Tampilkan postingan dengan label Exceeds Expectations. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Exceeds Expectations. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : JELITA SEJUBA

REVIEW : JELITA SEJUBA


“Ternyata berat menjadi seorang istri. Apalagi menjadi istri seorang tentara.” 

Kehidupan perwira dengan segala suka dukanya, termasuk saat menjalin asmara, sejatinya bukan bahan kupasan baru dalam film Indonesia. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa menengoknya melalui Merah Putih (2009), Doea Tanda Cinta (2015), serta I Leave My Heart in Lebanon (2016). Hanya saja, mengingat film-film tersebut mengambil sudut pandang penceritaan dari perwira, tak ayal ada satu yang absen dan tidak pernah tergali mendalam. Kehidupan para perempuan yang mendampingi mereka. Para perempuan memang memiliki peranan di film-film ini, tapi sebatas sebagai karakter sekunder dengan karakteristik satu dimensi yang tugasnya hanyalah memotivasi si karakter utama. Tidak pernah lebih dari itu. Padahal ada satu pertanyaan menarik yang sempat beberapa kali terbersit di benak, “bagaimana cara perempuan-perempuan ini menjalani hari demi hari yang dipenuhi dengan penantian tanpa kepastian?.” Ray Nayoan yang sebelumnya lebih aktif di pembuatan film pendek, agaknya menyadari posisi mereka yang cenderung terpinggirkan dalam film Indonesia. Melalui film panjang pertamanya bertajuk Jelita Sejuba yang mengambil latar di Natuna, Kepulauan Riau, Ray bercerita mempergunakan perspektif seorang istri perwira. 

Istri perwira yang dimaksud dalam Jelita Sejuba adalah Sharifah (Putri Marino). Putri sulung dari seorang nelayan (Yayu Unru) dan pemilik warung (Nena Rosier) ini menjalankan bisnis warung makan kecil-kecilan bersama dengan kawan-kawan baiknya yang dinamai Jelita Sejuba. Di warung makan inilah Sharifah berjumpa untuk pertama kalinya dengan Kapten Jaka (Wafda Saifan Lubis) yang sedang ditugaskan oleh batalionnya di Natuna. Telah ada saling pandang dan saling lirik diantara keduanya, tapi belum muncul keberanian untuk mengutarakan isi hati. Apakah ini sebatas kekaguman atau memang ada rasa bernama cinta? Selepas pertemuan pertama tersebut, Jaka dan Sharifah kembali bertemu – baik sengaja maupun tidak – beberapa kali yang sedikit demi sedikit menebalkan rasa diantara mereka. Belum sempat mereka saling menyatakan rasa, Jaka dipindah tugas ke tempat lain. Dalam penantian tersebut, Sharifah mulai menyadari bahwa cintanya memang hanya untuk Jaka. Maka begitu Jaka menjejakkan kaki lagi di Natuna dan mengajaknya untuk menikah, senyum bahagia mengembang di bibirnya. Yang tidak disadari oleh Sharifah kala itu, bukan perkara mudah menjadi istri seorang tentara. Sharifah kerap mengalami fase ditinggal pergi sang suami untuk bertugas selama berbulan-bulan lamanya tanpa pernah ada kepastian kapan dia bisa kembali ke rumah. Tanpa pernah ada kepastian apakah dia bisa kembali ke rumah dengan selamat atau tidak.


Berpatokan pada sinopsis di atas, mudah untuk menyebut Jelita Sejuba memiliki plot yang amat generik. Ya mau bagaimana, pola penceritaannya masih tidak jauh-jauh dari pertemuan seorang perwira yang kaku dengan seorang perempuan desa yang lugu, lalu benih-benih asmara menyeruak hadir ditengah-tengah keduanya, dan mereka pun memutuskan untuk menikah. Jika ini ditangani secara serampangan, kemungkinan besar film akan berakhir sebagai melodrama murahan yang lebih cocok disimak di layar beling. Tapi sensitivitas Ray Nayoan dalam mengarahkan ditunjang oleh skrip renyah garapan Jujur Prananto, elemen-elemen teknis seperti skoring musik beserta sinematografi yang baik sekali, dan performa mengesankan dari jajaran pelakonnya, sanggup membuat Jelita Sejuba berada di kelas yang berbeda. Bahasa kerennya sih, classy. Pilihan Ray untuk melantunkan Jelita Sejuba dengan nada penceritaan cenderung ringan nan jenaka alih-alih penuh ratapan sekalipun Sharifah kerap berjuang seorang diri dalam mengurus rumah tangga terbilang tepat guna. Bahkan, dia mengaplikasikan cara penuturan yang bergaya sekaligus unik (paling menonjol dalam adegan Sharifah-Jaka mengajukan berkas untuk pernikahan. Serius, ini ketje!) sehingga masa-masa berseminya cinta antara dua karakter utama yang sejatinya minim letupan konflik terasa sangat nyaman buat diikuti. Penonton berulang kali dibuat tergelak-gelak oleh tingkah polah para karakter di film, dan sempat pula dibuat menyerukan ‘awww’ berjamaah ketika Jelita Sejuba mencapai titik termanisnya: Jaka melamar Sharifah menggunakan teropong. 

Ini tidak mungkin bisa dicapai apabila penonton sedari awal mengalami kesulitan untuk menginvestasikan emosi kepada film. Naskah ramuan Jujur Prananto memungkinkan kita untuk terhubung pada Sharifah-Jaka. Dia memberi latar belakang mencukupi untuk Sharifah dan Jaka, merepresentasikan mereka sebagai karakter yang mudah kita jumpai di kehidupan sehari-hari, dan menghadirkan dialog-dialog yang mengalir secara natural. Selain itu, performa mengesankan dari Putri Marino beserta Wafda Saifan Lubis pun membantu. Wafda adalah sesosok pria bentukan militer yang kaku, sementara Putri adalah perempuan desa yang polos. Tampak cerah ceria di paruh pertama, Putri berubah menjadi sosok yang lebih kalem di paruh selanjutnya tatkala beban hidupnya menggelembung. Kita bisa mendeteksi adanya tekanan karena kesepian, ketidakpastian, serta himpitan ekonomi. Melalui atraksi akting yang diperagakannya dalam Jelita Sejuba, kita bisa pula merasakan perkembangan akting Putri yang cukup signifikan terlebih nyawa film bergantung penuh kepadanya (dia berhasil, film berhasil. Dia gagal, film gagal). Beruntung, Putri mempunyai rekanan akting yang tidak kalah mengesankannya seperti Wafda, Yayu Unru, Nena Rosier, sampai Aldy Maldini sebagai adiknya yang bengal sehingga amat membantunya menghidupkan sosok Sharifah. Alhasil, selama menonton Jelita Sejuba kita pun ikut tertawa, tersipu, sekaligus terharu.

Exceeds Expectations (3,5/5)


REVIEW : TERBANG MENEMBUS LANGIT

REVIEW : TERBANG MENEMBUS LANGIT


“Beranikan hati. Raihlah kebebasan kau. Terbang, terbang setinggi-tingginya.” 

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, nama Onggy Hianata memang tidak terdengar familiar. Membutuhkan jasa teknologi canggih yang disebut Google untuk mengetahui latar belakang dan profesi dari pemilik nama tersebut. Dari hasil berselancar ke dunia maya – mengunjungi satu demi satu web dan blog yang membahas tentang Onggy – saya memperoleh satu kesimpulan bahwa Onggy merupakan seorang motivator keturunan Tionghoa asal Tarakan, Kalimantan Utara, yang menyebarkan pengalamannya selama merintis karir sebagai pebisnis melalui program bernama Value Your Life: A Life Changing Bootcamp. Beliau telah melanglang buana (ruang lingkupnya telah berada di taraf internasional) demi memotivasi para pebisnis pemula agar mereka mendapatkan kepercayaan diri dan keberanian dalam membangun kerajaan bisnis. Yaaaa kurang lebih seperti Merry Riana atau Mario Teguh lah. Kepenasaran saya untuk mengetahui sosoknya dilandasi oleh keputusan Demi Istri Production menitahkan Fajar Nugros (Moammar Emka’s Jakarta Undercover, 7/24) untuk menggarap film bertajuk Terbang: Menembus Langit yang guliran penceritaannya didasarkan pada kisah hidup Onggy Hianata. Saya dibuat bertanya-tanya, “apa sih yang begitu istimewa dari kehidupan sang motivator sampai-sampai dirasa perlu untuk diangkat ke dalam format film layar lebar?.” 

Well, jalan hidup Onggy Hianata (Dion Wiyoko) yang penuh lika-liku harus diakui merupakan sebuah materi yang seksi untuk difilmkan. Seorang pebisnis sukses yang memulai karirnya dari nol. Dia berasal dari sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang miskin di Tarakan, memiliki delapan saudara, dan nyaris tidak dapat mengenyam bangku pendidikan karena kedua orang tuanya terhimpit secara finansial. Sang ayah (Chew Kin Wah) hanyalah pekerja di toko kelontong, sementara ibunya (Aline Adita) mengurus rumah tangga. Selepas meninggalnya sang ayah, kedua kakak Onggy (Baim Wong dan Delon Thamrin) yang bertugas dalam menafkahi keluarga. Onggy sendiri memilih untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari jurang kemiskinan dengan cara mencari peruntungan di perantauan. Bermodal nekat, Onggy pun meninggalkan kampung halamannya dan bertolak menuju Surabaya – suatu kota yang sering dijadikan sebagai destinasi andalan oleh para perantau di kotanya. Tanpa uang saku dari kedua kakaknya, Onggy membiayai kuliah sekaligus menyambung hidup dengan menjadi distributor apel ke toko buah, menjual jagung bakar, memproduksi kerupuk, sampai akhirnya bekerja sebagai pegawai di pabrik pembuatan benang. Penghasilan tetap yang diperolehnya di pabrik ini nyatanya tak lantas membuat Onggy bahagia karena dia menyadari bahwa menjadi budak korporat bukanlah mimpinya. Dia ingin memperoleh kebebasan penghasilan dari usaha yang dibangunnya sendiri, bukan bergantung dari usaha yang dibangun oleh orang lain.


