony Maw, yang kekerenan gaya bertarungnya mengingatkan saya dengan kerennya Yondu (#teamEbonyMaw). Sayangnya, anggota lainnya biasa aja dan mudah dilupakan.

Overview:
Bukan tugas yang mudah untuk membuat film dengan karakter sebanyak itu, harus menggabungkan beberapa "tema", menghibur penonton, sambil tetap tidak melupakan kualitas. It's not a perfect movie, tapi Avengers: Infinity War cukup mampu memenuhi ekspektasi saya. Naskah yang digarap Christoper Markus dan Stephen Freely memberikan porsi yang cukup berimbang antara setiap karakter, dengan mengambil langkah cerdas menjadikan Thanos sebagai "bintang utama", dan eksekusi yang dilakukan Russo Brothers cukup baik. Apakah ini adalah laga puncak dari keseluruhan rangkaian MCU? Ketika IW berakhir dan meninggalkan saya dalam keadaan terbengong-bengong, tentu saya mengharapkan Avengers 4 akan lebih seru lagi!

Jumat, 13 April 2018

REVIEW : RAMPAGE

REVIEW : RAMPAGE


“It’s weird you like hanging out with animals more than people.” 

“Well, animals gets me.” 

Wahai generasi 80 dan 90-an yang gemar memainkan konsol permainan, apakah kalian masih ingat dengan sebuah video game berjudul Rampage? Itu lho, permainan yang misi utamanya menghancur-hancurkan gedung bertingkat. Ingat, kan? Kita menjelma menjadi monster raksasa berbentuk gorila, kepiting, tikus atau hewan buas lainnya akibat terpapar serum eksperimen. Aturan mainnya pun sederhana saja. Seraya menghindari tembakan-tembakan dari pihak militer jika ingin nyawa tetap utuh, kita mesti giat memporakporandakan seisi kota demi mengumpulkan poin. Kalau perlu, manusia-manusia pengganggunya dimakan juga! Menilik betapa mudahnya (dan serunya) memainkan game ini, tidak mengherankan jika kemudian Rampage terbilang populer di kalangan khalayak ramai sampai-sampai pihak Midway Games merilis beberapa seri kelanjutan. Dan seperti kebanyakan video game terkenal, tidak mengherankan juga jika kemudian ada petinggi studio di Hollywood yang meliriknya untuk diadaptasi ke film layar lebar. Demi merealisasikan Rampage versi layar lebar ini, maka duo Brad Peyton (sutradara) dan Dwayne Johnson (aktor) yang sebelumnya berkolaborasi untuk meluluhlantakkan pesisir barat Amerika Serikat dalam San Andreas (2015) pun direkrut. Tugas mereka sekali ini adalah mentranslasi kehancuran total yang dimunculkan versi game ke dalam tontonan popcorn yang mampu melepas kepenatan penonton. 

Dalam Rampage versi film, sosok monster yang mengamuk hebat di tengah kota bukan lagi manusia yang terpapar serum salah uji melainkan binatang-binatang buas. Salah satu korbannya adalah seekor gorila albino bernama George yang mendiami San Diego Zoo. George tertimpa kemalangan selepas sebuah stasiun luar angkasa milik Energyne meledak dan meluncurkan serum berbahaya bernama CRISPR ke beberapa titik di Amerika Serikat, termasuk tempat George bermukim. Reaksi dari serum ini terpampang nyata hanya dalam waktu semalam saja yang ditandai dengan ukuran tubuh si gorila yang membesar secara tidak wajar. Hal ini tentu mengejutkan ahli primata sekaligus sahabat baik George, Davis Okoye (Dwayne Johnson), lebih-lebih karena sahabatnya tersebut sanggup menumbangkan beruang grizzly dengan mudah. Ditengah kebingungannya melihat perubahan fisik dan sikap dari George yang mendadak, Davis mendapat kunjungan dari seorang ilmuwan, Dr. Kate Caldwell (Naomie Harris), yang mengaku tahu mengenai akar permasalahannya sekaligus obat penawarnya. Sebelum rencana untuk menyelamatkan si gorila selesai disusun, George tiba-tiba menggila lalu berkomplot dengan seekor serigala raksasa beserta buaya raksasa dan berlari menuju Chicago. Tujuan mereka sudah teramat jelas: menghancurkan gedung-gedung pencakar langit. Dibantu oleh seorang agen pemerintah bernama Harvey Russell (Jeffrey Dean Morgan), Davis dan Kate harus berpacu dengan waktu untuk menghentikan George sebelum semuanya terlambat. 



