Tampilkan postingan dengan label South Korea. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label South Korea. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : GONJIAM: HAUNTED ASYLUM

REVIEW : GONJIAM: HAUNTED ASYLUM


“The rumors were all true!” 

Keberadaan bekas Rumah Sakit Jiwa Gonjiam yang terletak di kota Gwangju, Korea Selatan, jelas merupakan sebuah aset berharga bagi perfilman Negeri Gingseng. Betapa tidak, popularitasnya sebagai salah satu lokasi terangker di dunia menurut versi CNN Travel dalam artikel berjudul “7 of the freakiest places on the planet”, ditambah latar belakangnya yang menyebutkan bahwa tempat ini menjadi saksi bisu atas terjadinya bunuh diri massal yang dilakukan oleh pasien RSJ bersangkutan, telah memberikan modal yang lebih dari cukup untuk diejawantahkan ke dalam bentuk film. Apabila kamu melakukan survey ke para penggila film horor atau generasi milenial yang gemar ditakut-takuti dan menyukai apapun yang sedang hits, rasa-rasanya mereka tidak akan keberatan untuk menyaksikan film seram mengenai RSJ angker ini. Lagipula, siapa sih yang bisa menolak pesona film horor tentang lokasi berhantu? Menyadari potensi besar yang dimiliki oleh RSJ Gonjiam, Jung Bum-shik yang sebelumnya menggarap Epitaph (2007) pun berinisiatif mengkreasi tontonan memedi bertajuk Gonjiam: Haunted Asylum. Teknik yang dipilih oleh si pembuat film dalam bercerita adalah found footage – seperti diterapkan oleh The Blair Witch Project (1999) dan Paranormal Activity (2007) – demi semakin menguarkan nuansa creepy dari tempat tersebut sekaligus memberi kesan riil pada penonton. 

Dibuka dengan adegan dua remaja nekat melakukan permainan uji nyali di bekas RSJ Gonjiam yang berakhir petaka, Gonjiam: Haunted Asylum lantas memperkenalkan kita pada seorang pemuda yang berniat untuk menerobos tempat yang sama. Si penggagas ide yang mempunyai kanal Youtube bernama Horror Times, Ha-joon (Wi Ha-joon), menganggap petaka yang menghinggapi dua remaja tersebut sebagai peluang emas baginya. Ha-joon membayangkan seberapa tinggi popularitas yang akan berhasil dicapai oleh kanal Youtube asuhannya apabila dia menyiarkan tayangan uji nyali secara langsung dari RSJ Gonjiam. Guna merealisasikan impiannya tersebut, Ha-joon pun merekrut enam anggota yang terdiri atas A-yeon (Oh A-yeon), Charlotte (Moon Ye-won), Sung-hoon (Park Sung-hoon), Seung-wook (Lee Seung-wook), Je-yoon (Yoo Je-yoon), dan Ji-hyun (Park Ji-hyun). Diiming-imingi imbalan uang yang didapat dari iklan, keenam anak muda ini mengiyakan tawaran dari Ha-joon untuk diterjunkan ke RSJ Gonjiam pada malam hari. Mereka akan berkeliaran di dalam gedung mencari aktivitas supranatural sementara Ha-joon berdiam di tenda untuk menyiarkan rekaman dari keenam relawan. Tentu saja seperti film horor pada umumnya, mulanya tidak ada kejanggalan yang dijumpai oleh sekelompok anak muda kurang kerjaan tersebut. Hingga kemudian mereka melakukan kesalahan klasik yang berujung pada teror demi teror mengerikan yang seketika mengancam keselamatan setiap personil. 


