Tampilkan postingan dengan label 2.5 stars. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 2.5 stars. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

JURASSIC WORLD : FALLEN KINGDOM (2018) REVIEW : Ekspansi Dunia Yang
Hilang Kemagisannya

JURASSIC WORLD : FALLEN KINGDOM (2018) REVIEW : Ekspansi Dunia Yang Hilang Kemagisannya


Meneruskan kembali sebuah warisan legendaris memang tak semudah itu. Menyandang nama besar tentu akan membuat sebuah film mampu dikenal lebih cepat oleh khalayak luas. Inilah yang terjadi dengan franchise dunia dinosaurus yang awalnya dibangun oleh Steven Spielberg yang berdasarkan novel Michael Crichton, Jurassic Park. Di era sekarang, franchise ternama ini sudah diremajakan dengan nama Jurassic World yang tetap disupervisi oleh Steven Spielberg.

Kesuksesan secara angka dengan mudah diraih oleh Jurassic World yang diarahkan oleh Colin Trevorrow. Sehingga, Universal Pictures dengan mudah memberikan lampu hijau agar franchise ini tak berhenti begitu saja. Tahun ini, Jurassic World kembali hadir dengan sutradara baru yaitu J.A. Bayona dan mengekspansi dunianya dengan film keduanya berjudul Jurassic World : Fallen Kingdom. Meski tak lagi mengarahkan, Colin Trevorrow tetap andil dalam penulisan naskahnya dibantu oleh oleh Derek Connolly.

Kesuksesan seri dari Jurassic World ini tentu saja memerlukan kedua pemain utamanya, Chris Pratt dan juga Bryce Dallas Howard dan keduanya kembali hadir di sekuel tersebut. Kebutuhan Jurassic World : Fallen Kingdom untuk mengekspansi dunianya perlu mendapatkan tambahan karakter lainnya sehingga film ini pun akan semakin ramai. Hanya saja dengan ekspansi dunianya yang semakin besar, tak membuat Jurassic World : Fallen Kingdom tahu caranya yang tepat


Kembali melanjutkan linimasa cerita dari serinya yang pertama, Jurassic World : Fallen Kingdom menceritakan ketika Claire (Bryce Dallas Howard) berusaha untuk menyelamatkan para dinosaurus di Isla Nublar karena kondisi alam yang ada di sana yang tak lagi memadai. Sayangnya, kegiatan tersebut dianggap ilegal oleh pemerintah. Hingga suatu saat, Claire ditawari oleh seseorang utusan dari Benjamin Lockwood (James Cromwell) untuk menyelamatkan mereka.

Tahu akan penawaran ini, Claire pun butuh bantuan banyak orang mulai dari organisasi penyelamat hewan hingga salah satu pegawai Jurassic World. Orang tersebut adalah Owen Grady (Chris Pratt) yang memang memiliki kedekatan dengan salah satu jenis dinosaurus di sana. Di tengah usaha penyelamatan dinosaurus di Isla Nublar, Claire melihat ada penyimpangan tujuan utamanya. Ternyata, ada beberapa oknum yang berusaha untuk mengambil keuntungan dari dinosaurus-dinosaurus tersebut.


Dengan plot cerita demikian, Jurassic World : Fallen Kingdom seharusnya memiliki potensi untuk memberikan ekspansi dunia dengan cara yang menarik. J.A. Bayona terlihat sangat berusaha mengarahkan Jurassic World : Fallen Kingdom sekuat tenaga agar bisa memberikan performa yang kuat. Tetapi, ketidaktepatan Jurassic World : Fallen Kingdom terletak pada lemahnya penulisan naskah oleh Colin Trevorrow dan juga Derek Connolly.

Jurassic World : Fallen Kingdommemiliki performa yang sangat bisa dinikmati di satu jam pertama filmnya. Dalam satu jam tersebut, Jurassic World : Fallen Kingdom tahu untuk memanfaatkan potensi-potensinya. Mulai dari visual efek yang luar biasa, letupan komedi yang sesuai takarannya, hingga bagaimana Jurassic World : Fallen Kingdomdi satu jam pertama pun bisa memaksimalkan kekuatan nostalgia sehingga penonton bisa merasakan kembali pengalaman pergi ke Isla Nublar dengan baik.