Menyoroti sepak terjang Onggy dalam mengentaskan dirinya, keluarganya di Tarakan, dan keluarga kecil yang baru dibinanya bersama sang istri, Candra (Laura Basuki), dari penderitaan hidup yang disebabkan kemiskinan, bahan obrolan yang disodorkan Terbang: Menembus Langit berkisar pada keberanian dalam menggapai mimpi, kekuatan tekad, serta kerja keras. Ini adalah modal utama yang dibutuhkan untuk mengkreasi sebuah film biopik yang inspiratif. Entah kalian suka atau tidak dengan pilihan kata ‘inspiratif’ yang kerap digunakan secara sembrono oleh sineas-sineas Indonesia demi jualan film asal bikin, kata ini nyatanya terasa tepat untuk mendeskripsikan seperti apa Terbang: Menembus Langit. Sebuah film yang akan menggugah semangatmu saat melangkahkan kaki ke luar bioskop untuk memperbaiki kualitas diri sekaligus mengoreksi etos kerja demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Penceritaannya memang tidak selalu mulus, seperti kehidupan subjeknya. Problematika paling mencolok kentara terasa kala menjelang klimaks yang cenderung tergesa seolah-olah ingin cepat tuntas sampai lupa menjabarkan satu pekerjaan baru yang dikejar-kejar oleh Onggy termasuk bagaimana sistem penggajiannya (karena ada kalanya dia tampak tak menerima hasil apapun) dan meminggirkan subplot terkait kerusuhan Mei 1998 yang sejatinya memiliki potensi dramatik menarik saat dikulik (semacam, apa impak peristiwa ini pada Onggy dan keluarganya?) terlebih film pun sejatinya ingin berceloteh soal kebhinekaan Indonesia. 

Andai Terbang: Menembus Langit berkenan memperpanjang durasinya, lalu mengupas ini lebih tuntas, memperlihatkan bagaimana Onggy sebagai keturunan Tionghoa dapat bertahan di masa orde baru yang sarat diskriminasi, dan memberi kita gambaran lebih utuh mengenai pekerjaan yang membawa Onggy pada masa kejayaannya, film bisa jadi akan tersaji lebih menggigit. Bahkan dengan adanya ganjalan di penghujung pun, Terbang: Menembus Langit masih mampu terhidang sebagai film biopik yang cukup memuaskan berkat kombinasi serba apik dari pengarahan Fajar Nugros, elemen teknis yang menyokongnya, serta performa jajaran pelakonnya. Di sini, kamu akan mendapati nuansa pekat dari era 80-90’an yang dipancarkan melalui pilihan busana, tata rias, sampai artistik, dan atraksi akting mengagumkan yang menggerakkan film. Dion Wiyoko sebagai Onggy yang dikenal gigih dalam memperjuangkan keinginannya adalah pilihan yang tepat karena dia sanggup membawa kita melewati berbagai fase emosi; kita kecewa dan terpuruk bersamanya, kemudian kita yakin dan bersorak kepadanya. Keinginan kita pun sejalan dengannya, yakni melihat Onggy mencicipi manisnya buah kerja keras. Beruntung bagi Dion, dia mempunyai lawan main yang mumpuni seperti Chew Kin Wah bersama Aline Adita sebagai orang tuanya yang menyuplai sisi haru berikut rasa hangat, lalu kuartet penghuni kos-kosan (Dayu Wijanto, Indra Jegel, Mamat Alkatiri, Fajar Nugra) yang memberi sejumput gelak tawa mengasyikkan pada film, dan Laura Basuki yang merupakan bintang sesungguhnya dari film ini.


Laura bertransformasi dengan amat meyakinkan sebagai Candra – lengkap dengan aksen Cina Suroboyoannya – yang menyediakan harapan hidup bagi Onggy. Sesosok perempuan kuat yang senantiasa memberi dorongan untuk suaminya sekalipun keputusan Onggy yang berani (kalau tak mau disebut nekat) seringkali menempatkan mereka pada posisi sulit. Adegan yang berlangsung di kontrakan, seperti saat Candra meluapkan kekecewaannya yang begitu mendalam atas pilihan suaminya atau ketika kandungannya bermasalah atau kala Rich (putra mereka yang masih bayi) merengek kepanasan, menunjukkan range emosi seorang Laura yang luas. Apakah ini akting terbaik sepanjang karirnya? Dapat dikatakan demikian. Chemistry yang dirajutnya bersama Dion pun tak kalah apiknya. Membuat kita cukup bisa memaafkan pergerakan kisah yang tergesa di paruh akhir (sungguh ini sayang sekali), membuat kita bersedia mendengarkan kisah hidup Pak Onggy beserta Bu Candra, membuat kita rela dihanyutkan ke dalam kisah mereka yang terkadang hangat terkadang lucu terkadang pilu, membuat kita berharap mereka berhasil menggapai mimpi mereka, dan pada akhirnya membuat kita terinspirasi untuk mencetak kisah sukses yang serupa. Performa Dion-Laura yang mempunyai emosi sedemikian kuat jelas berkontribusi banyak terhadap Terbang: Menembus Langit sehingga film dapat terbang cukup tinggi meninggalkan film-film sejenis seperti Menebus Impian (2010) atau Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar (2014) misalnya.

Exceeds Expectations (3,5/5)
REVIEW : ANANTA

REVIEW : ANANTA


“Kita dipertemukan karena ikatan jodoh yang kuat.” 

Para pembaca blog yang budiman, izinkanlah saya untuk menyampaikan satu kabar gembira sebelum mengulas Ananta keluaran MD Pictures. Kabar gembira tersebut adalah (jreng-jreng) Michelle Ziudith sudah terlepas dari film-film romantis picisan garapan Screenplay Films, saudara-saudara!... meski kemungkinan hanya untuk sementara sih. Tapi jangan langsung bersedih karena paling tidak, untuk sesaat kita tidak melihatnya memerankan perempuan tajir melintir yang hobi merajuk, remaja yang mengemis-ngemis cinta seolah dia akan tewas jika terlalu lama menjomblo, atau gadis yang gemar bersabda dengan kata-kata mutiara di setiap hembusan nafasnya. Ini tetap patut dirayakan. Kenapa? Karena saya selalu percaya bahwa Michelle Ziudith memiliki bakat dalam berakting (apalagi kalau sudah akting banjir air mata, saingan deh sama Acha Septriasa!) dan dia sangat perlu kesempatan untuk membuktikannya. Melalui Ananta yang didasarkan pada novel bukan horor bertajuk Ananta Prahadi rekaan Risa Saraswati (seri Danur), aktris yang akrab disapa Miziu ini mendapatkan kesempatan tersebut. Memang sih kalau ditengok dari segi genre, Ananta masih bermain-main di jalur andalan Miziu yakni drama percintaan yang sekali ini membawa muatan komedi cukup pekat. Hanya saja yang membuat film ini berbeda dan boleh jadi merupakan tiket emas baginya adalah Ananta mempunyai penggarapan beserta performa pemain yang baik sehingga menempatkannya berada di level lebih tinggi dibanding film-film Miziu terdahulu. 

Dalam Ananta, Michelle Ziudith berperan sebagai Tania yang dideskripsikan sebagai remaja SMA yang kesulitan dalam berinteraksi secara sosial sehingga dia memilih untuk membenamkan diri dengan dunianya sendiri: lukis melukis. Akibat sikapnya yang jauh dari kata bersahabat, Tania hidup dalam kesendirian. Dia tidak memiliki satupun teman bermain di sekolah, dia juga tidak memiliki satupun teman berbicara di rumah. Satu-satunya orang yang dipersilahkan Tania memasuki kehidupannya adalah Bik Eha (Asri Welas) – itupun sebatas berurusan dengan makanan. Kehidupan Tania yang terbilang sunyi dan monoton ini lantas mengalami perubahan saat Ananta Prahadi (Fero Walandouw), murid pindahan asal Subang yang memiliki logat Sunda kental, hadir di sisinya. Ini bisa diartikan secara harfiah karena Ananta duduk sebangku dengan Tania. Karakteristiknya yang periang jelas bertolak belakang dengan Tania yang muram. Pun begitu, Ananta berupaya memahami rekan sebangkunya ini termasuk memasakannya nasi kerak yang merupakan makanan favorit Tania dan membantunya menjual lukisan-lukisannya. Tania yang semula apatis perlahan tapi pasti bersedia membuka diri pada Ananta sehingga hubungan persahabatan sekaligus hubungan bisnis pun terbentuk. Kesedihan yang selama ini menggelayuti diri Tania pun memudar tergantikan oleh kebahagiaan sampai kemudian Ananta tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan Tania menyambut datangnya pria lain dalam kehidupannya, Pierre (Nino Fernandez). 