Dalam mencelotehkan pengalaman supranatural yang berlangsung dalam Gonjiam: Haunted Asylum, Jung Bum-shik sejatinya hanya memberikan tanda centang ke sederet keklisean yang mudah kalian jumpai di film sejenis. Segerombolan karakter stereotip yang sok berani menerima tantangan berhadapan dengan makhluk gaib karena mereka tidak pernah benar-benar memercayainya? Centang! Menerobos sebuah rumah (atau suatu tempat) yang disebut-sebut angker hanya untuk melakukan hal-hal tak berfaedah? Centang! Melakukan pemanggilan arwah di dalam tempat angker karena mereka menganggap itu sebagai sesuatu yang wajar, lucu dan tidak berbahaya? Centang! Berpisah jalan dengan rombongan sementara (kita semua tahu) berpisah di film horor sama saja dengan bunuh diri? Centang! Dan, baru menyadari bahwa nyawa mereka terancam saat aktivitas supranatural telah berada di level tinggi atau dengan kata lain, saat segalanya telah terlambat? Centang! Ya, bagi kalian yang sudah khatam tontonan horor secara umum, found footage secara spesifik, bisa jadi akan beberapa kali memutar bola mata tatkala mendapati keputusan-keputusan ngawur yang diambil oleh para karakter dalam Gonjiam: Haunted Asylum. Selama setidaknya satu jam pertama yang nyaris tidak terjadi apa-apa (mengikuti tradisi film bergaya found footage), kita diminta memafhumi tindakan tujuh muda-mudi yang tingkat kebodohan beserta menjengkelkannya berada di level dewa. Saya sama sekali tidak keberatan jika penghuni RSJ Gonjiam memutuskan untuk memangsa mereka semua. Silahkan, dengan senang hati. 

Yang kemudian menyelamatkan Gonjiam: Haunted Asylum dari ‘kutukan’ yang acapkali menimpa film horor dengan pendekatan found footage (terbukti dari sedikitnya film sejenis yang berkualitas diatas rata-rata) adalah kombinasi memuaskan antara desain produksi, pengambilan gambar, serta kejelian sang sutradara. Desain produksi film ini amat niat, menyulap sebuah gedung SMA di Busan sehingga menyerupai lokasi sesungguhnya yang sanggup membuat ciut nyali hanya dengan memandang dari luar. Ditunjang pengambilan gambar yang tangkas sekaligus memberi kesan meyakinkan kepada penonton bahwa kita sedang menyaksikan live streaming dari RSJ Gonjiam, dan kejelian sang sutradara dalam menempatkan trik menakut-nakuti (walau sejatinya sebagian besar diantaranya amat klasik!) di waktu yang tepat membuat Gonjiam: Haunted Asylum memiliki sejumlah momen yang dapat membuat penonton meringkuk, melonjak, maupun berteriak di dalam bioskop. Tidak ada skoring musik memekakkan telinga di sini demi menciptakan kesan otentik. Lagipula siapa butuh musik untuk menciptakan kekagetan atau rasa ngeri saat latar tempatnya telah sanggup menghembuskan nuansa creepy sehingga membuat bulu kuduk ini meremang? Sedari tujuh muda-mudi menjejakkan kaki di RSJ Gonjiam, saya telah dilingkupi rasa tidak nyaman yang menggelisahkan sampai mencapai puncaknya di 20 menit terakhir yang menyeramkan. Apa yang terjadi di babak pamungkas ini sedikit banyak membuat saya akhirnya dapat menolerir penceritaan dan bangunan karakter film ini yang generik.

Acceptable (3/5)


Minggu, 17 September 2017

REVIEW : THREAD OF LIES

REVIEW : THREAD OF LIES


“Dalam hidup, kamu akan mengalami saat dimana kamu lebih ingin mencurahkan isi hati kepada orang asing daripada keluarga. Karena orang asing tidak perlu menjaga rahasiamu.” 

