Tampilkan postingan dengan label Prekuel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Prekuel. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Agustus 2017

REVIEW : ANNABELLE CREATION

REVIEW : ANNABELLE CREATION


“Sister, you always say we can’t see God but we can feel His presence. In this house, I feel a different kind of presence and evil one. It’s coming after me.” 

Selain para petinggi studio yang kecipratan untung film pertama, siapa sih yang menanti-nantikan babak berikutnya dari teror boneka iblis bernama Annabelle? Dirilis pada tahun 2014 silam, Annabelle yang merupakan spin-off sekaligus prekuel bagi The Conjuring memang berhasil memperoleh ratusan juta dollar dari peredaran seluruh dunia. Akan tetapi di saat bersamaan, film ini juga meninggalkan perasaan traumatis tersendiri bagi sebagian penontonnya. Bukan karena filmnya sungguh meneror, melainkan disebabkan keburukannya yang bikin kepala pusing-pusing tidak karuan. Sebagai film horor, Annabelle sulit dikategorikan menakutkan dan lebih tepat disebut menggelikan. Namun keuntungan besar yang diperolehnya mendorong New Line Cinema untuk tetap memberi lampu hijau bagi instalmen selanjutnya yang diposisikan sebagai prekuel (well, prekuel bagi sebuah prekuel. Prequelception) dan menempatkan sutradara Lights Out, David F. Sandberg, sebagai sang nahkoda. Mengingat seri terdahulu sudah cukup buruk, tentu mustahil kan film yang diberi judul Annabelle Creation ini akan berada di level lebih rendah? Berkaca pada Ouija: Origin of Evil yang tak dinyana-nyana justru tampil superior dibanding film pertamanya, sejatinya ada harapan Annabelle Creation bisa menebus kesalahan sang predesesor terlebih tim produksinya sangat bisa diandalkan. 

Annabelle Creation mengambil latar penceritaan di sebuah rumah pedesaan yang jauh dari cengkraman modernitas pada pertengahan era 50-an. Rumah tersebut dihuni pasangan suami istri Mullins, Samuel (Anthony LaPaglia) dan Esther (Miranda Otto), yang masih belum bisa berdamai dengan duka selepas kematian putri semata wayang mereka. Guna membunuh sepi karena ketiadaan suara tawa canda anak-anak, Samuel mengizinkan sejumlah penghuni panti asuhan yang telah ditutup untuk mendiami rumah mereka. Mudah bagi Suster Charlotte (Stephanie Sigman) beserta anak-anak asuhnya, terutama Janice (Talitha Bateman) dan Linda (Lulu Wilson) yang memiliki hubungan amat dekat bak kakak adik, untuk merasa betah tinggal di rumah tersebut. Betapa tidak, banyak ruangan yang bisa dimanfaatkan dan pekarangannya pun luas. Jika ada kejanggalan, maka itu sebatas Esther yang mengurung dirinya di dalam kamar dan menggunakan lonceng bel untuk memanggil sang suami. Tidak ada yang lain sampai kemudian Janice melakukan kesalahan fatal dengan melangkahkan kaki memasuki kamar milik mendiang putri pasangan Mullins. Di sana, Janice mendapati keberadaan sebuah boneka porselen dengan gaun berwarna putih yang tersembunyi dalam lemari. Saat lemari terbuka, boneka yang kita kenal sebagai Annabelle ini tak pelak bebas berkeliaran dan menebarkan serentetan teror mengerikan ke seluruh penghuni rumah.