Seperti halnya jutaan umat manusia di luar sana, saya pun sebetulnya menganggap sepele Ananta. Satu-satunya yang berkontribusi terhadap tergeraknya hati dan kaki ke bioskop untuk menjajalnya adalah sang sutradara, Rizki Balki, yang memulai debutnya dengan apik melalui Aku, Benci, dan Cinta (2017). Michelle Ziudith? Kepercayaan saya sudah mulai meluntur. Membawa sikap skeptis ke dalam ruang pemutaran, diri ini merasa tertampar saat tanpa disangka-sangka Ananta ternyata mampu tersaji sebagai tontonan yang jenaka (ya, film ini lucu sekali!) sekaligus hangat, manis, dan menyentuh di waktu bersamaan. Rizki yang gaya penuturannya terasa sekali terpengaruh dari film-film romantis asal Korea Selatan membuktikan bahwa debutnya tersebut bukanlah suatu kebetulan pemula belaka dan Michelle Ziudith menunjukkan bahwa dia memang layak untuk diberikan kesempatan. Lanjutkan, Miziu! Michelle Ziudith berhasil melebur dengan baik ke dalam sosok Tania yang ajaib, sengak, dan temperamental. Berada di pengarahan maupun interpretasi pemain kurang tepat, Tania berpotensi menjadi karakter yang sukar diberi simpati. Namun performa Michelle Ziudith ditunjang chemistry padu bersama Fero Walandouw sebagai karakter tituler membuat saya cukup mampu memafhumi karakteristiknya yang kian meletup-letup tak terkontrol karena faktor duka. Adegan Tania terpuruk lalu menangis di pundak Ananta usai melempar lukisan-lukisannya ke luar jendela menjadi momen terbaik di film ini yang sekaligus menandai pertama kalinya simpati dapat disematkan secara resmi pada kedua karakter utama tersebut khususnya Ananta yang kebaikan dan kepolosannya membuat diri ini ingin memberinya pelukan hangat.  

Tidak hanya Michelle Ziudith yang membuktikan bahwa dia sanggup menunjukkan atraksi akting yang kejut nyata tatkala memperoleh peran beserta pengarahan yang tepat, tetapi juga Fero Walandouw. Merupakan kejutan terbesar dari Ananta, Fero adalah rekanan akting yang sesuai bagi Miziu. Chemistry yang dibina Miziu bersama Fero jauh lebih meyakinkan ketimbang saat dia beradu akting dengan Dimas Anggara maupun Rizky Nazar. Berkat performa keduanya, kita bisa menerima kenyataan bahwa Tania kelewat ngeselin dan Ananta kelewat mulia, lalu menikmati setiap momen kebersamaan mereka yang sebagian besar diantaranya mengundang gelak tawa – seperti berlari-larian di bawah guyuran ‘air hujan’ – dan menggoreskan rasa hangat di hati. Keberadaan Asri Welas yang kentara difungsikan sebagai comic relief jelas membantu meningkatkan level kelucuan yang sejatinya telah cukup kuat hanya dari interaksi Fero bersama Miziu. Sayangnya, segala kenikmatan menyaksikan Ananta yang ditimbulkan di satu jam pertama ini tak benar-benar bertahan hingga ujung durasi. Memang di separuh akhir masih ada sekelumit rasa manis dari benih-benih asmara antara Tania dengan Pierre atau terenyuh melihat kepedulian Ananta yang amat besar pada Tania, tapi upaya untuk menghadirkan kejutan yang membawa film ke ranah melodrama pada klimaks justru menurunkan greget. Andai si pembuat film (dan Risa sebagai pemilik materi sumber) tidak menjerumuskan Ananta pada tangis-tangisan klasik – plus misi Ananta tidak dipaksakan melibatkan perasaan – maka bukan tidak mungkin momen ‘perpisahan dan pertemuan’ di ujung film akan terasa lebih menohok. Andai ya…


Exceeds Expectations (3,5/5)

Sabtu, 26 Mei 2018

REVIEW : THE GIFT (2018)

REVIEW : THE GIFT (2018)


“Setiap kali kamu cerita, imajinasi kamu membuat dunia semakin luas. Dan aku ingin menaklukkan itu.” 

Sejujurnya, saya lebih antusias tatkala Hanung Bramantyo menggarap film-film ‘kecil’ ketimbang film-film berskala raksasa. Saat menggarap film yang jauh dari kesan ambisius (dan tendensius), Hanung terasa lebih jujur, intim, dan mampu menunjukkan kepekaannya dalam bercerita sehingga emosi yang dibutuhkan oleh film berhasil tersalurkan dengan baik ke penonton. Tengok saja beberapa karya terbaiknya seperti Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Hijab (2015). Bangunan komediknya amat jenaka sekaligus menyentil di waktu bersamaan sementara elemen dramatiknya sanggup membuat baper manusia-manusia berhati sensitif secara berkepanjangan. Melalui film-film tersebut, kita bisa memafhumi statusnya sebagai salah satu sutradara tanah air terkemuka saat ini. Maka begitu Hanung bersiap untuk merilis proyek kecilnya yang mengambil genre drama romantis bertajuk The Gift – saya tidak tahu menahu mengenai film ini sampai diputar perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017 – ada rasa penasaran yang menggelayuti. Lebih-lebih, dia mengajak turut serta sejumlah pemain besar yang terdiri atas Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Dion Wiyoko, beserta Christine Hakim untuk menyemarakkan departemen akting. Kombinasi maut yang terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja, bukan? 

Dalam The Gift, Hanung memanfaatkan relasi dan interaksi dua manusia yang tidak mengenal cinta, Tiana (Ayushita Nugraha) dan Harun (Reza Rahadian), sebagai pemantik konflik. Perkenalan diantara mereka bermula ketika Tiana, seorang penulis novel asal Jakarta yang sedang mencari ilham untuk menuntaskan novel terbarunya, menyewa sebuah kamar kos di rumah Harun yang berlokasi di Jogjakarta. Mengingat akses ke rumah utama senantiasa tertutup dan Harun bukanlah pria yang gemar beramah tamah, hubungan baik tidak seketika terbentuk. Malah, kesan pertama bagi masing-masing individu terbilang buruk. Pangkal permasalahannya, Harun memutar musik keras-keras yang membuat Tiana merasa terganggu. Sebagai permintaan maaf, lelaki tunanetra ini pun berinisiatif mengajak tamunya tersebut untuk sarapan bersama yang sayangnya tidak berjalan mulus karena tukar dialog diantara mereka berujung pada pertikaian verbal lebih lanjut. Menilik karakteristik Harun dan Tiana yang sama-sama keras, sebetulnya agak sulit membayangkan keduanya dapat menciptakan koneksi tanpa harus saling menyinggung satu sama lain. Tapi baik Tiana maupun Harun mencoba untuk melunak, lalu berusaha untuk saling memahami. Di saat inilah, benih-benih asmara perlahan mulai bersemi sampai kemudian datangnya teman masa kecil Tiana, Arie (Dion Wiyoko), membuyarkan kisah cinta yang siap dirajut oleh Tiana dan Harun.


Menyodorkan problematika “benci jadi cinta” lalu menghadirkan orang ketiga dalam hubungan asmara yang bersiap untuk mekar, tidak bisa dipungkiri bahwa The Gift memang terdengar generik di permukaan. Akan tetapi, apa yang kemudian membuat film ini tidak lantas menjelma sebagai ‘film percintaan pada umumnya’ adalah cara Hanung Bramantyo mengemasnya. Tidak ada lontaran dialog-dialog rayuan puitis, melainkan bergantung pada interaksi yang terbentuk diantara Tiana dengan Harun. Guliran penceritaannya sendiri mengalun lambat demi memberi cukup waktu dan ruang bagi penonton untuk mengobservasi dua karakter utama lebih dalam. Mereka digambarkan sebagai dua manusia yang tak pernah terpapar hangatnya cinta dan justru memelihara luka, amarah, serta rasa putus asa. Guna mempertegas karakteristik, kilas balik pun kerap disisipkan yang mengajak penonton berkelana ke masa lampau dan menengok masa kecil Tiana yang sungguh kelam. Dari sana, kita bisa mengerti kenapa dia tumbuh sebagai perempuan yang dingin, kaku, dan cenderung antisosial. Harun, sayangnya, tak mendapat perlakuan serupa dan penjabaran mengenai masa lalunya hanya diucapkan melalui beberapa patah kalimat. Akan tetapi, sebuah momen kebenaran yang meninggalkan rasa pilu ketika Harun akhirnya bersedia diri kepada Tiana merupakan titik balik yang menyadarkan penonton bahwa kedua insan ini sebetulnya saling membutuhkan. Mereka adalah korban ‘pengkhianatan’ orang-orang terkasih yang hanya bisa disembuhkan dengan cinta yang tulus. 

Reza Rahadian (tanpa perlu dipertanyakan lagi) memeragakan karakter Harun yang dilingkupi kemarahan dan kekecewaan dengan gemilang. Bersama Ayushita Nugraha dalam akting terbaiknya sebagai penulis dengan masa lalu menyakitkan yang memiliki dunianya sendiri, mereka membentuk chemistry memikat yang menarik atensi penonton untuk menyimak interaksi ‘ajaib’ keduanya. Naskah racikan Ifan Ismail membekali karakter-karakter ini dengan dialog-dialog mengalir nan tajam yang akan membuat penonton terkadang ingin melempar botol air mineral ke mereka, menyunggingkan senyum, tersipu-sipu malu, sampai ingin memberikan pelukan hangat. Turut menguarkan nuansa romantis, interaksi dua insan ini jelas merupakan kekuatan utama yang dimiliki oleh The Gift. Tak jarang pula, interaksi keduanya tidak dibekali dialog melainkan hanya sebatas pada ekspresi atau sentuhan – mengingat Harun tak dapat memandang Tiana secara langsung. Iringan musik merdu dari Charlie Meliala serta sumbangan lagu tema dengan lirik menyayat hati bertajuk ‘Pekat’ yang dibawakan oleh Reza beserta Yura Yunita membantu memperkuat emosi yang sedianya telah hadir sekalipun tanpa disokong skoring menggebu-nggebu. Jika ada titik lemah The Gift, maka itu adalah kebetulan-kebetulan sukar dipercaya yang mengiringi di satu dua sudut penceritaan, utamanya jelang tutup durasi, demi mempermudah penyelesaian konflik (persoalan klasik film Indonesia!). Ada kalanya membuat diri ini meringis geli dan menggaruk-nggaruk kepala, tapi untungnya tak sampai berdampak signifikan pada keseluruhan film.