Pada bulan Maret silam, Netflix melepas sebuah serial bertajuk 13 Reasons Why yang didasarkan pada novel remaja laris berjudul serupa. Serial berjumlah 13 episode tersebut menjadi suatu fenomena tersendiri di kuartal pertama tahun ini lantaran keberaniannya mengeksplorasi tema-tema sensitif dalam kehidupan remaja; bullying, depresi, dan bunuh diri. Elemen misteri yang dibubuhkan ke alunan penceritaannya memberi candu bagi penonton untuk terus mencari tahu “apa sih yang sesungguhnya terjadi disini?” sekalipun bahan obrolannya terbilang berat – saya sendiri menuntaskannya hanya dalam 3 hari. Selepas menontonnya, saya tidak saja menggali informasi terkait perisakan tetapi juga mencari film bertema sejenis. Nah, apabila kamu seperti saya dan berharap bisa menjumpai film yang senada seirama, rupa-rupanya perfilman Korea Selatan telah memiliki sebuah tontonan sangat apik yang memperbincangkan perihal perisakan dan bunuh diri di kalangan remaja usia belasan semenjak tahun 2014 berjudul Thread of Lies. Disadur pula dari sebuah novel, film arahan Lee Han (Punch) ini menghamparkan potret kelam dari Negeri Gingseng yang memang dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia berdasarkan data dari hasil penelitian World Health Organization. 

Karakter utama dalam Thread of Lies adalah seorang janda bernama Hyun-sook (Kim Hee-ae) dan kedua putrinya, Man-ji (Go Ah-sung) dan Cheon-ji (Kim Hyang-gi), yang masing-masing masih berstatus sebagai pelajar sekolah menengah. Dari tampak luar, mengesampingkan absennya figur seorang ayah, keluarga kecil ini tampak seperti keluarga normal lainnya. Menjalani hari demi hari dengan rutinitas yang begitu-begitu saja, kalaupun ada cekcok tentu wajar-wajar saja. Menganggap satu sama lain tidak mempunyai masalah, alangkah terkejutnya Hyun-sook dan Man-ji saat mendapati si bungsu Cheon-ji mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di kamar. Yang makin menyesakkan, Cheon-ji tak meninggalkan surat perpisahan sehingga kematiannya pun meninggalkan tanda tanya besar bagi keluarganya. Apa masalah yang dihadapi oleh Cheon-ji sampai-sampai dia nekat mengambil jalan pintas semacam ini? Pertanyaan ini terus berkecamuk dalam pikiran Man-ji yang kemudian memutuskan mencari kebenaran dibalik kematian sang adik selepas dia dan ibunya pindah apartemen. Langkah awal yang diambilnya yakni mendekati teman baik Cheon-ji, Hwa-yeon (Kim Yoo-jung), yang ternyata memiliki kontribusi cukup besar terhadap kematian Cheon-ji. Penyelidikan kecil-kecilan yang dilakukan Man-ji ini lantas mengungkap satu demi satu rahasia dan kebohongan yang selama ini disimpan rapat oleh Cheon-ji beserta orang-orang di sekitarnya. 

Selaiknya 13 Reasons Why, ketertarikan awal untuk mengikuti guliran pengisahan Thread of Lies bersumber dari misteri kematian si karakter sentral. Kita mempertanyakan motivasinya: kenapa dia akhirnya memutuskan untuk bunuh diri sementara tidak ada yang salah dari keluarga dan teman-temannya? Jika serial milik Netflix tersebut mengajak pemirsa mengikuti perjalanan sang sahabat dekat dalam membongkar misteri, maka film garapan Lee Han ini membawa penonton mengikuti Man-ji dalam mengurai benang-benang yang melilit kematian sang adik. Pemaparan kebenarannya mempergunakan teknik senada, kilas balik ke masa-masa si korban masih menghembuskan nafas. Usai berbincang-bincang sekejap bersama Hwa-yeon yang merupakan salah satu siswi tercantik dan terpopuler di sekolah Cheon-ji, baik Man-ji maupun penonton telah mencium bau anyir dibalik perangainya yang tampak lembut dan sopan. Benar saja, kala si pembuat film melempar latar waktu ke beberapa hari belakang, kita mendapati bahwa Hwa-yeon adalah perwujudan nyata dari perumpaan ‘serigala berbulu domba’. Dia tidak menerapkan kekerasan selama merisak Cheon-ji, melainkan mengajak kawan-kawan sekelas untuk mengesklusi secara sosial si gadis malang ini sehingga dia tidak memiliki teman untuk berbagi atau sekadar diajak bermain di sekolah. Salah satu adegan paling menyesakkan dada dalam Thread of Lies adalah ketika teman-teman sekelas Cheon-ji menggunjingkannya melalui aplikasi perpesanan di pesta ulang tahun Hwa-yeon.


