Tampilkan postingan dengan label Reza Rahadian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Reza Rahadian. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

THE GIFT (2018) REVIEW : Pemandu Perjalanan Memaknai Ulang Pesan
Tentang Cinta

THE GIFT (2018) REVIEW : Pemandu Perjalanan Memaknai Ulang Pesan Tentang Cinta


Setelah sibuk mengurusi proyek mega besar, Hanung Bramantyo secara tak disangka hadir menawarkan sesuatu yang baru tahun ini. Proyek film terbarunya ini digadang menjadi sebuah proyek yang personal baginya. Lewat film terbaru inilah, Hanung Bramantyo memberikan klaim bahwa ini adalah salah satu karyanya di mana dirinya bisa menjadi dirinya sendiri dan bebas. Lantas, dengan trailer saja, tentu calon penonton tahu bahwa film ini akan sedikit berbeda

The Gift, proyek film dari Hanung Bramantyo ini dibintangi oleh tiga deretan artis yang sudah memiliki rekam jejak yang baik. Mulai dari Dion Wiyoko, Ayushita Nugraha, Reza Rahadian, hingga Christine Hakim mau memberikan kontribusinya terhadap karya terbaru film Hanung Bramantyo ini. Meski baru saja dirilis di bulan Mei ini, The Gift telah memiliki kesempatan untuk dinikmati penontonnya lewat sebuah film festival di kota Yogyakarta.

Hanung Bramantyo yang biasa mengusung sebuah ide yang besar dalam film-filmnya, tentu sangat penasaran dengan The Gift dalam presentasinya. Terlebih, lewat trailer pun penonton bisa tahu bahwa Hanung Bramantyo memiliki pendekatannya yang berbeda dibanding dengan karya-karya sebelumnya. Pendekatannya yang berbeda inilah yang ternyata menjadi amunisi senjata di dalam filmnya. The Gift tentu menjadi sebuah sajian yang segar di antara film-film Hanung sebelumnya.


Hanung Bramantyo benar-benar memperhatikan betul komposisi di dalam film The Gift ini sehingga bisa menjadi sebuah sajian yang sangat pas. Tak perlu dialog dan performa aktor-aktrisnya yang meluap-luap, tetapi The Gift sangat mampu untuk mengajak penontonnya merasakan perjalanan memaknai ulang apa itu cinta dan kasih sayang dengan pion-pion karakternya yang juga sedang kehilangan kepercayaan terhadap makna cinta yang sesungguhnya.

Inilah The Gift, medium di mana Hanung Bramantyo berani untuk bereksplorasi lebih tentang sensitivitasnya dalam mengarahkan sebuah film. Lewat film inilah, Hanung Bramantyo membuktikan bahwa dirinya tak hanya bisa mengarahkan sebuah film dengan ide yang besar. Semua komposisi pengarahan dari Hanung Bramantyo di dalam film The Gift ini adalah perkara rasa. Lantas, hal ini akan berkorelasi secara signifikan dengan karakter-karakter yang ada di dalam film The Gift ini.



The Gift mengajak menyelami bagaimana Tiana (Ayushita Nugraha), seorang novelis yang ingin sekali lagi berkarya di dalam hidupnya. Dalam caranya untuk berkarya, Tiana berusaha mengeksplorasi dirinya ke tempat-tempat baru dalam hidupnya dan tibalah dia di sebuah kota usang yang dipermak ulang yaitu Yogyakarta. Tinggal di sebuah lingkungan yang cukup kecil, Tiana bertemu dengan laki-laki misterius bernama Harun (Reza Rahadian).

Perkenalan awal mereka tak berjalan dengan baik, hingga akhirnya Harun berusaha mengajaknya sarapan untuk mengenal lebih jauh siapa Tiana. Harun adalah seorang pemuda tuna netra yang masih harus menjaga sikapnya yang tempramental. Tetapi, tak berlangsung begitu lama, Tiana merasa memiliki koneksi yang kuat dengan Harun. Hingga akhirnya, seseorang dari masa lalu Tiana bernama Arie (Dion Wiyoko) datang kepadanya dan berusaha memenangkan hati Tiana.


Dengan perjalanan cerita tersebut, The Gift memang masih menyadur konflik cinta segitiga yang usang. Hanya saja, The Gift tak akan semudah itu berhenti di formulanya yang usang. Naskahnya tak berhenti memposisikan film ini sebagai drama cinta saja, tetapi juga ada usaha untuk mendalami kata ‘cinta’ sehingga memiliki makna yang jauh lebih luas. Caranya adalah dengan menggali lebih lagi perkembangan setiap karakternya sehingga pesan yang disampaikan bisa lebih tepat sasaran.

Dengan durasinya yang mencapai 118 menit, penonton disuguhi perjalanan karakter Tiana, Harun, dan Arie yang sama-sama memiliki problematikanya memaknai kata cinta. Penuturan Hanung Bramantyo kali ini lebih berusaha mendekatkan ketiga karakternya kepada penonton. Sehingga, setiap karakternya punya ruang untuk berkembang dan dekat kepada penontonnya. Pada akhirnya, simpati penonton adalah hal yang sangat diharapkan dari film The Gift agar bisa mendapatkan efek yang kuat di narasi akhirnya nanti.


Hanung juga dengan rapi menutupi narasi akhirnya yang sengaja disimpan. Sehingga, ketika narasi akhir tersebut berhasil disampaikan, penonton bisa merasakan perasaan getir yang sangat kuat. Setiap menitnya memiliki cita rasa romantis yang muncul sangat sederhana tetapi begitu personal dan punya kekuatannya untuk bisa merasuk ke dalam hati penontonnya. Hal inilah yang membuat The Gift menjadi sebuah persembahan yang berbeda dibandingkan dengan film-film Hanung sebelumnya.

