Tampilkan postingan dengan label tom cruise. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tom cruise. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 Agustus 2017

REVIEW : AMERICAN MADE

REVIEW : AMERICAN MADE


“It’s not a felony if you’re doing it for the good guys.” 

Dalam kaitannya menjalankan misi tak masuk akal, Tom Cruise tentu sudah sangat terbiasa. Tengok saja salah satu franchise yang membantu melambungkan namanya ke jajaran pelakon kelas A, Mission: Impossible, yang seperti judulnya dipenuhi rangkaian laga melampaui nalar. Tapi seperti halnya sederet film laga yang dibintanginya dalam satu dekade terakhir – rupanya memasuki usia kepala 5, Tom Cruise malah makin sering berantem dan berlari – plotnya hanyalah fiktif belaka. Karakternya pun senada, sama-sama sebagai jagoan yang sulit terkalahkan. Jika kemudian si pelakon Ethan Hunt ini merasa jenuh dan ingin mencoba sesuatu yang sedikit berbeda dari beberapa peran terakhirnya, jelas sangat bisa dimaklumi. Dalam American Made yang mempertemukannya kembali dengan Doug Liman usai keduanya berkolaborasi di Edge of Tomorrow (2014), Tom Cruise memerankan sosok nyata yang semasa hidupnya kerap dilingkungi peristiwa tak masuk akal akibat campur tangan CIA bernama Barry Seal. Sosoknya pun tak sepenuhnya pahlawan, cenderung ke antihero, lantaran jalan hidupnya kerap mengabaikan moralitas dan sempat pula bersinggungan dengan aktivitas ilegal yang melibatkan kartel besar asal Amerika Selatan. Sesuatu yang terdengar agak menyegarkan, bukan? 

Mulanya, Barry Seal (Tom Cruise) hanyalah seorang pilot pesawat komersil biasa yang bekerja untuk maskapai Trans World Airlines demi menghidupi keluarga kecilnya yang terdiri atas seorang istri bernama Lucy (Sarah Wright) dan dua putri. ‘Kenakalannya’ guna memperoleh penghasilan tambahan tidak pernah lebih dari membantu menyelundupkan cerutu Kuba ke Kanada. Rupa-rupanya, aktivitas Barry ini terendus oleh CIA yang lantas memanfaatkan keahlian Barry dalam menerbangkan pesawat untuk mengambil foto udara dari kelompok militan di kawasan Amerika Selatan. Seiring berjalannya waktu, tugas yang mesti diemban oleh Barry terus bertambah sehingga hanya tinggal menunggu waktu identitasnya diketahui oleh masyarakat sekitar. Betul saja, Kartel Medellin di Kolombia – salah satu anggotanya adalah gembong narkoba ternama, Pablo Escobar – menyadari penuh tindak-tanduk Barry dan lantas merekrutnya menjadi kurir narkotika. Menjalani peran ganda sebagai mata-mata negara dan kurir narkoba jelas membawa Barry ke dalam serangkaian peristiwa yang sama sekali tak terbayangkan dan berbahaya. Ya, bahaya tentu tak bisa dilepaskan dari kehidupan Barry beserta keluarganya terlebih usai Barry memutuskan untuk mengkhianati salah satu pihak.


Menengok jalinan pengisahannya yang dibentuk dari kombinasi antara biopik mantan pilot pesawat komersil, permainan politik negeri adidaya, keterlibatan CIA, kartel raksasa, dan penyelundupan narkoba, mudah untuk mengira Doug Liman akan melantunkan American Made dalam format docu-drama berbumbu thriller. Terlebih, filmografi sang sutradara seperti The Bourne Identity (2002) dan Fair Game (2010) seolah mengonfirmasinya. Bahasa kasarnya sih, serius-serius njelimet gitu deh. Di saat telah mengantisipasi akan memperoleh penceritaan yang cukup berat dan belibet untuk dicerna mengingat muatan politiknya terbilang kental juga, Liman memberi kejutan untuk kita semua: American Made dibawakannya secara ringan dan bergaya. Ya, kandungan humor yang diinjeksikannya ke dalam film terhitung tinggi sehingga memungkinkan penonton untuk tergelak-gelak disela-sela berlangsungnya transaksi obat-obatan terlarang, puyengnya Barry dalam mengurus bisnis barunya yang membuat rumahnya kebanjiran uang (literally!) sampai upaya sang kurir melarikan diri dari kejaran pihak-pihak yang mengincar dirinya. Kalau itu belum cukup terdengar menyenangkan, maka tentu tambahkan sejumlah laga seru yang beberapa diantaranya melibatkan pesawat yang konon kabarnya dikemudikan sendiri oleh Tom Cruise. Hitung-hitung pemanasan sebelum sekuel Top Gun, bukan begitu? 