Seperti halnya Ouija: Origin of Evil, Annabelle Creation menunjukkan peningkatan pesat saat disandingkan dengan jilid sebelumnya. David F. Sandberg berhasil menghadirkan kengerian yang membuat penonton menahan nafas lalu berteriak dan pada akhirnya tertawa tanda kelegaan melalui bangunan atmosfer mengusik serta trik menakut-nakuti dengan penempatan efektif. Mulanya sih tenang-tenang saja ketika kita diajak berkenalan dengan keluarga Mullins termasuk Bee (Samara Lee), putri Samuel dan Esther di sepuluh menit pertama. Nada penceritaan yang semula lembut mulai mengusik bulu kuduk begitu Suster Charlotte dan anak-anak asuhnya menjejakkan kaki untuk pertama kali di rumah pasangan Mullins atau dua belas tahun semenjak Bee meninggal. Siapa coba tidak bergidik ngeri berada dalam rumah yang lokasinya terpencil, berpencahayaan temaram, lorong-lorongnya panjang, dan memiliki ruangan kosong terlarang? Rasa-rasanya hanya para karakter dalam film horor. Sebelum teror demi teror dilancarkan di dalam ‘wahana rumah berhantu’ ini, penonton diajak terlebih dahulu mengikuti tur singkat bersama Samuel yang mengajak kita berkeliling, mencermati sudut-sudut penting, dan memahami aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar selama ‘permainan’ berlangsung... atau tanggung sendiri konsekuensinya. 

Yang mengasyikkan, si pembuat film tidak terburu-buru menjerumuskan kita ke dalam kubangan teror berisi penampakan-penampakan sekenanya beserta skoring musik memekakkan telinga. Sandberg telaten dalam membangun tensi setapak demi setapak. Caranya, mendekatkan penonton pada karakter inti yakni Janice dan Linda sehingga tercipta afeksi yang menimbulkan kepedulian, kemudian menguarkan nuansa menggelisahkan yang menyatakan bahwa ada kekuatan jahat bersembunyi di dalam rumah pasangan Mullins. Tatkala ketidaknyaman dirasa telah menguasai dan kita sudah cukup memahami ikatan yang terjalin antara Janice dengan Linda, maka pada saat itulah permainan secara resmi dimulai. Terhitung semenjak pertemuan pertama Janice bersama si boneka iblis yang sekali ini agak-agak genit, Annabelle Creation seolah enggan memberikan celah kepada penonton untuk menghembuskan nafas lega. Dimanapun, kapanpun – bahkan saat matahari bersinar terang benderang – teror bisa dengan mudah menyergap. Disokong dengan amat baik oleh gerak kamera dari Maxime Alexandre dan iringan musik gubahan Benjamin Wallfisch, Sandberg pun sanggup mengkreasi trik-trik menakuti yang sekalipun bukan sesuatu benar-benar baru namun mempunyai daya cekam hebat. Antisipasi terdengarnya keriuhan suara jerit-jerit cemas, takut, dan tawa di dalam gedung bioskop dalam adegan berkode “selimut Annabelle”, “kasur susun”, serta “siksaan untuk Janice”. 

Disamping berkat pengarahan sangat baik dari David F. Sandberg yang memungkinkan setiap teror tidak terlontar sia-sia, Annabelle Creation terasa sangat menyenangkan buat disimak berkat performa bagus barisan pemainnya terutama duo maut Talitha Bateman dan Lulu Wilson. Kedua bocah ini hadirkan chemistry hidup yang meyakinkan kita bahwa Janice dan Linda memang betul-betul sahabat sejati yang saling menaruh peduli. Talitha bertugas menangani momen dramatik mengingat kondisi Janice, sementara Lulu bertindak mencairkan ketegangan melalui momen komedik yang dipantik oleh kepolosan tindak tanduknya (ehem... melempar bola ke kegelapan buat mancing setan, dik?) dan celetukannya. Mereka mendapat bantuan dari pemain dewasa seperti Stephanie Sigman sebagai Suster yang mengayomi, Anthony LaPaglia yang tampak menyimpan rahasia, dan Miranda Otto sebagai ibu yang berduka. Pengarahan Sandberg beserta akting para pemain ini dapat dikatakan sangat membantu dalam mengangkat skrip buatan Gary Dauberman yang pada dasarnya masih agak menggelikan serta terbilang tipis sehingga Annabelle Creation pun berhasil terlepas dari mengulangi kesalahan film pendahulu dan tidak lagi mempermalukan universe The Conjuring. Melihat apa yang telah diperbuat David F. Sandberg untuk Lights Out dan Annabelle Creation, para pecinta film horor rasa-rasanya tak perlu khawatir apabila nantinya James Wan sepenuhnya berhenti membesut tontonan seram karena Sandberg membuktikan bahwa dia cocok menerima tongkat estafet dari Wan.