Sayangnya, ambisi menggebu-gebu Colin Trevorrow dan Derek Connolly dalam mengekspansi franchise ini tak lagi bisa berada di jalan yang tepat. Banyak sekali plot cerita yang saling tumpang tindih dan ingin sekali untuk diceritakan. Sehingga, perjalanan Jurassic World : Fallen Kingdom tak lagi bisa fokus dengan jalan utamanya. Hal inilah yang malah membuat performa Jurassic World di satu jam berikutnya tak lagi terasa menggiurkan untuk diikuti.


Munculnya karakter-karakter baru di dalam film ini pun tak memiliki urgensi yang kuat untuk hadir menguatkan performa filmnya. Sehingga di durasinya yang mencapai 125 menit, Jurassic World : Fallen Kingdom nampak masih tak efektif untuk menuturkan segala poin ceritanya karena terlalu banyak informasi yang ingin disampaikan. Pun, adanya perpindahan mood cerita yang tak lagi tampak sama dengan apa yang hadir di satu jam pertamanya.

Jurassic World : Fallen Kingdomberusaha untuk memberikan penonton sebuah pengalaman serupa yang hadir di film kedua Jurassic Park, yaitu The Lost World. Serta memiliki tujuan untuk memberikan perubahan untuk menjadi lebih baik. Sayangnya, Jurassic World : Fallen Kingdom pun akhirnya malah jatuh ke dalam kesalahan yang sama seperti dengan The Lost World. Tak memiliki rasa magis yang sama dengan seri pendahulunya meski telah memiliki babak penceritaan baru


Ekspansi dunia Jurassic World : Fallen Kingdom pun tampak tak begitu kentara berkat performanya yang tak lagi prima seperti pendahulunya. J.A. Bayona sudah sangat berusaha menutupi berbagai cabang cerita yang menjadi problematika di film ini agar sedikit lebih baik. Sehingga, di beberapa bagian dari Jurassic World : Fallen Kingdom masih memiliki intensitas ketegangan dan emosional yang pas. Hal ini sudah menjadi ciri khas J.A. Bayona di beberapa film-film yang pernah dia arahkan sebelumnya.

Setidaknya yang tertinggal di Jurassic World : Fallen Kingdom adalah konklusi akhir cerita yang bisa membuat orang bertanya-tanya apa yang akan terjadi di film selanjutnya. Sehingga, Jurassic World : Fallen Kingdom hanya akan menantikan performa box office yang gemilang saja. Karena hanya itulah saja harapan untuk franchise film ini agar mendapatkan lampu hijau untuk melakukan ekspansi di film selanjutnya dan semoga saja bisa jadi lebih baik.

Minggu, 08 Oktober 2017

WARKOP DKI REBORN : JANGKRIK BOSS PART 2 (2017) REVIEW : Euforia dan
Nostalgia Film Indonesia

WARKOP DKI REBORN : JANGKRIK BOSS PART 2 (2017) REVIEW : Euforia dan Nostalgia Film Indonesia

Tak disangka, Warkop DKI Reborn sukses menjadi film terlaris di tahun 2016 bahkan predikatnya pun menjadi film terlaris sepanjang masa. Dengan perolehan 6,7 juta penonton ini, jelas Warkop DKI Reborn adalah prospek yang sangat besar bagi Falcon Pictures untuk menelurkan karya-karya lainnya atas nama Warkop DKI. Sayangnya, di tahun 2017 ini, Warkop DKI Reborn tak menelurkan sebuah judul baru untuk dapat dinikmati oleh penontonnya. Melainkan ini adalah lanjutan dari bagian pertama yang diputus di tengah jalan.

Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss ini dibagi menjadi dua film yang saling berkesinambungan. Bagian keduanya dirilis tahun ini untuk menjawab apa yang selanjutnya terjadi di akhir film bagian pertama. Semangat nostalgia menjadi senjata utama dari Anggy Umbara untuk film-film Warkop DKI Reborn-nya ini. Senjata ini bisa digunakan dalam hal apapun, mulai dari konten hingga strategi promosi yang memang sudah terbukti efektif.

Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss Part 2 mungkin akan kesusahan sendiri untuk mencapai angka fantastis dari bagian pertamanya. Tetapi, penonton masih berbondong-bondong pergi ke Bioskop untuk mencari tahu kelanjutan cerita bagian pertama. Terpotongnya informasi dari bagian pertamanya ini mungkin akan membagi dua tipe penonton, yang penasaran dengan kelanjutannya atau malah merasa dicurangi karena tanggung jawab Anggy Umbara sebagai sutradara tak ditepati kepada penontonnya. 


Bagi yang penasaran, tentu akan berharap bahwa performa dari Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss Part 2 akan memiliki performa yang lebih baik. Ekspektasi seperti ini tentu akan muncul karena Jangkrik Boss bagian pertama hanya memberikan sebuah pengantar ceritanya saja. Sehingga, sisa plot dengan berbagai konfliknya tentu akan berada di bagian keduanya. Memang benar, apabila di bagian kedua ada banyak sekali konflik yang menjalankan filmnya sepanjang 98 menit. Tetapi, tak bisa dipuaskan secara keseluruhan filmnya sendiri.

Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss Part 2 ini memang tak bisa dikategorikan buruk. Ada beberapa hal di dalam film Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss Part 2 yang sangat perlu untuk diapresiasi. Tak hanya sekedar membangkitkan semangat nostalgia dari Warkop DKI saja, tetapi juga khasanah perfilman Indonesia. Tetapi, ada beberapa kelemahan yang membuat penontonnya juga akan ikut kelelahan untuk mengikuti tiap menit filmnya. 


Melanjutkan dari Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss Part 1 di mana Dono (Abimana Aryasatya), Kasino (Vino G. Bastian), dan Indro (Tora Wibowo) yang sudah pergi ke malaysia untuk menemukan harta karun. Di tengah perjalanannya, tasnya tertukar dengan milik seorang wanita bernama Nadia (Fazura). Dia adalah seorang ilmuwan di sebuah Universitas di Malaysia. Dono, Kasino, dan Indro berusaha pun meminta bantuan kepada Nadia untuk membaca peta harta karun tersebut.

Ditemukanlah bahwa peta harta karun tersebut berada di sebuah pulau tersembunyi di Malaysia. Berangkatlah Dono, Kasino, dan Indro dengan teman-temannya ke pulau tersebut untuk menemukan harta karun tersebut agar bisa menebus denda yang harus mereka bayar karena ulah mereka. Ketika sampai di sana, banyak sekali kejadian-kejadian aneh yang menghantui mereka. Hingga mereka menemukan sebuah kebenaran dengan harta karun tersebut. 


Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss Part 2 berisikan banyak sekali letupan yang berusaha keras agar membuat penontonnya tertawa. Sehingga, sepanjang 98 menit durasinya penonton dihajar terus dengan berbagai setup comedy yang memiliki niatan menghibur penontonnya. Sayangnya, segala letupan bangunan komedi yang berusaha untuk dibuat oleh Anggy Umbara memang tak sepenuhnya tepat sasaran. Ada komedi yang dapat diterima, tetapi juga tak sedikit komedi yang malah tak tersampaikan dengan baik.

Begitu tumpang tindih set upkomedi yang disampaikan dengan menggebu-gebu oleh Anggy Umbara ini tak lain hanyalah untuk menggenapkan jumlah durasi sehingga menjadi satu film yang utuh. Inilah penyakit dari sebuah film yang dipaksa menjadi dua bagian yang berbeda. Dengan konflik yang harusnya berada di satu film saja, semuanya malah terkesan dipanjang-panjangkan. Beberapa adegan pun bisa dihilangkan demi penceritaan yang lebih efektif.

Tetapi, hal itu adalah keputusan dari sang sutradara sendiri dalam memilih. Di luar bagaimana presentasi film yang terbelah menjadi dua film yang tak efektif, Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss Part 2 memiliki poin yang perlu diapresiasi. Film arahan Anggy Umbara ini tak sekedar memberikan sebuah euforia atas ketiga komedian legendaris, tetapi juga kepada ranah perfilman Indonesia di era sebelumnya. Hal ini mungkin akan jarang ditemui di dalam film-film Indonesia lainnya. 