Lewat The Gift, Hanung Bramantyo terasa benar untuk membebaskan dirinya. Bertutur dengan lebih jujur dan berusaha menawarkan sesuatu yang lebih hangat kepada penontonnya. Hal ini diperkuat lewat bagaimana Hanung berusaha menguatkan kesan intimasi tersebut lewat tata gambarnya yang elok. Belum lagi dipercantik dengan warna-warnanya yang menghangatkan mata dan suara musik yang mengalun cantik agar memperkuat sisi manisnya film ini.


Meskipun ada beberapa kebebasan dari Hanung Bramantyo yang akhirnya terbatasi karena masalah durasi. The Gift masih punya cukup banyak amunisi yang membuat dirinya bisa menjadi salah satu karya terbaik dari sutradara satu ini. Belum lagi, nyawa dari film ini sejatinya adalah performa dari ketiga nama utama yang mampu mengajak penonton berinterpretasi ulang atas makna tentang cinta. Ketiganya mampu menjadi sosok karakter yang belum sempurna betul memaknai sebuah kasih sayang yang datang pada dirinya dan The Gift akan menjadi pemandu yang pas untuk memaknai itu.


Sabtu, 26 Mei 2018

REVIEW : THE GIFT (2018)

REVIEW : THE GIFT (2018)


“Setiap kali kamu cerita, imajinasi kamu membuat dunia semakin luas. Dan aku ingin menaklukkan itu.” 

Sejujurnya, saya lebih antusias tatkala Hanung Bramantyo menggarap film-film ‘kecil’ ketimbang film-film berskala raksasa. Saat menggarap film yang jauh dari kesan ambisius (dan tendensius), Hanung terasa lebih jujur, intim, dan mampu menunjukkan kepekaannya dalam bercerita sehingga emosi yang dibutuhkan oleh film berhasil tersalurkan dengan baik ke penonton. Tengok saja beberapa karya terbaiknya seperti Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Hijab (2015). Bangunan komediknya amat jenaka sekaligus menyentil di waktu bersamaan sementara elemen dramatiknya sanggup membuat baper manusia-manusia berhati sensitif secara berkepanjangan. Melalui film-film tersebut, kita bisa memafhumi statusnya sebagai salah satu sutradara tanah air terkemuka saat ini. Maka begitu Hanung bersiap untuk merilis proyek kecilnya yang mengambil genre drama romantis bertajuk The Gift – saya tidak tahu menahu mengenai film ini sampai diputar perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017 – ada rasa penasaran yang menggelayuti. Lebih-lebih, dia mengajak turut serta sejumlah pemain besar yang terdiri atas Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Dion Wiyoko, beserta Christine Hakim untuk menyemarakkan departemen akting. Kombinasi maut yang terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja, bukan? 

Dalam The Gift, Hanung memanfaatkan relasi dan interaksi dua manusia yang tidak mengenal cinta, Tiana (Ayushita Nugraha) dan Harun (Reza Rahadian), sebagai pemantik konflik. Perkenalan diantara mereka bermula ketika Tiana, seorang penulis novel asal Jakarta yang sedang mencari ilham untuk menuntaskan novel terbarunya, menyewa sebuah kamar kos di rumah Harun yang berlokasi di Jogjakarta. Mengingat akses ke rumah utama senantiasa tertutup dan Harun bukanlah pria yang gemar beramah tamah, hubungan baik tidak seketika terbentuk. Malah, kesan pertama bagi masing-masing individu terbilang buruk. Pangkal permasalahannya, Harun memutar musik keras-keras yang membuat Tiana merasa terganggu. Sebagai permintaan maaf, lelaki tunanetra ini pun berinisiatif mengajak tamunya tersebut untuk sarapan bersama yang sayangnya tidak berjalan mulus karena tukar dialog diantara mereka berujung pada pertikaian verbal lebih lanjut. Menilik karakteristik Harun dan Tiana yang sama-sama keras, sebetulnya agak sulit membayangkan keduanya dapat menciptakan koneksi tanpa harus saling menyinggung satu sama lain. Tapi baik Tiana maupun Harun mencoba untuk melunak, lalu berusaha untuk saling memahami. Di saat inilah, benih-benih asmara perlahan mulai bersemi sampai kemudian datangnya teman masa kecil Tiana, Arie (Dion Wiyoko), membuyarkan kisah cinta yang siap dirajut oleh Tiana dan Harun.


Menyodorkan problematika “benci jadi cinta” lalu menghadirkan orang ketiga dalam hubungan asmara yang bersiap untuk mekar, tidak bisa dipungkiri bahwa The Gift memang terdengar generik di permukaan. Akan tetapi, apa yang kemudian membuat film ini tidak lantas menjelma sebagai ‘film percintaan pada umumnya’ adalah cara Hanung Bramantyo mengemasnya. Tidak ada lontaran dialog-dialog rayuan puitis, melainkan bergantung pada interaksi yang terbentuk diantara Tiana dengan Harun. Guliran penceritaannya sendiri mengalun lambat demi memberi cukup waktu dan ruang bagi penonton untuk mengobservasi dua karakter utama lebih dalam. Mereka digambarkan sebagai dua manusia yang tak pernah terpapar hangatnya cinta dan justru memelihara luka, amarah, serta rasa putus asa. Guna mempertegas karakteristik, kilas balik pun kerap disisipkan yang mengajak penonton berkelana ke masa lampau dan menengok masa kecil Tiana yang sungguh kelam. Dari sana, kita bisa mengerti kenapa dia tumbuh sebagai perempuan yang dingin, kaku, dan cenderung antisosial. Harun, sayangnya, tak mendapat perlakuan serupa dan penjabaran mengenai masa lalunya hanya diucapkan melalui beberapa patah kalimat. Akan tetapi, sebuah momen kebenaran yang meninggalkan rasa pilu ketika Harun akhirnya bersedia diri kepada Tiana merupakan titik balik yang menyadarkan penonton bahwa kedua insan ini sebetulnya saling membutuhkan. Mereka adalah korban ‘pengkhianatan’ orang-orang terkasih yang hanya bisa disembuhkan dengan cinta yang tulus. 