Pada akhirnya, terlepas dari kekurangan yang ada, The Gift tak saja layak untuk bertengger di deretan karya terbaik Hanung Bramantyo, tetapi juga memperkuat pernyataan saya di paragraf awal bahwa Hanung memang lebih bergigi kala menggarap film kecil. Mungkin ada baiknya Mas Hanung fokus mengerjakan film-film semacam ini saja ketimbang menangani film biopik atau adaptasi dengan bujet bombastis tapi seringkali minim rasa.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Jumat, 13 April 2018

REVIEW : RAMPAGE

REVIEW : RAMPAGE


“It’s weird you like hanging out with animals more than people.” 

“Well, animals gets me.” 

Wahai generasi 80 dan 90-an yang gemar memainkan konsol permainan, apakah kalian masih ingat dengan sebuah video game berjudul Rampage? Itu lho, permainan yang misi utamanya menghancur-hancurkan gedung bertingkat. Ingat, kan? Kita menjelma menjadi monster raksasa berbentuk gorila, kepiting, tikus atau hewan buas lainnya akibat terpapar serum eksperimen. Aturan mainnya pun sederhana saja. Seraya menghindari tembakan-tembakan dari pihak militer jika ingin nyawa tetap utuh, kita mesti giat memporakporandakan seisi kota demi mengumpulkan poin. Kalau perlu, manusia-manusia pengganggunya dimakan juga! Menilik betapa mudahnya (dan serunya) memainkan game ini, tidak mengherankan jika kemudian Rampage terbilang populer di kalangan khalayak ramai sampai-sampai pihak Midway Games merilis beberapa seri kelanjutan. Dan seperti kebanyakan video game terkenal, tidak mengherankan juga jika kemudian ada petinggi studio di Hollywood yang meliriknya untuk diadaptasi ke film layar lebar. Demi merealisasikan Rampage versi layar lebar ini, maka duo Brad Peyton (sutradara) dan Dwayne Johnson (aktor) yang sebelumnya berkolaborasi untuk meluluhlantakkan pesisir barat Amerika Serikat dalam San Andreas (2015) pun direkrut. Tugas mereka sekali ini adalah mentranslasi kehancuran total yang dimunculkan versi game ke dalam tontonan popcorn yang mampu melepas kepenatan penonton. 

Dalam Rampage versi film, sosok monster yang mengamuk hebat di tengah kota bukan lagi manusia yang terpapar serum salah uji melainkan binatang-binatang buas. Salah satu korbannya adalah seekor gorila albino bernama George yang mendiami San Diego Zoo. George tertimpa kemalangan selepas sebuah stasiun luar angkasa milik Energyne meledak dan meluncurkan serum berbahaya bernama CRISPR ke beberapa titik di Amerika Serikat, termasuk tempat George bermukim. Reaksi dari serum ini terpampang nyata hanya dalam waktu semalam saja yang ditandai dengan ukuran tubuh si gorila yang membesar secara tidak wajar. Hal ini tentu mengejutkan ahli primata sekaligus sahabat baik George, Davis Okoye (Dwayne Johnson), lebih-lebih karena sahabatnya tersebut sanggup menumbangkan beruang grizzly dengan mudah. Ditengah kebingungannya melihat perubahan fisik dan sikap dari George yang mendadak, Davis mendapat kunjungan dari seorang ilmuwan, Dr. Kate Caldwell (Naomie Harris), yang mengaku tahu mengenai akar permasalahannya sekaligus obat penawarnya. Sebelum rencana untuk menyelamatkan si gorila selesai disusun, George tiba-tiba menggila lalu berkomplot dengan seekor serigala raksasa beserta buaya raksasa dan berlari menuju Chicago. Tujuan mereka sudah teramat jelas: menghancurkan gedung-gedung pencakar langit. Dibantu oleh seorang agen pemerintah bernama Harvey Russell (Jeffrey Dean Morgan), Davis dan Kate harus berpacu dengan waktu untuk menghentikan George sebelum semuanya terlambat. 



Apabila kamu pernah memainkan Rampage – kalaupun tidak, kamu bisa menerkanya dari penjabaran di paragraf awal – tentu mengetahui bahwa inti dari permainan ini hanyalah menghancurkan gedung sebanyak mungkin. Smash, smash, smash. Tidak ada misi yang mengharuskannya memiliki jalinan pengisahan (mencoba untuk) rumit dan diselaputi misteri. Kalaupun ada plot, itu sebatas latar belakang yang menceritakan tentang penyebab lahirnya monster-monster ini. Maka bisa dipahami jika kemudian Rampage garapan Brad Peyton yang mengerahkan empat penulis skenario ini tidak mempunyai plot yang bergizi tinggi. Lagipula, apa kamu benar-benar mengharapkan jalan cerita yang tertata dengan baik dari sebuah film yang diadaptasi dari video game? Video game-nya tentang monster penghancur gedung pula. Plot di sini hanya berfungsi untuk menjustifikasi munculnya serentetan sekuens laga sehingga tidak terkesan ujug-ujug. Jadi kamu mesti membiasakan diri bakal menerima ‘keajaiban’ dan ‘kekonyolan’ di sepanjang durasi Rampage yang bikin ngikik-ngikik geli di kursi bioskop karena memang, film ini tak pernah menganggap dirinya serius. Well, kamu tentu tidak menganggap film yang menampilkan serigala terbang secara serius, kan? Tujuan utamanya hanyalah mengajak penonton bersenang-senang melalui spektakel yang gegap gempita. Spektakel seru yang mengajak penonton melupakan kepenatan hidup selepas dihajar pekerjaan di kantor atau usai mendapat setumpuk tugas kuliah dan sekolah. Dan berdasarkan tujuannya tersebut, Rampage bisa dikatakan sukses. 

Rampage sendiri tidak menghabiskan banyak waktu untuk babak introduksi. Kita mendapatkan sekelumit penjelasan mengenai CRISPR, berkenalan dengan George dan karakter-karakter manusia seperti Davis, Kate, beserta duo villain dari Energyne, lalu tanpa banyak basa-basi, konflik perlahan mulai mengemuka menyusul jatuhnya serum-serum dari luar angkasa. Selepas tubuh George membesar seketika yang membuat dirinya merasa tidak nyaman, kita mendapati rangkaian peristiwa yang menjabarkan definisi dari ‘seru’ dan ‘menyenangkan’. Kita melihat George membobol kandangnya, mengamuk hebat di pesawat yang mengangkutnya sehingga menciptakan kekacauan di udara, bergabung dengan rekan-rekan mutannya yakni Ralph si serigala yang sebelumnya telah menghabisi sejumlah pasukan khusus dan Lizzie si buaya yang mengintai dari bawah air, sampai akhirnya yang telah kita nanti-nantikan selama durasi mengalun, memporakporandakan seisi Chicago. Menghancurkan gedung! Pertarungan antara monster dengan manusia! Pertarungan antara sesama monster! Woo hoo! Dihantarkan dengan laju pengisahan yang bergegas, mempunyai setumpuk sekuens laga dengan polesan efek visual meyakinkan yang dilontarkan nyaris tanpa henti, dan disokong karisma Dwayne Johnson yang memancar kuat sebagai jagoan tangguh (dia memang cocok dengan peran semacam ini), Rampage berhasil membuat saya seolah-olah terikat erat di kursi bioskop. Tak jarang pula, film membuat saya kegirangan seperti bocah yang baru pertama kalinya memainkan Rampage. Sisipan humornya yang berfungsi untuk mencairkan ketegangan pun bekerja dengan cukup baik sehingga disela-sela situasi serba genting, kita masih bisa terkekeh-kekeh. Asyik!

Exceeds Expectations (3,5/5)


Selasa, 27 Maret 2018

REVIEW : PACIFIC RIM UPRISING

REVIEW : PACIFIC RIM UPRISING


“There are pilots we remember as legends, but they didn’t start out that way. They started out like us. This is our time to make a difference.” 