Pertanyaan lain kemudian muncul, apakah Hwa-yeon adalah satu-satunya alasan bagi Cheon-ji untuk mengakhiri hidupnya? Seiring berjalannya durasi, kebenaran-kebenaran lain turut tersingkap yang memberikan kejutan kepada Man-ji (juga penonton). Menariknya, ketimbang menghakimi korban atau si pelaku bullying, Lee Han memberi kita pehamahaman bahwa ada sebab akibat dibalik setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap karakter. Kita memang dikondisikan untuk bersimpati kepada Cheon-ji berikut keluarganya, tetapi kita tidak serta merta antipati kepada Hwa-yeon karena dia memiliki alasannya sendiri mengapa memilih Cheon-ji sebagai target bulan-bulanannya. Bahkan sejatinya, Cheon-ji, Man-ji, serta Hyun-sook bukan sepenuhnya karakter putih bersih yang tiada memiliki cela barang sedikitpun. Inilah salah satu faktor yang membuat Thread of Lies terasa mengikat pula dekat lantaran barisan tokohnya dapat kita jumpai dengan mudah dalam sosok di sekitar kita. Terasa begitu nyata. Ada seseorang yang memilih menghempaskan dukanya dengan melampiaskannya kepada orang lain seperti Hwa-yeon, ada pula yang memilih untuk meredamnya dengan sangat keras sehingga berujung pada depresi tak tampak seperti Cheon-ji. Bukan sebatas film melodrama yang mengajak penontonnya untuk bertangis-tangisan, Thread of Lies turut meminta kepada penonton untuk lebih peka terhadap kondisi sekitar, utamanya keluarga dan sahabat, demi menghindari lahirnya Cheon-ji maupun Hwa-yeon lain. 

Menilik bahan obrolannya yang tergolong serius, mudah untuk mengira Thread of Lies bakal melantunkan pengisahannya dengan nada penceritaan yang bermuram durja. Menginjak paruh akhir – well, sebetulnya pola ini bisa pula kamu jumpai di sebagian besar film drama asal Korea Selatan – film memang akan membuat matamu bengkak tatkala mengupas semakin dalam kisah hidup tragis si protagonis. Tapi yang tak terbayang sebelumnya, canda tawa turut menghiasi beberapa titik. Ini diawali dari upaya Hyun-sook untuk membina kehidupan normal kembali bersama Man-ji di tempat tinggal baru mereka selepas diguncang tragedi. Interaksi keduanya, ditambah kehadiran tetangga baru yang nyentrik, Choo Sang-bak (Yoo Ah-in), kerap mengundang derai tawa yang mencairkan suasana. Kemampuan film untuk mempermainkan emosi penontonnya – entah itu tertawa, prihatin, marah sampai sesenggukkan – sedemikian rupa merupakan hasil dari kombinasi antara pengarahan baik sekali, naskah bernas, musik menyayat hati, serta performa jempolan barisan pelakonnya. Ya, setiap pelakon dalam Thread of Lies mempersembahkan akting di level meyakinkan sampai-sampai kita tidak keberatan sama sekali untuk menyematkan simpati kepada mereka. Yang paling mencuri perhatian yakni Kim Hee-ae sebagai seorang ibu yang menyimpan banyak duka lara dibalik tebaran senyumannya dan Kim Hyang-gi yang air mukanya sudah cukup untuk membuat kita berlinang air mata tanpa perlu baginya mengucap sepatah katapun.

