Tampilkan postingan dengan label Despicable Me 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Despicable Me 3. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Agustus 2017

DESPICABLE ME 3 (2017) REVIEW : Cabang Plot yang Saling Mendistraksi

DESPICABLE ME 3 (2017) REVIEW : Cabang Plot yang Saling Mendistraksi


Film animasi buatan Illumination Pictures ini tak disangka menjadi sleeper hit, tak hanya dalam segi kuantitasnya di Box Office tetapi juga mendapatkan pujian oleh para kritikus. Despicable Me  hadir menjadi sebuah franchise yang sangat menjanjikan, terlebih ketika sidekick karakter di dalam film ini berhasil mencuri semua orang. Dan pada akhirnya, film ini pun dinantikan oleh banyak orang karena ingin menyaksikan tingkah jenaka para karakter sidekick yaitu Minions. 

Yang membuat sekuel kedua dari Despicable Me tak lagi bisa sekuat filmnya yang pertamanya adalah screen-time dari Minions membuat distraksi plot utama filmnya. Tetapi, hal tersebut malah membuat sosok Minions ini semakin memiliki nama dan membuat penontonnya ingin menyaksikan film selanjutnya. Meskipun pada akhirnya Minions memiliki filmnya sendiri, tetapi Illumination Pictures tetap menjadikan kesuksesan filmnya sebagai alasan membuat instalmen ketiga.

Pierre Coffin sebagai pencetus seri ini kembali mengarahkan film ini tetapi dengan rekan kerja yang berbeda. Kyle Balda menjadi pengganti Chris Renaud untuk mendampingi Pierre Coffin dalam mengarahkan seri ketiganya. Despicable Me 3 siap untuk kembali memberikan cerita baru kepada penontonnya, pun dengan para pengisi suara yang masih setia dari seri keduanya. Begitu pula dengan Cinco Paul dan Ken Daurino juga kembali sebagai penulis naskah seri ketiganya. 


Kali ini, Despicable Me 3 difokuskan kepada Gru (Steve Carell) yang sudah tak lagi menjadi seorang penjahat dan bergabung ke Liga Anti-Viillain harus menangkap seorang musuh bernama Baltazhar (Trey Parker). Baltazhar adalah mantan artis cilik yang sangat terobsesi untuk kembali dikenal karena reputasinya di dunia pertelevisian yang semakin lama semakin menurun. Oleh karena itu, Baltazhar merancang sebuah rencana yang bisa membuatnya menguasai dunia.

Gru hampir saja menangkap Baltazhar hingga pada akhirnya gagal. Gru hampir saja menyerah hingga suatu ketika ada sebuah berita yang mengatakan bahwa Gru memiliki saudara kembar. Dru, saudara kembar dari Gru adalah seseorang yang berbanding terbalik dengan Gru. Dia memiliki kehidupan yang mewah dan baik-baik saja. Tetapi, Dru ingin menjadi jahat seperti Gru dulu. Sikap Dru yang ingin seperti Gru membuat Dru terpaksa ikut terlibat dalam menangkap Baltazhar. 


Tak ada yang salah memang apabila Despicable Me memiliki instalmen ketiga. Toh, film ini pun masih dikategorikan sangat menguntungkan sekaligus menghibur penonton dengan jumlah yang masif. Tetapi, formula di setiap instalmen inilah yang perlu diperhatikan agar penonton pun masih bisa merasa dijaga untuk tetap dihibur oleh seri dari Despicable Me ini. Kesalahan dari Despicable Me 2 adalah screen timedari Minions yang mendistraksi cerita, sehingga penonton akan menerima informasi yang terpecah.

Despicable Me 3 berusaha keras agar tak mengulangi kesalahan tersebut dan sayangnya penonton tak bisa mendapatkan sebuah penceritaan yang kuat. Kesalahan di dalam Despicable Me 3 ini adalah bagaimana Kyle Balda dan Pierre Coffin tak bisa menyatukan ritme dua plot cerita yang menjadi poin penting di dalam film ini. Informasi yang diberikan di dalam film ini pun banyak, sehingga terasa bahwa Despicable Me 3 dipaksa untuk ada.

Dosis kelucuan di dalam Despicable Me 3 pun tak bisa memiliki euphoria yang besar seperti yang mereka lakukan di kedua instalment sebelumnya. Minions tetap hadir memberikan sedikit kesegaran di dalam plot ceritanya yang kering dan para Minions tahu tempat mereka yang hanya sekedar sidekick di seri Despicable Me ini. Hal itu memang bagus, tetapi tak diimbangi dengan bagaimana Kyle Balda serta Pierre Coffin berusaha mengarahkan filmnya yang sudah keluar jalur ritmenya. 


