Tampilkan postingan dengan label Spain. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Spain. Tampilkan semua postingan

Rabu, 07 Juni 2017

REVIEW : MINE

REVIEW : MINE


“My next step will be my last.” 

Coba bayangkan dirimu berada dalam situasi semacam ini: tersesat di padang gurun tanpa membawa persediaan hidup mencukupi, lalu tanpa sengaja menginjak sesuatu yang besar kemungkinan adalah sebuah ranjau. Apa yang akan kamu lakukan? Memutuskan berdiam diri hingga batas waktu tertentu seraya menunggu bala bantuan yang mungkin saja tidak akan pernah datang karena lokasimu amat terpencil dan berada di sekitar area konflik atau nekat memutuskan untuk melangkah dengan resiko akan kehilangan anggota tubuh tertentu? Situasi ini, kemudian pertanyaan-pertanyaan yang melanjutinya merupakan gambaran penceritaan secara garis besar dari film debut penyutradaraan duo Fabio Guaglione dan Fabio Resinaro (memakai nama panggung Fabio & Fabio), Mine, yang promonya mengisyaratkan akan berada di jalur survival thriller. Hanya saja, berbeda dengan film-film yang mempunyai pokok persoalan serupa mengenai bertahan hidup di alam liar semacam 127 Hours (2010), Buried (2010), hingga paling anyar The Shallows (2016), Mine tidak semata-mata berceloteh mengenai upaya sang protagonis untuk bertahan hidup. Si pembuat film turut sibuk menyisipinya dengan muatan filosofis yang membicarakan tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan. 

Karakter sentral dalam Mine adalah seorang marinir asal Amerika Serikat bernama Mike Stevens (Armie Hammer). Bersama rekannya, Tommy Madison (Tom Cullen), Mike ditugaskan untuk menjalani misi di padang gurun yakni membunuh pemimpin dari sebuah kelompok ekstrimis di wilayah Afrika Utara. Pertentangan batin lantas menyergap Mike begitu mendapati bahwa targetnya tengah mengantarkan putranya ke tengah gurun guna menjalani prosesi pernikahan. Keragu-raguan untuk melesatkan tembakan berujung pada gagalnya misi yang membuat posisi keduanya terdesak. Guna melarikan diri dari kejaran antek-antek si target dan menjumpai bala bantuan yang konon akan dikirimkan ke desa terdekat, Mike dan Tommy pun melakoni perjalanan selama berjam-jam melintasi padang gurun. Perjalanan ini mengantarkan mereka menuju ke sebuah area yang ditanami ranjau darat. Mengabaikan peringatan karena menganggap ranjau telah berada di sana selama puluhan tahun dan tak lagi berfungsi, ada harga yang harus mereka bayar mahal. Tommy kehilangan kedua kakinya usai ranjau yang diinjaknya meledak seketika, sementara Mike yang sedikit lebih beruntung, harus bertahan di posisinya sampai batas waktu tertentu apabila tidak ingin ranjau di bawah kakinya meluluhlantakkan tubuhnya seperti terjadi pada rekannya.


Mesti diakui, Mine memulai langkah awalnya secara meyakinkan. Adegan menanti datangnya sang buron yang dilanjut kegamangan hati Mike antara ‘menembak atau tidak menembak’ dikonstruksi oleh Fabio & Fabio dengan tingkatan intensitas cukup tinggi dan laju penceritaan yang melesat cepat. Meski kita mengetahui ujungnya – well, kegagalan misi adalah pemantik munculnya rentetan konflik di film dan telah pula dijabarkan di sinopsis – tetap saja muncul sensasi berdebar-debar kala menanti keputusan Mike lantaran was-was pula kalau-kalau keberadaan kedua marinir ini diketahui oleh musuh. Ketegangan yang terbangun dengan baik di adegan pembuka ini lantas berlanjut saat penonton digiring memasuki area penuh ranjau. Detik-detik jelang meledaknya ranjau pertama akan membuatmu mencengkram erat kursi bioskop, begitu pula menit-menit selepasnya tatkala sang karakter sentral mencoba untuk menyesuaikan diri dengan pijakan beserta ‘lingkungan barunya’. Hingga titik ini, Mine masih berada di lajur seperti tersirat dari materi promosinya: survival thriller. Kita melihat Mike berjibaku untuk mendapatkan radio yang posisinya beberapa senti di depannya untuk menghubungi markas yang malah memberi jawaban tak memuaskan, bertahan dari gempuran badai pasir, hingga meminum air seninya sendiri akibat kehabisan stok air. 