Reza Rahadian (tanpa perlu dipertanyakan lagi) memeragakan karakter Harun yang dilingkupi kemarahan dan kekecewaan dengan gemilang. Bersama Ayushita Nugraha dalam akting terbaiknya sebagai penulis dengan masa lalu menyakitkan yang memiliki dunianya sendiri, mereka membentuk chemistry memikat yang menarik atensi penonton untuk menyimak interaksi ‘ajaib’ keduanya. Naskah racikan Ifan Ismail membekali karakter-karakter ini dengan dialog-dialog mengalir nan tajam yang akan membuat penonton terkadang ingin melempar botol air mineral ke mereka, menyunggingkan senyum, tersipu-sipu malu, sampai ingin memberikan pelukan hangat. Turut menguarkan nuansa romantis, interaksi dua insan ini jelas merupakan kekuatan utama yang dimiliki oleh The Gift. Tak jarang pula, interaksi keduanya tidak dibekali dialog melainkan hanya sebatas pada ekspresi atau sentuhan – mengingat Harun tak dapat memandang Tiana secara langsung. Iringan musik merdu dari Charlie Meliala serta sumbangan lagu tema dengan lirik menyayat hati bertajuk ‘Pekat’ yang dibawakan oleh Reza beserta Yura Yunita membantu memperkuat emosi yang sedianya telah hadir sekalipun tanpa disokong skoring menggebu-nggebu. Jika ada titik lemah The Gift, maka itu adalah kebetulan-kebetulan sukar dipercaya yang mengiringi di satu dua sudut penceritaan, utamanya jelang tutup durasi, demi mempermudah penyelesaian konflik (persoalan klasik film Indonesia!). Ada kalanya membuat diri ini meringis geli dan menggaruk-nggaruk kepala, tapi untungnya tak sampai berdampak signifikan pada keseluruhan film.


Pada akhirnya, terlepas dari kekurangan yang ada, The Gift tak saja layak untuk bertengger di deretan karya terbaik Hanung Bramantyo, tetapi juga memperkuat pernyataan saya di paragraf awal bahwa Hanung memang lebih bergigi kala menggarap film kecil. Mungkin ada baiknya Mas Hanung fokus mengerjakan film-film semacam ini saja ketimbang menangani film biopik atau adaptasi dengan bujet bombastis tapi seringkali minim rasa.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Selasa, 06 Maret 2018

REVIEW : BENYAMIN BIANG KEROK

REVIEW : BENYAMIN BIANG KEROK


“Suruh mereka bikin akses khusus ke hapenya Pengki. Kalau gue kontak, dia kagak bisa reject. Kalau dia matiin, gue bisa hidupin!” 

Kesuksesan luar biasa yang direngkuh oleh Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (jilid pertamanya tercatat sebagai film Indonesia paling banyak ditonton sepanjang masa) ternyata menginspirasi Falcon Pictures selaku rumah produksi untuk sekali lagi ‘melestarikan’ karakter legendaris dalam perfilman Indonesia. Kali ini, pilihan mereka jatuh kepada karakter-karakter yang dimainkan oleh komedian sekaligus seniman kenamaan, mendiang Benyamin Sueb. Dua judul yang dipilih adalah Benyamin Biang Kerok (1972) dan Biang Kerok Beruntung (1973) garapan Nawi Ismail. Bukan berwujud remake maupun reboot, Benyamin Biang Kerok versi mutakhir ini sebatas meminjam judul beserta karakter saja tanpa ada kesinambungan perihal plot. Demi memperoleh hasil akhir yang ciamik, tidak tanggung-tanggung Falcon pun merekrut Hanung Bramantyo guna menempati posisi sebagai dalang dan aktor serba bisa Reza Rahadian sebagai pengganti posisi Benyamin Sueb. Di atas kertas, menyatukan dua nama besar di perfilman tanah air saat ini (keduanya mengoleksi lebih dari satu Piala Citra lho!) untuk menafsirkan ulang film komedi klasik memang terlihat menjanjikan. Akan tetapi, apa yang terlihat begitu menjanjikan di atas kertas sayangnya acapkali tidak sejalan dengan realita di lapangan dan (sayangnya lagi) ini berlaku pada Benyamin Biang Kerok versi 2018. Alih-alih mampu menjadi ‘pewaris’ yang layak, film ini justru memberi kita definisi dari frasa ‘kacau balau’. 

Dalam Benyamin Biang Kerok interpretasi Hanung, sosok Pengki (Reza Rahadian) tidak lagi digambarkan sebagai seorang supir yang kerap menjahili majikannya dan mempergunakan mobil sang majikan untuk tebar pesona kepada para perempuan. Di sini, dia dideskripsikan sebagai seorang pemuda kaya raya yang tidak berguna. Yang dikerjakannya setiap hari tidak pernah jauh-jauh dari melatih anak-anak di kampung sebelah rumahnya untuk bermain sepakbola serta melakoni misi rahasia bersama dua sahabatnya, Somad (Adjis Doaibu) dan Achie (Aci Resti). Bagi sang ibu, Nyak Mami (Meriam Bellina), yang menjalankan bisnis IT dengan sukses sampai-sampai memiliki hubungan baik dengan para pemangku jabatan, apa yang dilakukan oleh Pengki tidak lebih dari kesia-siaan belaka. Dia sejatinya ingin melihat putranya tersebut lebih menyerupai dirinya sebagai pebisnis ulung ketimbang menyerupai suaminya, Babe (Rano Karno), yang memilih untuk hidup sederhana. Ditengah upaya Nyak Mami melatih Pengki untuk menjadi pebisnis, Pengki justru terdistraksi dengan kehadiran seorang perempuan bernama Aida (Delia Hussein) yang merupakan simpanan dari mafia kelas kakap, Said (H. Qomar). Demi menyelamatkan Aida yang telah membuat Pengki jatuh hati dari cengkraman Said sekaligus membebaskan warga kampung sebelah dari penggusuran, Pengki bersama Somad dan Achie pun merancang misi pembobolan ke markas Said. Suatu misi yang lantas semakin memperkeruh hubungan antara Said dengan Nyak Mami yang memang tidak terjalin baik. 