Usai tertutupnya portal antar dimensi di dasar Samudera Pasifik yang disebut The Breach pada penghujung Pacific Rim (2013), kita berasumsi bahwa dunia telah aman dari serangan Kaiju. Tidak ada lagi monster buas berukuran raksasa yang mengganggu ketentraman umat manusia. Tidak ada lagi gedung-gedung pencakar langit yang porak poranda. Dan paling penting, tidak ada lagi proses evakuasi sewaktu-sewaktu lantaran si Kaiju bengal mesti bertarung habis-habisan melawan robot tempur yang dikendalikan manusia-manusia terlatih, Jaeger, di tengah kota. Tapi saat film arahan Guillermo del Toro tersebut disambut hangat oleh penonton internasional (pendapatannya mencapai $400 juta lebih), para petinggi studio paham betul kalau mereka harus membuka kembali The Breach sehingga pertempuran antara Kaiju dengan Jaeger dimungkinkan untuk terjadi. Melewati masa pengembangan cukup bermasalah yang lantas membuat del Toro menyerahkan kursi penyutradaraan kepada Steven S. DeKnight (sebelumnya lebih aktif di dunia pertelevisian), sekuel bertajuk Pacific Rim Uprising akhirnya dirilis jelang usia perayaan ke-5 dari film pertama. Sejumlah perombakan signifikan pun diterapkan seperti mengganti konfigurasi pemain dan merubah nada penceritaan menjadi jauh lebih ringan nan cerah alih-alih suram selayaknya si predesesor yang pada akhirnya memecah belah pendapat terhadap Pacific Rim Uprising menjadi dua kubu: love it or hate it

Guliran pengisahan Pacific Rim Uprising sendiri mengambil latar sepuluh tahun selepas peristiwa di film pertama. Pada saat itu, The Breach telah tertutup rapat, Kaiju tidak ditemukan berkeliaran mencari mangsa, dan bumi terbebas dari ancaman makhluk-makhluk asing yang ingin memusnahkan peradaban manusia. Dengan kata lain, damai sentosa. Menyadari bahwa pertempuran melawan Kaiju nyaris mustahil terjadi kembali, putra mendiang Stacker Pentecost yang mengorbankan nyawa demi menutup The Breach, Jake (John Boyega), memilih untuk hengkang dari Pan-Pacific Defense Corps (PPDC) dan menyambung hidup secara ilegal dengan menjual onderdil Jaeger ke pasar gelap. Berkat bisnisnya ini, Jake berkenalan dengan Amara Namani (Cailee Spaeny), remaja pemberontak yang mempunyai kemampuan mumpuni dalam merakit Jaeger dari barang rongsokan, dan berjumpa kembali dengan saudari tirinya, Mako Mori (Rinko Kikuchi), yang mengancam akan memenjarakan Jake apabila dia menolak menjadi instruktur di PPDC. Didorong oleh keterpaksaan, Jake dan Amara pun bertolak ke markas PPDC dengan misi utama sebatas terbebas dari jeratan hukum. Namun disaat mereka mengetahui bahwa posisi Jaeger tengah terancam oleh teknologi drone yang sedang dikembangkan oleh Shao Corporation milik Liwen Shao (Jing Tian) dan muncul Jaeger pengacau yang menciptakan malapetaka hebat, hati kecil Jake dan Amara pun terusik. Mereka rela berkorban nyawa demi mengalahkan musuh dengan menggunakan Jaeger yang masih tersisa di markas PPDC.


Membaca paragraf pembuka pada ulasan ini kamu mungkin akan bertanya-tanya, “lalu Cinetariz berada di kubu mana?”. Well, saya sama sekali tidak malu untuk mengakui bahwa saya berada di kubu ‘love it’ karena bagi saya secara personal, Pacific Rim Uprising merupakan sebuah gelaran spektakel yang menghibur – dan sebetulnya memang tidak terlalu cocok dengan jilid pertama yang kelewat muram sih. Si pembuat film cenderung tidak ambil pusing memikirkan soal substeks atau komentar sosial politik atau apalah-apalah yang belakangan ini mulai sering menyesaki popcorn movies, termasuk film pendahulu, yang sejatinya hanya memiliki satu misi yakni menghibur penonton. Pacific Rim Uprising dikondisikan hanya sebagai sajian eskapisme murni yang tidak ngoyo buat melontarkan pesan-pesan politis dan sebatas mengajak penonton membebaskan diri dari realita kehidupan yang memusingkan. Instalmen kedua ini mencoba memenuhi apa yang bisa diharapkan dari suatu tontonan mengenai pertempuran antara monster dan robot raksasa: rentetan sekuens laga yang seru nan mendebarkan. Sesederhana itu. Ini sebentuk upaya untuk mengoreksi kesalahan ‘sang kakak’ yang tidak cukup murah hati dalam menggeber adegan pertarungan Kaiju vs Jaeger. Disamping bang-boom-bang yang tidak begitu banyak, penerangan di film pertama pun tidak cukup baik dengan banyaknya pertarungan dalam kegelapan dan di bawah guyuran air hujan sampai-sampai sulit untuk memastikan apa yang sesungguhnya tengah terjadi. 

Pacific Rim Uprising memperbaikinya dengan menghadirkan lebih banyak sekuens laga yang mencuat di hampir sepanjang durasi serta berlangsung pada siang hari. Beberapa diantaranya sanggup membuat jiwa kanak-kanak pecinta film robot-robotan kegirangan utamanya pada ‘serangan di Australia’ dan ‘pertempuran klimaks’ menggelegar di setengah jam terakhir yang akan seketika mengingatkan kita kepada tontonan Tokusatsu asal Jepang yang menjadi sumber inspirasi bagi franchise ini (Ya, kemiripannya pada Godzilla, GundamUltraman dan kawan-kawannya memang disengaja, saudara-saudara!). Bagusnya, Steven S. DeKnight mampu menghadirkan rentetan sekuens laga ini dalam jatah kemunculan yang wajar, tidak berpanjang-panjang, dan memiliki daya cengkram mencukupi sehingga kehadirannya senantiasa menghibur dan memunculkan perasaan bersemangat. Kemampuan film dalam melibatkan emosi penonton ini tidak lepas dari kontribusi jajaran pemain yang mampu memberi performa bagus sekalipun naskah yang tipis membatasi karakter-karakter yang mereka mainkan untuk berkembang lebih jauh. John Boyega mempunyai karisma kuat untuk ditempatkan di garda terdepan dan chemistry meyakinkan yang dirajutnya bersama Cailee Spaeny berserta Scott Eastwood (berperan sebagai Nate, rekan Jake) memungkinkan kita untuk menaruh kepedulian kepada para jagoan di film ini. Kita girang saat melihat trio Jake-Amara-Nate memberi pukulan telak kepada Kaiju dari kemudi Jaeger dan kita pun harap-harap cemas tatkala posisi mereka terancam. Asyik kok!

Exceeds Expectations (3,5/5)


Sabtu, 10 Maret 2018

REVIEW : TOMB RAIDER

REVIEW : TOMB RAIDER


“You messed with the wrong family.” 

Ladies and gentleman, Lara Croft is back! Bukan dalam bentuk sekuel yang melanjutkan dwilogi buruk tapi menghibur Lara Croft Tomb Raider (2001) dan The Cradle of Life (2003) dengan bintang Angelina Jolie, melainkan dalam bentuk reboot yang memulai segala sesuatunya dari awal mula. Keputusan ini bukannya tanpa alasan jelas mengingat: 1) rencana pembuatan film ketiga telah diurungkan lantaran Jolie emoh kembali dilibatkan, dan 2) seri permainan rekaan Crystal Dynamics yang merupakan landasan utama adaptasi ini pun me-reboot petualangan Lara Croft di tahun 2013. Dikontrol oleh Warner Bros. versi reboot yang menggunakan judul (sederhana) Tomb Raider ini menggunakan konsep dan pendekatan cukup berbeda dibanding seri-seri pendahulunya. Sang heroine yang kini diperankan oleh pemenang piala Oscar, Alicia Vikander, bukan lagi sosok lady pembangkang yang luar biasa tangguh dengan kemampuan tarung sulit untuk dikalahkan dan memiliki fisik aduhai bak Lara Croft versi Jolie. Sekali ini dia digambarkan lebih rapuh dan membumi, begitu pula dengan guliran pengisahan Tomb Raider versi 2018 yang mencoba agar lebih bisa diterima nalar penonton (walau hanya sedikit) dan memberi penekanan pada sisi petualangan alih-alih sebatas pada laga. Hasilnya, Tomb Raider era baru ini dapat tampil lebih baik ketimbang era lawas dan sebagai tontonan eskapisme pun film ini mampu hadir dalam kapasitas yang mumpuni. 

Menyandang status sebagai origin story, Tomb Raider memulai jalinan pengisahannya sedari awal sejak Lara Croft (Alicia Vikander) masih mencoba untuk berdamai dengan rasa duka akibat hilangnya sang ayah, Lord Richard Croft (Dominic West), tanpa jejak. Guna menekan rasa duka, Lara mencoba untuk hidup mandiri dengan meninggalkan mansion mewahnya, menyerahkan bisnis keluarga kepada orang kepercayaan sang ayah, dan memilih berkarir sebagai kurir sepeda yang memacu adrenalin tatkala tenggat waktu sudah mepet. Selama bertahun-tahun berada dalam fase ‘denial’, Lara akhirnya harus menghadapi kenyataan tatkala rekan bisnis Richard, Ana Miller (Kristin Scott Thomas), memperingatkan bahwa mansion milik keluarga Croft akan dijual apabila Lara tidak kunjung menandatangani surat pernyataan penerima harta waris yang secara otomatis turut menyatakan bahwa Richard telah tiada. Dalam keragu-raguan, Lara menemukan sebuah petunjuk penting yang mungkin mengungkap keberadan sang ayah. Petunjuk tersebut mengarahkan jagoan kita ke Yamatai, gugusan pulau di lepas pantai Jepang, yang konon kabarnya dikutuk karena menjadi makam bagi Ratu Himiko yang kejam. Hanya membawa modal seadanya berupa buku harian Richard dan kenekatan, Lara ditemani oleh pelaut Lu Ren (Daniel Wu) pun bertolak ke Yamatai demi menemukan kebenaran dibalik misteri menghilangnya sang ayah.