Yang terjadi adalah subplot tersebut berjalan sendiri-sendiri layakanya dua film yang berusaha digabungkan jadi satu. Keduanya seperti sedang mengarahkan film mereka sendiri-sendiri sehingga di hasil akhirnya mereka baru menggabungkannya menjadi satu film yang sama. Ketika penonton berusaha memahami problematika Gru dan Baltazhar, penonton diberi informasi tentang bagaimana plot cerita antara Gru dan Dru. Dampaknya, penonton akan melupakan bagaimana plot Gru dan Baltazhar ini seharusnya juga perlu diselesaikan.

Sehingga, ketika Despicable Me 3 berusaha menyelesaikan plot cerita tentang Gru dan Baltazhar, penonton sudah merasa lelah terlebih dahulu karena disibukkan dengan plot cerita Gru dan Dru. Belum lagi ada beberapa cabang plot lain dengan Minions yang juga semakin mendistraksi bagaimana performa instalmen ketiganya ini. Selain itu, hilangnya kesinambungan atau korelasi antara setiap cabang cerita film ini yang membuat penontonnya tak begitu bisa menikmati Despicable Me 3 ini.

Despicable Me 3 tak memiliki pengalaman sinematik layaknya kedua instalmen sebelumnya. Dengan plot cerita yang dibuat begitu asal, penonton hanya merasakan sebuah serial animasi di hari minggu pagi yang biasa mereka tonton di televisi. Tetapi, serial animasi tersebut sedang melakukan pertunjukkan spesial yang membuatnya harus memperpanjang durasinya hingga 89 menit. Menonton Despicable Me 3 pun tak bisa memberikan efek apapun setelahnya selain menemani para penonton anak-anak yang memang menjadi target segmentasinya. 


Oleh karena itu, Despicable Me 3 ini memang tak sepenuhnya gagal dalam melakukan misinya karena tujuan utamanya untuk menyenangkan segmentasinya masih saja berhasil. Tetapi, Despicable Me 3 tak bisa memberikan sebuah hiburan keluarga instan yang bisa dinikmati oleh segala usia. Pengarahan dari Kyle Balda dan Pierre Coffin yang sangat minimalis ini membuat film ini begitu lemah dan terasa panjang. Distraksi kali ini bukan muncul dari para Minions, tetapi bagaimana setiap cabang cerita di dalam film ini tak bisa saling berkompromi agar dapat memunculkan sebuah kombinasi yang menarik. Despicable Me 3 adalah sebuah instalmen yang sangat lemah dibanding dua film sebelumnya.

Selasa, 11 Juli 2017

REVIEW : DESPICABLE ME 3

REVIEW : DESPICABLE ME 3


“Face it, Gru. Villainy is in your blood!” 

Saat ini, siapa sih yang tidak mengenal serombongan makhluk cilik berwarna kuning penggemar pisang bernama Minions? Semenjak diperkenalkan pertama kali lewat Despicable Me (2010), popularitasnya langsung membumbung tinggi sampai-sampai studio animasi yang mencetuskannya, Illumination Entertainment, merasa perlu untuk menggunakannya sebagai logo studio saking ikoniknya dan mempersilahkan krucil-krucil menggemaskan nan menyebalkan ini untuk berlaga di film solo perdana mereka, Minions (2015). Meski respon dari para kritikus kurang begitu baik, khalayak ramai masih menyambutnya dengan amat antusias yang terbukti lewat torehan dollar mencapai $1 miliar dari peredaran seluruh dunia dan penjualan merchandise yang laris manis. Menilik betapa Minion masih menjadi aset menguntungkan bagi studio, maka tidak tanggung-tanggung dua judul dalam franchise Despicable Me pun dipersiapkan; pertama, jilid ketiga dari Despicable Me (2017), dan kedua, sekuel untuk Minions (2020). Masih mempertahankan tim yang sama dengan pendahulu, Despicable Me 3 dilepas sembari berharap-harap cemas film dapat mengulangi kesuksesan instalmen-instalmen sebelumnya dan terlepas dari kutukan seri ketiga dalam suatu trilogi yang umumnya mengalami kemerosotan kualitas maupun kuantitas. Mampukah? 