Sebetulnya, disamping kolaborasi Hanung dengan Reza, faktor lain yang membuat Benyamin Biang Kerok tampak menggoda di atas kertas adalah konsepnya yang menggugah selera. Coba dengarkan ini: satir sosial dengan sentuhan budaya Betawi ala Get Married (salah satu film terbaik garapan Hanung!) yang dibalut elemen laga dan fiksi ilmiah. Menarik sekali, bukan? Meski seperti bukan padupadan yang tepat, tapi ini sedikit banyak mampu membangkitkan ketertarikan terhadap film ini. Yang kemudian membuat Benyamin Biang Kerok ternyata tidak berjalan sesuai pengharapan adalah si pembuat film terjebak dengan konsep ambisiusnya sendiri sehingga mengalami kebingungan hendak membawa film ke arah mana. Sentilan sentilun terhadap isu sosial politik yang berkembang di tanah air seperti penggusuran, penyuapan, sampai jual beli perempuan, dimunculkan sekenanya saja tanpa pernah dipergunjingkan lebih mendalam. Elemen fiksi ilmiahnya dihadirkan tanpa pernah memberi signifikansi apapun kepada penceritaan selain berusaha membuat film terlihat keren. Unsur Betawi hanya dimanfaatkan sebagai penghias agar tuntutan ‘memboyong kearifan lokal’ bisa terpenuhi. Dan guliran laganya yang memperoleh sentuhan dari film spionase tidak sanggup memompa adrenalin penonton. Semua-muanya dimasukkan begitu saja sampai-sampai terasa saling tumpang tindih. Pokoknya yang penting meriah walau ini berarti kemeriahan yang kosong dan hambar. Dalam melontarkan canda tawa yang merupakan jualan utamanya pun, nyaris tak terhitung berapa kali Benyamin Biang Kerok terpeleset dan kesulitan mengenai target secara tepat. 

Ini dapat dikategorikan masalah besar lantaran Benyamin Biang Kerok memproklamirkan dirinya sebagai film komedi. Perlu diketahui bersama bahwa dosa terbesar dari sebuah film komedi adalah saat suara jangkrik di kebun sebelah malah terdengar lebih membahana ketimbang suara derai tawa penonton di dalam bioskop. Dalam artian, kegaringannya lebih nyata nan manja daripada kelucuannya. Benyamin Biang Kerok, sayangnya (menghela nafas panjang)….. merangkul erat dosa tersebut bak sahabat karib. Selama durasi merentang hingga 95 menit, total jendral hanya sebanyak dua kali dapat terkekeh-kekeh kecil sementara sisanya hanya bisa memasang muka datar plus kebingungan lantaran menerka-nerka dimana letak kelucuannya. Kebingungan juga dipersembahkan oleh tanya, “bukankah sutradara film ini adalah orang yang sama dengan pembuat Get Married yang lucunya ger-geran itu? Lalu kenapa di sini sensitivasnya dalam ngelaba bisa tiba-tiba raib? Apa karena (lagi-lagi) film ini keberatan konsep?”. Belum juga menemukan jawab atas pertanyaan tersebut, belum juga benar-benar bisa menikmati film, Benyamin Biang Kerok mendadak memberikan kejutan sangat menyakitkan: cliffhanger (ending menggantung karena bersambung). Tidak seperti Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 yang memenggalnya dengan halus – bahkan menginformasikan melalui judul bahwa film terdiri lebih dari satu jilid, Benyamin Biang Kerok melakukannya secara kasar yang membuat penonton seketika heboh. Bahkan sinetron di layar beling yang tayang saban hari lebih halus dalam memberi cliffhanger (serius!). Jika memang diniatkan dibagi ke dalam dua jilid, kenapa tidak ada transparansi sedari awal sehingga penonton tidak merasa dicurangi? Lagipula, apa plot film memang sedemikian padatnya sampai harus dipaksa direntangkan ke dua judul? 

Kesemrawutan yang menghiasi sepanjang durasi Benyamin Biang Kerok semakin terasa sempurna berkat keputusan si empunya film untuk mengakhiri durasi secara semena-mena. Alhasil, sebelum melangkahkan kaki ke luar bioskop, saya mengoleskan minyak angin aromatherapy ke kepala terlebih dahulu agar tidak pingsan. Ini sungguh suatu ujian, Tuan dan Nyonya! Padahal, andaikata tidak diperparah oleh cliffhanger (serius, sakit hatinya seperti ditikung), Benyamin Biang Kerok sejatinya masih bisa (sedikit) dimaafkan. Penyelamatnya adalah performa tiga pemain utamanya; Reza Rahadian, Meriam Bellina, dan H. Qomar, yang cukup bagus ditengah segala keterbatasan. Meski lebih sering terlihat mengimitasi Benyamin Sueb daripada berlakon sesuai interpretasi pribadi, Reza tetap dapat memberikan energi tersendiri pada film berkat kehadirannya. Hal yang sama berlaku pula pada Meriam sebagai emak-emak galak yang interaksinya bersama Reza berikan dua adegan lucu yang membuat saya terkekeh dan H. Qomar sebagai villain jenaka nan mengancam. Tanpa performa mereka, tidak bisa dibayangkan betapa kering kerontangnya film ini. Bisa-bisa elemen musikal yang untungnya tergarap asyik – menampilkan Pengki berdendang dan berlenggak-lenggok bersama beberapa karakter pembantu – akan menjadi penyelamat tunggal Benyamin Biang Kerok.



Poor (2/5)

Jumat, 22 September 2017

REVIEW : GERBANG NERAKA

REVIEW : GERBANG NERAKA


“Yang dibutuhkan Indonesia itu sains, bukan klenik.” 