Outstanding (4/5)


Minggu, 20 Agustus 2017

REVIEW : THE BATTLESHIP ISLAND

REVIEW : THE BATTLESHIP ISLAND


The Battleship Island telah memberi tanda centang terhadap semua rumusan baku yang diperlukan untuk menjadi sebuah sajian blockbuster menggelegar. Pertama, film ini diarahkan Ryoo Seung-wan, sutradara spesialis laga yang memberi kita The Berlin File (2013) dan Veteran (2015) yang amat seru itu. Kedua, film ini dibintangi jajaran pemain kenamaan dengan kualitas akting mumpuni seperti Hwang Jung-min, So Ji-sub, Song Joong-ki, serta Lee Jung-hyun. Ketiga, film ini memboyong topik seksi berupa fiksionalisasi atas peristiwa nyata yang menimpa warga Korea di Pulau Hashima, Jepang, kala Nippon tengah beringas-beringasnya ke sesama sedulur Asia pada Perang Dunia II. Dan keempat, film ini dianggarkan dengan dana raksasa untuk ukuran film asal Korea Selatan yakni mencapai lebih dari $20 juta demi membangun set baru yang menyerupai setiap sudut Pulau Hashima. Kombinasi maut yang dipunyai The Battleship Island ini memang membuatnya terkesan sebagai tontonan gigantis dan tak mungkin salah di atas kertas – sehingga tak mengherankan empat juta warga Negeri Gingseng berbondong-bondong menyaksikannya di bioskop dalam lima hari pertama. Yang lantas menjadi pertanyaan adalah akankah realita benar-benar memenuhi ekspektasi ini atau sekali lagi realita mengkhianati ekspektasi? 

Dalam merekonstruksi peristiwa yang terjadi di pulau berjulukan Battleship Island (Pulau Kapal Perang, sebutan yang merujuk pada bentuk fisiknya) pada tahun 1945 atau jelang dibombardirnya Nagasaki yang berjarak 15 km dari Hashima, Ryoo Seung-wan mengambil pendekatan fiktif. Sang sutradara yang bertindak pula selaku penulis skrip membagi penceritaan dalam film menjadi tiga subplot yang masing-masing melibatkan seorang pemain band bernama Lee Kang-ok (Hwang Jung-min) beserta putrinya, Lee So-hee (Kim Su-an), seorang kepala preman yang kerap bikin onar bernama Choi Chil-sung (So Ji-sub), dan seorang tentara gerakan kemerdekaan Korea bernama Park Moo-young (Song Joong-ki). Seperti halnya ratusan warga Korea lain, Lee dan Choi dijebak Jepang untuk bekerja dalam tambang batu bara yang berada di sebuah pulau kecil tengah laut. Guna bertahan hidup, Lee memanfaatkan kemampuannya bersilat lidah untuk berkawan akrab dengan para petinggi Jepang, sementara Choi menggunakan keahlian bertarungnya untuk menjadi ‘mandor’ bagi pekerja Korea. Gelaran konflik dalam film mulai berkembang tatkala Lee mendapati identitas sesungguhnya dari Park yang menyamar sebagai pekerja guna membebaskan salah seorang pejuang kemerdekaan. Lee yang dimintai bantuan oleh Park berkat luasnya jaringan pertemanannya, tentu tak tinggal diam begitu saja saat kesempatan melarikan dari pulau bersama sang putri tertampang nyata di depannya. 

Realita memenuhi ekspektasi adalah jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan di penghujung paragraf pembuka. Ya, Ryoo Seung-wan berhasil menghadirkan The Battleship Island sebagai sebuah tontonan yang bukan saja epik, tetapi juga menghantui sekaligus mengoyak emosi. Sulit untuk menghempaskan apa yang kita saksikan sepanjang 132 menit begitu saja dari benak dalam waktu dekat. Betapa tidak, tata produksinya tergarap detil yang memungkinkan penonton untuk meyakini bahwa kita telah dilempar kembali oleh si pembuat film ke 72 tahun silam. Seolah-olah kita menjadi saksi hidup dari kejamnya kehidupan yang mesti dilalui para budak kerja paksa yang dikirim ke Pulau Hashima. Sedari awal, sulit untuk tidak merasa miris dan meringis melihat pemandangan yang terhampar di layar. Terlebih Ryoo pun tak segan-segan menghamparkan sederet adegan kekerasan yang akan membuatmu ngilu bukan main guna memberi kesan riil dalam menggambarkan kekejaman Perang dan keberingasan Jepang. Salah satu paling sulit dilupakan ada pada adegan serdadu Jepang memaksa seorang perempuan dari rumah bordil yang mengaku sakit untuk berguling-guling di atas papan yang telah ditancapi banyak paku. Menyesakkan! Lainnya, kamu akan melihat betapa mudahnya menjumpai mayat bergelimpangan di pulau ini atau isi tubuh manusia terburai ketika senjata dan bom menunjukkan peranannya.