Seiring dengan hadirnya karakter lain tanpa nama (Clint Dyer) yang berasal dari desa sekitar, nada pengisahan Mine perlahan tapi pasti mulai beralih. Kilasan-kilasan masa lalu yang bercampur dengan halusinasi datang silih berganti untuk mengenalkan kita pada sosok Mike. Dari sini, film menjelma bak pedang bermata dua. Bagi penonton yang tidak keberatan mendengar lontaran dialog filosofis untuk kemudian diajak berkontemplasi (keengganan Mike memindahkan kaki dari pijakannya adalah metafora bagi ketidakberanian sang protagonis untuk mengambil resiko demi melanjutkan hidup), maka sisa durasi Mine tidak akan kesulitan mencuri perhatianmu. Namun jika pengharapanmu terhadap Mine adalah film ini mengikuti pola pengisahan dari Buried atau The Shallows (which is, bukan sesuatu yang salah), sisa durasi dari film berlangsung kurang mengenakkan. Intensitas menurun drastis, laju mengalun pelan, dan kilasan masa lalu tidak cukup menjerat. Apabila ada jeratan, itu berasal dari performa gemilang yang dipersembahkan oleh Armie Hammer. Kita bisa mendeteksi kegamangannya, ketakutannya, hingga kemarahannya sehingga paling tidak kita peduli terhadap nasib karakter yang dimainkannya. Seandainya keadilan benar-benar ada di dunia ini, rasa-rasanya mudah bagi Armie Hammer untuk bertransformasi menjadi aktor besar dalam beberapa tahun ke depan mengingat bakat yang dipunyainya.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Jumat, 19 Mei 2017

REVIEW : THE INVISIBLE GUEST (CONTRATIEMPO)

REVIEW : THE INVISIBLE GUEST (CONTRATIEMPO)


“Focus on the details. They’ve always been in front of our eyes, but you have to analyze them from a different perspective.” 

Terakhir kali dibuat terperangah oleh tontonan thriller yakni dua tahun silam tatkala menyimak film asal India yang dibintangi Ajay Devgan, Drishyam. Mengetengahkan topik pembicaraan utama mengenai “seberapa jauh yang bisa dilakukan orang tua untuk menyelamatkan keluarganya”, film tersebut berhasil menjerat atensi sedari awal mula dengan tuturan berintensitas tinggi yang tergelar rapi dan pada akhirnya bikin geleng-geleng kepala saking kagumnya terhadap kapabilitas si pembuat film dalam mengkreasi suguhan mencekam sarat kejutan ini. Kepuasan tiada tara yang diperoleh usai menyimak Drishyam, lantas menimbulkan ekspektasi tinggi kepada gelaran sejenis yang muncul selepasnya. Tak ada satupun yang mampu menandingi apalagi melampaui sepanjang tahun 2016 sampai kemudian sutradara dari Spanyol, Oriol Paulo (The Body), mempersembahkan karya terbarunya yang amat mencengkram dan merupakan perwujudan dari gugatannya terkait keberpihakan hukum kepada manusia-manusia kaya bertajuk The Invisible Guest (atau dalam judul asli, Contratiempo) di kuartal pertama 2017. Jika Drishyam menaruh fokus penceritaan pada upaya seorang ayah dalam menjauhkan sang putri dari jeratan hukum, maka The Invisible Guest berkutat pada upaya seorang pria kaya dalam menyelamatkan dirinya sendiri berbekal kekuasaan yang dipunyainya. 

Si pria kaya dalam The Invisible Guest adalah Adrian Doria (Mario Casas), pebisnis muda yang karirnya tengah meroket tajam dan mempunyai keluaga kecil yang menyayanginya. Kesuksesan yang telah direngkuhnya di usia relatif muda ini sayangnya tak jua membuatnya puas hingga Adrian memutuskan menjalin hubungan gelap dengan seorang fotografer fashion, Laura Vidal (Barbara Lennie). Masalah besar lantas muncul dalam kehidupan Adrian ketika Laura ditemukan tewas terbunuh di sebuah kamar hotel yang tertutup rapat. Mengingat pengakuan dari para saksi menyebut tidak ada orang lain yang meninggalkan kamar selepas kegaduhan terdengar, maka secara otomatis Adrian yang tengah berada di TKP ditetapkan sebagai tersangka. Guna membebaskan diri sekaligus membersihkan namanya, Adrian yang menyatakan dirinya tidak bersalah pun meminta bantuan kepada pengacara handal, Felix (Francesc Orella), yang lantas merekrut pula seorang ahli dengan spesialisasi dalam bidang ‘witness preparation’, Virginia Goodman (Ana Wagener), untuk mempersiapkan Adrian jelang pengadilan baru yang konon kabarnya melibatkan saksi misterius dari pihak jaksa penuntut. Sesi persiapan antara Adrian dengan Virginia yang diperkirakan akan berlangsung lancar tanpa hambatan nyatanya justru berjalan rumit tatkala terungkap satu demi satu fakta yang selama ini sengaja dipelintir demi menyelamatkan nama baik sang tersangka. 

