Tampilkan postingan dengan label Video Game. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Video Game. Tampilkan semua postingan

Jumat, 13 April 2018

REVIEW : RAMPAGE

REVIEW : RAMPAGE


“It’s weird you like hanging out with animals more than people.” 

“Well, animals gets me.” 

Wahai generasi 80 dan 90-an yang gemar memainkan konsol permainan, apakah kalian masih ingat dengan sebuah video game berjudul Rampage? Itu lho, permainan yang misi utamanya menghancur-hancurkan gedung bertingkat. Ingat, kan? Kita menjelma menjadi monster raksasa berbentuk gorila, kepiting, tikus atau hewan buas lainnya akibat terpapar serum eksperimen. Aturan mainnya pun sederhana saja. Seraya menghindari tembakan-tembakan dari pihak militer jika ingin nyawa tetap utuh, kita mesti giat memporakporandakan seisi kota demi mengumpulkan poin. Kalau perlu, manusia-manusia pengganggunya dimakan juga! Menilik betapa mudahnya (dan serunya) memainkan game ini, tidak mengherankan jika kemudian Rampage terbilang populer di kalangan khalayak ramai sampai-sampai pihak Midway Games merilis beberapa seri kelanjutan. Dan seperti kebanyakan video game terkenal, tidak mengherankan juga jika kemudian ada petinggi studio di Hollywood yang meliriknya untuk diadaptasi ke film layar lebar. Demi merealisasikan Rampage versi layar lebar ini, maka duo Brad Peyton (sutradara) dan Dwayne Johnson (aktor) yang sebelumnya berkolaborasi untuk meluluhlantakkan pesisir barat Amerika Serikat dalam San Andreas (2015) pun direkrut. Tugas mereka sekali ini adalah mentranslasi kehancuran total yang dimunculkan versi game ke dalam tontonan popcorn yang mampu melepas kepenatan penonton. 

Dalam Rampage versi film, sosok monster yang mengamuk hebat di tengah kota bukan lagi manusia yang terpapar serum salah uji melainkan binatang-binatang buas. Salah satu korbannya adalah seekor gorila albino bernama George yang mendiami San Diego Zoo. George tertimpa kemalangan selepas sebuah stasiun luar angkasa milik Energyne meledak dan meluncurkan serum berbahaya bernama CRISPR ke beberapa titik di Amerika Serikat, termasuk tempat George bermukim. Reaksi dari serum ini terpampang nyata hanya dalam waktu semalam saja yang ditandai dengan ukuran tubuh si gorila yang membesar secara tidak wajar. Hal ini tentu mengejutkan ahli primata sekaligus sahabat baik George, Davis Okoye (Dwayne Johnson), lebih-lebih karena sahabatnya tersebut sanggup menumbangkan beruang grizzly dengan mudah. Ditengah kebingungannya melihat perubahan fisik dan sikap dari George yang mendadak, Davis mendapat kunjungan dari seorang ilmuwan, Dr. Kate Caldwell (Naomie Harris), yang mengaku tahu mengenai akar permasalahannya sekaligus obat penawarnya. Sebelum rencana untuk menyelamatkan si gorila selesai disusun, George tiba-tiba menggila lalu berkomplot dengan seekor serigala raksasa beserta buaya raksasa dan berlari menuju Chicago. Tujuan mereka sudah teramat jelas: menghancurkan gedung-gedung pencakar langit. Dibantu oleh seorang agen pemerintah bernama Harvey Russell (Jeffrey Dean Morgan), Davis dan Kate harus berpacu dengan waktu untuk menghentikan George sebelum semuanya terlambat. 