Menggunakan konflik dalam filmnya sebagai sebuah napak tilas ini menjadi sebuah cara yang menarik. Kapan lagi kita bisa melakukan perjalanan dari zaman ke zaman tentang film Indonesia dengan kemasan yang menyenangkan. Memberikan tribut kepada perfilman Indonesia pun bisa dilakukan dengan begitu festive dan tak melulu serius. Mengingatkan atau mungkin memperkenalkan kepada semua generasi era film-film Rhoma Irama atau bahkan Suzanna.

Dengan adanya sebuah perayaan tentang perfilman Indonesia, Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss Part 2 setidaknya memiliki nilai yang masih bisa diangkat. Selebihnya, Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss Part 2 seharusnya akan jauh lebih efektif apabila dirangkum menjadi satu film utuh tanpa dibagi menjadi dua bagian. Meski memiliki maksud untuk memberikan efek nostalgia, seharusnya efek tersebut akan bisa berdampak lebih masif lagi apabila tak menuruti ego dalam memenuhi kuantitas terlebih dalam jumlah penonton.

Rabu, 28 Juni 2017

WONDER WOMAN (2017) REVIEW : Hanya Film Manusia Super Seperti Biasanya

WONDER WOMAN (2017) REVIEW : Hanya Film Manusia Super Seperti Biasanya



DC Extended Universe kembali mengeluarkan sebuah kisah salah satu manusia supernya untuk dikenalkan agar bangunan dunianya semakin memiliki dimensinya. Digadang sebagai sebuah film manusia super wanita pertama yang dibuatkan filmnya sendiri –meskipun sebenarnya sudah ada beberapa film-film manusia super yang dibuat sebelumnya –DC Extended Universe menunjukkan taringnya bahwa dunianya sudah menjadi sesuatu yang perlu diantisipasi.

Wonder Woman yang diperankan oleh Gal Gadot ini akhirnya mendapatkan porsinya untuk bercerita tentang dirinya. Patty Jenkins, seorang sutradara perempuan yang kredibilitasnya sudah diakui oleh Academy Awards lewat film Monster memiliki kesempatan untuk mengarahkan cerita manusia super wanita ini. Selain itu, film ini juga dibintangi oleh Chris Pine dan beberapa aktor aktris lainnya sehingga Wonder Woman menjadi salah satu film yang diantisipasi oleh banyak orang.

Setelah Batman V Superman : Dawn of Justice dan Suicide Squad, film-film milik DC Extended Universe tak memliki performa yang bisa membuat terkagum. Bahkan, kedua film tersebut memiliki performa jauh di bawah film-film manusia super lainnya. Sehingga, menantikan film-film DC Extended Universe tak bisa membuat hati berdegup kencang, kecuali para penggemar komik yang telah begitu dekat dengan karakter-karakter di dalam DC Comics


Ketika Wonder Woman dirilis, film ini mendapatkan resepsi kritik yang begitu dipuji-puji. Wonder Woman digadang menjadi sebuah kisah asli manusia super yang sangat segar dibandingkan dengan kisah-kisah dari manusia super lainnya. Dengan munculnya klaim hiperbolis seperti itu, Seketika muncul sebuah harapan baru bagi kelanjutan DC Extended Universe selanjutnya. Tentu semua berharap DC Extended Universe bisa menjadi alternatif tontonan kisah-kisah manusia super di sebuah pengalaman sinematis yang ada.

Tetapi, semua kembali dari bagaimana pengalaman dan referensi setiap penonton yang ada ketika menonton Wonder Woman. Sejujurnya, Wonder Woman memang memiliki nafas yang terasa berbeda daripada film-film DC Extended Universe. Hanya saja, ketika disangkutpautkan dengan kata-kata “sangat segar” rasanya Wonder Woman juga tidak bisa dikatakan demikian. Wonder Woman punya kisah asli yang sudah pernah dirasakan oleh penonton di film-film manusia super 4 atau 5 tahun lalu secara sinematis. 


Menceritakan tentang Diana (Gal Gadot) seorang putri amazon yang hidup dengan tenang pada awalnya. Tetapi, dengan keadaan tenang tersebut, Diana tetap diperingatkan tentang kejahatan di luar sana yang melibatkan sosok Ares. Dengan begitu, Diana akan selalu waspada apabila suatu saat kejahatan datang dan menghancurkan Amazon yang mereka cintai. Hingga pada akhirnya, kekacauan datang ketika seorang pemuda tiba-tiba terdampar di pinggiran pantai Amazon.