Tanpa banyak berbasa-basi, Oriol Paulo langsung mempertemukan penonton dengan Virginia dan membawa kita memasuki apartemen Adrian guna mengikuti sesi persiapan jelang persidangan. Adrian lantas menarasikan mengenai apa yang menurutnya terjadi di kamar hotel sebelum Laura ditemukan dalam kondisi telah meregang nyawa oleh pihak berwajib. Virginia yang pekerjaannya menuntut dia untuk senantiasa memperhatikan detail sekaligus menaruh kecurigaan, merasakan adanya kejanggalan dibalik cerita sang klien. Ini menjadi persoalan baginya yang mempunyai catatan impresif sepanjang karirnya karena ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh jaksa penuntut untuk mengalahkannya di kasus terakhir yang ditanganinya. Virginia pun mendesak Adrian secara keras untuk membeberkan peristiwa yang belum pernah diungkapkannya ke pihak lain karena kebohongan tidak akan menuntun mereka kemanapun. Selepas mendengar pengakuan pertama inilah, tensi dari The Invisible Guest yang sebetulnya sudah diatur di level sedang oleh si pembuat film sedari menit pembuka perlahan tapi pasti mulai mengalami eskalasi. Seperti halnya Virginia, penonton akan secara otomatis menaruh keraguan terhadap Adrian: apakah kronologi peristiwa yang dipaparkannya adalah sebentuk fakta atau ada kebenaran yang disembunyikannya sehingga menempatkannya sebagai narator tidak bisa dipercaya?


Lalu, cerita kedua mengemuka. Oriol Paulo tidak lagi memboyong penonton untuk menelusuri TKP, melainkan menarik tuturan jauh ke belakang sebelum Adrian dan Laura menjejakkan kaki di hotel. Pemantiknya, sebuah headline di surat kabar. Berdasarkan cerita kedua yang berujung pada kasus memilukan tak terpecahkan, baik kedua tokoh utama maupun penonton kemudian menelurkan hipotesis atas keterkaitannya terhadap kasus pembunuhan Laura di ruang tertutup. The Invisible Guest makin berasa mengasyikkan lantaran kita tidak pernah benar-benar bisa yakin mengenai apa yang selanjutnya terjadi. Ya, Oriol Paulo amat cerdik dalam mengatur tempo film. Dia paham betul kapan seharusnya mengecoh penonton yang seolah-olah diposisikan sebagai juri dalam persidangan dengan kebohongan yang dipermak sedemikian rupa sehingga amat menyerupai kenyataan dan kapan seharusnya menggelontorkan bukti-bukti otentik. Dengan ritme penceritaan yang senantiasa bergegas, jelas dibutuhkan konsentrasi selama menyaksikan The Invisible Guest. Sedikit saja terdistraksi, kepingan-kepingan bukti yang telah susah payah disusun sejak awal bisa jadi akan berakhir berantakan atau menuntut disusun ulang. Seperti diutarakan oleh Virginia dalam satu adegan, “fokuslah pada detil.” Apabila sanggup menurutinya, bukan tidak mungkin kamu akan bisa menerka kemana film bakal bermuara. 

Apakah dengan diri ini menganggap telah bisa menebak kenyataan yang tersembunyi, film seketika kehilangan daya cengkramnya? Tidak semudah itu, Tuan dan Nyonya. Nuansa mencekam masih bisa dirasakan, terlebih The Invisible Guest punya sokongan sinematografi apik yang membentuk mood tontonan yang condong ke arah suram mencekam sekaligus atraksi lakonan mengagumkan dari keempat pemain sentralnya; Mario Casas, Ana Wagener, Barbara Lennie, serta Jose Coronado sebagai seorang ayah yang berupaya keras menemukan keadilan. Para pelakon ini turut mendorong terwujudnya keinginan sang sutradara untuk terus mengombang-ambingkan dugaan penonton lewat serentetan kelokan mengejutkan yang secara mengagumkan dapat terajut begitu rapi. Baik Casas, Wagener, Lennie, maupun Coronado masing-masing menunjukkan ambiguitas dalam karakter yang mereka perankan; terkadang tampak terguncang dan rapuh, terkadang pula tampak sukar dipercaya dan mencurigakan, yang menjerat keingintahuan penonton untuk mengetahui motivasi dibalik tindakan mereka. Satu yang tampak jelas, Adrian ingin menyelamatkan karir dan nama baiknya. Melalui sosok Adrian inilah, Oriol Paulo menyuarakan kritik terhadap keberpihakan hukum kepada mereka yang mempunyai uang dan kekuasaan. Dibubuhkan sesuai takaran, kritik pun terasa sangat relevan dan menyentil yang berjasa pula dalam membantu menempatkan The Invisible Guest sebagai film thriller papan atas. Seriously, you should definitely not miss this one!

Outstanding (4,5/5)