“I’ve burned my bridges. There’s no turning back. There’s only going forward, with you.”
Apabila kamu rajin berselancar di dunia maya, komentar yang-kini-telah-amat-sangat-menjemukan untuk didengar, “Reza Rahadian lagi, Reza Rahadian lagi,” rasa-rasanya kerap dijumpai. Entah kamu menggemari Reza Rahadian atau justru tergabung dengan para netizen yang memandangnya sinis, sulit untuk menampik bahwa aktor penggenggam empat Piala Citra dari kategori akting ini merupakan salah satu pelakon terbaik yang dimiliki oleh perfilman Indonesia. Dia senantiasa memberi effort lebih untuk peran-peran yang dimainkannya sekalipun sebatas peran kecil atau malah sekadar numpang lewat. Energi positif yang dibawa Reza pun umumnya turut menular ke film maupun lawan mainnya sehingga tidak mengherankan namanya menjadi komoditi panas di kalangan para produser. Tiga lawan main yang ‘naik kelas’ seusai dipasangkan dengannya antara lain Bunga Citra Lestari, Acha Septriasa, serta Adinia Wirasti. Bersama nama terakhir, Reza telah tiga kali tandem. Uji coba pertama di film omnibus Jakarta Maghrib (segmen “Jalan Pintas”) dilalui dengan mulus yang membawa keduanya dipertemukan sekali lagi di Kapan Kawin?. Chemistry kuat nan memancar diantara duo Reza-Adinia dalam film komedi romantis tersebut membuat mereka lantas dipercaya untuk menghidupkan karakter bernama Ale dan Anya dalam gelaran romansa dewasa yang diekranisasi dari novel metropop laris manis rekaan Ika Natassa, Critical Eleven. Sebuah peran yang kian menguatkan pernyataan bahwa Reza dan Adinia adalah dua pelakon jempolan di tanah air saat ini.
Istilah Critical Eleven berasal dari dunia penerbangan yang mempunyai makna 11 menit paling menentukan keselamatan penumpang yang terbagi pada 3 menit selepas take off dan 8 menit jelang landing. Istilah ini dialegorikan oleh film produksi kolaborasi Starvision dan Legacy Pictures ke pertemuan dua insan manusia, Anya (Adinia Wirasti) dan Ale (Reza Rahadian). Terlampau sibuk dengan pekerjaan masing-masing; Anya adalah seorang konsultan manajemen yang pekerjaannya menuntut dia kerap bepergian, sementara Ale adalah operation engineer di perusahaan kilang minyak, membuat keduanya tidak memiliki waktu untuk memikirkan urusan asmara. Tapi yang namanya jodoh, hanya Tuhan yang tahu. Takdir mempertemukan Anya dengan Ale dalam penerbangan menuju Sydney. Tiga menit pertama memberi kesan manis bagi keduanya, dan delapan menit terakhir menggugah mereka untuk membawa pertemuan singkat ini ke hubungan lebih serius. Selepas kembali ke Indonesia, Anya dan Ale meresmikan hubungan mereka dalam ikatan pernikahan. Pasangan muda ini lantas memutuskan hijrah ke New York demi mengikuti pekerjaan Ale. Selayaknya kebanyakan pengantin baru di bulan-bulan pertama pernikahan, Anya dan Ale pun dilingkupi kebahagiaan meluap seolah-olah dunia hanya milik berdua. Namun sejalan dengan berlalunya waktu, terlebih setelah Ale kembali ke kilang minyak dan Anya dinyatakan berbadan dua, percikan-percikan konflik mulai mengemuka yang perlahan tapi pasti kian mengganas dan pada akhirnya mengancam keutuhan rumah tangga mereka.
Dalam menggelar kisah kasih Ale dan Anya, dua sutradara Monty Tiwa beserta Robert Ronny membaginya menjadi tiga babak yang masing-masing merepresentasikan tema utama dari Critical Eleven; cinta, duka, dan penerimaan. Melalui ‘cinta’ yang mengisi sepertiga awal durasi, si pembuat film mengajak penonton berkenalan dengan tokoh-tokoh krusial seraya mengetengahkan penceritaan pada bermekarannya bunga-bunga asmara dua karakter utama yang sebelumnya terus menguncup. Mengingat fokusnya, fase ini pun didominasi oleh rasa manis seiring tingginya intensitas kebersamaan antara Ale dengan Anya. Inilah tahapan dimana pernikahan masih manis-manisnya. Fase ini penting agar penonton dapat mengenal, lalu membentuk ikatan, dan kemudian bersorak pada dua protagonis utama karena salah satu kunci kesuksesan dari suatu film romansa adalah seberapa jauh penonton menginvestasikan emosinya terhadap perjuangan para protagonis untuk memenangkan cinta. Beruntung bagi Critical Eleven, disamping mempunyai bangunan karakter memikat; Anya mewakili perempuan mandiri dan Ale adalah gambaran pria pekerja keras yang romantis, ada pula chemistry intim dari dua pelakon utama yang menguarkan kesan kuat keduanya adalah suami istri betulan sehingga mudah bagi penonton untuk terjerat baik kepada Anya maupun Ale. Seperti tengah mendengar dongeng percintaan dari teman atau tetangga yang kita idolakan. Munculnya ketertarikan guna mengetahui kelanjutan kisah kasih Anya dengan Ale ini menandakan bahwa Critical Eleven telah lepas landas secara mulus.
