Tampilkan postingan dengan label 2 stars. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 2 stars. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Juli 2018

DIMSUM MARTABAK (2018) REVIEW : Kisah Upik Abu Ala Televisi

DIMSUM MARTABAK (2018) REVIEW : Kisah Upik Abu Ala Televisi


Raffi Ahmad berusaha untuk berpindah keberuntungan dari layar televisi ke layar perak. RA Pictures menjadi rumah produksi baru yang menelurkan film-film bioskop. Intensinya baik, menarik pasar televisi ke layar lebar dan semakin memeriahkan perfilman Indonesia. Mulai dari Rafathar, The Secret, hingga proyek terbarunya yang rilis pada musim lebaran tahun ini berusaha dia lepas. Raihan penontonnya pun bisa dibilang lumayan untuk ukuran rumah produksi baru.

Kali ini, Raffi Ahmad menunjuk seorang sutradara baru Andreas Sullivan untuk mengarahkan sebuah drama kisah komedi romantis. Film terbarunya ini pun disupervisi oleh Fajar Bustomi yang pernah mengarahkan Dilan 1990. Pun, dibantu dengan naskah yang ditulis oleh Alim Sudio yang sudah sering menulis film dengan genre yang sama. Dimsum Martabak, judul ini dibintangi oleh Ayu Ting-Ting dan juga Boy William sebagai pasangan utama.

Dimsum Martabak adalah debut akting dari Ayu Ting-Ting di layar lebar. Tentu saja banyak yang meragukan performa yang ditampilkan oleh Ayu Ting-Ting di dalam film Dimsum Martabak. Dengan banyaknya nama baru di dalam Dimsum Martabak, tentu saja proyek ini bisa dibilang sangat berani untuk rilis di musim lebaran. Jika performa sebuah film bisa diukur dengan keberaniannya, Dimsum Martabak ini mungkin belum sepenuhnya berani dalam menyampaikan ceritanya.


Kisah ini dimulai dari seorang pelayan sebuah restoran chinese food bernama Mona (Ayu Ting-Ting) yang hidup menjadi tulang punggung keluarga. Dirinya bekerja banting tulang karena ayahnya yang sudah meninggalkan meninggalkan banyak hutang untuk keluarganya. Mona harus bekerja siang malam demi bisa membayar hutang keluarganya. Sayangnya, Mona harus dipecat oleh istri pemilik restoran karena dikira ingin merebut suaminya.

Setelah dipecat, Mona kebingungan mencari pekerjaan ke sana ke mari untuk tetap bisa membuat keluarganya bahagia. Bertemulah dia dengan Sooga (Boy William), pemilik kedai Martabak yang butuh karyawan agar bisnisnya berjalan lancar. Mona pun bersedia menjadi karyawan dan membantu Sooga untuk membuat sistem untuk kedai martabaknya. Semakin lama, Sooga melihat ada sesuatu yang menarik pada Mona. Ternyata, Sooga jatuh cinta kepada Mona.


Ya, cerita dalam Dimsum Martabakmemang semudah itu. Sebagai film komedi romantis, Dimsum Martabak memang tak perlu menjadi sesuatu yang rumit. Apalagi, intensi dari rumah produksi ini adalah untuk memindahkan penonton televisi ke layar perak. Dengan cerita semudah ini, tentu saja niat dari RA Pictures bisa dikatakan berhasil. Inilah konten yang diinginkan oleh penonton televisi kita selama ini. Mimpi menjadi seorang upik abu yang derajatnya naik karena menemukan seorang pangeran tampan dan kaya raya.

Dengan kisah segenerik ini, Dimsum Martabak sebenarnya masih bisa memuaskan segmentasi penontonnya. Bisa dikatakan bahwa 40 menit pertama dari film ini masih diarahkan dengan baik. Konflik-konflik sederhanya dikemas dengan ajaib dan ditambah pula dengan dialog serba cheesy, Dimsum Martabak sebenarnya masih sangat bisa ditoleransi. Untuk film yang berada di kelasnya, Dimsum Martabak masih digarap dengan cukup baik.

Andreas Sullivan bisa membuat Dimsum Martabak dinikmati oleh penontonnya. Kisah cintanya pas, ditambahi dengan bumbu komedi yang juga tahu tempat dan porsinya. Sehingga, plot ceritanya bisa tersampaikan dengan baik. Begitu pula dengan performa Ayu Ting-Ting yang sebenarnya bisa mengeluarkan sinarnya. Menjadi sosok perempuan damsel in distress yang mungkin karakternya generik tetapi untungnya masih bisa diperankan dengan baik oleh Ayu Ting-Ting.


Tapi sayangnya, bagian terbaik dari Dimsum Martabak hanya bertahan hingga 45 menit pertamanya saja. Setelahnya, Dimsum Martabak penuh akan cabang-cabang cerita yang tak bisa disampaikan dengan baik. Sebenarnya dalam naskah yang ditulis oleh Alim Sudio, sudah menunjukkan intensi untuk menampilkan cabang cerita yang cukup banyak. Hanya saja, Pengarahan dari Andreas Sullivan seperti tak tahu harus menyampaikan semua plotnya dengan benar.

Kesibukan membuat kesenangan di 45 menit pertama ternyata membuatnya terlena untuk harus mengakhiri ceritanya. Paruh akhir dari Dimsum Martabak tampil sangat malas dan menunjukkan konklusi-konklusi ala sinema elektronik yang sudah basi. Performanya pun semakin menurun, dari kisah komedi romantis yang energik menuju ke sebuah  drama mendayu-dayu dengan penyelesaian yang juga semakin ajaib.

Belum lagi dengan pemilihan casting dan penyampaian komedi ala variety show yang ada di televisi yang semakin menunjukkan segmentasi dari film ini sebenarnya. Padahal, seharusnya Dimsum Martabak memiliki potensi untuk setidaknya dinikmati oleh berbagai kalangan. Yang tersisa hanyalah kemewahan-kemewahan setting yang sebenarnya adalah properti pribadi dari Raffi Ahmad. Hal itu pun tak bisa membuat Dimsum Martabak kembali bisa dinikmati oleh penontonnya secara general.