Steve Trevor (Chris Pine), seorang mata-mata yang sedang bertugas ini terdampar ketika para musuhnya mengejar dirinya. Sehingga, para musuhnya juga ikut menganggu ketenangan para Amazonian ini. Perang pun terjadi antara Amazonian dengan musuh dari Steve Trevor yang menyebabkan banyaknya korban salah satunya adalah saudara perempuan Diana yaitu Antiope (Robin Wright). Diana menganggap ini semua adalah ulah Ares dan menggunakan Steve Trevor untuk mencari keberadaan Ares ini.  


Mendapatkan sebuah klaim tentang kesegaran dan kejeniusan di dalam film Wonder Woman, rasanya hal tersebut kurang pas. Sebagai sebuah film origin story, Wonder Woman sebenarnya memiliki formula yang pernah digunakan oleh berbagai film asal mula superhero lainnya. Memang, ada rasa naif di dalam sosok manusia super yang muncul dari karakter Wonder Woman. Tetapi, Wonder Woman tak sepenuhnya menjadi sebuah tontonan yang mendapat klaim kata “segar”. Wonder Woman mungkin akan lebih tepat dikatakan sebagai pemicu rasa nostalgia.

Dengan durasinya yang mencapai 141 menit, Wonder Woman muncul menceritakan sesuatu yang terlalu biasa.. Tetapi, secara bertutur, Wonder Woman tak ayal adalah sebuah film dengan plot yang lurus-lurus saja dengan penyelesaian konflik yang seadanya. Pembangunan dunia para Amazonian muncul terlalu sebentar, sehingga tak ada korelasi emosi yang muncul antara karakter dan juga penontonnya. Ketika penonton sudah mulai terkoneksi dengan ceritanya, poin pemantik konflik di dalam film ini muncul terlalu cepat. Sehingga, bangunan dunia milik Wonder Woman tak bisa mengikat begitu kuat.

Kejeniusan Allan Heinberg di dalam naskah yang ditulisnya adalah ketika menggunakan Wonder Woman sebagai medium untuk menyampaikan kesetaraan perempuan yang sedang menjadi isu sosial di berbagai belahan dunia. Kenaifan yang muncul menjadi sifat dari Wonder Woman adalah cara bagaimana Allan Heinberg memberikan pengertian tentang bagaimana peran gender muncul dari setiap manusia. Bukan ingin berprasangka buruk, mungkin hal inilah yang membuat Wonder Woman mendapat resepsi baik. Wonder Woman adalah sebuah propaganda politik tentang marjinalitas kaum perempuan. Tetapi, ketika melihat Wonder Woman sebagai film itu sendiri, sebenarnya tampil baik tetapi performanya tak muncul sebaik itu. 


Dengan durasi 141 menit, Wonder Woman seharusnya bisa memiliki komplikasi yang lebih baik lagi untuk membangun setiap plot beserta subplotnya. Tetapi, di akhir 20 menit, Wonder Woman masih memiliki keterbatasan dalam menyelesaikan konflik. Membuat filmnya terkesan memiliki banyak sekali subplot yang perlu diselesaikan karena munculnya 2 karakter villain yang tertuduh menjadi karakter yang penting. Tetapi dengan konklusi seperti itu di dalam filmnya, dalih tentang 2 karakter penjahat tersebut terkesan sia-sia dan tak memiliki tujuan utamanya. Belum lagi keklisean yang muncul di dalam konklusi Wonder Woman yang melihatkan bahwa tak ada lagi unsur “segar” di dalam film ini.

Memang, sebagai sebuah film yang berada di dalam DC Extended Universe, ini adalah sebuah film yang segar. Tetapi, ketika dibandingkan dengan berbagai film manusia super yang ada, Wonder Woman hanyalah repetitif bahkan adaptasi dari berbagai referensi dengan performa yang cukup tapi tak semegah itu. Menonton Wonder Woman dan memahaminya butuh referensi dan pengalaman dari dalam diri. Sehingga, ketika selesai menonton, Wonder Woman adalah hal yang bisa didiskusikan untuk saling berbagi pengalaman dan referensi. Wonder Woman mungkin lebih tepat untuk mendapatkan predikat “nostalgic” ketimbang menggunakan kata-kata “segar” yang sebenarnya menimbulkan anomali.