Jika kamu selama ini mengeluhkan kurangnya variasi genre dalam perfilman tanah air, rilisan terbaru rumah produksi Legacy Pictures bertajuk Gerbang Neraka yang menawarkan tema baru ini semestinya tidak kamu lewatkan begitu saja. Memiliki judul awal Firegate: Piramida Gunung Padang, film garapan Rizal Mantovani (Kuntilanak, 5 cm) ini menancapkan jejak utamanya di genre petualangan yang sebelumnya pernah coba dieksplorasi oleh sineas tanah air melalui Ekspedisi Madewa (2006) dan Barakati (2016) yang mungkin tidak terlalu familiar di telinga sebagian besar penonton tanah air. Yang lantas membedakan Gerbang Neraka dari kedua judul tersebut adalah Rizal bersama Robert Ronny selaku penulis skenario memadupadankannya dengan fantasi dan horor demi meningkatkan daya tariknya ke publik. Gagasan penceritaan untuk filmnya sendiri tercetus berkat keriuhan yang melingkungi situs punden berundak Gunung Padang di Jawa Barat pada tahun 2014 silam. Berbagai temuan para peneliti melahirkan sejumlah spekulasi dari berbagai pihak yang salah satu paling santer terdengar menyatakan adanya piramida berusia sangat tua (konon usianya melebihi Piramida Giza di Mesir!) yang terkubur di bawah Gunung Padang. Sebuah spekulasi yang jelas sangat menggiurkan untuk diejawantahkan menjadi tontonan layar lebar, bukan? 

Guna menggulirkan roda penceritaan, Gerbang Neraka menetapkan tiga karakter sebagai sorotan utama. Mereka adalah seorang jurnalis tabloid mistis yang mengorbankan idealismenya demi memberi penghidupan layak bagi anak istrinya bernama Tomo (Reza Rahadian), seorang dosen arkeologi yang memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan bernama Arni (Julie Estelle), serta seorang ahli spiritual yang memanfaatkan kemampuannya untuk mengejar ketenaran bernama Guntur Samudra (Dwi Sasono). Ketiga manusia yang memiliki visi saling bertolak belakang ini saling dipertautkan usai proses eskavasi situs Piramida Gunung Padang yang melibatkan sejumlah arkeolog terbaik Indonesia termasuk Arni justru mendatangkan malapetaka. Satu persatu personil yang menemukan kebenaran tersembunyi dibalik Piramida Gunung Padang meregang nyawa dengan cara tak wajar. Dilingkupi kepenasaran yang membuncah mengenai sabab musabab tewasnya rekan-rekan kerjanya, Arni pun mau tak mau bekerjasama dengan Tomo dan Guntur yang telah menunjukkan ketertarikan pada situs ini sedari awal. Dari penelusuran bersama, mereka mendapati bahwa ada sosok jin penunggu bernama Badurakh yang berusaha untuk menghalangi para manusia membuka Piramida Gunung Padang. Larangan Badurakh ini bukannya tanpa alasan karena apa yang bersemayam di dalam piramida dapat menghancurkan peradaban manusia.


Telah dirampungkan sedari tahun 2015, nyatanya membutuhkan waktu hingga dua tahun bagi Gerbang Neraka untuk akhirnya dilempar secara resmi ke hadapan publik. Salah satu faktor pemicunya yakni kebutuhan untuk menyempurnakan CGI yang memang memegang andil besar dalam memvisualisasikan Piramida Gunung Padang dan Badurakh. Pengorbanan selama dua tahun demi memperhalus tampilan ini untungnya terbayar impas dengan hasilnya yang sama sekali tidak mengecewakan dan bisa dikata merupakan salah satu yang paling mulus dalam perfilman Indonesia. Efek khusus Gerbang Neraka mampu memberikan kita gambaran tergolong meyakinkan mengenai semesta berikut mitologi bentukan si pembuat film, seperti bagaimana wujud si jin penunggu dan seperti apa bentuk situs prasejarah incaran banyak pihak tersebut. Skripnya memang tidak sepenuhnya rapi – masih meninggalkan satu dua pertanyaan yang semestinya bisa dielaborasi lebih mendalam – namun memiliki daya cengkram cukup kuat yang menggelitik rasa penasaran penonton untuk mengetahui perihal rahasia nenek moyang yang terkubur di dalam Piramida Gunung Padang. Apakah ada sesuatu yang berharga di sana? Atau justru tersimpan sesuatu yang berbahaya? Apabila ya, apakah itu? Mengapa sosok Badurakh berusaha untuk menutup-nutupinya dari para manusia? 

Keinginan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut ditambah lagi adanya sempilan berupa sentilan sentilun terhadap situasi sosial Indonesia masa kini membuat saya tertarik mengikuti penceritaan Gerbang Neraka yang tanpa dinyana-nyana mampu dilantunkan secara mengasyikkan. Rizal Mantovani yang belakangan ini tampak kesulitan menyampaikan cerita yang menghibur melalui medium audio visual, akhirnya dapat menemukan ritmenya kembali disini. Tidak selalu mulus, terkadang penggunaan jump scare untuk membuat penonton terlonjak agak berlebihan dan humornya beberapa kali terasa janggal, akan tetapi Rizal cukup berhasil menjadikan kisah petualangan trio Tomo-Arni-Guntur terasa enak untuk disimak. Beruntung bagi Rizal, ada sokongan mumpuni yang diperolehnya dari iringan musik gubahan Andi Rianto yang diberi sentuhan etnik dan jajaran pemain yang menghadirkan performa gemilang. Reza Rahadian sekali lagi menunjukkan karisma kuat sebagai lead, Julie Estelle berhasil melakonkan karakter perempuan cerdas pula tangguh, Dwi Sasono meniupkan elemen komedik pada film (ada semacam ambiguitas antara karakternya memang sengaja dibentuk agak komikal atau ada pengaruh dari peran yang dibawakannya di sitkom), serta Lukman Sardi dalam peran mengejutkan di klimaks yang mengusik pemikiran. Berkat kombinasi baik dari unsur-unsur tersebut, Gerbang Neraka yang mengusung konsep segar ini pun berhasil tersaji sebagai tontonan yang menghibur sekaligus menjadi salah satu kejutan manis bagi perfilman Indonesia tahun ini.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Minggu, 14 Mei 2017

REVIEW : CRITICAL ELEVEN

REVIEW : CRITICAL ELEVEN


“I’ve burned my bridges. There’s no turning back. There’s only going forward, with you.” 