Mungkin dalam berbagai aspeknya, Dimsum Martabak adalah sebuah film generik yang seharusnya memiliki kesempatan untuk bersinar. Sayangnya, tarik ulur dalam konklusinya membuat pace film ini semakin lambat dan belum lagi adegan-adegan yang membuat mata berputar. Untuk target segmentasinya, Dimsum Martabakseharusnya masih bisa memuaskan mereka. Sayangnya, bagi penonton yang general tanpa mengetahui intensi ini, Dimsum Martabak hanyalah sebuah kisah upik abu dan mimpi para penikmat televisi yang usang ditelan waktu.
KUNTILANAK (2018) REVIEW : Potensi Yang Kurang Maksimal

KUNTILANAK (2018) REVIEW : Potensi Yang Kurang Maksimal


Film horor sedang menjadi genreyang sedang mendapatkan hype sangat besar di perfilman Indonesia. Dimulai dari Danur, Jailangkung, hingga Pengabdi Setan, ketiganya memiliki raihan penonton yang sangat fantastis. Lantas, banyak judul-judul lain yang juga kena getahnya yang setidaknya mendapatkan raihan ratusan ribu penonton. Hal ini akhirnya juga membuat rumah produksi Multivision Plus ikut meramaikan genre ini.

Multivision Plus dulunya pernah memiliki franchise horor yang menjanjikan yaitu trilogi Kuntilanak. Multivision Plus ingin membangkitkan lagi mitos tentang Kuntilanak tersebut untuk ditonton oleh penonton masa kini. Rizal Mantovani adalah juru kunci atas ketiga cerita Kuntilanak yang melibatkan Julie Estelle. Di tahun 2018 ini, Kuntilanakkembali dipanggil dengan juru kunci yang sama tetapi melibatkan artis muda Aurelie Moeremans, Fero Walandouw, dan artis-artis cilik lainnya.

Naskah yang digunakan sebagai dasar pengarahan dari Rizal Mantovani ini ditulis oleh Alim Sudio. Dengan rekam jejak Rizal Mantovani dalam mengarahkan film horor, tentu banyak orang yang meragukan performa Kuntilanak sebagai sebuah film utuh. Sebuah prediksi yang kurang menyenangkan ini sayangnya benar-benar terjadi di film Kuntilanak terbaru ini. Jika harus dibandingkan dengan versi sebelumnya, Kuntilanakini tampil kurang sempurna sebagai sebuah film horor.


Film Kuntilanak terbaru ini memang masih menggunakan mitos yang sama. Bahkan, beberapa nama dan ciri-cirinya pun seperti masih menggunakan benang merah film trilogi Kuntilanak sebelumnya. Secara tulisan, Alim Sudio sebenarnya sudah berusaha untuk memberikan penuturan cerita yang runtut di dalam naskahnya. Problematika utama dari Kuntilanak terbaru ini adalah pengarahan dari Rizal Mantovani yang terasa tak matang.

Kuntilanak sebagai sebuah film horor, tak bisa mengeluarkan taringnya secara maksimal. Film ini tak bisa memberikan sensi ngeri yang harusnya ada di dalam sebuah film horor. Hanya saja sebagai sebuah film, Kuntilanak mampu memberikan cara berceritanya yang runtut meskipun harus banting setir ke genre lain. Berbedanya di film Kuntilanak kali ini adalah bagaimana karakter dari artis-artis cilik yang membuat film ini lebih memiliki cita rasa film dengan genre petualangan.


Kuntilanak terbaru ini menceritakan tentang mitos makhluk ini yang datang dari sebuah rumah tak berpenghuni. Rumah tersebut ternyata bekas dari sebuah keluarga yang anaknya pernah menghilang karena diambil oleh Kuntilanak. Cermin tempat Kuntilanak bersarang ini sayangnya berpindah ke rumah seorang Ibu Rumah Tangga bernama Donna (Nena Rosier). Donna hidup sebagai seorang Ibu yang mengadopsi banyak anak.

Cermin tersebut dibawa oleh Glenn (Fero Walandouw), pacar dari Lydia (Aurelie Moeremans) yang tinggal bersama Donna. Ketika Donna pergi ke luar negeri, anak-anak di dalam rumah tersebut ternyata harus berurusan dengan makhluk astral tersebut. Banyak kejadian-kejadian janggal yang terjadi di rumah tersebut. Mereka diganggu oleh Kuntilanakyang berasal dari rumah tersebut. Hingga suatu ketika, anak-anak kecil tersebut berusaha untuk membuktikan mitos tersebut.


Jika memang intensinya untuk mengubah nuansa film terbarunya agar memiliki perbedaan dengan film sebelumnya, Kuntilanaksebenarnya memiliki potensi untuk menjadi berbeda. Bahkan, bisa menjadi sebuah film horor dengan pendekatan yang lebih segar. Tak dapat dipungkiri bahwa Kuntilanak memiliki referensi seperti Super 8, Stranger Things, atau IT yang memadukan genre supernatural dengan petualangan bersama anak kecil. Jangan asal skeptis, karena menyadur referensi seperti ini bukan berarti langsung menduplikasi.

Kuntilanak bisa saja menjadi sebuah sajian film horor yang segar, terlebih dengan banyaknya film horor yang diproduksi akhir-akhir ini. Sayangnya, Rizal Mantovani tak bisa memanfaatkan potensi itu agar bisa tampil maksimal. Naskah dari Alim Sudio memang masih memiliki beberapa penceritaan yang terkesan tumpang tindih. Bermain baik dalam komposisi dramanya, tetapi naskahnya belum bisa mempadu padankan kedua genre yang ada agar bisa melebur satu sama lain.


Tak sepenuhnya salah dalam penulisan naskah, tetapi Rizal Mantovani juga tak bisa menyampaikan kelemahan dalam naskah dengan pengarahannya yang kuat. Rizal Mantovani yang sudah lama terjun dalam mengarahkan sebuah film horor, Kuntilanak tak bisa menjawab kerinduan penonton untuk ditakut-takuti. Sayang, padahal bagaimana sebuah film horor bisa menakut-nakuti penontonnya adalah amunisi yang harusnya dimiliki.

Tak seperti film sebelumnya, Kuntilanakterbaru ini tak bisa mengantarkan mitos tentang makhluk astral ini dengan cara yang lebih otentik seperti film sebelumnya. Cerita tentang budaya sekte pemanggilan Kuntilanak yang tak lagi lebih detil di film ini, membuat Kuntilanakmenjadi sebuah film horor Indonesia yang generik. Pun, Kuntilanak dalam film ini memiliki tata rias yang kurang bisa menakut-nakuti penontonnya. Padahal cara ini bisa jadi salah satu ilusi bagi penontonnya untuk bisa merasa takut dengan makhluk tersebut.


