Tampilkan postingan dengan label Hangout. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hangout. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 Januari 2017

HANGOUT (2016) REVIEW : Zona Baru Raditya Dika dengan Cara Lama

HANGOUT (2016) REVIEW : Zona Baru Raditya Dika dengan Cara Lama


Nama Raditya Dika yang sudah menjadi sebuah brand tersendiri di Indonesia, lantas membuat para rumah produksi sudah mulai percaya dengan kinerjanya. Setelah proyek Koala Kumal bersama Starvision Plus, di tahun ini pula Raditya Dika bekerja sama dengan Rapi Films untuk merilis sebuah karya baru yang ditulis dan juga diarahkan oleh dirinya sendiri. Proyeknya kali ini berusaha berbeda dengan apa yang sudah dikerjakan sebelumnya.

Raditya Dika berusaha keluar dari zona nyamannya yang sudah terbiasa mengarahkan sebuah drama komedi cinta patah hati di setiap filmnya. Raditya Dika tetap bermain di wilayah komedi yang sudah menjadi kebiasannya tetapi digabungkan dengan genre thrilleratau mungkin lebih kepada misteri. Rapi Films menaungi film eksperimen Raditya Dika ini dengan judul Hangout. Di sinilah sebenarnya Raditya Dika berusaha untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa diperhitungkan untuk menjadi sutradara yang lebih berbeda.

Setelah kematangan Raditya Dika lewat ‘Single’ ataupun ‘Koala Kumal’, tentu membuat adanya kepercayaan tersendiri lewat film Hangout. Meskipun, ada pula rasa khawatir yang tetap hadir karena apa yang dikerjakan ini masih baru di tangan Raditya Dika. Yang terjadi, sebenarnya ‘Hangout’ masih memiliki kematangan bertutur milik Raditya Dika. Hanya saja, beberapa poin di dalam film ‘Hangout’ ini membuat intensitas filmnya menurun dan masih terasa terburu-buru dalam pembuatannya. 


Kali ini, cerita dari Raditya Dika di dalam film Hangout mengisahkan tentang 9 artis yang memerankan dirinya sendiri. Mereka adalah Raditya Dika, Surya Saputra, Prilly Latuconsia, Mathias Muchus, Dinda Kanya Dewi, Bayu Skak, Gading Marten, Soleh Solihun, dan Titi Kamal. Mereka adalah artis-artis dengan sifat-sifatnya yang berbeda dan sedang diundang oleh Tonni P. Sacalu untuk acara off-air di sebuah pulau terpencil. Mereka mau datang ke acara tersebut karena mereka mendapatkan masing-masing 50 juta sebagai bayaran mereka.

Mereka masih tak tahu acara seperti apa yang akan mereka lakukan di pulau tersebut. Tetapi, hal tragis menimpa mereka ketika mereka tahu mereka sedang dijebak di pulau tersebut. Satu persatu dari mereka dibunuh dan tak tahu pelaku siapa. Mereka berusaha keluar dari pulau tersebut dan mereka menyadari bahwa salah satu dari mereka adalah pembunuhnya. Orang-orang yang tersisa di pulau itu berusaha mencari siapa pembunuhnya. 


Konsep yang dimiliki oleh Raditya Dika di dalam film Hangout ini sangat menarik. Poin pertama yang membuat film Hangout ini menarik adalah ketika 9 karakter ini memerankan diri mereka sendiri. Mengingatkan penontonnya dengan film-film meta seperti This Is The End. Poin kedua adalah bagaimana penonton akhirnya diberikan pilihan dari karya-karya Raditya Dika untuk mencoba hal baru. Di dalam film Hangout ini, Raditya Dika menawarkan unsur misteri yang belum pernah dia gunakan sebelumnya, apalagi ditambahi dengan unsur komedi yang notabene masih baru di perfilman Indonesia.