Dalam Despicable Me 3, Gru (disuarakan oleh Steve Carell) yang kini telah menikahi rekannya dalam Liga Anti Penjahat, Lucy (Kristen Wiig), ditugaskan untuk menggagalkan aksi pencurian berlian dari seorang mantan aktor cilik era 80-an yang bertransformasi menjadi penjahat berbahaya, Balthazar Bratt (Trey Parker). Ketidakberhasilan Grucy – akronim untuk Gru dan Lucy – dalam menghentikan sepak terjang Balthazar berujung pada pemecatan. Di tengah upaya mencerna kenyataan yang baru saja dihadapinya, Gru dikejutkan oleh datangnya berita bahwa sebagian besar Minion enggan mengabdi lagi padanya, lalu ayah kandung yang tidak pernah ditemuinya telah berpulang dan dia memiliki saudara kembar bernama Dru. Ditemani oleh Lucy bersama dengan ketiga putri ciliknya; Margo (Miranda Cosgrove), Edith (Dana Gaier), dan Agnes (Nev Scharrel), serta dua Minion yang masih setia kepadanya, Gru pun bertolak ke Freedonia demi menemui saudara kembarnya. Kehadiran Gru disambut gegap gempita oleh Dru yang berharap dapat memperoleh pelatihan untuk menjadi supervillain dari Gru. Tidak ingin mengecewakan Dru, Gru yang sejatinya telah insyaf pun mengajaknya terlibat dalam misi merebut kembali berlian dari markas Balthazar guna menyelamatkan pekerjaannya – sekaligus dunia, tentu saja – yang dikamuflasekan olehnya seolah-olah ini adalah misi pencurian dua penjahat berbahaya. 


Menapaki seri ketiga, nyatanya franchise Despicable Me mengalami apa yang dikhawatirkan banyak pihak: pesona yang mengendur. Apabila disandingkan dengan dua jilid awal, daya pikatnya telah mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebabnya adalah jalinan pengisahan yang terlalu banyak mau. Ketimbang menempatkan fokus cerita sebatas pada pengejaran Balthazar, si pembuat film turut memunculkan cabang-cabang plot lain yang mengulik soal pertemuan Gru bersama saudara kembarnya, Minions yang membangkang dari Gru lalu berkelana dengan harapan dapat menemukan majikan baru, Agnes yang mempercayai bahwa ada unicorn di hutan Freedonia, sampai upaya Lucy untuk menyesuaikan diri menjadi seorang ibu yang baik bagi ketiga putrinya. Terasa saling tumpang tindih, penuh sesak dan berdampak pada sebagian besar subplot yang terhidang kurang matang ke penonton. Tahu-tahu sudah selesai begitu saja tanpa meninggalkan kesan lebih mendalam. Padahal subplot soal Lucy sebagai ibu baru berpotensi memberi sentuhan hangat pada film yang sekali ini urung hadir demi memberikan ruang untuk kegilaan demi kegilaan yang rasa-rasanya memang diingini sebagian besar penonton – utamanya penonton cilik. Bahkan sisi kebapakan Gru yang biasanya memperoleh porsi tersendiri pun agak dikesampingkan dan hanya menyisakan momen berkesan seperti Gru memberi kecupan selamat tidur pada si bungsu Agnes di ranjang tinggi yang cukup manis. 

Berita baik dari agak berkurangnya sentuhan emosional dalam Despicable Me 3 adalah duo Pierre Coffin dan Kyle Balda menggenjot lawakannya. Memang tidak semuanya mengenai sasaran, banyak pula yang berakhir garing dan mengesalkan terutama di bagian Dru. Namun ketika mencapai yang diingini, bisa benar-benar lucu. Kelucuan paling menonjok dalam film dipersembahkan oleh siapa lagi kalau bukan para Minion. Keputusan tepat mereduksi jatah tampil makhluk-makhluk kuning ini karena justru memperkuat kerinduan sekaligus mengurangi kejengkelan kita pada mereka. Sekalinya Minion muncul, derai-derai tawa terdengar riuh menggema di gedung bioskop semacam ditampakkan dalam adegan di penjara yang menggelikan dan kompetisi menyanyi yang berujung kacau. Disamping mereka, Gru dan Balthazar ikut berkontribusi agar unsur hiburan di Despicable Me 3 terjaga konstan. Lewat sosok Balthazar yang sayangnya kurang memperoleh penggalian karakter ini, penonton mendapatkan banyolan dengan referensi budaya populer cukup pekat yang sebagian besar diantaranya berasal dari era 1980-an. Iringan lagu-lagu legendaris dari Michael Jackson, Madonna, a-ha, sampai Olivia Newton John membantu menginjeksikan sisi fun pada film yang gagal diangkat oleh tembang-tembang anyar gubahan Pharrell Williams yang sekalipun enak buat dinikmati namun mudah dilupakan. Ya, enak dinikmati namun mudah dilupakan seperti halnya Despicable Me 3 itu sendiri.

Acceptable (3/5)