Dengan berbagai film horor yang ada di Indonesia akhir-akhir ini, Kuntilanak memang masih bisa dikategorikan sebagai film yang dibuat dengan layak. Mulai dari tata suara, sinematografi, warna, dan nilai produksi yang masih bisa dinikmati. Juga, usaha film Kuntilanak terbaru ini yang ingin tampil dengan berbeda ini masih menjadi poin menarik di film ini. Sayang, segala potensinya yang bisa mambuat Kuntilanakini akan terasa segar tak bisa tersampaikan dengan baik.

Kamis, 28 Juni 2018

TARGET (2018) REVIEW : Uji Coba Kedua Raditya Dika di Luar Zona Nyaman

TARGET (2018) REVIEW : Uji Coba Kedua Raditya Dika di Luar Zona Nyaman


Raditya Dika bisa dikategorikan berhasil keluar dari zona nyamannya dalam membuat sebuah film lewat film Hangout. Hal ini terbukti lewat raihan penonton Hangoutyang mencapai 2,7 penonton. Dengan rekam jejak seperti ini, tentu saja Raditya Dika akan dipercaya untuk menangani hal-hal serupa untuk proyek selanjutnya. Bersama dengan Soraya Intercine Films, Raditya Dika membuat sebuah proyek dengan genre film yang hampir sama.

Bukan kali pertama pula Raditya Dika bekerjasama dengan Soraya Intercine Films. Proyek terbarunya berjudul Targetini adalah kerjasama ketiga kalinya setelah Single dan The Guys. Target ini disutradarai dan ditulis juga oleh Raditya Dika dengan bintang-bintang yang bertaburan. Mulai dari Willy Dozan hingga Ria Ricis, Targetmembuktikan bahwa film ini tak dikerjakan dengan sembarangan. Raditya Dika ingin sekali membuat Target mencapai semua kalangan usia sebagai penontonnya.

Dengan konsep yang hampir serupa dengan Hangout, penonton mungkin akan merasa skeptis dengan performa Target. Terlebih bagi mereka yang tak begitu menyukai pengarahan Raditya Dika dalam film Hangout. Sayangnya, skeptis penonton mungkin akan berakhir benar terhadap performa Target kali ini. Bagi penonton yang tak terlalu menyukai film Hangout, karya Raditya Dika terbaru ini mungkin harus segera dihindari karena Target tak bisa mengenai target yang ingin dibidik oleh Raditya Dika.


Dengan konsep serupa, ternyata Raditya Dika tak bisa mencoba lagi peruntungannya. Sebagai sebuah film dengan kombinasi genre thriller dan komedi, Target mencapai tujuan dari kedua genre tersebut. Sebagai sebuah film komedi, film ini memiliki amunisi tawa yang sangat minimalis. Hanya senyum kecil di beberapa bagian yang akan menghiasi raut muka penontonnya. Sebagai sebuah film thriller, film ini pun tak bisa menjaga intensitas misterinya dengan baik.

Kesalahan utama dari film Targettentu dari penulisan dan pengarahan yang tak diperhatikan betul oleh Raditya Dika. Sehingga, film Target ini benar-benar terasa sangat terburu-buru untuk tayang di slot film rilis Lebaran untuk memancing jumlah penonton yang cukup besar. Konsep menarik Raditya Dika dalam film Hangout sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi sebuah film dengan performa yang solid. Sayangnya, Target tak memenuhi ekspektasi konsepnya yang sudah besar tersebut.


Film Target sendiri menceritakan tentang para artis yang berperan sebagai dirinya sendiri. Mulai dari Raditya Dika, Cinta Laura, Rommy Rafael, Samuel Rizal, Abdur Arsyad, Hifdzi Khoir, Anggika Bolsterli, dan Willy Dozan. Mereka diundang oleh seorang sutradara misterius yang mengirimi mereka sebuah naskah film berjudul Target. Kedelapan artis tersebut memenuhi undangan syuting misterius tersebut di sebuah bangunan kecil yang tersembunyi.

Setelah sampai di tempat dan mengikuti instruksi yang ada di dalamnya, barulah mereka mengetahui apa yang diinginkan oleh sang sutradara misterius tersebut. Mereka ternyata terjebak dalam sebuah permainan yang mengharuskan mereka bertahan hidup. Permainan ini dibuat oleh seorang Game Master dan direkam untuk dijadikan sebuah film. Bagi mereka yang melanggar dan memaksa keluar dari permainan ini akan diganjar oleh hukuman yang setimpal. Oleh karena itu, mereka harus mengikuti setiap permainan hingga selesai.


Konsep yang dimiliki oleh film Targetini sebenarnya sangat menarik untuk diikuti. Punya banyak misteri-misteri yang disebar sehingga penonton akan berpotensi memiliki rasa penasaran hingga akhir film. Target memang berbeda dengan Hangout, bahkan Raditya Dika memiliki kesempatan untuk melantunkan sindiran terhadap film Hangout sendiri. Sarkastik yang dilakukan oleh Raditya Dika ini memang bagus, sayangnya poin menarik film ini hanya ada segelintir saja.

Sisanya, naskah yang ditulis oleh Raditya Dika ini seperti digarap kurang matang. Karakter-karakter di dalam film ini tak memiliki latar belakang cerita yang kuat. Dampaknya, konflik cerita di dalam film Target ini tak bisa tersampaikan dengan baik. Film Target langsung dibuka dan fokus kepada konflik tentang naskah misterius tersebut. Tak ada pengenalan karakter yang berarti lalu film Target sudah sibuk untuk menjelaskan tentang permainan yang dibuat oleh seorang Game Master tersebut.

Raditya Dika seperti terlena dengan bagaimana dirinya mengemas misteri-misteri tersebut dibanding mengenalkan karakter-karakternya. Padahal, di tengah Raditya Dika berusaha untuk menyampaikan misteri tersebut, ada cerita-cerita yang mengusik masa lalu karakternya. Hal ini tentu akan semakin kuat jika Raditya Dika punya tujuan dalam mengembangkan karakternya. Akhirnya, keberadaan setiap karakter di film ini tak memiliki motivasi yang kuat juga akan membuat penontonnya kebingungan.


Meski Raditya Dika terlalu fokus dengan penyebaran misterinya, film Target tak benar-benar diolah dengan pas. Masih ada misteri-misteri yang disampaikan dengan cara yang canggung, sehingga film Target dengan jelas mempertunjukkan lubang-lubang kecil yang menganggu performanya secara keseluruhan. Pengarahan Raditya Dika yang tak sekuat dalam zona nyamannya, inilah yang tak bisa membaurkan karakter dengan konflik-konfliknya. Sehingga, muncul jarak antara keduanya yang membuat film Target tak bisa memiliki performa yang solid.