Apabila kamu pernah memainkan Rampage – kalaupun tidak, kamu bisa menerkanya dari penjabaran di paragraf awal – tentu mengetahui bahwa inti dari permainan ini hanyalah menghancurkan gedung sebanyak mungkin. Smash, smash, smash. Tidak ada misi yang mengharuskannya memiliki jalinan pengisahan (mencoba untuk) rumit dan diselaputi misteri. Kalaupun ada plot, itu sebatas latar belakang yang menceritakan tentang penyebab lahirnya monster-monster ini. Maka bisa dipahami jika kemudian Rampage garapan Brad Peyton yang mengerahkan empat penulis skenario ini tidak mempunyai plot yang bergizi tinggi. Lagipula, apa kamu benar-benar mengharapkan jalan cerita yang tertata dengan baik dari sebuah film yang diadaptasi dari video game? Video game-nya tentang monster penghancur gedung pula. Plot di sini hanya berfungsi untuk menjustifikasi munculnya serentetan sekuens laga sehingga tidak terkesan ujug-ujug. Jadi kamu mesti membiasakan diri bakal menerima ‘keajaiban’ dan ‘kekonyolan’ di sepanjang durasi Rampage yang bikin ngikik-ngikik geli di kursi bioskop karena memang, film ini tak pernah menganggap dirinya serius. Well, kamu tentu tidak menganggap film yang menampilkan serigala terbang secara serius, kan? Tujuan utamanya hanyalah mengajak penonton bersenang-senang melalui spektakel yang gegap gempita. Spektakel seru yang mengajak penonton melupakan kepenatan hidup selepas dihajar pekerjaan di kantor atau usai mendapat setumpuk tugas kuliah dan sekolah. Dan berdasarkan tujuannya tersebut, Rampage bisa dikatakan sukses. 

Rampage sendiri tidak menghabiskan banyak waktu untuk babak introduksi. Kita mendapatkan sekelumit penjelasan mengenai CRISPR, berkenalan dengan George dan karakter-karakter manusia seperti Davis, Kate, beserta duo villain dari Energyne, lalu tanpa banyak basa-basi, konflik perlahan mulai mengemuka menyusul jatuhnya serum-serum dari luar angkasa. Selepas tubuh George membesar seketika yang membuat dirinya merasa tidak nyaman, kita mendapati rangkaian peristiwa yang menjabarkan definisi dari ‘seru’ dan ‘menyenangkan’. Kita melihat George membobol kandangnya, mengamuk hebat di pesawat yang mengangkutnya sehingga menciptakan kekacauan di udara, bergabung dengan rekan-rekan mutannya yakni Ralph si serigala yang sebelumnya telah menghabisi sejumlah pasukan khusus dan Lizzie si buaya yang mengintai dari bawah air, sampai akhirnya yang telah kita nanti-nantikan selama durasi mengalun, memporakporandakan seisi Chicago. Menghancurkan gedung! Pertarungan antara monster dengan manusia! Pertarungan antara sesama monster! Woo hoo! Dihantarkan dengan laju pengisahan yang bergegas, mempunyai setumpuk sekuens laga dengan polesan efek visual meyakinkan yang dilontarkan nyaris tanpa henti, dan disokong karisma Dwayne Johnson yang memancar kuat sebagai jagoan tangguh (dia memang cocok dengan peran semacam ini), Rampage berhasil membuat saya seolah-olah terikat erat di kursi bioskop. Tak jarang pula, film membuat saya kegirangan seperti bocah yang baru pertama kalinya memainkan Rampage. Sisipan humornya yang berfungsi untuk mencairkan ketegangan pun bekerja dengan cukup baik sehingga disela-sela situasi serba genting, kita masih bisa terkekeh-kekeh. Asyik!