Menyadari bahwa penonton tak akan kuat bertahan apabila The Battleship Island dilantunkan dengan nada penceritaan melulu depresif, si pembuat film menebarkan bubuk humor selagi ada celah. Sosok Lee yang diceritakan sebagai penjilat ulung kerap menjalankan tugas menjadi comic relief bersama rekan-rekan band-nya atau putrinya. Keberadaannya senantiasa menghadirkan keceriaan tersendiri, namun di sisi lain turut membawa penonton dalam rasa hangat, cemas, dan pilu. Dibandingkan karakter inti lain seperti Choi dan Park, jatah tampil yang diberikan kepada Lee memang lebih mencukupi. Kita diberi kesempatan menjalin keterikatan bersamanya berkat sorotan ke hubungan ayah-anak, lalu kita juga melihatnya mengalami perkembangan sebagai satu karakter. Keputusan memberi ruang lebih besar terhadap plot yang melingkungi Lee ini bukannya tanpa resiko. Konsekuensi yang mesti dihadapi, subplot dan karakter lain agak terpinggirkan. Memasuki pertengahan film The Battleship Island terasa agak melelahkan buat diikuti lantaran intriknya terlampau dipaksakan untuk bercabang-cabang tanpa pernah dipaparkan secara layak. Tak terelakkan lagi, kebingungan sempat melanda akibat banyak karakter dan persoalan yang berlalu lalang. Terseok-seok selama beberapa saat, film kembali menemukan ritmenya ketika memasuki klimaks yang menghentak. 

30 menit terakhir dari The Battleship Island adalah bagian terbaik yang dimiliki film. Kapabilitas Ryoo dalam membesut sekuens laga mendebarkan kembali dipertontonkannya disini. Sulit untuk menghembuskan nafas lega melihat Park dibantu Lee dan beberapa karakter kunci lain dalam menjalankan misi membawa ratusan pekerja Korea untuk melarikan diri dari pulau dengan mengendap-endap di pagi buta. Apa yang terjadi saat sebagian besar pihak Jepang masih terlelap sungguh mendebarkan, lalu saat mereka terbangun dan memberikan perlawanan, pertempurannya berlangsung seru. Memperoleh tunjangan sangat baik sekali dari gerak kamera Lee Mo-gae dan penyuntingan duo Kim Jae-bum beserta Kim Sang-bum, klimaks The Battleship Island menghadirkan cukup banyak momen untuk dikenang. Namun selagi beberapa kawan menyebut “bendera disobek” atau “mengangkat jembatan besi yang patah” sebagai momen berkesan dalam film, saya justru memilih shot terakhir yang menghantui dan menghantam emosi di saat bersamaan itu sebagai momen paling menancap di memori. Melaluinya, diri ini semakin meyakini bahwa aktris cilik yang sebelumnya kita kenal melalui Train to Busan, Kim Su-an, akan memiliki masa depan cerah dalam karir berlakon. Performa luar biasanya adalah penggerak utama The Battleship Island, bahkan melampaui Hwang Jung-min, So Ji-sub, Song Joong-ki, serta Lee Jung-hyun yang juga sumbangkan akting sangat apik.

Outstanding (4/5)


Rabu, 05 Juli 2017

REVIEW : OKJA

REVIEW : OKJA


“The Mexicans love the feet. I know. Go figure. We all love the face and the anus, as American as apple pie. Hot dogs. It's all edible. All edible, except the squeal.” 