Beruntungnya, Target masih memiliki warna dan sinematografi yang cocok untuk filmnya. Begitu pula dengan sound editing dan sound mixing filmnya yang dibuat secara detil. Sehingga, film Target masih dapat dikategorikan sebuah film yang layak untuk dinikmati secara kemasan. Meskipun untuk production value dari rumah produksi sekelas Soraya Intercine Films, film Targetbisa dibilang tak seniat biasanya. Tetapi, apa yang ditampilkan cukup bisa mewakili konsep dari filmnya ini sendiri.


Boleh saja bagi Raditya Dika untuk kembali mengeksplor dirinya keluar dari zona nyaman. Tetapi kenyataannya, Raditya Dika belum bisa mengemas konsep genre thriller komedi ini. Targetbisa menjadi bukti bahwa uji coba kedua Raditya Dika di luar genre favoritnya ini ternyata memiliki performa yang semakin menurun dibanding Hangout. Padahal, ada satu adegan romantis di dalam film Target ini akan membuat penggemarnya rindu Raditya Dika menggarap film yang biasa dia buat sebelumnya.

Rabu, 07 Februari 2018

DILAN 1990 (2018) REVIEW : Kompilasi Rayuan Maut Yang Manisnya Sementara

DILAN 1990 (2018) REVIEW : Kompilasi Rayuan Maut Yang Manisnya Sementara


Menjadi sebuah novel yang laris manis, Dilan 1990 karangan dari Pidi Baiq ini tentu dengan mudah menjadi buah bibir di berbagai kalangan. Banyak hal yang berusaha disampaikan oleh Pidi Baiq lewat bukunya, terutama tentang nostalgia masa-masa putih abu-abu dengan kisah cinta monyetnya. Bukunya pun tak hanya berhenti di seri pertama, tetapi juga memiliki seri lain untuk melengkapi kisah Dilan dan Milea sebagai dua sejoli yang sedang mabuk cinta.

Dengan bekal hal-hal yang sudah menjadi buah bibir, akan dengan mudah bagi buku milik Pidi Baiq ini untuk segera mendapatkan lirikan dari produser untuk diadaptasi menjadi film. Tentu saja, di tahun 2017, film ini dihebohkan lewat pemilihan Iqbaal Ramadhan sebagai Dilan yang dianggap fansnya tidak cocok. Meski begitu, pembuatan film tetap dilaksanakan hingga Januari 2018 film pun dirilis. Film ini disutradarai oleh Fajar Bustomi berkolaborasi dengan sang empunya Dilan yaitu Pidi Baiq. Serta gadis cantik bernama Milea diperankan oleh Vanesha Prescilla sebagai ajang debutnya.

Segmentasinya tentu adalah para remaja yang di masanya sedang berkutat dengan masalah percintaan, perjombloan, dan segala hal yang berbau serupa. Belum lagi, target generasi 90an yang juga ingin merasakan kembali suasana remaja sekolah menengah umum yang bisa dirangkul untuk menonton film Dilan 1990 ini. Hingga, tentu saja film ini berpotensi menjadi sebuah film yang fenomenal dan mendatangkan banyak sekali penonton.


Secara kuantitas hingga hari kesebelas, Dilan 1990 sudah hampir mencapai 4 juta penonton. Lantas, apakah Dilan 1990 ini bisa menjadi sebuah terobosan baru dalam film kisah cinta remaja yang ada? Maka, jawabannya adalah belum bisa. Dilan 1990 tak memberikan sebuah babak penceritaan yang segar bagi penonton remaja maupun penonton generasi 90an. Dengan segala kefenomenalannya, tentu Dilan 1990 masih memiliki potensi yang lebih bisa digali lagi dari performanya saat ini.

Problematika Dilan 1990 sebagai sebuah film adaptasi adalah bagaimana penonton awam yang tak mengenal Dilan 1990 pun tak merasa memiliki urgensi untuk mengetahui siapa Dilan dan Milea. Dilan 1990 ini hanya akan mengindahkan para penggemar bukunya yang sedang menunggu di mana letak kutipan kata-kata favorit mereka di dalam buku untuk siap dikatakan oleh pemainnya. Lantas, Dilan 1990 pun terlalu tenang meskipun sebenarnya dia memiliki konflik yang perlu untuk ditampilkan.


Kisah mereka hanya terpaku tentang bagaimana Milea (Vanesha Prescilla), seorang anak baru di sebuah sekolah menengah umum di Bandung yang sedang berusaha beradaptasi di sana. Hingga sebulan Milea berada di sekolah tersebut, ada sosok tengil yang berusaha keras untuk mendekati dirinya meskipun Milea seharusnya sudah punya kekasih di Jakarta. Dia adalah Dilan, lelaki tengil itu ternyata adalah seorang panglima jendral dari geng motor terkenal di Bandung.

Tak hanya terkenal sebagai panglima jendral sebuah geng motor di Bandung, Dilan pun terkenal sebagai pembuat onar di sekolah. Meski begitu, sikapnya berbeda jika sudah berhadapan dengan sosok cantik Milea. Dengan Milea, keunikan sosok Dilan pun terbongkar. Sifat pembuat onarnya tak lagi terlihat kentara lalu Milea mengenalnya sebagai sosok yang manis. Meskipun sudah punya kekasih, Milea tetap merasakan getaran lain saat bertemu dengan Dilan.

Di sinilah Dilan 1990 berkutat, berusaha menampilkan bagaimana Dilan dan Milea saling bercengkrama, mengalami masa penjajakan sebelum pada akhirnya mereka merasakan debaran asmara. Dilan 1990 hanya sibuk untuk mengeluarkan gombalan-gombalan maut yang kekinian dan relevan dengan remaja zaman sekarang. Dialog-dialognya bukan dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang puitis atau bahkan secara hiperbolis dikatakan sebagai dialog jenius. Unik adalah kata yang pas untuk mewakili dialog-dialog yang ada di film ini


Kekuatan Dilan 1990 hanyalah keunikan dialognya yang mungkin akan berhasil merebut hati saat penempatannya bisa pas. Saat satu jam pertama, Dilan 1990 mengeluarkan segala sinarnya. Menjadi sebuah film remaja yang manis dan menyenangkan dengan segala tingkah laku Dilan dan Milea yang unik. Tetapi, durasi 115 menitnya baru saja diambil setengah, hingga di satu jam berikutnya Dilan 1990 sudah tak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan penontonnya yang sudah gelisah kebosanan.