Nada penceritaan film yang mula-mula cerah ceria ini pelan-pelan bertransformasi menjadi kelabu begitu memasuki fase ‘duka’. Seperti halnya perjalanan udara yang sewaktu-waktu menjumpai turbulensi, kehidupan pernikahan pun tak akan terbebas dari guncangan. Seberapa besar impak yang diberikannya – dapat terus melaju atau justru terjun bebas – bergantung kepada penanganan dua pilot rumah tangga. Anya dan Ale dihadapkan pada tragedi besar di usia pernikahan yang terbilang masih dini. Tentu saja, keduanya mengalami keterkejutan amat besar. Yang lantas amat disayangkan, keduanya memilih menyikapi duka tersebut dengan caranya masing-masing alih-alih saling menguatkan yang justru merenggangkan hubungan mereka. Dari sinilah, momen-momen emosional dalam Critical Eleven mulai menguat. Adegan di rumah sakit yang memperlihatkan Anya merajuk minta pulang di pelukan Ale, dan adegan kelanjutannya yang sebaiknya tidak diungkapkan dalam ulasan ini, sungguh merobek hati. Bisa dikatakan, ini adalah salah satu momen paling emosional yang pernah ada di film Indonesia. Kedekatan dengan karakter yang telah kita bentuk di fase sebelumnya, menunjukkan hasilnya di fase ini. Kita menaruh empati terhadap problematika yang mendadak menyergap kehidupan pernikahan pasutri ini. Berharap-harap cemas – terlebih jika kamu belum pernah membaca materi sumbernya – mengenai apa yang selanjutnya memasuki kehidupan mereka. Satu tanya mengemuka, akankah kebahagiaan seperti di awal mula dapat kembali dirasakan oleh Anya dan Ale?
Tanya ini bukannya tanpa alasan. Penonton dapat merasakan perubahan atmosfer dalam chemistry Adinia Wirasti dengan Reza Rahadian semenjak konflik besar memasuki arena penceritaan. Kehangatan telah tiada, tergantikan oleh rasa dingin. Mereka sanggup ciptakan kecanggungan mengusik ketenangan ketika Anya dan Ale berada di satu ruangan, seperti saat mereka makan malam bersama. So close yet so far. Pertanda api asmara di kehidupan pernikahan mereka telah meredup dengan sangat cepat. Emosi penonton terus dihajar habis-habisan sampai kemudian Critical Eleven memasuki tahapan ‘penerimaan’ yang diharapkan mampu memberikan solusi memuaskan terhadap dinginnya hubungan Anya dengan Ale. Monty dan Robert turut menghembuskan kehangatan di titik ini kala kedua orang tua Ale yang dimainkan secara mengesankan oleh Slamet Rahardjo dan Widyawati akhirnya memilih untuk turun tangan. Fase ini mempersilahkan penonton dewasa untuk berkontemplasi mengenai makna dari suatu hubungan sekaligus mempersembahkan satu momen emas ketika ibu Ale berbincang empat mata bersama Anya. Apabila kamu pernah merasakan kehilangan dan merasakan telah menemukan keluarga baru yang menerimamu dengan tangan terbuka, obrolan yang melibatkan dua aktris terbaik berbeda generasi ini akan membuat hatimu berdesir lalu tanpa tersadar meneteskan air mata. Ya, bahkan sampai jelang pendaratan, Critical Eleven masih berhasil menyentuh hati-hati yang sensitif. Inilah sebuah balada tentang cinta, duka, serta penerimaan yang dikemas manis, hangat, sekaligus emosional dengan tunjangan performa sangat apik dari dua pelakon utamanya. Ciamik!
Outstanding (4/5)
REVIEW : CRITICAL ELEVEN
4/
5
By
Mimin