Apabila kamu rajin berselancar di dunia maya, komentar yang-kini-telah-amat-sangat-menjemukan untuk didengar, “Reza Rahadian lagi, Reza Rahadian lagi,” rasa-rasanya kerap dijumpai. Entah kamu menggemari Reza Rahadian atau justru tergabung dengan para netizen yang memandangnya sinis, sulit untuk menampik bahwa aktor penggenggam empat Piala Citra dari kategori akting ini merupakan salah satu pelakon terbaik yang dimiliki oleh perfilman Indonesia. Dia senantiasa memberi effort lebih untuk peran-peran yang dimainkannya sekalipun sebatas peran kecil atau malah sekadar numpang lewat. Energi positif yang dibawa Reza pun umumnya turut menular ke film maupun lawan mainnya sehingga tidak mengherankan namanya menjadi komoditi panas di kalangan para produser. Tiga lawan main yang ‘naik kelas’ seusai dipasangkan dengannya antara lain Bunga Citra Lestari, Acha Septriasa, serta Adinia Wirasti. Bersama nama terakhir, Reza telah tiga kali tandem. Uji coba pertama di film omnibus Jakarta Maghrib (segmen “Jalan Pintas”) dilalui dengan mulus yang membawa keduanya dipertemukan sekali lagi di Kapan Kawin?. Chemistry kuat nan memancar diantara duo Reza-Adinia dalam film komedi romantis tersebut membuat mereka lantas dipercaya untuk menghidupkan karakter bernama Ale dan Anya dalam gelaran romansa dewasa yang diekranisasi dari novel metropop laris manis rekaan Ika Natassa, Critical Eleven. Sebuah peran yang kian menguatkan pernyataan bahwa Reza dan Adinia adalah dua pelakon jempolan di tanah air saat ini.  

Istilah Critical Eleven berasal dari dunia penerbangan yang mempunyai makna 11 menit paling menentukan keselamatan penumpang yang terbagi pada 3 menit selepas take off dan 8 menit jelang landing. Istilah ini dialegorikan oleh film produksi kolaborasi Starvision dan Legacy Pictures ke pertemuan dua insan manusia, Anya (Adinia Wirasti) dan Ale (Reza Rahadian). Terlampau sibuk dengan pekerjaan masing-masing; Anya adalah seorang konsultan manajemen yang pekerjaannya menuntut dia kerap bepergian, sementara Ale adalah operation engineer di perusahaan kilang minyak, membuat keduanya tidak memiliki waktu untuk memikirkan urusan asmara. Tapi yang namanya jodoh, hanya Tuhan yang tahu. Takdir mempertemukan Anya dengan Ale dalam penerbangan menuju Sydney. Tiga menit pertama memberi kesan manis bagi keduanya, dan delapan menit terakhir menggugah mereka untuk membawa pertemuan singkat ini ke hubungan lebih serius. Selepas kembali ke Indonesia, Anya dan Ale meresmikan hubungan mereka dalam ikatan pernikahan. Pasangan muda ini lantas memutuskan hijrah ke New York demi mengikuti pekerjaan Ale. Selayaknya kebanyakan pengantin baru di bulan-bulan pertama pernikahan, Anya dan Ale pun dilingkupi kebahagiaan meluap seolah-olah dunia hanya milik berdua. Namun sejalan dengan berlalunya waktu, terlebih setelah Ale kembali ke kilang minyak dan Anya dinyatakan berbadan dua, percikan-percikan konflik mulai mengemuka yang perlahan tapi pasti kian mengganas dan pada akhirnya mengancam keutuhan rumah tangga mereka. 

Dalam menggelar kisah kasih Ale dan Anya, dua sutradara Monty Tiwa beserta Robert Ronny membaginya menjadi tiga babak yang masing-masing merepresentasikan tema utama dari Critical Eleven; cinta, duka, dan penerimaan. Melalui ‘cinta’ yang mengisi sepertiga awal durasi, si pembuat film mengajak penonton berkenalan dengan tokoh-tokoh krusial seraya mengetengahkan penceritaan pada bermekarannya bunga-bunga asmara dua karakter utama yang sebelumnya terus menguncup. Mengingat fokusnya, fase ini pun didominasi oleh rasa manis seiring tingginya intensitas kebersamaan antara Ale dengan Anya. Inilah tahapan dimana pernikahan masih manis-manisnya. Fase ini penting agar penonton dapat mengenal, lalu membentuk ikatan, dan kemudian bersorak pada dua protagonis utama karena salah satu kunci kesuksesan dari suatu film romansa adalah seberapa jauh penonton menginvestasikan emosinya terhadap perjuangan para protagonis untuk memenangkan cinta. Beruntung bagi Critical Eleven, disamping mempunyai bangunan karakter memikat; Anya mewakili perempuan mandiri dan Ale adalah gambaran pria pekerja keras yang romantis, ada pula chemistry intim dari dua pelakon utama yang menguarkan kesan kuat keduanya adalah suami istri betulan sehingga mudah bagi penonton untuk terjerat baik kepada Anya maupun Ale. Seperti tengah mendengar dongeng percintaan dari teman atau tetangga yang kita idolakan. Munculnya ketertarikan guna mengetahui kelanjutan kisah kasih Anya dengan Ale ini menandakan bahwa Critical Eleven telah lepas landas secara mulus.