Exceeds Expectations (3,5/5)


Senin, 09 April 2018

REVIEW : PARTIKELIR

REVIEW : PARTIKELIR


“Kita kan detektif partikelir sejak SMA. Kasus ini yang akan membuat kita menjadi detektif partikelir beneran.” 

Komika ngocol di atas panggung yang disiarkan oleh stasiun televisi nasional jelas sudah biasa. Berakting di film layar lebar pun sudah biasa. Tapi mengarahkan sebuah film layar lebar? Ini baru sesuatu yang tidak biasa (meski sebentar lagi akan menjadi sesuatu yang umum). Tren menjajal karir di bidang penyutradaraan dari kalangan komika pertama kali dimulai dari Raditya Dika yang mencoba peruntungannya di Marmut Merah Jambu (2014). Setelahnya, berturut-turut menyusul Kemal Palevi melalui Youtubers (2015), Ernest Prakasa dalam Ngenest (2015), sampai paling segar di ingatan yakni Soleh Solihun lewat Mau Jadi Apa? (2017). Rata-rata memperoleh resepsi memuaskan dari khalayak ramai sehingga tidak mengherankan jika kemudian produser memberi kepercayaan kepada para komika ini untuk mengkreasi sendiri film-film mereka. Salah satu komika yang juga mendapat kepercayaan untuk mencicipi kursi penyutradaraan adalah Pandji Pragiwaksono yang menjajal genre komedi laga dengan elemen ‘buddy cop film’ dalam debut pengarahannya yang bertajuk Partikelir. Sebuah pilihan yang harus diakui (terlalu) berani mengingat rekan-rekannya sesama komika lebih memilih jalur aman di film perdana garapan mereka; menyoal perjalanan hidup atau ranah yang mereka pahami betul. Tidak ada yang salah dengan pilihan ini. Hanya saja, sebagai sebuah karya perkenalan, Partikelir terasa kelewat ambisius. Idenya menarik, potensinya ada, akan tetapi sayang beribu sayang kurang berhasil dihantarkan dengan baik. 

Melalui Partikelir, penonton diperkenalkan kepada seorang detektif swasta bernama Adri (Pandji Pragiwaksono) yang kerap menangani kasus tidak jauh-jauh dari urusan perselingkuhan. Karirnya bisa dibilang jalan di tempat sampai kemudian dia mendapat kesempatan emas dari klien barunya, Tiara (Aurelie Moeremans), yang meminta Adri untuk menyelidiki gerak gerik ayahnya yang mencurigakan. Kasus ini memang tampak sepele saja di permukaan. Namun setelah Adri mendengar adanya suara tembakan dan kata ‘rantau’ kala tengah mencuri dengar perdebatan ayah Tiara dengan seorang misterius, Adri menyadari bahwa ayah Tiara terlibat dalam suatu persoalan besar yang berbahaya. Suatu persoalan yang bisa diselesaikan lebih mudah jika menggunakan lebih dari satu otak. Maka dari itu, Adri pun mengajak serta Jaka (Deva Mahenra), sahabat baiknya semasa SMA, yang dulunya bermimpi menjadi detektif tapi belakangan memilih berprofesi sebagai pengacara. Mulanya sih Jaka menampik ajakan Adri, tapi hati kecilnya berkata lain sehingga dia memutuskan untuk bergabung dengan Adri. Hasil kerja keras mereka berdua dalam mengorek informasi dari beberapa sumber menghadapkan mereka pada fakta bahwa rantau adalah narkoba jenis baru yang sedang naik daun di kalangan pesohor tanah air. Dibantu oleh detektif gadungan, Geri (Ardit Erwandha), beserta kawan-kawan lama Adri-Jaka, penyelidikan lebih jauh mengenai rantau dan keberadaan ayah Tiara pun dilakukan yang tanpa disadari ternyata turut mengancam keselamatan mereka.