Ada kabar gembira bagi para pecinta sinema dunia. Salah sutradara terkemuka di Korea Selatan, Bong Joon-ho (The Host, Mother), telah keluar dari pertapaannya dan mempersembahkan sebuah tontonan yang sekali lagi akan mengusik emosi beserta pikiranmu di saat bersamaan bertajuk Okja. Menjadi film berskala internasional Bong Joon-ho yang kedua seusai Snowpiercer (2013) yang merupakan sebentuk sentilan terhadap stratifikasi sosial dalam kehidupan masyarakat modern, Okja yang memperoleh suntikan pendanaan sebesar $50 juta dan diproduksi oleh Netflix sehingga memungkinkannya untuk dikonsumsi khalayak ramai dari berbagai penjuru dunia secara bersamaan melalui gawai personal masing-masing ini menghadirkan barisan pemain bernama besar seperti Tilda Swinton, Jake Gyllenhaal, Paul Dano, Shirley Henderson, Giancarlo Esposito, dan Lily Collins. Mereka beradu peran bersama Ahn Seo-hyun, Byun Hee-bong, Yoon Je-moon, beserta Choi Woo-shik yang mewakili kubu Korea Selatan dan telah dikenal baik di negaranya. Seperti halnya film-film terdahulu dari sang sutradara, Okja pun masih bermain-main di ranah satir dibalik kemasannya sebagai tontonan blockbuster bergenre action-adventure dengan sentilan utamanya kali ini menyinggung perihal kapitalisme, konsumerisme, hingga politik pencitraan. 

Protagonis utama dalam Okja adalah seorang gadis yatim piatu berusia 14 tahun bernama Mija (Ahn Seo-hyun) yang tinggal bersama sang kakek (Byun Hee-bong) dan hewan peliharaan raksasanya yang menyerupai percampuran babi-anjing-kuda nil,  Okja, di suatu pedesaan Korea Selatan yang tenang nan terpencil. Kehidupan keluarga kecil yang damai sentosa ini lantas terusik tatkala Mija mendapati bahwa Okja adalah properti milik Mirando Corporation – sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pangan – dan perusahaan tersebut meminta Okja dikembalikan setelah 10 tahun ‘dipinjamkan’ untuk diberi perawatan alami. Sang hewan yang merupakan hasil dari mutasi genetik adalah bagian dari rencana besar Lucy Mirando (Tilda Swinton), CEO Mirando Corporation, untuk memulihkan nama baik perusahaan yang selama ini tercoreng. Tidak terima sahabatnya yang penuh perhatian direnggut paksa darinya, Mija pun nekat menempuh perjalanan seorang diri menuju Seoul guna merebut kembali Okja. Dalam perjalanannya, Mija mendapat bantuan dari Front Pembebasan Hewan yang dipimpin oleh Jay (Paul Dano) yang berniat membongkar kebusukan-kebusukan Mirando Corporation sekaligus hambatan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam tubuh perusahaan sehingga upaya untuk menyelamatkan Okja tidak begitu saja berlangsung mudah.


Jangan terkecoh pada sinopsis Okja yang memberikan kesan kuat bahwa film ini dapat ditonton beramai-ramai bersama seluruh anggota keluarga seperti (katakanlah) E.T. garapan Steven Spielberg. Jangan terkecoh pula pada belasan menit pertama Okja yang memberikan kesan menipu lainnya seolah-olah penonton tengah menonton salah satu versi live action untuk film animasi produksi Studio Ghibli. Okja, kenyataannya, bukanlah sebuah tontonan yang ramah bagi penonton cilik sekalipun karakter utamanya adalah seorang gadis berusia belasan tahun dan seekor hewan mutan yang sungguh menggemaskan. Pidato sambutan dari Lucy Mirando di awal mula yang berfungsi menjabarkan tentang latar belakang film – menjabarkan mengenai bagaimana babi mutan ditemukan, rencana untuk mengembangbiakkannya, dan manfaatnya bagi peradaban manusia – telah sedikit banyak menyiratkan bahwa gelaran kisah yang hendak disampaikan oleh Bong Joon-ho masihlah kompleks. Dalam artian, well, ini bukanlah film anak-anak yang penuh dengan keajaiban dan kegembiraan selaiknya tampak luar. Seperti telah disinggung sekelumit sebelumnya, Okja melemparkan topik obrolan seputar pengaplikasian sistem kapitalisme yang kejam, budaya konsumerisme yang merusak, beserta pemelintiran fakta dengan mendayagunakan media demi menciptakan citra sepatutnya bagi korporasi. Disamping itu, ada pula penggunaan bahasa kasar dan muatan kekerasan cukup eksplisit di dalamnya. 