Ada satu kesamaan yang menautkan film-film yang diadaptasi dari permainan konsol; skripnya lemah dengan guliran penceritaan penuh lubang dan kerap dipertanyakan. Walau ini sejatinya bukan sesuatu mengherankan mengingat materi sumbernya sendiri cenderung abai soal plot karena inti dari permainan bukanlah kedalaman cerita melainkan terletak pada visualisasi dan tantangan yang dihadapkan ke pemain. Tomb Raider versi Roar Uthaug (The Wave) selaku film adaptasi dari video game berseri pun (tentunya) menghadapi persoalan serupa. Ya mau bagaimana lagi, plot memang bukan sesuatu yang benar-benar krusial di sini karena keberadaannya sendiri sebatas untuk menjustifikasi munculnya rentetan aksi yang dihadapi sang jagoan. Tapi jika boleh dikomparasi dengan dua seri Tomb Raider yang menampilkan Jolie, ini masih setingkat lebih baik. Narasi rekaan duo Geneva Robertson-Dworet dan Alastair Siddons setidaknya menaruh perhatian kepada sosok Lara Croft dengan memberinya latar belakang sekaligus karakterisasi cukup jelas sehingga dia terlihat manusiawi dan bukanlah sebatas karakter jagoan kosong. Penonton melihatnya berproses dari seorang perempuan yang mencoba mengatasi dukanya dengan melarikan diri menjadi seorang perempuan yang pantang menyerah dan berani menghadapi tantangan di depannya. Alicia Vikander mampu memperlihatkan perubahan ini secara meyakinkan baik melalui air muka maupun gestur tubuh yang terlihat dari kemampuannya menangani adegan aksi sehingga karakter Lara di tangannya dapat dikategorikan ‘badass’. 

Ketiadaan plot yang mengikat – well, misteri tentang Pulau Yamatai dan Ratu Himiko ini sebetulnya menarik sampai kemudian perlahan raib saat sang heroine akhirnya menginjakkan kaki di pulau misterius tersebut – untungnya berhasil dikompensasi oleh Uthaug dengan kapabilitasnya dalam mengkreasi rentetan sekuens laga yang mampu memacu adrenalin di hampir sepanjang durasi. Beberapa adegan aksi di Tomb Raider yang memberikan impresi sangat baik kepada penonton meliputi puluhan sepeda yang saling berkejar-kejaran menembus jalanan kota London yang padat di menit pembuka yang seketika membangkitkan ketertarikan terhadap film, terjangan badai besar menyambut kedatangan Lara beserta Lu Ren di Pulau Yamatai yang memporakporandakan kapal yang mereka tumpangi, bergelantungan di bangkai pesawat yang nangkring di atas air terjun, duel Lara dengan salah satu anak buah dari villain utama film ini di atas kubangan lumpur, sampai petualangan menyusuri makam Ratu Himiko yang di dalamnya ternyata dipenuhi dengan jebakan mematikan yang menyulitkan siapapun untuk keluar dari makam tersebut hidup-hidup. Adegan-adegan ini berhasil dengan baik membawa penonton memasuki fase ‘harap-harap cemas’ seraya meremas-remas kursi bioskop dengan erat. Adegan-adegan ini juga yang memberikan alasan mengapa Tomb Raider layak ditonton di layar lebar. Meski penceritaannya mungkin saja akan membuatmu geleng-geleng, tapi setidaknya Alicia Vikander tampil meyakinkan sebagai Lara Croft dan rentetan laganya yang digeber hampir tanpa henti memberikan definisi dari kata mengasyikkan.

Exceeds Expectations (3,5/5)



Sabtu, 24 Februari 2018

REVIEW : EIFFEL... I'M IN LOVE 2

REVIEW : EIFFEL... I'M IN LOVE 2


“Dalam hubungan cowok dan cewek, itu cuma ada dua. Pacar atau mantan pacar. Jadi nggak ada tuh yang namanya sahabat.” 

Reuni Cinta dengan Rangga usai terpisahkan selama ratusan purnama dalam Ada Apa Dengan Cinta? 2 (2016) yang memperoleh resepsi memuaskan baik dari penonton maupun kritikus, telah menginspirasi para produser untuk menghidupkan kembali kisah cinta pasangan-pasangan fiktif kenamaan di perfilman Indonesia. Upaya tersebut bisa ditengok melalui Ayat-Ayat Cinta 2 (2017) yang menjadi saksi kebesaran cinta Fahri kepada Aisha dan paling baru adalah Eiffel… I’m in Love 2 (2018) yang sekali lagi mempertemukan kita dengan dua sejoli Tita-Adit. Keputusan untuk memberi kisah kelanjutan bagi Eiffel… I’m in Love (sekadar informasi, Lost in Love yang dibintangi oleh Pevita Pearce tidak pernah dianggap sebagai sekuel resmi) tentunya bukan tanpa alasan jelas. Film pertamanya yang didasarkan pada novel laris rekaan Rachmania Arunita mampu mendatangkan 3 juta penonton untuk berduyun-duyun memenuhi gedung bioskop sekaligus menciptakan tren “film percintaan remaja dengan latar negeri orang.” Soraya Intercine Films tentu ingin mengulang kembali fenomena tersebut terlebih nostalgia bersama Cinta-Rangga dan Aisha-Fahri tempo hari terbilang sukses dari segi finansial. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah sebuah sekuel bagi kisah percintaan Tita-Adit yang digarap ole Rizal Mantovani ini memang benar-benar dibutuhkan? 

Demi menyegarkan ingatan penonton sekaligus menguarkan aroma nostalgia, Eiffel… I’m in Love 2 membuka gelarannya dengan opening credit berhiaskan foto-foto adegan dari film pertamanya. Berlangsung selama kurang lebih dua menit, pembuka ini cukup ampuh dalam meningkatkan mood sehingga terbersit sekelumit rasa tidak sabar untuk mengetahui sejauh mana kisah kasih Tita (Shandy Aulia) dengan Adit (Samuel Rizal) telah berkembang setelah kita tidak lagi mendengar perkembangannya selama belasan tahun. Hanya beberapa menit usai film memulai pengisahannya, penonton menyadari bahwa Tita tidak benar-benar berubah – dalam artian masih manja dan ibunya tetap bersikap kelewat protektif kepadanya – serta hubungan Tita dengan Adit yang telah dibina selama 12 tahun masih awet-awet saja sekalipun LDR (long distance relationship) dan diwarnai pertengkaran saban hari tiap kali saling berkomunikasi. Tak pernah naik level dari ‘tunangan’, Tita mulai berharap Adit akhirnya akan mengajaknya ke pelaminan pasca dia beserta keluarganya diajak pindah sementara ke Paris untuk mengurus bisnis restoran milik orang tua Adit yang terbengkalai. Harapan Tita yang menggebu-nggebu ini perlahan tapi pasti mulai pupus tatkala Adit menunjukkan ketidaksiapannya dan muncul orang ketiga dalam hubungan mereka

Tidak banyak ekspektasi yang disematkan kala melangkahkan kaki ke bioskop untuk menyaksikan Eiffel… I’m in Love 2. Pasalnya, sekalipun cukup menikmati jilid pertamanya, saya tidak pernah benar-benar menggemarinya. Tita-Adit jelas bukan Cinta-Rangga yang mempunyai daya tarik begitu kuat sampai-sampai kelanjutan hubungan mereka pun dinanti-nantikan. Sikap netral (cenderung mendekati pesimis, sejujurnya) ternyata membawa kejutan tersendiri bagi saya. Tanpa dinyana-nyana, Eiffel… I’m in Love 2 sanggup dihadirkan sebagai tontonan percintaan yang memikat, manis-manis menggemaskan, sekaligus jenaka. Ya, ini adalah kejutan manis di permulaan tahun 2018. Perjalanannya yang berlangsung selama 117 menit memang tidak selamanya berlangsung mulus. Selepas opening credit yang dikemas cakep, Eiffel… I’m in Love 2 agak tergagap-gagap dalam menyampaikan kisahnya. Salah satu faktor pemicunya terletak pada barisan pemain pendukung dengan performa menyerupai robot. Mereka terlihat seperti tengah mengingat-ingat dialog apa yang hendak diucapkan. Konsekuensinya, selama belasan menit pertama, film tak begitu nikmat untuk dikudap terutama setiap kali Tita berinteraksi dengan keluarganya. Berharap sekali bioskop menyediakan fitur fast forward atau minimal mute sehingga meniadakan suara. Gangguan ini sedikit demi sedikit mulai tereduksi tatkala latar film berpindah ke Paris. 

Chemistry Shandy Aulia dan Samuel Rizal adalah kunci utama yang membuat Eiffel… I’m in Love 2 terasa bernyawa. Dinamika diantara keduanya masih seperti yang kita saksikan 15 tahun lalu, bahkan kali ini lebih asyik. Ada keseruan tersendiri menyaksikan mereka bersama-sama baik saat ribut-ribut yang memunculkan elemen komedi menyegarkan maupun saat bermesraan yang menghadirkan elemen romantis yang bikin senyum-senyum. Disamping itu, pendewasaan karakter menjadikan Tita dan Adit tidak lagi semenyebalkan dulu. Tita mampu menunjukkan ketegasan dalam mengambil keputusan, sementara Adit tampak lebih bertanggungjawab. Adegan rekonsiliasi usai perang dingin yang berlangsung di menara Eiffel tidak saja menjadi salah satu adegan paling romantis dalam sejarah film percintaan tanah air, tetapi juga memberi penjabaran masuk akal mengenai hubungan asmara Tita-Adit yang tidak kunjung diboyong ke pelaminan. Adegan ini sendiri berkontribusi besar terhadap Eiffel… I’m in Love 2 sehingga membuatnya terasa layak ditonton. Yang turut mendongkrak dalam menaikkan kelas Eiffel… I’m in Love 2 adalah production value-nya yang tidak main-main. Pemilihan kostum yang turut mempertegas karakteristik tiap tokoh, bidikan gambar yang membingkai sudut-sudut Paris dengan begitu cantik, dan iringan musik yang menebalkan cita rasa romantis. Kombinasi ketiganya membantu memberi kesan mewah sekaligus mahal pada film. Inilah alasan mengapa film ini tidak bisa disebut sekelas FTV. Just saying. Kelanjutan kisah percintaan Tita-Adit mungkin tidak benar-benar dibutuhkan, tapi Eiffel… I’m in Love 2 menunjukkan bahwa ini bukanlah sebuah sekuel yang sia-sia.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Selasa, 06 Februari 2018

REVIEW : HOAX

REVIEW : HOAX


“Apa yang bisa Mama lakukan supaya Adek betul-betul percaya bahwa ini benar-benar Mama? Mama asli.” 