Permainan kata-kata dari Dilan untuk merayu Milea tak lagi punya makna. Kesan manisnya pun dengan cepat memudar dan membuat penontonnya sudah tak lagi ingin mendengarkan kata-kata manis dari mulut Dilan. Kesan canggung di antara keduanya pun semakin terasa. Dilan dan Milea tak lagi bisa memikat penontonnya seperti saat mereka masih berada di satu jam pertama. Plotnya yang sederhana pun semakin menipis tanpa ada sebuah letupan berarti yang bisa menjaga penontonnya.

Banyak beberapa adegan yang hadir tanpa memiliki arti. Hanya sebuah adegan tak berarti untuk semakin melengkapi durasi. Hal ini berdampak dengan bagaimana Dilan 1990 pada akhirnya sudah tak lagi punya hasrat untuk bisa dikagumi. Sehingga, penyelamat utama dari film ini hanyalah performa secara terpisah dari Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla yang berhasil menghidupkan karakter Dilan dan Milea dengan apik.


Beberapa detil kecil dari ekspresi Iqbaal Ramadhan saat memerankan Dilan ini muncul dengan natural dan dengan mudah mematahkan anggapan penggemarnya yang meremahkan Iqbaal sebagai sosok Dilan. Iqbaal Ramadhan tumbuh menjadi aktor remaja yang sangat menjanjikan setelah debut akting remajanya lewat film Ada Cinta di SMA bisa memukau banyak penontonnya. Meski terkadang ikatannya dengan Vanesha Prescilla masih naik dan turun, tetapi mereka berdua adalah nyawa dari Dilan 1990.

Dengan berbagai kelemahannya, Dilan 1990 mungkin akan memuaskan penggemarnya dan bahkan remaja masa kini yang suka dengan kata-kata rayuan di dalam film ini. Tetapi sayangnya, Dilan 1990 yang sangat mahsyur ini masih jauh untuk bisa menetapkan dirinya sebagai trademark generasi millenial sebagai perwakilan pasangan remaja yang bisa disandingkan dengan Rangga dan Cinta atau bahkan Adit dan Tita. Dilan 1990 hanyalah sebuah kumpulan rayuan gombal yang terlalu berlebihan. Seperti rayuannya, Dilan 1990 hanya memunculkan nuansa manis yang sifatnya sementara.

Minggu, 07 Januari 2018

AYAT-AYAT CINTA 2 (2017) REVIEW : Kisah Fahri Bagian Dua

AYAT-AYAT CINTA 2 (2017) REVIEW : Kisah Fahri Bagian Dua


Pada tahun 2008, Hanung Bramantyo hadir mengisahkan sosok Fahri yang lahir lewat tangan Habiburrahman El-Shirazy lewat novelnya. Kisah lika-liku Fahri mengarungi hidup dan kisah cintanya menjadi sangat fenomenal. Berkat itu, Ayat-Ayat Cinta menjadi salah satu film Indonesia terlaris sepanjang masa dengan raihan 3,5 juta penonton. Pada saat itu pula, lewat Ayat-Ayat Cinta, fenomena film-film bertema religi sangat digandrungi oleh pasaran. Muncul banyak kisah-kisah cinta dengan nuansa islami disuguhkan kepada penontonnya.

Bertahun-tahun setidaknya masih ada beberapa film bertema sama yang masih digandrungi oleh penontonnya. Tetapi, Habiburrahman El-Shirazy menghadirkan kembali kisah tentang Fahri lewat buku keduanya. Dengan dasar kesuksesan kisah dari buku yang pertama, Ayat-Ayat Cinta 2 pada akhirnya mendapatkan kesempatan untuk dijadikan sebuah film layar lebar. Kali ini, Ayat-Ayat Cinta 2diarahkan oleh Guntur Soeharjanto. Fedi Nuril tetap menjadi Fahri, tetapi ada beberapa pergantian pemain di jajaran aktrisnya.

Ayat-Ayat Cinta 2 sudah menjadi salah satu proyek yang sangat dipersiapkan oleh MD Pictures. Beberapa kali MD Pictures sudah mengingatkan calon penontonnya lewat beberapa cara promosi yang menarik. Pun, nama-nama aktris dalam film ini juga tak main-main. Mulai dari Chelsea Islan, Tatjana Saphira, hingga Dewi Sandra ikut meramaikan. Hal ini juga tentu menimbulkan rasa skeptis bagi penontonnya karena cerita apalagi yang ingin disampaikan dalam Ayat-Ayat Cinta 2.


Ayat-Ayat Cinta pertama mungkin menjadi sebuah terobosan baru dalam sinema Indonesia. Tak hanya berusaha membangun sebuah sub genre baru, tetapi juga memberikan sebuah topik yang baru yaitu tentang poligami. Lalu, berbagai macam film-film religi lainnya berusaha memberikan perspektifnya sendiri dengan topik yang sama. Lantas, apa yang membuat Ayat-Ayat Cinta 2memiliki urgensinya untuk hadir dalam perubahan sinema Indonesia yang semakin memiliki keberagaman?

Ayat-Ayat Cinta 2 adalah syiar islam tentang kebaikan dan usaha untuk menjadi perwakilan tentang Islam di dalam salah satu karakternya. Tetapi, bukan berarti ini serta merta menjadi keunggulan dalam Ayat-Ayat Cinta 2dalam presentasinya. Dalam pengarahannya, Guntur Soeharjanto sudah memiliki porsi yang pas. Hanya saja, dasar cerita dalam buku yang ditulis oleh Habiburrahman El-Shirazy inilah yang perlu untuk digarisbawahi dan mendapatkan perhatian lebih. 

 
Kali ini, Ayat-Ayat Cinta 2tetap berfokus kepada sosok yang tak lagi muda bernama Fahri (Fedi Nuril) yang hidup di Edinburgh, Skotlandia. Fahri memang telah menikah, tetapi nasib buruk menimpa sang Istri yang sedang menjadi relawan di sebuah arena perang. Fahri tak lagi menerima kabar dari sang Istri dan menganggap bahwa sang Istri telah tiada. Fahri berusaha melanjutkan hidupnya dengan menjadi seorang dosen dan hidup menjadi sosok yang baik bagi tetangga-tetangganya.