Partikelir mesti diakui mempunyai gagasan menarik yang berpotensi besar untuk diterjemahkan menjadi tontonan mengasyikkan apabila memperoleh penanganan yang tepat. Film ini bisa menjadi Bad Boys (1995), Hot Fuzz (2007), atau 21 Jump Street (2011) dengan kearifan lokal – meski saya sudah puas jika film ini berada di kelas yang sama dengan buddy cop film asal Malaysia, Polis Evo (2015). Akan tetapi, Pandji Pragiwaksono nyatanya justru kelimpungan dalam menyatukan tiga komponen krusial yang wajib dimiliki film jenis ini, yakni komedi, laga, dan chemistry kuat duo pelakon utama. Dari ketiga komponen tersebut, satu-satunya yang masih bisa dikatakan berjalan dengan baik adalah komedi. Menilik latar belakang Pandji yang berkecimpung di dunia stand up comedy, ini tentu bukan sesuatu yang mengherankan. Partikelir memang wajib hukumnya mampu membuat penonton tergelak-gelak di dalam bioskop selama durasi mengalun. Bagaimanapun juga, film ini pada dasarnya berada di teritori komedi, to? Jika tidak ada tawa menggema sama sekali, maka jelas Partikelir tergolong gagal total. Jika ada sedikit tawa, maka yaaaa, bolehlah agak dimaafkan. Partikelir, untungnya, berada di kategori kedua. Mengandalkan materi lawakan receh (seperti lulur tai, puting menyala, sampai perdebatan soal makanan), Pandji masih bisa melontarkan beberapa guyonan dengan cukup baik sehingga mampu mengundang derai tawa sekalipun hanya sesekali saja terdengarnya dan sisanya acapkali meleset dari sasaran lalu menyisakan kegaringan yang nyata nan manja. 

Sementara itu, komponen krusial lainnya, laga dan chemistry dua pelakon utama, nyaris tak terdeteksi detaknya dalam Partikelir. Total jendral, Partikelir hanya memiliki adegan laga sepanjang tidak lebih dari 20 menit atau memenuhi seperlima durasi saja. Itupun baru disodorkan di menit-menit terakhir dan dikemas dengan level ketegangan yang cukup minim. Tak memunculkan perasaan harap-harap cemas maupun menggelorakan semangat. Seolah-olah keberadaannya hanya untuk memenuhi persyaratan sebagai buddy cop film. Nasib yang tidak lebih baik dialami oleh jajaran pemainnya yang dipenuhi dengan nama-nama menjanjikan seperti Deva Mahenra, Lala Karmela, Ardit Erwandha, Cornelio Sunny, Dodit Mulyanto, Cok Simbara, Gading Marten, Tio Pakusadewo, Bisma Karisma, Epy Kusnandar, sampai Luna Maya, yang sebagian besar diantaranya tersia-siakan. Gading sih masih mujur, mencuri perhatian di satu adegan paling kocak dalam film. Namun pemain lainnya, seandainya mereka diganti oleh pemain lain pun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pergerakan kisah. Yang juga sangat disayangkan, Deva yang beberapa kali mengundang tawa melalui celetukan polosnya kala bermain solo malah terasa anyep begitu disandingkan dengan Pandji. Naskah kurang memberi kesempatan bagi Adri-Jaka untuk bekerja sama, kurang dibumbui gesekan-gesekan yang mempertegas karakter, atau sebatas interaksi seru. Alhasil, tidak muncul percikan-percikan persahabatan diantara keduanya yang bisa membuat penonton bersorak-sorai kepada mereka ketika bersatu padu. Jaka malah lebih sering terlihat seperti asisten Adri ketimbang rekanannya.

Acceptable (2,5/5)