Note : Annabelle Creation mempunyai dua adegan tambahan. Pertama, di sela-sela bergulirnya credit title. Kedua, di penghujung credit title. Bersabarlah.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_M2Nq

Outstanding (4/5)


Selasa, 01 Agustus 2017

REVIEW : WAR FOR THE PLANET OF THE APES

REVIEW : WAR FOR THE PLANET OF THE APES


“I did not start this war. I offered you peace. I showed you mercy. But now you're here. To finish us off, for good.” 

Usai sebuah virus bernama Simian Flu menyebar ke seantero dunia di penghujung instalmen pertama dari trilogi prekuel ini, perlahan tapi pasti jumlah kera yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata membengkak sementara populasi manusia terus menyurut secara drastis. Menyadari bahwa peradaban manusia berada di ujung tanduk, berbagai upaya untuk menundukkan pertumbuhan masif kera-kera cerdas pun terus dilakukan oleh faksi-faksi militan. Koba, salah satu kera yang menyimpan dendam pada manusia lantaran pernah menjadi bahan eksperimen, tentu tak tinggal diam mengetahui adanya upaya pemberantasan ini sehingga dia pun menghimpun pasukan yang berasal dari kaumnya sendiri untuk memerangi manusia-manusia keji di seri kedua. Pertentangan antara manusia dengan para kera berotak brilian selama bertahun-tahun ini akhirnya mencapai titik kulminasinya dalam War for the Planet of the Apes. Melalui jilid ketiga, Matt Reeves yang turut membesut instalmen sebelumnya, Dawn of the Planet of the Apes, menghadirkan peperangan penting yang bukan saja menentukan masa depan dari dua spesies tersebut di muka bumi tetapi juga membentuk jalan menuju semesta yang dihadirkan oleh Planet of the Apes rilisan tahun 1968 selaku dedengkot franchise ini. 

Kematian Koba (Toby Kebbell) di film kedua nyatanya tak mengubah keadaan sedikitpun. Para manusia terus melacak keberadaan para kera yang tersisa, utamanya kelompok dari Caesar (Andy Serkis) yang kini memilih untuk bersembunyi jauh di dalam hutan. Namun persembunyian ini tak bertahan lama karena pada menit-menit pertama War for the Planet of the Apes, penonton langsung mendapati fakta bahwa persembunyian Caesar telah terendus. Pertempuran tak lagi terelakkan yang mula-mula dimenangkan dengan mudah oleh pihak manusia sampai kemudian keadaan berbalik saat sang pemimpin kaum kera yang tidak lain adalah Caesar memutuskan untuk turun tangan dan mengerahkan pasukan perangnya. Beberapa prajurit yang selamat dari pertempuran tersebut lantas dibawa sebagai tawanan ke markas para kera yang belakangan dilepas oleh Caesar demi menyampaikan pesan perdamaian ke atasan mereka, Kolonel (Woody Harrelson). Alih-alih menyanggupi permohonan untuk berdamai, Kolonel yang kini telah mengetahui secara pasti lokasi markas para kera justru membantai keluarga Caesar. Diliputi amarah yang meluap-luap, sang raja kera pun memutuskan untuk meninggalkan kawanannya dan menempuh perjalanan panjang guna membalas dendam pada Kolonel.
 

Setidaknya di 15 menit awal, War for the Planet of the Apes memenuhi permintaan dari khalayak ramai yang berbondong-bondong memenuhi gedung bioskop: peperangan yang seru. Selepas menyegarkan ingatan penonton mengenai alur penceritaan dari dua seri sebelumnya, Matt Reeves tanpa banyak berbasa-basi langsung menempatkan kita di tengah-tengah penyergapan. Secara silih berganti, terdengar suara tembakan, lalu suara anak panah dilesakkan. Untuk ukuran sebuah film yang mengantongi rating PG-13 (13 tahun ke atas), pemandangan yang terhampar di adegan pembuka ini terhitung kelam – meski ya, darah tidak terlalu nampak karena cahaya nyaris absen. Intensitasnya pun tinggi. Ada baiknya, penonton cilik yang mudah ketakutan atau merengek, tidak diajak ikut serta menonton War for the Planet of the Apes di bioskop karena nuansa yang dikedepankannya menyesakkan sekaligus menghantui. Keputusan yang cukup mengagetkan sebetulnya mengingat seri ini diniatkan sebagai tontonan eskapisme untuk menyemarakkan liburan panjang. Usai pertempuran pertama di film yang dimenangkan oleh pasukan Caesar, nada penceritaan kian muram. Pemicunya, Kolonel menyelinap masuk ke markas para kera lalu membunuh istri dan putra sulung Caesar. Belum sempat kita pulih dari serangan membabi buta, hati kembali dibuat terhenyak dengan kematian tak disangka-sangka. 