Bisa dikatakan, misteri-misteri yang berusaha disebarkan kepada penonton di dalam film Hangout ini masih enak untuk diikuti. Raditya Dika berusaha menuturkan setiap kejadian-kejadian di dalam film ini dengan baik. Di durasinya yang mencapai 100 menit, bisa dibilang Raditya Dika masih bertutur dengan tetap menyembunyikan misteri. Cukup mengagetkan pula, dengan jejak rekam Raditya Dika yang belum pernah menangani film seperti ini, film Hangout ini berhasil memiliki momen-momen yang berhasil membuat penontonnya ikut tegang.

Sehingga, ada potensi dari dalam diri Raditya Dika untuk menunjukkan sisi lain di dalam dirinya di karya-karya selanjutnya. Tetapi, film ini pun masih minim akan eksplorasi yang seharusnya bisa memiliki kemasan jauh lebih baik lagi. Bila dibandingkan dengan kematangan yang ada di dalam film-film Raditya Dika sebelumnya, Hangout bisa dibilang penurunan dibandingkan keduanya. Ada rasa sedikit terburu-buru ketika menggarap proyeknya ini. Raditya Dika seperti hanya menawarkan kematangan dalam pemilihan genre, bukan kedewasaan yang berusaha muncul seperti dua film sebelumnya. 


Masih ada rasa ketakutan Raditya Dika yang masih tercermin di dalam film Hangout karena ini adalah sesuatu yang baru darinya. Terlihat bagaimana Raditya Dika masih terlihat bermain aman dalam menjalankan setiap ceritanya. Sehingga di beberapa bagian, Raditya Dika masih juga berkutat dengan hal-hal itu saja. Meski harus diakui, Raditya Dika masih pintar menggunakan referensi-referensi kehidupan bisnis hiburan sebagai set up komedinya. Tetapi, sayangnya hal itu juga minim eksplorasi.

Jadilah bagaimana Hangout penuh akan toilet jokesyang terkadang lebih kepada menganggu daripada menghibur. Guyonannya tak jauh-jauh dari alat vital, toilet, dan organ-organ tubuh lain yang masih terasa menjijikkan untuk diekspos. Dengan kematangan yang sudah ditawarkan lewat Single dan Koala Kumal dari segi referensi komedi, rasanya Hangout adalah titik di mana Raditya Dika ternyata kembali menjadi film komedi yang terasa mentah dan kasar. Meskipun, harus diakui usaha keras Raditya Dika membangun banyak sekali punchlinekomedi di setiap menit agar tetap menjaga intensitas komedinya perlu mendapat apresiasi. 


Bagaimana Raditya Dika terlihat bermain aman terlihat ketika film ini sebagai sebuah misteri, ternyata hanya sekedar sampai menunjukkan bahwa misteri itu perlu dijawab. Tetapi, setelah itu penonton tak diberi berbagai macam alasan yang jauh lebih kuat dari itu untuk lebih yakin tentang motif yang dilakukan karakernya hingga harus melakukan hal seberani itu. Dan alih-alih menjawab, Raditya Dika malah memberikan sebuah nilai moral dari film misterinya dan memberikan turn over character yang juga sangat lemah.

Karena berusaha bermain aman itulah yang membuat daya tarik dan kekuatan dari film Hangout berhasil keluar secara utuh. Hangout akhirnya berakhir seperti itu-itu saja, padahal film ini sudah memiliki banyak sekali pemain-pemain bagus yang dapat mendukung film ini secara keseluruhan. Tetapi, patut diacungi jempol bahwa Dinda Kanya Dewi adalah poin utama yang membantu performa Hangout untuk bisa mendapatkan poin komedinya yang efektif.


Sebagai sebuah film yang berusaha keluar dari zona aman, Hangout sebenarnya masih kurang akan eksplorasi dari Raditya Dika dan malah membuat filmnya masih berada di zona aman miliknya. Tetapi, lewat film inilah terlihat bagaimana Raditya Dika sebenarnya memiliki banyak sekali konsep yang sangat pintar. Memberikan meta film yang berhasil membiaskan sesekali penontonnya bahwa ini adalah film fiksi, bukan realita yang terjadi di kehidupan bisnis hiburan Indonesia. Tetapi, setelah bagaimana kematangan dalam menulis skenario lewat Single dan Koala Kumal, film Hangout jelas terasa memiliki segi kematangan menulis yang menurun. Pemilihan komedi yang lebih kasar ketimbang satir, motif karakter yang lemah, dan penuturannya yang harusnya lebih rapat adalah konsekuensi dari ketidakmatangan itu. Hangout harusnya bisa jauh lebih baik lagi!