Apabila kamu pernah memainkan Rampage – kalaupun tidak, kamu bisa menerkanya dari penjabaran di paragraf awal – tentu mengetahui bahwa inti dari permainan ini hanyalah menghancurkan gedung sebanyak mungkin. Smash, smash, smash. Tidak ada misi yang mengharuskannya memiliki jalinan pengisahan (mencoba untuk) rumit dan diselaputi misteri. Kalaupun ada plot, itu sebatas latar belakang yang menceritakan tentang penyebab lahirnya monster-monster ini. Maka bisa dipahami jika kemudian Rampage garapan Brad Peyton yang mengerahkan empat penulis skenario ini tidak mempunyai plot yang bergizi tinggi. Lagipula, apa kamu benar-benar mengharapkan jalan cerita yang tertata dengan baik dari sebuah film yang diadaptasi dari video game? Video game-nya tentang monster penghancur gedung pula. Plot di sini hanya berfungsi untuk menjustifikasi munculnya serentetan sekuens laga sehingga tidak terkesan ujug-ujug. Jadi kamu mesti membiasakan diri bakal menerima ‘keajaiban’ dan ‘kekonyolan’ di sepanjang durasi Rampage yang bikin ngikik-ngikik geli di kursi bioskop karena memang, film ini tak pernah menganggap dirinya serius. Well, kamu tentu tidak menganggap film yang menampilkan serigala terbang secara serius, kan? Tujuan utamanya hanyalah mengajak penonton bersenang-senang melalui spektakel yang gegap gempita. Spektakel seru yang mengajak penonton melupakan kepenatan hidup selepas dihajar pekerjaan di kantor atau usai mendapat setumpuk tugas kuliah dan sekolah. Dan berdasarkan tujuannya tersebut, Rampage bisa dikatakan sukses. 

Rampage sendiri tidak menghabiskan banyak waktu untuk babak introduksi. Kita mendapatkan sekelumit penjelasan mengenai CRISPR, berkenalan dengan George dan karakter-karakter manusia seperti Davis, Kate, beserta duo villain dari Energyne, lalu tanpa banyak basa-basi, konflik perlahan mulai mengemuka menyusul jatuhnya serum-serum dari luar angkasa. Selepas tubuh George membesar seketika yang membuat dirinya merasa tidak nyaman, kita mendapati rangkaian peristiwa yang menjabarkan definisi dari ‘seru’ dan ‘menyenangkan’. Kita melihat George membobol kandangnya, mengamuk hebat di pesawat yang mengangkutnya sehingga menciptakan kekacauan di udara, bergabung dengan rekan-rekan mutannya yakni Ralph si serigala yang sebelumnya telah menghabisi sejumlah pasukan khusus dan Lizzie si buaya yang mengintai dari bawah air, sampai akhirnya yang telah kita nanti-nantikan selama durasi mengalun, memporakporandakan seisi Chicago. Menghancurkan gedung! Pertarungan antara monster dengan manusia! Pertarungan antara sesama monster! Woo hoo! Dihantarkan dengan laju pengisahan yang bergegas, mempunyai setumpuk sekuens laga dengan polesan efek visual meyakinkan yang dilontarkan nyaris tanpa henti, dan disokong karisma Dwayne Johnson yang memancar kuat sebagai jagoan tangguh (dia memang cocok dengan peran semacam ini), Rampage berhasil membuat saya seolah-olah terikat erat di kursi bioskop. Tak jarang pula, film membuat saya kegirangan seperti bocah yang baru pertama kalinya memainkan Rampage. Sisipan humornya yang berfungsi untuk mencairkan ketegangan pun bekerja dengan cukup baik sehingga disela-sela situasi serba genting, kita masih bisa terkekeh-kekeh. Asyik!

Exceeds Expectations (3,5/5)


Sabtu, 10 Maret 2018

REVIEW : TOMB RAIDER

REVIEW : TOMB RAIDER


“You messed with the wrong family.” 