Canggihnya efek khusus yang membuat kita yakin bahwa para kera ini nyata adanya – bukan sebatas hasil kreasi komputer – sanggup mentranslasi perubahan mimik wajah dari Andy Serkis secara sempurna. Berkatnya, kita bisa mendeteksi adanya kepiluan, amarah, sekaligus kebencian yang melahirkan obsesi untuk membalas dendam dalam tubuh Caesar. Perlahan tapi pasti, jiwa Koba yang coba ditolaknya merasuk ke dalam dirinya. Dari sini, laju pengisahan film yang semula bergegas mulai melambat. Reeves ingin fokus kepada pertumbuhan karakter dari Caesar dengan menunjukkan peperangan sang protagonis dalam menekan sisi gelapnya yang mulai tumbuh tak terkendali. Sosok manusia yang mengayomi para kera tak lagi nampak disini dan sebagai gantinya, Caesar memperoleh bantuan serta wejangan dari sesamanya seperti Maurice yang bijak (Karin Konoval), Rocket yang setia (Terry Notary), Luca yang pemberani (Michael Adamthwaite), dan Bad Ape (Steve Zahn) yang celetukan berikut tindak tanduk menggelitiknya difungsikan untuk memberi sedikit keceriaan di sela-sela nuansa yang nyaris melulu tegang seperti bagaimana semestinya suatu medan peperangan. Disamping mereka, masih ada pula sesosok perempuan cilik bernama Nova (Amiah Miller) yang keberadaannya tidak saja memberi tribute pada Planet of the Apes tetapi juga untuk mengingatkan Caesar mengenai sisi ‘manusiawi’ dari dirinya. 

Ya, War for the Planet of the Apes bukan semata-mata sebuah spektakel pengisi liburan musim panas yang disesaki rentetan sekuens eksplosif – kamu akan mendapatinya di klimaks seru film ini – karena Matt Reeves mencoba pula untuk bercerita, mencoba memberi penutup layak bagi sebuah trilogi prekuel/reboot, dan mencoba membangun jembatan penghubung antar franchise yang dapat diterima dengan baik. Dalam War for the Planet of the Apes, selain menyoroti perjuangan beserta tumbuh berkembangnya Caesar sebagai suatu karakter sehingga pada akhirnya kita bisa memahami mengapa dia sangat pantas menyandang gelar ‘pemimpin sejati’, Reeves turut menyinggung isu gelap nan sensitif semacam rasisme, kekejaman peperangan, sampai sisi kelam makhluk hidup meliputi dendam dan ambisi yang disisipkannya secara cerdik ke dalam penceritaan bersama Mark Boomback. Alhasil, naskah War for the Planet of the Apes terasa bernas tanpa pernah terjerumus menjadi pretensius. Ini lantas diolah oleh Reeves menjadi bahasa gambar yang megah, mendebarkan, mengusik pikiran sekaligus menyayat hati. Kecakapan Reeves sanggup menempatkan War for the Planet of the Apes sebagai penutup trilogi yang amat baik sekaligus salah satu sajian musim panas paling berkesan tahun ini.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_8jiV

Outstanding (4/5)


Jumat, 18 November 2016

REVIEW : FANTASTIC BEASTS AND WHERE TO FIND THEM

REVIEW : FANTASTIC BEASTS AND WHERE TO FIND THEM


“Yesterday, a wizard entered New York with a case. A case full of magical creatures. And unfortunately, some have escaped.” 