Keputusan Doug Liman dalam menarasikan American Made secara ringan dibubuhi canda tawa disana sini boleh jadi demi menghindarkan penonton dari rasa jenuh yang sangat mungkin menyerang. Memang sih, jalan hidup Barry yang penuh kejutan sangat menarik buat diikuti (seberapa jauh pelintiran dramatisasinya, hanya Tuhan dan si pembuat film yang tahu), namun ada banyak sekali hal yang melingkunginya. Banyak sekali informasi yang mesti dicerna dan beberapa diantaranya dilewatkan begitu saja tanpa ada penggalian lebih lanjut. Tak pelak, film sempat goyah pula begitu memasuki pertengahan durasi. Yang kemudian menyelamatkannya, siapa lagi kalau bukan Tom Cruise dengan karisma memancar yang dipunyainya? Dia bermain bagus sebagai Barry yang terpaksa menghempaskan jauh-jauh what-so-called moralitas serta integritas demi memberi sandang, pangan, dan papan yang layak bagi keluarganya, sekalipun sosok Barry sendiri ada kalanya masih terlihat terlalu ‘bersih’ di tangan Cruise. Dalam berolah peran, Tom Cruise mendapat sokongan memadai dari Sarah Wright sebagai istri Barry yang mencintainya dan Domhnall Gleeson sebagai Monty Schafer, agen CIA oportunis. Kekuatan lain yang dipunyai American Made bersumber dari pilihan tembang-tembang pengiring dan tata kostum yang menghidupkan nuansa era 70-80’an, lalu gerak kamera dan penyuntingannya yang dinamis.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/9_a5nf

Exceeds Expectations (3,5/5)


Kamis, 08 Juni 2017

REVIEW : THE MUMMY

REVIEW : THE MUMMY


“Welcome to a new world of gods and monsters.” 

Disamping keranjingan mengeruk pundi-pundi dollar melalui sekuel, remake, reboot, atau apalah-apalah itu sebutannya, studio-studio raksasa di Hollywood tengah menggemari cara lain untuk membentuk sebuah franchise yakni menciptakan shared universe yang menghubungkan sejumlah judul film menggunakan ‘tali pengait’ berbentuk karakter, plot, sampai bangunan dunianya. Semesta-semesta film yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir antara lain Marvel Cinematic Universe, DC Extended Universe, MonsterVerse, hingga paling anyar Dark Universe yang menyatukan sederet makhluk jejadian legendaris dari dunia fiksi semacam Dracula, Frankenstein, Invisible Man, serta Wolf Man. Diinisiasi oleh Universal Pictures, Dark Universe mencoba mengawalinya dengan versi paling mutakhir The Mummy yang menggaet Tom Cruise untuk menempati garda terdepan menggantikan posisi Brendan Fraser dari trilogi sebelumnya dan menempatkan Alex Kurtzman yang lebih berpengalaman sebagai produser di kursi penyutradaraan. Apakah ini berhasil? Well, sayangnya saya harus mengatakan bahwa The Mummy versi Tom Cruise yang mengawinkan beragam genre ini bukanlah suatu upaya yang berhasil untuk memperkenalkan penonton kepada sebuah semesta film baru. Tidak buruk, hanya saja jauh dari kata greget. 

Dalam The Mummy, Tom Cruise memerankan seorang tentara Amerika Serikat bernama Nick Morton yang tengah ditugaskan di Irak. Guna menghabiskan waktu luangnya (atau memang pada dasarnya dia tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai tentara? Dunno), Nick mengajak serta rekannya, Chris Vail (Jake Johnson), untuk berburu barang-barang antik bernilai tukar tinggi. Dalam perburuan terbaru, Nick mencuri peta dari seorang arkeolog, Jenny Halsey (Annabelle Wallis), yang mengantarkannya pada sebuah makam. Belakangan diketahui, makam tersebut menyimpan sebuah sarkofagus yang ‘dihuni’ oleh mumi Putri Ahmanet (Sofia Boutella) yang dibuang jauh-jauh dari Mesir selepas sang putri membunuh ayahnya yang notabene seorang raja berpengaruh dan adik tiri laki-lakinya lantaran tidak beroleh kesempatan untuk berkuasa. Keinginan untuk menyelidiki lebih jauh tentang Ahmanet membuat Jenny berinisiatif memboyong sang mumi ke London. Sebuah keputusan yang tidak bijak, tentu saja, karena perjalanan ini membangunkan Ahmanet dari tidur panjangnya. Ahmanet yang dikuasai amarah dan kebencian berencana melancarkan agendanya untuk menciptakan kekacauan di dunia berbekal pisau sakti milik dewa kegelapan, Set. Berpacu dengan waktu, Nick dan Jenny pun harus bekerjasama untuk menghentikan rencana Ahmanet atau kekuatan gelap akan menguasai dunia.