Rabu, 22 Februari 2017

LONDON LOVE STORY 2 (2017) REVIEW : Realisasi Mimpi Tentang Cinta Yang
Hiperbolis

LONDON LOVE STORY 2 (2017) REVIEW : Realisasi Mimpi Tentang Cinta Yang Hiperbolis


Kedatangan Screenplay Filmsdi perfilman Indonesia memang memiliki warna baru. Film-filmnya sejak Magic Hour selalu mendatangkan penonton dan itu cukup mengagetkan banyak pihak. Sehingga, dengan kedigdayaannya di perfilman Indonesia membuat rumah produksi satu ini selalu hadir dengan karya terbaru setiap tahunnya karena tahu potensinya menggaet penonton. Screenplay Films pun semakin lama semakin melebarkan sayapnsya dengan berasosiasi bersama Legacy Pictures.

Setelah Magic Hour, film kedua Screenplay Films pun laris manis. London Love Story, yang dirilis pada tahun 2016 ini memasang nama-nama familiar di mata penonton yaitu Michelle Ziudith dan Dimas Anggara dan berhasil menggaet 1 juta penonton. Dengan prestasi raihan penonton yang di luar ekspektasi itu, Screenplay Films kembali menghadirkan kisah cinta Caramel dan Dave di seri berikutnya. Asep Kusdinar tetap -bahkan selalu -kembali menyutradari film-film Screenplay Films lewat London Love Story 2.

Film-film Screenplay Filmsmemang memiliki segmentasi penontonnya sendiri dan film-film mereka akan selalu dinantikan. Kesuksesan London Love Storyseri pertama secara kuantitas ini akan menjadi senjata utama dari Screenplay Films untuk merilis filmnya yang kedua. Formula cerita yang digunakan di London Love Story pertama ini penuh akan poin-poin klise dan kata-kata buaian tentang cinta. Tak perlu kaget, apabila London Love Story 2 ini juga akan kembali menggunakan formula yang sama. 


Kesalahan London Love Storysebelumnya adalah kemasannya yang belum sinematik. Screenplay Films yang berangkat dari rumah produksi untuk televisi memiliki problematika dalam membungkus kemasannya. Penonton tak diberi satu diferensiasi antara film televisi yang biasa mereka saksikan secara gratis dengan film yang mereka khususkan sebagai film bioskop. Begitu pula dengan dialog-dialognya yang tak memiliki kedewasaan serta penuh akan kiasan hiperbola tentang cinta.

Perubahan memang berubah secara bertahap, London Love Story 2 memang tak sepenuhnya berubah menjadi sebuah film dengan konten yang berbeda dan dewasa. Setidaknya, London Love Story 2 memperbaiki tata teknis filmnya yang jauh lebih sinematik. Meski begitu, London Love Story 2 tetap dipenuhi dengan dialog-dialog ajaib dan penuturan yang beda tipis dengan London Love Storysebelumnya. Meski dasar cerita dalam London Love Story 2 adalah tentang tahapan yang lebih matang dalam sebuah hubungan, tetapi kemasannya tetap kekanak-kanakan. 


Kisahnya tetap tentang Dave (Dimas Anggara) dan Caramel (Michelle Ziudith) yang sudah kembali bersama dan menjalani hubungan yang bahagia. Mereka pun berusaha untuk serius satu sama lain dan ingin lanjut ke hubungan yang lebih dewasa. Tetapi, perjalanan hubungan tak semulus yang mereka bayangkan. Dave mengajak Caramel pergi ke Swiss dengan tujuan liburan, tetapi perjalanan liburan mereka malah menjadi sebuah bencana bagi hubungan mereka.

Di tengah liburannya, Caramel yang sedang menikmati makanan di suatu restoran atas rekomendasi Sam (Ramzi), dikejutkan dengan hadirnya masa lalu Caramel saat SMA. Gilang (Rizky Nasar), Chef restoran itu adalah masa lalu dari Caramel yang pernah mengisi ruang hatinya. Sam yang sudah akrab dengan Gilang, mengenalkannya pada Dave. Dan mereka berempat pun liburan bersama-sama dan membuat Caramel was-was akan kehadiran Gilang di tengah hubungannya dengan Dave yang sudah bahagia. 