Gagasan mengalihrupakan buku Fantastic Beasts and Where to Find Them hasil tulisan J.K. Rowling (menggunakan nama samaran Newt Scamander) ke medium audio visual sebetulnya sudah terdengar maksa, apalagi merentangkannya menjadi franchise baru dengan total jenderal lima seri. Jelas sudah jauh lebih gila pula ambisius dari The Hobbit tempo hari. Pasalnya, Fantastic Beasts bukanlah berbentuk novel konvensional yang didalamnya mengandung plot runtut melainkan sebuah ensiklopedia mini berisi panduan atas satwa magis yang dijadikan buku teks wajib bagi siswa-siswi Hogwarts. Jadi pertanyaannya adalah, akankah versi filmnya berceloteh mengenai petualangan si pengarang dalam berburu binatang-binatang fantastis ini seperti, errr... Pokemon? Bisa jadi. Pun demikian, segala bentuk skeptisisme terhadap spin-off sekaligus prekuel bagi kedelapan seri film Harry Potter ini perlahan tereduksi begitu dikonfirmasi bahwa J.K. Rowling ikut turun tangan secara langsung sebagai penulis skrip. Keterlibatan ibunda, disamping sedikit banyak memberikan jaminan bahwa Fantastic Beasts tidak akan melenceng jauh dari jalurnya, juga membantu meningkatkan excitement di kalangan Potterhead karena ini kesempatan emas untuk bernostalgia pula mengeksplor lebih jauh wizarding world dalam semesta Harry Potter rekaan Rowling. 

Fantastic Beasts melempar kita jauh ke pertengahan dekade 20’an – atau 70 tahun sebelum peristiwa di Harry Potter and the Sorcerer’s Stone – dengan fokus penceritaan diletakkan pada seorang zoologist satwa ajaib bernama Newton Scamander (Eddie Redmayne) yang melakukan penjelajahan mengarungi berbagai belahan dunia guna menemukan hewan-hewan magis. Di jilid pertama ini, Newt menyambangi The Big Apple. Beberapa saat setelah menjejakkan kaki di New York, Newt dihadapkan pada suatu insiden yang menyebabkan kopernya tertukar dengan seorang No-Maj (sebutan bagi Muggle, manusia biasa tanpa kekuatan sihir, di Amerika), Jacob Kowalski (Dan Fogler). Koper Newt bukan sembarang koper, saudara-saudara. Ini semacam portal ke dimensi lain yang didiami satwa-satwa magis ‘peliharaan’ si empunya koper. Maka alangkah paniknya tatkala benda tersebut menghilang dari pandangannya dan terlebih lagi, beberapa penghuninya melepaskan diri. Mengingat situasi di New York tengah tidak kondusif bagi para penyihir dengan munculnya grup ekstrimis ‘Salem Kedua’ yang menentang keberadaan penyihir, Newt dibantu oleh Tina (Katherine Waterston), mantan Auror di Magical Congress of the United States of America, dan Jacob, harus berpacu waktu untuk mengumpulkan kembali satwa-satwa yang terlepas sebelum situasi dan kondisi semakin merunyam. 

Film telah menguarkan aroma magis familiar yang kuat sedari menit-menit pertama dengan penampakkan surat kabar dunia sihir dengan foto-foto bergeraknya. Tak berselang lama, tanpa banyak berbasa-basi, penonton langsung digiring mengikuti adegan kejar-mengejar mengasyikkan tatkala seekor Niffler (menyerupai possum secara bentuk fisik) menyelinap keluar dari koper Newt, berburu benda-benda berkilauan di bank, dan membuat Newt terpontang-panting dalam upayanya menangkap sekaligus menahan perhatian dari kaum No-Maj. Harus diakui, perburuan si tokoh utama atas para satwa yang berlari-larian di sekitar kota New York merupakan salah satu bagian terbaik dari film. Selain Niffler, Newt juga harus menangkap beberapa hewan lain seperti Erumpent (mirip badak bercula satu) dan Occamy (perpaduan burung dengan ular) yang masing-masing menghadirkan momen mendebarkan, bernuansa magis, serta berbalut gelak tawa. Pemicunya, selain tingkah laku dari para satwa itu sendiri, reaksi Jacob terhadap hal-hal ajaib yang belum pernah dilihatnya sebelumnya pun priceless. Ya, sosok Jacob yang tidak lain yakni Muggle pertama dengan peran krusial di lini utama dalam franchise Harry Potter memang dimanfaatkan sebagai comic relief bagi Fantastic Beasts. Keberadaannya yang senantiasa memberikan keceriaan ke nada film merupakan salah satu faktor mengapa Fantastic Beasts terasa segar untuk disimak. 