Pada tahun 2012 silam, Ifa Isfansyah (Sang Penari, Garuda di Dadaku) memperkenalkan film terbarunya bertajuk Rumah dan Musim Hujan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Dalam film yang merekrut nama-nama besar seperti Vino G. Bastian, Tora Sudiro, Landung Simatupang, Jajang C. Noer, serta Tara Basro – kala itu masih terhitung pendatang baru – tersebut, Ifa mencoba sedikit bereksperimen dengan memecah jalinan kisah ke dalam tiga segmen yang masing-masing mewakili suatu genre seperti komedi, drama, dan horor. Disamping JAFF, Rumah dan Musim Hujan turut berkelana pula ke berbagai festival film bertaraf internasional tanpa pernah diketahui secara pasti apakah film produksi Fourcolours Films ini akan menyambangi bioskop komersil tanah air. Tidak lagi terdengar kabarnya selama bertahun-tahun – sampai saya mengasumsikan, film ini mungkin sebatas dipertontonkan khusus untuk festival film – tiba-tiba tersiar kabar yang menyatakan Rumah dan Musim Hujan siap dirilis di tahun 2018. Berbagai perombakan pun dilakukan demi membuatnya terlihat baru seperti mengubah desain poster, judul yang beralih menjadi Hoax (Siapa yang Bohong?), sampai menyunting ulang film sehingga memiliki susunan cerita yang lebih bisa diterima oleh kebanyakan penonton arus utama. 

Hoax membawa kita mengunjungi rumah Bapak (Landung Simatupang) pada suatu hari di bulan Ramadhan yang jatuhnya bertepatan dengan musim penghujan. Ketiga anak Bapak, yakni Raga (Tora Sudiro), Ragil (Vino G. Bastian), dan Adek (Tara Basro), yang tidak lagi hidup di bawah satu atap yang sama diundang oleh Bapak untuk berbuka puasa bersama. Satu tamu lain yang turut memenuhi undangan adalah Sukma (Aulia Sarah), kekasih baru Raga. Selepas menyantap makanan, lalu bermain bersama di meja makan, tiga anak Bapak ini lantas berpisah jalan. Dimulai dari titik inilah, jalinan pengisahan dalam Hoax bercabang menjadi tiga yang masing-masing menyoroti permasalahan tiap karakter dan tidak memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Pada segmen Raga, persoalan yang dihadapi adalah kehamilan yang tidak diharapkan. Baik Raga maupun Sukma mencurigai adanya kemungkinan Sukma telah hamil setelah mereka melakukan kesalahan dalam berhubungan badan. Pada segmen Ragil, sang karakter mengalami dilema untuk menyampaikan kebenaran dibalik hubungan yang tengah dijalaninya kepada Bapak yang ingatannya telah menurun drastis. Sedangkan pada segmen Adek, unsur mistis mengambil alih tatkala Adek kesulitan untuk membuktikan bahwa Ibu (Jajang C. Noer) yang diajaknya mengobrol di rumah memang benar-benar ibunya alih-alih makhluk gaib yang menyerupai sang ibu.


Dalam Hoax, ketiga segmen berbeda warna ini – Raga lebih ke komedi, Ragil berada di drama, sementara Adek cenderung ke horor – tidak disampaikan secara bergiliran melainkan saling bersahut-sahutan. Dalam artian, ketiganya berjalan beriringan. Kita menyaksikan apa yang terjadi pada Raga, Ragil, maupun Adek di waktu bersamaan. Keputusan untuk menghadirkannya dalam susunan kisah semacam ini jelas membawa keuntungan sekaligus kerugian tersendiri. Bisa dibilang menguntungkan karena kebenaran dibalik setiap kisah bakal terungkap bersamaan di penghujung durasi yang secara otomatis mendatangkan ketertarikan bagi penonton untuk mengikuti film hingga menit terakhir. Terlebih lagi, setiap segmen yang masing-masing mengapungkan topik pembicaraan cukup sensitif di dewasa ini terkait perbedaan keyakinan dalam hubungan, kepercayaan terhadap agama leluhur, hamil diluar ikatan pernikahan, pemerkosaan, sampai hubungan sesama jenis, mampu disajikan oleh Ifa Isfansyah dalam guliran pengisahan yang mengikat atensi. Tagline yang diusung oleh Hoax pun menjadi terasa masuk akal, begitu pula dengan judulnya, karena saya berulang kali tergugah untuk melontarkan pertanyaan “siapa yang berbohong?” di setiap segmen, khususnya yang melibatkan Raga dan Adek. Kedua segmen ini merupakan kekuatan utama dari Hoax sementara segmen Ragil terasa kurang tergali. 

Dari sini kita sampai pada sisi merugikan dari menyusun tiga kisah berbeda tanpa benang merah dengan alur paralel. Yang paling kentara adalah adanya emosi yang terputus apalagi ketiga segmen ini mempunyai warna berbeda satu sama lain. Menjadi terasa ganjil saat kita sedang menyaksikan satu dua karakter tengah terisak-isak lalu sedetik kemudian menyaksikan satu karakter tengah merasa terteror, begitu juga sebaliknya. Penyuntingan semacam ini juga menyebabkan salah satu segmen terpaksa dikorbankan – dalam hal ini milik Ragil – yang penyampaiannya terkesan sepotong-sepotong sehingga saat kebenarannya terungkap, tidak ada impak pada emosi. Apakah keputusan ini dilandasi oleh isu sensitif yang dihembuskannya? Bisa jadi demikian. Pun begitu, mengesampingkan emosi yang ada kalanya tidak tersampaikan dengan baik plus bagaimana pencahayaan di sejumlah momen terasa kurang memadai (guelap euy!), Hoax masih bisa dikategorikan ke dalam tontonan yang apik. 

Setidaknya tuturan masih mengikat, iringan musiknya asyik, dan jajaran pemain yang meliputi Landung Simatupang, Vino G. Bastian, Tora Sudiro, Aulia Sarah, Tara Basro, sampai Jajang C. Noer mampu menampilkan performa diatas rata-rata. Yang paling membekas tentu saja penampilan Jajang C. Noer sebagai Ibu yang misterius. Intonasi dan tatapannya itu lhoooo… menyeramkan. Kalau bukan karena peristiwa traumatis yang baru saja dialaminya dan banjir di sekitar rumah, mungkin Adek sudah tunggang langgang meninggalkan rumah setelah mendengar ajakan Sholat Tarawih bersama dari sang ibu yang bikin bulu kuduk meremang.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Selasa, 30 Januari 2018

REVIEW : MAZE RUNNER: THE DEATH CURE

REVIEW : MAZE RUNNER: THE DEATH CURE


"What if we were sent here for a reason?"

Tatkala mendengar kabar bahwa aktor utama dari franchise Maze Runner, Dylan O’Brien, mengalami kecelakaan kerja yang menyebabkan cedera parah sehingga tahapan produksi jilid ketiga bertajuk The Death Cure terpaksa ditunda, hati ini seketika ketar-ketir. Bagaimana jika franchise ini akan bernasib sama dengan Divergent atau dalam artian kita tidak akan pernah menyaksikan babak konklusinya di layar lebar? Disamping The Hunger Games yang telah terlebih dahulu rampung, Maze Runner tergolong film berlatar distopia hasil adaptasi novel berseri untuk young adult yang saya nikmati. Seri pertamanya menarik sekali, sementara jilid keduanya sekalipun berantakan masih menawarkan pengalaman sinematik cukup mengasyikkan. Maka begitu memperoleh kepastian mengenai jadwal perilisan The Death Cure pasca terombang-ambing selama setahun selagi menunggu Dylan O’Brien pulih, saya seketika sorak-sorak bergembira. Filmnya sendiri (pada akhirnya) memang tidak menimbulkan efek bungah luar biasa yang setipe selepas saya menyaksikannya di layar lebar. Namun The Death Cure tetap dapat dikategorikan sebagai sebuah seri penutup yang pantas bagi franchise Maze Runner. 

Tanpa banyak berbasa-basi untuk menyegarkan ingatan penonton (jika kamu lupa, ada baiknya menyaksikan lagi seri pertama dan kedua sebelum menjajaki jilid ketiga), The Death Cure langsung membawa kita pada sekuens laga besar yang mendebarkan berupa misi pembajakan kereta. Bukan dilakukan oleh WCKD – organisasi yang menjadi musuh utama di franchise ini – melainkan Thomas (Dylan O’Brien) beserta rekan-rekan seperjuangannya, termasuk Newt (Thomas Brodie-Sangster), demi menyelamatkan Minho (Ki Hong Lee) yang diculik WCKD pada penghujung film kedua menyusul pengkhianatan Teresa (Kaya Scodelario). Meski berhasil membebaskan sejumlah sandera, sayangnya tak ditemukan jejak Minho di gerbong kereta. Usut punya usut, Minho bersama remaja terpilih lainnya diboyong ke markas WCKD di Last City – satu-satunya kota tersisa yang terbebas dari wabah – untuk diambil darahnya yang dipergunakan sebagai bahan utama terciptanya serum penawar. Meminta bantuan kepada sebuah kelompok pemberontak yang bermarkas di sekeliling Last City, Thomas dan kawan-kawan pun merancang misi terakhir yang bukan saja bertujuan untuk menyelamatkan Minho serta menghancurkan WCKD tetapi juga menyelamatkan umat manusia. 