Meskipun, Fahri harus diperlakukan tak baik karena dirinya adalah seorang muslim. Terlebih dari keluarga Keira (Chelsea Islan) yang pernah memiliki hal traumatis dengan para muslim. Tetapi, Fahri tetap berusaha untuk senantiasa berbuat baik dengan para tetangganya. Lalu muncullah Hulya, sepupu dari Aisha yang mendatangi Fahri untuk belajar dan menuntut ilmu di tempat Fahri mengajar. Lalu, Fahri bimbang karena secara diam-diam Fahri mengagumi sosok Hulya.


Ayat-Ayat Cinta 2 memiliki kisah dramatis yang sebenarnya memiliki pengarahan yang sudah cukup. Begitu pula dengan adaptasi naskah yang dilakukan oleh Alim Sudio untuk berusaha memindahkan apa yang ada di novel untuk disampaikan dalam layar lebar. Apa yang dilakukan oleh mereka sudah sesuai dengan porsinya masing-masing. Hanya saja, mungkin ada beberapa minor-minor yang membuat Ayat-Ayat Cinta 2 masih jauh dari kesan Greatest Love Story seperti yang digadang-gadangkan.

Secara keseluruhan, Ayat-Ayat Cinta 2 bukanlah sebuah kisah cinta, ini adalah kisah tentang Fahri. Karakterisasi Fahri dari film pertama pun, sudah digambarkan sebagai sosok laki-laki yang sempurna. Begitu pula yang terjadi di Ayat-Ayat Cinta 2, Fahri semakin dibuat sesempurna mungkin. Hal ini malah menggiringi pemikiran penontonnya untuk menjadikan Fahri sebagai simbol identitas laki-laki baru. Fahri menetapkan sebuah standar baru bagi perempuan untuk memandang laki-laki yang baik buat mereka. Ini tidak salah, tetapi ini adalah fenomena menarik dalam film Ayat-Ayat Cinta 2 ini.

Keseluruhan durasi film yang mencapai 125 menit yang hanya berputar tentang kisah Fahri inilah yang membuat presentasi Ayat-Ayat Cinta 2 tak sempurna seperti Fahri. Plot utama dalam Ayat-Ayat Cinta 2 menjadi sesuatu yang kabur dan tak dapat dimengerti oleh penontonnya. Di 1 jam pertama, Ayat-Ayat Cinta 2 terasa kehilangan jalan untuk masuk dalam plot cerita. Penonton akan meraba plot utama dari film ini karena segala hal yang berada di 1 jam pertama hanya sebuah kisah pengantar yang terlalu diperpanjang.


Penonton sudah terlalu letih untuk meneruskan kisah Fahri yang pada akhirnya menyorot tentang kisah cintanya di satu jam berikutnya. Ayat-Ayat Cinta 2 ini memiliki sebuah subplot cerita misterius yang berusaha ditampilkan di satu jam selanjutnya. Ketika masuk ke dalam subplot tersebut, penonton mungkin hanya sekedar memberikan tanda bahwa dia tahu dengan subplot tersebut. Tak ada reaksi lebih ataupun merasa emotionally attacheddengan apa yang ada di layar. Sehingga, dalam perjalanan cerita selanjutnya, kisahnya pun semakin hambar.

Dengan berbagai pengantar cerita di satu jam pertama, Ayat-Ayat Cinta 2 pun merasa kewalahan untuk mengakhiri cerita-cerita itu. Maka di paruh akhir film, Ayat-Ayat Cinta 2 penuh dengan penyelesaian yang terburu-buru dengan cerita itu. Apalagi di satu poin cerita utama yang seharusnya menjadi titik balik film ini pun tak memiliki rasa emosional yang kuat. Pun, diakhiri begitu ajaib dengan banting setir genre menjadi sebuah film science fiction meskipun pada awalnya tak ada intensi untuk ke sana.


Dengan kisah-kisah ajaibnya dan berbagai fenomena menarik di dalam filnya, Ayat-Ayat Cinta 2 sebenarnya adalah telah menekankan dirinya sebagai sebuah kisah negeri dongeng dari antah berantah. Dalam filmnya, sang sutradara memunculkan intensi tersebut lewat bahasa gambar yang ditampilkan begitu dreamy di satu adegan penting dalam pernikahan. Inilah yang menerangkan bahwa adanya batas dalam Ayat-Ayat Cinta 2dengan realita penontonnya bahwa ini semua adalah kisah yang fiksi dan tak mungkin ditemukan di dunia nyata. Batas inilah sebenarnya yang perlu untuk dipahami oleh penontonnya.

Kamis, 10 Agustus 2017

DESPICABLE ME 3 (2017) REVIEW : Cabang Plot yang Saling Mendistraksi

DESPICABLE ME 3 (2017) REVIEW : Cabang Plot yang Saling Mendistraksi


Film animasi buatan Illumination Pictures ini tak disangka menjadi sleeper hit, tak hanya dalam segi kuantitasnya di Box Office tetapi juga mendapatkan pujian oleh para kritikus. Despicable Me  hadir menjadi sebuah franchise yang sangat menjanjikan, terlebih ketika sidekick karakter di dalam film ini berhasil mencuri semua orang. Dan pada akhirnya, film ini pun dinantikan oleh banyak orang karena ingin menyaksikan tingkah jenaka para karakter sidekick yaitu Minions. 

Yang membuat sekuel kedua dari Despicable Me tak lagi bisa sekuat filmnya yang pertamanya adalah screen-time dari Minions membuat distraksi plot utama filmnya. Tetapi, hal tersebut malah membuat sosok Minions ini semakin memiliki nama dan membuat penontonnya ingin menyaksikan film selanjutnya. Meskipun pada akhirnya Minions memiliki filmnya sendiri, tetapi Illumination Pictures tetap menjadikan kesuksesan filmnya sebagai alasan membuat instalmen ketiga.

Pierre Coffin sebagai pencetus seri ini kembali mengarahkan film ini tetapi dengan rekan kerja yang berbeda. Kyle Balda menjadi pengganti Chris Renaud untuk mendampingi Pierre Coffin dalam mengarahkan seri ketiganya. Despicable Me 3 siap untuk kembali memberikan cerita baru kepada penontonnya, pun dengan para pengisi suara yang masih setia dari seri keduanya. Begitu pula dengan Cinco Paul dan Ken Daurino juga kembali sebagai penulis naskah seri ketiganya. 


Kali ini, Despicable Me 3 difokuskan kepada Gru (Steve Carell) yang sudah tak lagi menjadi seorang penjahat dan bergabung ke Liga Anti-Viillain harus menangkap seorang musuh bernama Baltazhar (Trey Parker). Baltazhar adalah mantan artis cilik yang sangat terobsesi untuk kembali dikenal karena reputasinya di dunia pertelevisian yang semakin lama semakin menurun. Oleh karena itu, Baltazhar merancang sebuah rencana yang bisa membuatnya menguasai dunia.