Nada penceritaan film yang mula-mula cerah ceria ini pelan-pelan bertransformasi menjadi kelabu begitu memasuki fase ‘duka’. Seperti halnya perjalanan udara yang sewaktu-waktu menjumpai turbulensi, kehidupan pernikahan pun tak akan terbebas dari guncangan. Seberapa besar impak yang diberikannya – dapat terus melaju atau justru terjun bebas – bergantung kepada penanganan dua pilot rumah tangga. Anya dan Ale dihadapkan pada tragedi besar di usia pernikahan yang terbilang masih dini. Tentu saja, keduanya mengalami keterkejutan amat besar. Yang lantas amat disayangkan, keduanya memilih menyikapi duka tersebut dengan caranya masing-masing alih-alih saling menguatkan yang justru merenggangkan hubungan mereka. Dari sinilah, momen-momen emosional dalam Critical Eleven mulai menguat. Adegan di rumah sakit yang memperlihatkan Anya merajuk minta pulang di pelukan Ale, dan adegan kelanjutannya yang sebaiknya tidak diungkapkan dalam ulasan ini, sungguh merobek hati. Bisa dikatakan, ini adalah salah satu momen paling emosional yang pernah ada di film Indonesia. Kedekatan dengan karakter yang telah kita bentuk di fase sebelumnya, menunjukkan hasilnya di fase ini. Kita menaruh empati terhadap problematika yang mendadak menyergap kehidupan pernikahan pasutri ini. Berharap-harap cemas – terlebih jika kamu belum pernah membaca materi sumbernya – mengenai apa yang selanjutnya memasuki kehidupan mereka. Satu tanya mengemuka, akankah kebahagiaan seperti di awal mula dapat kembali dirasakan oleh Anya dan Ale? 

Tanya ini bukannya tanpa alasan. Penonton dapat merasakan perubahan atmosfer dalam chemistry Adinia Wirasti dengan Reza Rahadian semenjak konflik besar memasuki arena penceritaan. Kehangatan telah tiada, tergantikan oleh rasa dingin. Mereka sanggup ciptakan kecanggungan mengusik ketenangan ketika Anya dan Ale berada di satu ruangan, seperti saat mereka makan malam bersama. So close yet so far. Pertanda api asmara di kehidupan pernikahan mereka telah meredup dengan sangat cepat. Emosi penonton terus dihajar habis-habisan sampai kemudian Critical Eleven memasuki tahapan ‘penerimaan’ yang diharapkan mampu memberikan solusi memuaskan terhadap dinginnya hubungan Anya dengan Ale. Monty dan Robert turut menghembuskan kehangatan di titik ini kala kedua orang tua Ale yang dimainkan secara mengesankan oleh Slamet Rahardjo dan Widyawati akhirnya memilih untuk turun tangan. Fase ini mempersilahkan penonton dewasa untuk berkontemplasi mengenai makna dari suatu hubungan sekaligus mempersembahkan satu momen emas ketika ibu Ale berbincang empat mata bersama Anya. Apabila kamu pernah merasakan kehilangan dan merasakan telah menemukan keluarga baru yang menerimamu dengan tangan terbuka, obrolan yang melibatkan dua aktris terbaik berbeda generasi ini akan membuat hatimu berdesir lalu tanpa tersadar meneteskan air mata. Ya, bahkan sampai jelang pendaratan, Critical Eleven masih berhasil menyentuh hati-hati yang sensitif. Inilah sebuah balada tentang cinta, duka, serta penerimaan yang dikemas manis, hangat, sekaligus emosional dengan tunjangan performa sangat apik dari dua pelakon utamanya. Ciamik!

Outstanding (4/5)


Sabtu, 13 Mei 2017

CRITICAL ELEVEN (2017) REVIEW : Mempercayai Sebuah Cinta Dengan Segala
Turbulensinya

CRITICAL ELEVEN (2017) REVIEW : Mempercayai Sebuah Cinta Dengan Segala Turbulensinya


Dari sekian banyak film-film dengan genre drama romantis di perfilman Indonesia, hanya ada beberapa film yang diproduksi dengan baik. Tak hanya dari segi teknis, tetapi juga dari sisi pengarahan film yang tak terlalu digarap serius. Menciptakan nuansa penuh akan cinta di sebuah film tak akan semudah yang dibayangkan orang. Apabila hal tersebut tak bisa diarahkan dengan baik, penonton tak akan bisa merasakan koneksi atas atmosfir penuh kasih sayang di dalam film drama bertemakan cinta.

Maka, inilah yang berusaha dilakukan oleh Starvision dan Legacy Pictures untuk membuat sebuah drama romantis dengan ideal. Mereka memutuskan untuk bersama-sama mengadaptasi sebuah buku dari penulis ternama Ika Natassa. Critical Eleven, salah satu buku laris miliknya akhirnya mendapatkan kesempatan untuk ‘lahir’ pertama kali sebagai sebuah film layar lebar. Critical Elevenmemiliki kru dan jajaran aktris yang tak sembarangan. Mulai dari Reza Rahadian dan Adinia Wirasti sebagai pemeran utama, Jenny Jusuf sebagai penulis skenario, serta Monty Tiwa yang kali ini berkolaborasi untuk mengarahkan sebuah film dengan Robert Ronny.

Misi mulia dari Ika Natassa dan segala orang yang terlibat di dalam film Critical Eleven adalah tentang memberikan harapan dalam cinta. Nyatanya, dengan performa milik Reza Rahadian dan Adinia Wirasti yang menghidupkan setiap karakter fiksinya ini berhasil meyakinkan penonton atas misi mulia milik Ika Natassa. Inilah kisah cinta milik Ale dan Anya yang penuh akan asam manis di setiap perjalanannya, tetapi bisa membuat setiap orang akan percaya dengan kekuatan cinta. 


Membicarakan tentang cinta akan terdengar sangat melankolis dan picisan. Tetapi, memiliki kehidupan tanpa cinta di sekitar kita tak serta merta membuat hidup kita lebih bahagia. Hal itu lah yang berusaha disampaikan di dalam film Critical Eleven ini. Tema Cinta yang dibahas di dalam Critical Eleven ini memang tak sekedar antar pasangan, tetapi juga lebih di setiap aspek. Mulai dari keluarga, sahabat, dan juga setiap menit kehidupan yang tuhan berikan kepada kita.