Ladies and gentleman, Lara Croft is back! Bukan dalam bentuk sekuel yang melanjutkan dwilogi buruk tapi menghibur Lara Croft Tomb Raider (2001) dan The Cradle of Life (2003) dengan bintang Angelina Jolie, melainkan dalam bentuk reboot yang memulai segala sesuatunya dari awal mula. Keputusan ini bukannya tanpa alasan jelas mengingat: 1) rencana pembuatan film ketiga telah diurungkan lantaran Jolie emoh kembali dilibatkan, dan 2) seri permainan rekaan Crystal Dynamics yang merupakan landasan utama adaptasi ini pun me-reboot petualangan Lara Croft di tahun 2013. Dikontrol oleh Warner Bros. versi reboot yang menggunakan judul (sederhana) Tomb Raider ini menggunakan konsep dan pendekatan cukup berbeda dibanding seri-seri pendahulunya. Sang heroine yang kini diperankan oleh pemenang piala Oscar, Alicia Vikander, bukan lagi sosok lady pembangkang yang luar biasa tangguh dengan kemampuan tarung sulit untuk dikalahkan dan memiliki fisik aduhai bak Lara Croft versi Jolie. Sekali ini dia digambarkan lebih rapuh dan membumi, begitu pula dengan guliran pengisahan Tomb Raider versi 2018 yang mencoba agar lebih bisa diterima nalar penonton (walau hanya sedikit) dan memberi penekanan pada sisi petualangan alih-alih sebatas pada laga. Hasilnya, Tomb Raider era baru ini dapat tampil lebih baik ketimbang era lawas dan sebagai tontonan eskapisme pun film ini mampu hadir dalam kapasitas yang mumpuni. 

Menyandang status sebagai origin story, Tomb Raider memulai jalinan pengisahannya sedari awal sejak Lara Croft (Alicia Vikander) masih mencoba untuk berdamai dengan rasa duka akibat hilangnya sang ayah, Lord Richard Croft (Dominic West), tanpa jejak. Guna menekan rasa duka, Lara mencoba untuk hidup mandiri dengan meninggalkan mansion mewahnya, menyerahkan bisnis keluarga kepada orang kepercayaan sang ayah, dan memilih berkarir sebagai kurir sepeda yang memacu adrenalin tatkala tenggat waktu sudah mepet. Selama bertahun-tahun berada dalam fase ‘denial’, Lara akhirnya harus menghadapi kenyataan tatkala rekan bisnis Richard, Ana Miller (Kristin Scott Thomas), memperingatkan bahwa mansion milik keluarga Croft akan dijual apabila Lara tidak kunjung menandatangani surat pernyataan penerima harta waris yang secara otomatis turut menyatakan bahwa Richard telah tiada. Dalam keragu-raguan, Lara menemukan sebuah petunjuk penting yang mungkin mengungkap keberadan sang ayah. Petunjuk tersebut mengarahkan jagoan kita ke Yamatai, gugusan pulau di lepas pantai Jepang, yang konon kabarnya dikutuk karena menjadi makam bagi Ratu Himiko yang kejam. Hanya membawa modal seadanya berupa buku harian Richard dan kenekatan, Lara ditemani oleh pelaut Lu Ren (Daniel Wu) pun bertolak ke Yamatai demi menemukan kebenaran dibalik misteri menghilangnya sang ayah.


Ada satu kesamaan yang menautkan film-film yang diadaptasi dari permainan konsol; skripnya lemah dengan guliran penceritaan penuh lubang dan kerap dipertanyakan. Walau ini sejatinya bukan sesuatu mengherankan mengingat materi sumbernya sendiri cenderung abai soal plot karena inti dari permainan bukanlah kedalaman cerita melainkan terletak pada visualisasi dan tantangan yang dihadapkan ke pemain. Tomb Raider versi Roar Uthaug (The Wave) selaku film adaptasi dari video game berseri pun (tentunya) menghadapi persoalan serupa. Ya mau bagaimana lagi, plot memang bukan sesuatu yang benar-benar krusial di sini karena keberadaannya sendiri sebatas untuk menjustifikasi munculnya rentetan aksi yang dihadapi sang jagoan. Tapi jika boleh dikomparasi dengan dua seri Tomb Raider yang menampilkan Jolie, ini masih setingkat lebih baik. Narasi rekaan duo Geneva Robertson-Dworet dan Alastair Siddons setidaknya menaruh perhatian kepada sosok Lara Croft dengan memberinya latar belakang sekaligus karakterisasi cukup jelas sehingga dia terlihat manusiawi dan bukanlah sebatas karakter jagoan kosong. Penonton melihatnya berproses dari seorang perempuan yang mencoba mengatasi dukanya dengan melarikan diri menjadi seorang perempuan yang pantang menyerah dan berani menghadapi tantangan di depannya. Alicia Vikander mampu memperlihatkan perubahan ini secara meyakinkan baik melalui air muka maupun gestur tubuh yang terlihat dari kemampuannya menangani adegan aksi sehingga karakter Lara di tangannya dapat dikategorikan ‘badass’. 