Disandingkan dengan sang predesesor, The Scorch Trials, yang cenderung kering dan mudah dilupakan, The Death Cure merupakan suatu peningkatan. Memang sih kalau berbicara soal guliran pengisahan, tidak ada sesuatu mencengangkan atau mengikat selayaknya jilid pembuka yang bisa kamu jumpai disini. Malah bisa dikata, plotnya setipis kertas pula terkesan dipanjang-panjangkan. Yang lantas membuat The Death Cure dapat tegak berdiri dan melampaui pencapaian seri kedua adalah kemampuan sang sutradara, Wes Ball, dalam meramu barisan laga seru yang menghiasi sepanjang durasi. Menyadari penuh bahwa naskah rekaan T.S. Nowlin yang disadur dari novel buatan James Dashner tidak menyediakan ruang memadai bagi terciptanya intrik-intrik pamungkas dengan daya ledak besar selayaknya dua babak Mockingjay (atau seri penutup The Hunger Games), Ball pun memutuskan untuk meletakkan fokus sepenuhnya pada peningkatan cakupan skala terkait sekuens laga. Tujuan utamanya sederhana, menciptakan aksi yang lebih gegap gempita dibanding Maze Runner maupun The Scorch Trials. Sebuah tujuan yang untungnya dapat dicapai oleh Ball sehingga membuat The Death Cure terasa renyah untuk dikudap. 

Sedari menit pertama, Ball mencoba untuk menempatkan intensitas dari instalmen ketiga ini dalam level cukup tinggi. Belum apa-apa, kita telah disuguhi adegan ‘adu kecepatan’ antara mobil dengan kereta yang berlangsung selama kurang lebih 10 menit. Laju pengisahan yang lantas mengikutinya pun diusahakan untuk tetap kencang. Tidak banyak momen senyap tersedia yang memungkinkan karakter-karakternya saling bertukar emosi (maka dari itu, jika kamu berharap seri ketiga ini memiliki ‘kedalaman’, hempaskan segera) karena apa yang disuguhkan Ball adalah sebatas tontonan eskapisme sarat dentuman. Entah itu bersumber dari baku hantam, tembakan, atau pengeboman yang nyaris tanpa henti. Selain adegan pembuka, highlight lain dalam The Death Cure berada di satu jam terakhir saat misi penyelamatan Minho dilangsungkan utamanya pada adegan dengan kata kunci “terjun bebas” dan “bis melayang”. Dalam penanganan yang salah, rentetan laga yang sambung menyambung semacam ini dapat berpotensi terasa sangat melelahkan. Akan tetapi, melalui The Death Cure, Wes Ball membuktikan bahwa dia memiliki bakat untuk menangani gelaran laga eksplosif yang seru sekaligus mendebarkan meski saya sejatinya berharap durasinya dapat lebih singkat.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Kamis, 19 Oktober 2017

REVIEW : HAPPY DEATH DAY

REVIEW : HAPPY DEATH DAY


“Look, I know this isn’t going to make any sense. I feel like I’m losing my mind. I’ve already lived through this day.” 

Rumah produksi Blumhouse Productions tahu betul bagaimana caranya mengolah film berkonsep tinggi dengan bujet murah tanpa harus mengorbankan kualitas dari film bersangkutan. Tengok saja The Purge, Split, serta Get Out yang sanggup memanfaatkan ruang gerak serba terbatas secara efektif sehingga menghasilkan tontonan mencekam yang mencengkram erat. Usai melepas dua judul terakhir pada kuartal pertama tahun ini yang disambut sangat hangat oleh kritikus sekaligus khalayak ramai, Blumhouse kembali mencoba peruntungan di 2017 dengan meluncurkan Happy Death Day yang premisnya saja telah menggelitik rasa kepenasaran saya untuk segera menontonnya. Coba bayangkan, bagaimana seandainya kamu tewas dibunuh di hari ulang tahunmu lalu hari pembunuhanmu tersebut terus berulang dan berulang seolah tak pernah berakhir? Yang pertama kali terlintas di benak saat mendengar premisnya, film arahan Christopher B. Landon (Paranormal Activity: The Marked Ones) ini bagai percampuran antara Groundhog Day (1993) yang mengaplikasikan konsep time loop (satu waktu tertentu yang terus mengalami perulangan) dengan Scream (1996) yang berada di jalur slasher dengan bumbu komedi. Menarik sekali, bukan? Kabar baiknya, Happy Death Day sanggup tampil dalam kapasitas cukup memuaskan dan tidak mempermalukan sumber referensinya. 

Dalam Happy Death Day, kita diperkenalkan kepada seorang mahasiswi populer yang mewakili stereotip “dumb bitch” bernama Tree Gelbman (Jessica Rothe). Pada hari ulang tahunnya yang ke-18, Tree terbangun di kamar asrama seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, Carter Davis (Israel Broussard), tanpa sedikitpun mampu mengingat apa yang telah terjadi di malam sebelumnya. Selepas memberi respon sama sekali tak bersahabat kepada Carter yang ternyata telah membantunya, Tree berlari kembali ke asramanya di klub persaudaraan Kappa Kappa Gamma. Selama perjalanan, Tree dihampiri aktivis penyelamat lingkungan, menyaksikan sepasang kekasih batal bercumbu akibat semprotan air otomatis, berjumpa dengan seorang pria yang naksir berat kepadanya, dicecar pertanyaan oleh ketua klub persaudaraannya, sampai mendapat cupcake ulang tahun dari teman sekamarnya, Lori Spengler (Ruby Modine). Yang lantas dilakukan oleh Tree di sisa hari yakni menemui dosen sekaligus kekasih gelapnya, Gregory Butler (Charles Aitken), dan menghadiri sebuah pesta. Tatkala menuju ke lokasi digelarnya pesta, seseorang dengan topeng bayi menyergapnya kemudian membunuhnya. Alih-alih berpindah ke alam lain, jiwa Tree justru terjebak di hari ulang tahunnya dan terus mengulang kembali apa yang telah dialaminya selama sehari sampai dia mengetahui siapa dalang dibalik kematiannya. 


Happy Death Day telah memberikan pertanda bahwa film ini akan menjadi tontonan yang mengasyikkan semenjak logo Universal muncul dengan gaya tidak biasa mengikuti guliran pengisahan film yang mengaplikasikan konsep time loop: mendadak berhenti setelah satu detik mengalun, lalu diulang lagi dari awal. Dan memang, pertanda tersebut sama sekali tidak berbohong karena Landon sanggup mengemas Happy Death Day menjadi gelaran hiburan yang menyenangkan dengan nuansa yang sedikit banyak membuat saya bernostalgia ke sederet film slasher remaja di era 1990-an seperti Scream, I Know What You Did Last Summer, sampai Urban Legend. Kita diperkenalkan dengan karakter utama perempuan yang cantik, lalu diajak memasuki area kampus dan dipertemukan dengan karakter-karakter sampingan dari berbagai strata sosial (yang semestinya pula kita curigai satu persatu), kemudian sesosok pembunuh yang mengenakan topeng muncul dan pembunuhan pun terjadi. Pembedanya, si pembunuh tidak dikondisikan untuk mengenyahkan karakter-karakter sampingan terlebih dahulu melainkan seketika mengincar si karakter utama yang mulanya sungguh teramat menjengkelkan itu. Mengingat Happy Death Day mempergunakan konsep time loop, maka terbunuhnya Tree untuk pertama kalinya bukanlah akhir dari segalanya akan tetapi justru awal dari rentetan kesialan yang akan dihadapi oleh Tree. 

Momen-momen yang memperlihatkan Tree berhadapan langsung dengan si pembunuh menjadi daya tarik utama film. Landon mampu menginjeksikan intensitas yang mencukupi dan mengkreasi adegan-adegan pembunuhan yang kreatif sehingga tewasnya Tree senantiasa memberi sensasi berdebar-debar kepada penonton sekaligus memancing rasa penasaran karena cara Tree menjumpai ajal yang acapkali berbeda antara satu dengan yang lain. Memang sih sebagai film yang mengatasnamakan dirinya sebagai horor, Happy Death Day agak sulit dikata menakutkan (maklum, ratingnya di Amerika Utara sendiri hanya PG-13 yang cukup membatasi film untuk hadir dalam tingkat kekerasan dan teror yang lebih tinggi). Namun ketiadaan momen besar yang membuat diri ini meringkuk tampan di kursi bioskop atau mengalami mimpi buruk usai menontonnya, tidak sedikitpun menghalangi Happy Death Day dalam memberi pengalaman menonton yang mengasyikkan. Faktor penyebabnya adalah kemampuan si pembuat film untuk mengkreasi serentetan momen Tree diteror si pembunuh yang tidak saja mencekam tetapi juga mengundang derai tawa serta performa memikat dari Jessica Rothe yang mampu menghadirkan transformasi meyakinkan terhadap sosok Tree sehingga saya tidak merasa keberatan untuk memberi dukungan penuh kepadanya. Saya sempat berada di fase harap-harap cemas menanti apa yang akan menimpanya: akankah dia sanggup melewati hari kematiannya atau malah terperangkap di hari tersebut untuk selamanya.

Exceeds Expectations (3,5/5)