Jumat, 23 Desember 2016

REVIEW : HANGOUT

REVIEW : HANGOUT


Apakah kamu familiar dengan jalan penceritaan dari novel ternama Agatha Christie berjudul And Then There Were None (atau disini dikenal sebagai Sepuluh Anak Negro)? Apabila tidak, secara garis besar tuturannya berkisar pada sepuluh orang asing tanpa relasi satu sama lain yang memperoleh undangan dari seorang kaya nan misterius untuk berkunjung ke huniannya di sebuah pulau. Berharap memperoleh sambutan gegap gempita, nyata-nyatanya undangan ini tidak lebih dari sekadar jebakan yang menuntun kesepuluh tamu tersebut menemui ajalnya masing-masing. Nah, disamping belasan judul adaptasi resmi bersifat langsung – merentang dari film hingga miniseri televisi – And Then There Were None yang mengusung pola whodunnit (tebak-tebak manggis siapa pembunuhnya) pun telah diutak-atik puluhan sineas untuk diekranisasi secara lepas. Salah satu gelaran terbaru yang menerapkan jalinan kisah senada adalah Hangout, sebuah film bergenre komedi thriller arahan Raditya Dika. Hangout sendiri tampak begitu menggoda lantaran tiga faktor; premis, upaya memadupadankan genre komedi dengan thriller, serta fakta bahwa ini pertama kalinya Dika mencoba sedikit keluar dari zona nyamannya yang tidak jauh-jauh dari persoalan kegundahan hati.

Dari sisi gagasan utama, Hangout sejatinya memang serupa tapi tak sama dengan And Then There Were None. Pembedanya, hanya ada sembilan karakter yang menjadi korban disini, mereka mempunyai latar belakang mata pencaharian sejenis, serta telah aktif berinteraksi bersama-sama sebelumnya. Kesembilan karakter tersebut terdiri atas Raditya Dika, Soleh Solihun, Surya Saputra, Mathias Muchus, Titi Kamal, Dinda Kanya Dewi, Prilly Latuconsina, Bayu Skak, serta Gading Marten yang kesemuanya dikenal sebagai public figure. Mereka menerima undangan secara bersamaan dari seorang misterius yang meminta mereka mengunjungi kediamannya di suatu pulau. Tanpa menaruh kecurigaan apapun – malah Mathias Muchus berspekulasi, mereka akan memperoleh tawaran main film – Dika dan konco-konco pun bertolak ke lokasi dengan menaiki kapal. Tak ada sambutan apapun dari si empunya hajat begitu rombongan mencapai tempat tujuan, kecuali hidangan makan malam yang telah tertata rapi di atas meja makan. Kendati aneh, para artis mencoba untuk tetap berpikir positif sampai kemudian... Mathias Muchus meregang nyawa secara tidak wajar. Terjebak di pulau lantaran kapal jemputan baru berlabuh beberapa hari kemudian sementara para personil mulai berguguran satu demi satu akibat dibunuh, mereka yang tersisa pun akhirnya saling menaruh curiga mengingat besar kemungkinan bahwa salah satu dari mereka adalah sang pembunuh. 