Hmmm... terdengar seperti tontonan yang bermuram durja ya? Tidak juga. Mengira Okja akan dilantunkan dengan nada penceritaan yang depresif dan pesimistis, Bong Joon-ho justru menghadirkan sebaliknya meski paruh akhirnya menuju kesana. Ada kehangatan, lawakan, dan keseruan yang tertuang menjadi satu di dalamnya. Saat film mengambil latar penceritaan di kampung halaman Mija, penonton mendapati hubungan antar makhluk hidup berikut hamparan pemandangan yang menyejukkan mata. Mija dan Okja berjalan-jalan menyusuri hutan bersama, berburu lauk untuk makan malam bersama, lalu tidur siang bersama. Intensitas paling tinggi di belasan menit awal yang bisa kita peroleh yakni tatkala Mija terperosok ke tebing dan sang sahabat berupaya untuk menyelamatkannya. Melalui adegan ini, penonton menyadari bahwa relasi diantara mereka lebih dari sekadar hubungan antara majikan dengan hewan peliharaannya. Mereka adalah keluarga yang saling peduli satu sama lain. Maka begitu keluarga kecil ini didatangi juru bicara Mirando Corporation, Johnny Wilcox (Jake Gyllenhaal), beserta rombongan yang sejurus kemudian membongkar fakta mengenai nasib yang menanti Okja, muncul ketidakrelaan untuk melihatnya pergi dan kita pun memberi dukungan penuh kepada sang protagonis utama dalam menjalankan misi penyelamatan. Membawa Mija ke Seoul, ritme pengisahan yang semula mengalun cenderung tenang seketika berdentum hebat dimulai dari menerobos masuk kantor Mirando cabang Korea Selatan, disusul kejar-kejaran seru yang menciptakan kekacauan besar di suatu pertokoan, dan diakhiri ‘serangan tai’. 

Okja sendiri terdiri dari tiga fase yang masing-masing merepresentasikan nada pengisahan berbeda satu sama lain; pedesaan mewakili ketenangan, perkotaan di Seoul mewakili kekacauan/kesenangan, dan perkotaan di New York mewakili kemuraman. Ya, Okja kembali mengganti ‘warna kulitnya’ ketika penonton mendapati nasib yang menanti si babi mutan raksasa. Paruh akhir film ditampilkan oleh si pembuat film dalam nuansa kelam pula menyesakkan dada yang akan mengusik emosimu sedemikian rupa. Mengusik kebiasaanmu dalam mengonsumsi daging. Kecakapan Bong Joon-ho dalam membolak-balik emosi ini tentu akan berakhir tanpa arti apabila tidak memperoleh dukungan dari pemain ansambelnya yang menunjukkan performa nyaris tanpa cela. Ahn Seo-hyun mengomando dalam setiap kemunculannya dengan mempertontonkan akting konsisten sebagai bocah pemberani yang bertekad untuk membawa pulang anggota keluarganya, lalu Tilda Swinton membawakan peran ala Cruella de Vil dari 101 Dalmatians yang mengombinasikan antara kebengisan mengintimidasi dengan kerapuhan sehingga sosoknya tetap terlihat manusiawi, kemudian Paul Dano yang kalem namun menyimpan ambiguitas dalam karakternya, dan Jake Gyllenhaal yang memberi penampilan berbeda melalui karakter eksentriknya. 

Disamping mereka, masih ada pula Shirley Henderson, Giancarlo Esposito, Steven Yeun, beserta Byun Hee-bong yang turut berkontribusi dalam memperkokoh Okja yang sejatinya telah berdiri dengan kokoh sebagai suatu tontonan satir yang terbungkus lucu, seru, sekaligus menyesakkan dada. Bagus!

Note: Ada sebuah post credits-scene yang terletak di penghujung durasi.

Outstanding (4/5)