Tak salah apabila di sebuah film remaja masih menggunakan formula yang itu-itu saja, begitu pula yang terjadi di London Love Story 2. Film ini hanya mengulang, sulam dan tambal cerita-cerita usang agar menjadi sesuatu yang  baru. Pengarahan Asep Kusdinar pun masih berusaha untuk berkembang, meskipun tak terasa begitu signifikan. Penuturan kisah cinta klise di dalam London Love Story 2 sudah lebih berkembang ketimbang film pertamanya.

Setiap konflik yang ada di film ini setidaknya menemukan ritme yang lebih baik untuk diarahkan lebih runtut dibanding karya-karya Asep Kusdinar di Screenplay Films sebelumnya. London Love Story 2 pun berkembang menjadi sesuatu yang setidaknya masih bisa dinikmati dan tak membuat penonton bingung karena lantaran susunan plotnya minim kekacauan. Tetapi, bukan berarti London Love Story 2 akhirnya menjadi karya sempurna dan menjadi lonjakan dari film-film Screenplay Films sebelumnya.

London Love Story 2 dipenuhi dengan plot cerita yang membuat dahi berkerut karena banyak sekali keajaiban yang terjadi di dalam ceritanya. Kisah cinta segitiga yang penuh akan pengorbanan dihiasi dengan elemen-elemen kematian dan ditinggalkan dengan atas nama romantisasi. Belum lagi naskah yang diramu berdua oleh Sukhdev Singh dan Tisa TS masih memiliki rangkaian kata penuh majas hiperbola yang terasa dibuat-buat. 


Inilah yang selalu menjadi poin minus dari Screenplay Films di segala karyanya yang sebenarnya sudah memiliki perkembangan secara teknis. Naskah di London Love Story 2 inilah yang menjadi masalah karena tak diatur dengan baik. Terasa bagaimana London Love Story 2tak memiliki struktur cerita yang kuat, sehingga berdampak pula pada pengarahan Asep Kusdinar yang belum terlalu kuat. Dasar struktur dalam London Love Story 2 yang tak kuat ini akan membuat penontonnya bingung dan meraba apa yang terjadi oleh karakter-karakternya.

London Love Story 2 sibuk memberikan sorotan lebih kepada karakter sampingannya, sehingga Asep Kusdinar lupa untuk memberikan pengarahan lebih kepada plot utamanya. Sehingga, ketika masuk ke dalam konfliknya penonton akan berusaha sendiri mencari jawaban atas lubang cerita yang ada di dalam London Love Story 2. Belum lagi dialog-dialog hiperbola yang selalu mewarnai film-film Screenplay Films yang seakan-akan sudah menjadi signature.

Dialognya penuh akan romantisasi hiperbola yang tak begitu sanggup untuk didengar. London Love Story 2penuh akan dialog yang berusaha keras untuk diromantisasi dan hasilnya malah terdengar begitu hiperbolis. Terlalu manis untuk diucapkan setiap karakternya yang membuat film ini hanyalah sebuah hasil realisasi mimpi yang tak kunjung ditemukan oleh penulisnya. London Love Story 2 bukan malah menimbulkan efek romantis, yang ada malah menekankan bahwa film ini terasa dongeng yang fiktif. 


Dengan begitu, London Love Story 2 tak serta merta menjadi karya terbaik dari film-film Screenplay Films. Persepsi yang keluar adalah London Love Story 2 setidaknya memiliki babak yang lebih runtut dan lebih mending dibanding film-film sebelumnya. Sisi teknis sinematik di London Love Story 2 setidaknya sudah berkembang dan pengarahan yang sedikit berkembang. Tetapi, London Love Story 2 masih memiliki kelemahan-kelemahan film Screenplay Films sebelumnya. Struktur cerita yang tak terlalu kuat diiringi dengan dialog-dialog ajaib yang membuat penonton tak bisa menahan tawa. Meski digadang sebagai sebuah film romantis, London Love Story 2 hanya sebuah realisasi mimpi yang tak terwujud dengan kemasan yang hiperbolis. 