Gru hampir saja menangkap Baltazhar hingga pada akhirnya gagal. Gru hampir saja menyerah hingga suatu ketika ada sebuah berita yang mengatakan bahwa Gru memiliki saudara kembar. Dru, saudara kembar dari Gru adalah seseorang yang berbanding terbalik dengan Gru. Dia memiliki kehidupan yang mewah dan baik-baik saja. Tetapi, Dru ingin menjadi jahat seperti Gru dulu. Sikap Dru yang ingin seperti Gru membuat Dru terpaksa ikut terlibat dalam menangkap Baltazhar. 


Tak ada yang salah memang apabila Despicable Me memiliki instalmen ketiga. Toh, film ini pun masih dikategorikan sangat menguntungkan sekaligus menghibur penonton dengan jumlah yang masif. Tetapi, formula di setiap instalmen inilah yang perlu diperhatikan agar penonton pun masih bisa merasa dijaga untuk tetap dihibur oleh seri dari Despicable Me ini. Kesalahan dari Despicable Me 2 adalah screen timedari Minions yang mendistraksi cerita, sehingga penonton akan menerima informasi yang terpecah.

Despicable Me 3 berusaha keras agar tak mengulangi kesalahan tersebut dan sayangnya penonton tak bisa mendapatkan sebuah penceritaan yang kuat. Kesalahan di dalam Despicable Me 3 ini adalah bagaimana Kyle Balda dan Pierre Coffin tak bisa menyatukan ritme dua plot cerita yang menjadi poin penting di dalam film ini. Informasi yang diberikan di dalam film ini pun banyak, sehingga terasa bahwa Despicable Me 3 dipaksa untuk ada.

Dosis kelucuan di dalam Despicable Me 3 pun tak bisa memiliki euphoria yang besar seperti yang mereka lakukan di kedua instalment sebelumnya. Minions tetap hadir memberikan sedikit kesegaran di dalam plot ceritanya yang kering dan para Minions tahu tempat mereka yang hanya sekedar sidekick di seri Despicable Me ini. Hal itu memang bagus, tetapi tak diimbangi dengan bagaimana Kyle Balda serta Pierre Coffin berusaha mengarahkan filmnya yang sudah keluar jalur ritmenya. 


Yang terjadi adalah subplot tersebut berjalan sendiri-sendiri layakanya dua film yang berusaha digabungkan jadi satu. Keduanya seperti sedang mengarahkan film mereka sendiri-sendiri sehingga di hasil akhirnya mereka baru menggabungkannya menjadi satu film yang sama. Ketika penonton berusaha memahami problematika Gru dan Baltazhar, penonton diberi informasi tentang bagaimana plot cerita antara Gru dan Dru. Dampaknya, penonton akan melupakan bagaimana plot Gru dan Baltazhar ini seharusnya juga perlu diselesaikan.

Sehingga, ketika Despicable Me 3 berusaha menyelesaikan plot cerita tentang Gru dan Baltazhar, penonton sudah merasa lelah terlebih dahulu karena disibukkan dengan plot cerita Gru dan Dru. Belum lagi ada beberapa cabang plot lain dengan Minions yang juga semakin mendistraksi bagaimana performa instalmen ketiganya ini. Selain itu, hilangnya kesinambungan atau korelasi antara setiap cabang cerita film ini yang membuat penontonnya tak begitu bisa menikmati Despicable Me 3 ini.

Despicable Me 3 tak memiliki pengalaman sinematik layaknya kedua instalmen sebelumnya. Dengan plot cerita yang dibuat begitu asal, penonton hanya merasakan sebuah serial animasi di hari minggu pagi yang biasa mereka tonton di televisi. Tetapi, serial animasi tersebut sedang melakukan pertunjukkan spesial yang membuatnya harus memperpanjang durasinya hingga 89 menit. Menonton Despicable Me 3 pun tak bisa memberikan efek apapun setelahnya selain menemani para penonton anak-anak yang memang menjadi target segmentasinya. 


Oleh karena itu, Despicable Me 3 ini memang tak sepenuhnya gagal dalam melakukan misinya karena tujuan utamanya untuk menyenangkan segmentasinya masih saja berhasil. Tetapi, Despicable Me 3 tak bisa memberikan sebuah hiburan keluarga instan yang bisa dinikmati oleh segala usia. Pengarahan dari Kyle Balda dan Pierre Coffin yang sangat minimalis ini membuat film ini begitu lemah dan terasa panjang. Distraksi kali ini bukan muncul dari para Minions, tetapi bagaimana setiap cabang cerita di dalam film ini tak bisa saling berkompromi agar dapat memunculkan sebuah kombinasi yang menarik. Despicable Me 3 adalah sebuah instalmen yang sangat lemah dibanding dua film sebelumnya.

Senin, 03 Juli 2017

JAILANGKUNG (2017) REVIEW : Mitos Hantu dengan Wajah Baru yang Minim
Eksplorasi

JAILANGKUNG (2017) REVIEW : Mitos Hantu dengan Wajah Baru yang Minim Eksplorasi


Mitos tentang sosok tak kasat mata yang dipanggil dengan mantra “datang tak dijemput, pulang tak diantar”ini kembali menghantui penontonnya. Film tentang hantu legendaris ini pernah ada dan mewarnai perfilman Indonesia di tahun 2001 sekaligus menjadi penanda bangkitnya film Indonesia kala itu. Sehingga, sosok hantu ini sudah menjadi sebuah brand yang akan dengan mudah dikonsumsi dan mendapat kepercayaan dari penontonnya.

Sosok hantu legendaris ini kembali ditangani oleh sutradara yang pernah menangani sosok ini di tahun 2001 dengan rejenuvasi nama menjadi Jailangkung sesuai dengan mitos yang ada. Tetapi, mantra yang digunakan dalam ritualnya kali ini pun sudah berubah. “Datang Gendong, Pulang Bopong” menjadi mantra baru untuk memanggil makhluk tak kasat mata ini. Jose Purnomo dan Rizal Mantovani diakuisisi oleh Screenplay Films bersama dengan Legacy Pictures untuk mengarahkan Jailangkung yang dirilis di bulan lebaran 2017 ini.