Apabila menengok presentasi yang digeber lewat trailernya, The Mummy seolah menjanjikan tontonan petualangan yang seru dan mendebarkan. Tidak juga sepenuhnya salah, toh kita mendapati kesan tersebut di separuh awal durasi yang gegap gempita. Bisa dikata, beberapa menit sekali ada kemeriahan yang menyeruak menghiasi layar bioskop. Mula-mula penonton diajak mengikuti ekspedisi penelusuran peta milik Jenny di Irak yang berlangsung mengasyikkan serta membangkitkan semangat untuk mengikuti lantunan kisah dalam film. Lalu berlanjut pada detik-detik jatuhnya pesawat yang sekalipun telah cukup sering disimak lewat materi promosi, masih berhasil memberikan ketegangan yang dibutuhkan. Inilah momen terbaik yang dipunyai oleh The Mummy sekaligus (sedihnya) momen puncak. Ya, selepas sekuens kandasnya pesawat dan latar penceritaan film dialihkan ke Britania Raya, daya cengkram berangsur-angsur mulai mengendur terhitung semenjak sang villain utama melahap mangsa-mangsanya. Ini tentu terasa ironis karena kebangkitan Putri Ahmanet yang seharusnya menjadi titik lontar dimana ketegangan mengalami eskalasi malah menjadi titik awal dimana film mengalami kemunduran. Seolah-olah sang mumi turut menghisap habis jiwa dari The Mummy sehingga sisa durasi pun berjalan gontai. 

Alex Kurtzman tampak kebingungan dalam menentukan nada penceritaan yang jelas bagi film. Elemen laga petualangan, horor, serta komedi dicampurbaur sesuka hati yang berdampak pada masing-masing tersaji setengah matang. Sisi laganya kurang menghentak (tak ada momen berkesan seperti badai gurun membentuk wajah di The Mummy terdahulu), sisi horornya tidak meneror (errr.. lebih banyak zombie ketimbang mumi di sini), dan sisi komedinya seringkali mentah sampai-sampai sulit mengundang derai tawa lepas. Alhasil, The Mummy terasa sungguh melelahkan nan menjemukan buat disimak. Pengarahan sang sutradara yang kurang efektif turut diperparah pula oleh susunan naskah berantakan dari trio David Koepp, Christopher McQuarrie, dan Dylan Kussman sampai-sampai tidak menyisakan ruang bagi perkembangan karakter. Jangan harap kamu bisa bersorak memberikan semangat kepada Tom Cruise, Annabelle Wallis, maupun Jake Johnson seperti yang bisa kamu lakukan kepada Brendan Fraser, Rachel Weisz, serta John Hannah dari The Mummy gubahan Stephen Sommers keluaran tahun 1999 (yang sungguh mengasyikkan itu!) karena tidak ada chemistry diantara mereka. 

Bahkan, karakter masing-masing pun amat hampa. Tom Cruise ya Tom Cruise yang terbantu karisma kuatnya sehingga penonton masih berkenan untuk peduli pada sosok Nick, Annabelle Wallis tidak lebih dari sekadar damsel in distress, dan Sofia Boutella sebagai villain pun lebih sering terbantu oleh make-up ketimbang benar-benar menguarkan aura berbahaya terlebih motivasi atas tindakannya serasa dibuat-buat. Jika ada yang sanggup menandingi Tom Cruise, maka itu adalah Russell Crowe (memerankan karakter ikonik) yang seperti halnya Cruise, terhalangi potensinya oleh naskah. Pada akhirnya menonton ulang The Mummy versi Fraser untuk kesekian kalinya masih terasa lebih menyenangkan ketimbang menyaksikan The Mummy versi Cruise. Sayang sekali. Semoga saja instalmen berikutnya dalam Dark Universe mampu menebus kesalahan dari tontonan ini.

Acceptable (2,5/5)