Sementara di paruh awal Fantastic Beasts seringkali menghidupkan setelan mode ‘cerah’ seperti dua jilid pertama film Harry Potter, David Yates yang juga menangani empat jilid terakhir Harry Potter lantas mengaktifkan tone ‘suram’ seperti halnya seri ketiga sampai akhir di paruh sisanya seiring kian terdeteksinya ancaman. Fantastic Beasts bukan semata-mata berceloteh mengenai perjuangan Newt dalam mengumpulkan kembali piaraannya karena gambaran lebih besarnya adalah perkara klasik dari franchise ini; pertarungan antara kubu putih dengan kubu hitam. Sejatinya penonton telah bisa mengendusnya dari awal mula melalui eksistensi Salem Kedua dan satu dua karakter ambigu, namun Yates bersama Rowling baru benar-benar menaruh fokus ke guliran penceritaan yang kentara terasa merupakan pijakan awal dari intrik utama di franchise ini usai Newt menuntaskan ‘misi kecilnya’. Saya tidak akan menyebutkan secara spesifik pertentangan apa (dan siapa) yang dihadapi oleh Newt demi menjaga ketertarikanmu terhadap film, satu petunjuk yang bisa disebar adalah ada kemunculan kekuatan jahat berwujud Obscurial. Plot dalam pergulatan dengan sisi gelap sendiri sejatinya terbentuk dari ide dasar yang generik – sedikit banyak melemparkan ingatan ke seri-seri awal Harry Potter – namun pengolahan Rowling dan Yates membuatnya tetap mempunyai daya pikat maupun daya sentak. Malah, hasil akhirnya juga memberi daya sentuh ke emosi penonton. 

Memperoleh bala bantuan dari sang kreator bisa dikata membawa keuntungan tersendiri bagi Fantastic Beasts. Penceritaannya melaju cukup mulus – pembentukan world building-nya di era Roaring Twenties tertata rapi dan pendeskripsian barisan karakternya juga menarik – dengan perpaduan dua warna film yang bertolak belakang serasa saling melengkapi. Dampaknya, durasi sepanjang dua jam pun berlangsung cepat, mengikat, serta menyenangkan. Tidak sekalipun momen-momen menjemukan menyergap sepanjang berlangsungnya Fantastic Beasts malahan setiap menitnya terasa kian menyenangkan dan menyenangkan. Ndilalah, para pelakon yang direkrut untuk ambil bagian disini pun sadar akan tanggung jawab masing-masing. Eddie Redmayne begitu menyatu dengan sosok Newt yang canggung – membuktikan bahwa dia adalah salah satu aktor terbaik Britania Raya dewasa ini, lalu Katherine Waterston yang mengisi peran utama perempuan pertama di franchise (catatan, Hermione berada di posisi pendukung) menunjukkan kemesraan bersama Redmayne, sedangkan duo Dan Fogler beserta Alison Sudol yang merupakan versi lebih konyolnya Ron-Hermione pun tampil sesuai porsi tanpa pernah mendistraksi. Mereka bersatu padu dengan iringan musik membius dari James Newton Howard dan efek khusus mengagumkan yang lihai memvisualisasikan keajaiban wizarding world-nya Rowling maupun New York era 20-an, sehingga hasilkan tontonan fantasi menggelegar yang akan seketika menghapus keraguan terhadap dicetuskannya lima seri sekaligus menyulut ketidaksabaran penonton untuk sesegera mungkin mencicipi jilid selanjutnya dari Fantastic Beasts

Outstanding (4/5)