Selain rejuvenasi nama dari Jelangkung ke Jailangkung, proyek film ini juga memakai nama-nama baru di perfilman Indonesia yang sekaligus memiliki  potensi agar sukses. Jefri Nichol dan Amanda Rawles menjadi pasanan di dalam film yang terbukti mampu mendatangkan penonton lewat Dear Nathan. Formula itu pun digunakan di dalam film dengan genre yang berbeda. Bersama dengan Baskoro Adi Wuryanto, Jose Purnomo dan Rizal Mantovani berusaha menghidupkan lagi mitos hantu legendaris ini untuk disajikan kepada penontonnya. 


Dengan kembalinya dua sutradara yang  berhasil menakut-nakuti penontonnya lewat film Jelangkung di tahun 2001, tentu penonton berusaha memiliki harapan terhadap versi terbarunya. Calon penonton tentu masih mengharapkan bagaimana dua sutradara ini memiliki kemagisannya lagi untuk sekali lagi dapat menghantui penontonnya dengan mitos yang sama. Nyatanya, Jailangkungmemang memiliki kekuatan yang sangat minimalis. Jailangkung menitikberatkan kekuatannya pada nilai produksi yang menunjukkan bahwa film ini tak dibuat sembarangan.

Jailangkung memiliki berbagai macam kekurangan yang perlu diperhatikan dalam mengarahkan dan menuturkan ceritanya. Meski Jefri Nichol, Amanda Rawles, Hannah Al Rashid, atau pun Lukman Sardi berusaha untuk memberikan performa terbaiknya, tak bisa dipungkiri bahwa Jailangkung secara tertulis dibangun begitu lemah. Jailangkungkebingungan dengan apa yang berusaha disampaikan secara visual. Sehingga, penonton pun akan merasakan banyak sekali pertanyaan yang tak terjawab. 


Jailangkung langsung saja dimulai dengan bagaimana Bella (Amanda Rawles) yang sedang berada di rumah sakit menemui ayahnya (Lukman Sardi) yang sedang koma. Bella dan juga kakaknya Angel (Hannah Al-Rashid) berusaha untuk mencari tahu penyebab ayahnya yang tiba-tiba koma dan tak sadarkan diri begitu lama. Informasi pertama yang mereka dapatkan adalah sang Ayah, Ferdi memiliki sebuah rumah lain tempat dia ditemukan dalam kondisi tak sadarkan diri.

Dengan adanya informasi tersebut, Bella berusaha mencari tahu seperti apa di sana. Bella yang putus asa secara tak sengaja mendengar sebuah penjelasan dari Rama (Jefri Nichol) yang membahas tentang mitos-mitos tentang dunia astral. Rama berusaha mencari tahu penyebab dari komanya ayah Bella dan memang ditemukan sebuah fakta bahwa Ferdi, ayah Bella, bermain Jailangkung di area rumah tersebut. Dan sekarang, arwah Ferdi dibawa oleh makhluk halus sehingga dia tak sadarkan diri.

Konflik yang digunakan di dalam film Jailangkung ini sebenarnya bukan lagi hal yang baru di dalam film-film dengan genre serupa. Jailangkungtetap diisi dengan plot cerita yang generik di dalam film horor, tetapi hal itu pula ditambahi dengan keklisean dialog khas film-film milik Screenplay lainnya. Sebenarnya Jailangkung berusaha memberikan mitos baru tentang makhluk tak kasat mata yang secara tak langsung terpanggil di dalam ritualnya. Tetapi, latar belakang cerita dan bagaimana konfliknya terbangun tetap tak bisa dipungkiri bahwa Jailangkung memiliki sesuatu yang generik. 


Meski dengan sesuatu yang generik, Jailangkungseharusnya bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang dapat dinikmati. Sayangnya, konflik yang generik dan lurus-lurus saja itu tampil dengan terbata-bata. Plot cerita yang seharusnya dapat diikuti begitu saja oleh penontonnya, Jailangkung malah membuatnya begitu rumit tetapi tanpa diarahkan dengan teliti. Sehingga, hal itu berdampak pada performa Jailangkung yang terpisah-pisah dalam penuturannya.

Transisi plot cerita dalam Jailangkungini tak bisa berjalan dengan baik. Konfilk yang muncul terlalu awal di dalam film ini membuat penonton bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Tetapi penjelasan itu tak dibahas dengan detil, hanya muncul sedikit informasi yang membuat penonton pada akhirnya meraba apa yang berusaha disampaikan oleh Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. Permasalahan yang belum selesai dibahas ini masih ditambahi pula dengan cabang cerita yang lain.

Alhasil, dengan durasi yang hanya berkisar 86 menit, penceritaannya terbata-bata tetapi berusaha terlihat komplikasi. Hal itu mempengaruhi penyelesaian dari film ini sendiri yang muncul tak rapi. Penonton kesusahan untuk mendapatkan afirmasi dengan apa yang berusaha diselesaikan oleh para karakternya. Ada rasa ketidakpuasan yang muncul saat film ini berakhir. Penonton merasa butuh penjelasan selanjutnya yang lebih rinci agar penonton mengerti apa yang dimau oleh dua sutradara film Jailangkungini.  Mungkin ada niatan dari dua sutradaranya untuk hadir menyapa penontonnya di seri kedua. Sehingga, film Jailangkung ini hanya berusaha membangun set-up dunia horor yang baru. 


Memang, performa dari para aktor dan aktrisnya berusaha memberikan sesuatu yang terbaik untuk penontonnya di dalam film Jailangkung. Tetapi, hal tersebut tetap tak dapat menutupi celah bagaimana Jailangkung masih belum maksimal dalam pengarahan dan penulisan skenarionya. Sehingga, Jailangkung memang masih belum terlalu maksimal dalam performa isinya. Tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa Jailangkungmemiliki performa teknis yang digarap tak sembarangan. Gambar dan tata produksi dalam film Jailangkung ini tak memiliki kesan asal-asalan.

Jailangkung memang akan dapat membawa kuantitas raihan penonton dengan nilai yang besar saat diedarkan. Tetapi, kuantitas tersebut tak memiliki relevansi dengan kualitas dari Jailangkung yang belum benar-benar maksimal oleh Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. Masih banyak kekurangan-kekurangan yang perlu untuk diperbaiki apabila memutuskan untuk memiliki seri selanjutnya. Pengarahan yang belum maksimal serta cerita yang masih belum dimatangkan lagi menjadi problematika utama dalam performa Jailangkung sebagai sebuah film. Meski dengan plotnya yang generik, film ini masih terbata-bata dalam menuturkan konfliknya. Dampaknya, ada kesan buru-buru serta penjelasan yang belum tersampaikan dengan maksimal dan hal tersebut tak dapat memuaskan penontonnya.