Ketiadaan plot yang mengikat – well, misteri tentang Pulau Yamatai dan Ratu Himiko ini sebetulnya menarik sampai kemudian perlahan raib saat sang heroine akhirnya menginjakkan kaki di pulau misterius tersebut – untungnya berhasil dikompensasi oleh Uthaug dengan kapabilitasnya dalam mengkreasi rentetan sekuens laga yang mampu memacu adrenalin di hampir sepanjang durasi. Beberapa adegan aksi di Tomb Raider yang memberikan impresi sangat baik kepada penonton meliputi puluhan sepeda yang saling berkejar-kejaran menembus jalanan kota London yang padat di menit pembuka yang seketika membangkitkan ketertarikan terhadap film, terjangan badai besar menyambut kedatangan Lara beserta Lu Ren di Pulau Yamatai yang memporakporandakan kapal yang mereka tumpangi, bergelantungan di bangkai pesawat yang nangkring di atas air terjun, duel Lara dengan salah satu anak buah dari villain utama film ini di atas kubangan lumpur, sampai petualangan menyusuri makam Ratu Himiko yang di dalamnya ternyata dipenuhi dengan jebakan mematikan yang menyulitkan siapapun untuk keluar dari makam tersebut hidup-hidup. Adegan-adegan ini berhasil dengan baik membawa penonton memasuki fase ‘harap-harap cemas’ seraya meremas-remas kursi bioskop dengan erat. Adegan-adegan ini juga yang memberikan alasan mengapa Tomb Raider layak ditonton di layar lebar. Meski penceritaannya mungkin saja akan membuatmu geleng-geleng, tapi setidaknya Alicia Vikander tampil meyakinkan sebagai Lara Croft dan rentetan laganya yang digeber hampir tanpa henti memberikan definisi dari kata mengasyikkan.

Exceeds Expectations (3,5/5)



Jumat, 27 Januari 2017

REVIEW : RESIDENT EVIL: THE FINAL CHAPTER

REVIEW : RESIDENT EVIL: THE FINAL CHAPTER


We’re finally here, instalmen terakhir dari franchise Resident Evil yang didasarkan pada video game laris berjudul sama rekaan Capcom... atau setidaknya begitulah sangkaan kita. Usai dua jilid pendahulu, Afterlife dan Retribution, yang benar-benar melempem, sebetulnya pengharapan terhadap franchise ini telah sepenuhnya sirna. Kejar-kejaran antara sang protagonis, Alice (Milla Jovovich), dengan para zombie ganas yang didalangi oleh Umbrella Corporation telah sampai pada titik jenuh sehingga ketidakpedulian pada nasib Alice pun tak terelakkan. Maka begitu mendengar gagasan Paul W.S. Anderson berniat untuk mengkreasi seri lanjutan Resident Evil dan sekali ini menggunakan subjudul The Final Chapter yang besar kemungkinan berarti jilid penghujung, ada kelegaan disertai sekelumit kepenasaran terkait bagaimana Anderson akan menutup salah satu film adaptasi game tersukses di muka bumi ini. Membawa turut serta segala sikap skeptis ke gedung bioskop kala menyimak Resident Evil: The Final Chapter, alangkah terkejutnya diri ini begitu mendapati bahwa film ini menunjukkan peningkatan cukup signifikan dari dua instalmen sebelumnya. Whoa? 