Dalam upayanya untuk menyuguhkan tontonan menghibur bagi penonton, Hangout sebetulnya tidaklah bisa dikata gagal. Serentetan humornya masih bekerja secara semestinya dan tidak sedikit diantaranya tergolong efektif mengundang derai tawa. Memang sih ranah kelakar yang dijamah Dika disini masih belum jauh-jauh dari kisaran toilet jokes dan sebangsanya – salah satunya seperti bagaimana Dinda Kanya Dewi digambarkan sebagai artis yang luar biasa joroknya – yang boleh jadi terasa menjijikan pula mengganggu bagi sebagian orang. Bahkan, sifatnya yang cenderung repetitif juga ada kalanya agak menjengkelkan seolah-olah si pembuat film kehabisan ide dalam ngelaba. Namun satu hal yang menarik serta jarang dieksplorasi lebih jauh oleh Dika di film-filmnya sebelum ini adalah guyonannya dalam Hangout sarat akan referensi budaya populer. Mempunyai barisan karakter dimana kesemuanya merupakan public figure nyata adanya, memungkinkan dirinya untuk lebih bebas melemparkan materi ngebanyol berkenaan dengan dunia hiburan tanah air. Hampir setiap karakter kena tembak – paling habis-habisan nyaris tanpa ampun adalah Gading Marten – walau tidak kesemuanya juga tepat mengenai sasaran. Yang bagi saya terhitung berhasil yakni kala Prilly mengungkit-ungkit soal sinetron Ganteng-Ganteng Serigala atau lebih baik lagi saat Dinda membicarakan tentang Ada Apa Dengan Cinta? 3

Dan, untuk mencapai tahapan menghebohkan ini agak membutuhkan waktu. Hangout terhitung lambat memanas. Setidaknya pada 30 menit pertama sebelum pembunuhan pertama terjadi, film berlangsung agak hambar. Lawakannya banyak meleset, pengisahannya pun kurang mengikat apalagi menciptakan kesan misterius seperti diharapkan. Usai Marmut Merah Jambu, Single, serta Koala Kumal yang begitu lancar lantunan kisahnya, maka tentu mengecewakan (plus mengherankan) melihat Dika cenderung terbata-bata di Hangout. Apakah ini lantaran Dika masih belum terbiasa dengan sesuatu diluar area kekuasaannya? Bisa jadi. Begitu jatuh korban pertama, film perlahan mulai enak buat dinikmati meski tidak sampai pada tahapan benar-benar mulus. Perpaduan elemen komedi bersama thriller berulang kali terasa janggal. Sang sutradara tidak tampak kesulitan mengorkestrasi momen-momen pengundang tawa karena bagaimanapun juga inilah keahliannya, tapi berbeda halnya ketika menyajikan daya cekam. Sejumlah adegan yang seharusnya mampu membuat penonton tersentak, memegang erat bangku bioskop atau mengucurkan keringat dingin, berlalu begitu saja tanpa kesan. Malah memunculkan reaksi, “lho, kok begitu saja?,” khususnya di babak klimaks yang tensinya terus mengendor dan ini kian dilukai oleh momen pengungkapan si pelaku dengan motif jauh dari kata kuat. 

Kendati menghadapi serentetan problematika yang menghempaskan Hangout seketika dari jajaran film terbaik Dika, seperti telah disinggung di beberapa paragraf sebelumnya, ini bukanlah tontonan yang layak dilabeli “gagal” apalagi “buruk”. Usahanya untuk menghadirkan warna baru bagi perfilman tanah air (beserta filmografi Dika) tetap perlu mendapatkan angkat topi. Selain masih mampu memberikan penghiburan lewat gelak-gelak tawa, Hangout teramat sangat beruntung karena memiliki barisan pemain yang menghadirkan performa sangat memuaskan. Setiap pelakonnya terlihat begitu bersenang-senang dengan peran yang mereka mainkan. Dika memang masih tampak lempeng seperti biasa, namun Dinda Kanya Dewi, Surya Saputra, Prilly Latuconsina, Gading Marten serta Soleh Solihun membuktikan kelayakan masing-masing untuk mendapatkan peran di Hangout. Berkat mereka, banyak energi positif berhasil tersalurkan ke film. Kemunculan mereka memberi keriaan tersendiri khususnya Dinda dan Soleh yang senantiasa dinanti-nanti sepak terjangnya oleh penonton karena mampu memberikan tawa secara konstan.

Acceptable (3/5)