Semua misi tentang cinta ini disajikan ke dalam sebuah film dengan durasi yang mencapai 135 menit. Critical Eleven adalah analogi tentang keadaan dalam pesawat yang paling kritis yaitu 3 menit sesaat setelah terbang dan 8 menit sesaat sebelum mendarat yang mewakili kehidupan setiap orang. Ini pula yang dirasakan sesaat ketika film berjalan di durasinya yang panjang. Film Critical Eleven sebagai sebuah pesawat mengalami masa kritis itu tak selamanya dengan mulus. Sesekali ada Turbulensi yang terjadi saat film baru saja menerbangkan sayapnya dan sesaat sebelum film akhirnya tiba di tujuan.  


Misi tentang memberikan harapan kepada cinta kali ini ditugaskan kepada Anya (Adinia Wirasti), seorang perempuan mandiri yang bekerja dengan giat. Anya begitu mencintai bandara hingga suatu ketika dia juga bertemu dengan seorang pria bernama Ale (Reza Rahadian). Pertemuan yang tak disengaja itu ternyata mendekatkan mereka. Hingga pada akhirnya, Ale dan Anya memutuskan untuk menikah dan Ale yang bekerja di Oil Rig di daerah meksiko memutuskan agar mereka tinggal di New York.

Kehidupan di New Yorkmemberikan mereka kebahagiaan, apalagi Anya telah mengandung Ale Junior yang telah diidam-idamkan. Kehidupan Anya paska hamil memang tak semudah yang dibayangkan. Ale menjadi sangat overprotektif kepada Anya karena takut kehilangan buah hatinya. Dengan adanya perubahan sifat ini, muncullah keegoisan masing-masing yang sesekali menimbulkan perdebatan di tengah keharmonisan hubungan mereka. Juga, beberapa peristiwa dalam keluarga kecil mereka yang semakin memunculkan sisi egois masing-masing pihak.


Critical Eleven memang bukan sekedar kisah tentang cinta yang dibuat hanya untuk merasakan indahnya jatuh cinta. Critical Eleven adalah kisah tentang cinta yang menunjukkan penontonnya tentang jatuhnya hidup bergantung kepada cinta. Translasi yang sangat baik dilakukan oleh Jenny Jusuf sebagai penulis skenario yang berhasil mengadaptasi sumber aslinya dengan berbagai cara hingga setiap karakter memiliki kontinuitas yang menarik. Ada detil-detil kecil sebagai sebuah tanda yang dihasilkan oleh Jenny Jusuf di dalam filmnya yang memperkuat karakternya. Tanda itu seperti mainan-mainan yang dimiliki oleh karakter Ale dan Anya.

Bukan hanya sekedar detil kecilnya, tetapi juga memindahkan emosi ke dalam penulisan naskahnya. Selain itu pula, ada kolaborasi baik antara naskah dengan pengarahan yang dilakukan oleh Monty Tiwa dan Robert Ronny dalam Critical Eleven. Penonton bisa merasakan setiap konfliknya yang terjadi di dalam Critical Eleven. Secara tak langsung, penonton menemukan referensi lain yang melekat di karakter dan konfliknya sehingga timbul simpati dan merasakan adanya kedekatan.

Hanya saja, Critical Elevenmemiliki sedikit isu dalam pengarahan yang membuat 135 menit yang ada di dalam filmnya tak memiliki performa yang stabil. Paruh pertama film ini memiliki sedikit turbulensi terhadap penyampaian konflik dan karakternya. Ada penyampaian emosi yang menggebu-gebu sehingga beberapa pesan yang tak tersampaikan dengan sepenuhnya baik. Pemilihan dialog yang sering kali menggunakan bahasa asing membuat adanya jarak antara pesan yang ingin disampaikan kepada penontonnya. Rasa manis di awal film pun beberapa kali terkadang terasa redup. 


Begitu pula dengan turbulensi yang datang lagi di ‘pesawat’ milik Critical Eleven saat ingin mendarat. Critical Eleven memang sudah memiliki landasan mendarat yang mumpuni, tetapi kemulusan terhadap cara memberikan konklusi di film ini tak bisa memberikan rasa manis yang kuat setelah menonton. Di tengah karakter Ale dan Anya yang sudah dikembangkan dengan sangat baik di setiap menitnya, ada cara mendarat yang memberikan sedikit membuat penontonnya tak nyaman. Bagaimana paruh ketiga film ini intensitas cerita sudah tak terjaga dan membuat simpati penontonnya sedikit berkurang.

Kemagisan asam manis cinta yang semakin bertambah durasi semakin terasa ini hampir saja hilang dengan pengarahan yang kurang mulus. Sehingga, ada sambungan adegan yang sedikit saja dihilangkan di dalam naskah yang mungkin dapat menimbulkan keefektifan cerita yang lebih memberikan efek yang kuat kepada penontonnya. Tetapi, beruntung sekali Critical Eleven memiliki Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Mereka memberikan performa terbaiknya di dalam film ini sehingga penonton bisa merasakan setiap manis dan getir hubungan mereka. Mereka bisa menerjemahkan karakter Ale dan Anya yang tak hanya hidup, tetapi juga berkembang dan berubah. 


Sebagai sebuah film drama dengan tema cinta, Critical Eleven memang masih bisa menaikkan standar yang ada. Ini jelas sebuah film Indonesia yang dibuat dengan sepenuh hati dan teliti, apalagi dalam segi teknis film. Gambar, musik, dan nilai-nilai produksi di dalam film Critical Eleven memperkuat alasan bahwa film ini memang tak main-main. Meski memiliki sedikit turbulensi dalam penceritaannya, tetapi Critical Elevenmasih bisa menimbulkan rasa asam dan manis cinta lewat performa luar biasa dari Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Pun, didukung dengan kedetilan dalam bertutur lewat naskah milik Jenny Jusuf. Critical Eleven cukup berhasil mencapai tujuannya untuk membuat penonton percaya dengan cinta dan menggantungkan harapan kepadanya.