Berselang tiga pekan selepas peristiwa di penghujung Retribution, Alice melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Pasca diserang oleh monster-monster beringas, pahlawan kita ini memperoleh pesan mengejutkan dari Red Queen yang mendadak menunjukkan itikad baik. Dalam pesan tersebut, Red Queen menginformasikan bahwa Umbrella berencana melepas virus guna memberangus secara total peradaban manusia dan Alice adalah satu-satunya harapan untuk menghentikannya. Berpacu dengan waktu serta tidak mempunyai banyak pilihan, Alice pun seketika bertolak ke tempat semua kekacauan ini bermula, Raccoon City. Membopong misi besar, tentu perjalanan Alice tidak serta mudah karena salah satu pemegang saham tertinggi di Umbrella yang juga musuh bebuyutannya, Dr. Alexander Isaacs (Iain Glen), dan Albert Wesker (Shawn Roberts) yang telah mengkhianatinya, berupaya untuk menghalau langkah Alice. Untung di tengah perjuangannya menembus laboratorium bawah tanah Umbrella, Hive, Alice berjumpa lagi dengan rekan seperjuangannya, Claire Redfield (Ali Larter), dan sekutu-sekutu baru Claire yang bersedia bahu membahu memberikan bantuan melawan korporasi lalim Umbrella usai mengetahui rencana terkutuk mereka. 

Ya, The Final Chapter adalah sebuah kemajuan jika disandingkan dengan Afterlife dan Retribution yang seringkali mendatangkan kebosanan. Bagi penonton yang telah antipati ke franchise ini sedari mula atau memang tak pernah menunjukkan ketertarikan lebih, berita bagus tersebut tidak berarti apapun. Tapi jika berinvestasi secara penuh entah karena faktor penggemar berat versi video game-nya maupun semata-mata kepincut dengan tiga jild awal yang harus diakui amat seru, jelas sebuah berkah. Paling tidak, Resident Evil berakhir – jika memang demikian adanya – mencapai konklusinya dengan kepala menengadah ke atas. Letak keberhasilan The Final Chapter adalah bagaimana Paul W.S. Anderson memanfaatkan bujet $40 jutanya secara maksimal dengan menciptakan setiap momen yang senantiasa berdentum keras. Lagipula, apa lagi sih motivasi penonton menyimak franchise ini di layar lebar selain mencari tontonan eskapisme yang berarti sarat adegan laga dan nuansa cekam? Instalmen keenam ini mencoba memenuhi itu. Berupaya kembali ke akarnya seperti jilid pertama dan kedua. Dipenuhi atraksi Mbak Alice melompat-lompat kesana kemari membantai para zombie yang senantiasa mengintai serta kelaparan. 

Sang sutradara menggeber serentetan laga yang meliputi pertarungan Alice dengan monster-monster ganas, berhadapan dengan antek-antek Umbrella termasuk musuh lamanya Dr. Alexander Isaacs di atas Hummer berjalan yang di sekelilingnya dikerumuni zombie, menyusup ke Hive yang menyimpan jebakan-jebakan maut tak terduga (ucapkan halo pada sinar laser dari film pertama!), hingga konfrontasi akhir yang menghadirkan pelintiran cukup mengejutkan dalam plot, nyaris tanpa putus. Satu kehebohan selesai langsung disambung kehebohan lain, terus menerus seperti itu sampai tutup durasi. Tidak memberi ruang bagi Alice untuk sekadar ngopi-ngopi cantik bersama Claire seraya bernostalgia. Menariknya, ada intensitas yang bisa dirasakan dalam setiap pertempuran yang dijabani oleh Alice sehingga menyulitkan rasa jenuh menyambangi penonton. Penggunaan jump scares untuk menimbulkan daya kejutnya memang agak berlebihan, begitu pula dengan kamera bergoncangnya dan penyuntingan bermetode quick cut-nya, tapi saat Milla Jovovich terlihat kembali bersemangat menghidupkan sosok Alice lalu mencuat pula sejumlah momen seru nan mencekam utamanya setelah pasukan Alice menyelinap ke Hive, titik lemah pun bisa diabaikan. Toh yang penting sebagai sebuah popcorn movie yang mengasyikkan ditonton beramai-ramai bersama teman, Resident Evil: The Final Chapter telah mencapai tujuannya, kan?

Noted : ada bonus di penghujung film yang penting-penting nggak penting. Jika kamu penggemar berat, kebetulan sedang tidak tergesa-gesa, dan bersedia menunggu sampai akhir, silahkan disimak. 

Exceeds Expectations (3,5/5)