Jumat, 27 Januari 2017

CEK TOKO SEBELAH (2016) REVIEW : Komedi Dengan Misi Mulia yang Belum
Maksimal

CEK TOKO SEBELAH (2016) REVIEW : Komedi Dengan Misi Mulia yang Belum Maksimal


Kesuksesan Ngenest The Movie, membuat Ernest Prakasa dipercaya oleh Starvision untuk membuat karya. Kesuksesannya pun tak sekedar dalam meraih angka penonton, tetapi secara kualitas pun Ngenest The Movie bisa melampaui ekspektasi penontonnya. Tak hanya dipercaya oleh rumah produksi, karya-karya Ernest Prakasa akan dinantikan oleh penikmatnya. Di tahun 2016 lalu, Ernest Prakasa kembali menghadirkan sebuah film komedi dengan misi yang sangat besar untuk disajikan kepada penontonnya.
 
Lewat ‘Cek Toko Sebelah’, Ernest Prakasa berusaha untuk kembali membuktikan kemampuannya dalam mengarahkan sebuah film. Genre komedi ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Ernest Prakasa tetapi ada keseriusan yang lebih diperhatikan di film keduanya. Adanya Dion Wiyoko, Adinia Wirasti, Chew Kin Wah, dan mengambil keputusan berani mendatangkan wajah baru seperti Gisela, menunjukkan bahwa Ernest Prakasa di film keduanya ini sudah tak main-main.

Cek Toko Sebelah lagi-lagi mengangkat tema ras Tionghoa yang memang dekat dengan pribadi Ernest Prakasa. Tetapi, poin utama dari film Cek Toko Sebelah bukan lah tentang Tionghoa sebagai minoritas di Indonesia. Poin utama dari Cek Toko Sebelah adalah tentang keluarga, pesan yang begitu universal bagi siapapun. Maka dari itu, Cek Toko Sebelah memiliki misi yang sangat besar sebagai sebuah film komedi karena misinya untuk menyampaikan pesan yang serius itu dengan kemasan ringan. 


Misinya mulia, pesannya pun hangat, tetapi Cek Toko Sebelah yang berusaha keras untuk meminimalisir filmnya agar tak terlalu berat ini menjadi bumerang di keseluruhan film. Sebagai sebuah film komedi, tak dapat dipungkiri bahwa Cek Toko Sebelah berhasil menghibur penontonnya. Tetapi, hal tersebut bukan berarti menjadi kabar baik. Cek Toko Sebelah memiliki kekurangan-kekurangan yang harusnya bisa diperbaiki di karya-karya Ernest Prakasa selanjutnya.

Problematika domestik yang dibawa oleh Ernest Prakasa ini memang berusaha agar dapat diterima oleh banyak orang, tak hanya dikhususkan kepada kaum Tionghoa yang direpresentasikan di film ini. Ernest tahu bahwa tujuan dari Cek Toko Sebelah ini adalah untuk menumbuhkan relevansi problematika kaum minoritas Indonesia. Menunjukkan bahwa problematika yang terlihat tersegmentasi ini sebenarnya adalah realita sosial yang ada di setiap orang. 


Gambaran realita sosial itu tergambar lewat dari plot Cek Toko Sebelah yang menceritakan tentang bisnis toko kelontong milik Koh Afuk (Chew Kin Wah). Dia merasa bahwa dirinya semakin tua untuk mengurus toko kelontongnya, apalagi setelah ditinggal oleh istrinya (Dayu Wijayanto). Koh Afuk pun memutuskan untuk mewariskan tokonya ke Erwin (Ernest Prakasa). Mendengarkan keputusan koh Afuk, Yohan (Dion Wiyoko) sebagai anak sulung pun tak terima bila toko tersebut diberikan kepada Erwin sebagai anak bungsu.

Erwin pun tak senang mengetahui bahwa dirinya akan mewarisi toko tersebut, karena karir Erwin sedang naik-naiknya. Tetapi, Koh Afuk berusaha untuk meyakinkan Erwin agar mau melanjutkan toko kelontong milik keluarga ini. Akhirnya, Erwin diberi masa percobaan untuk mengurus toko kelontong tersebut selama sebulan. Tetapi, masalah-masalah di toko kelontong ini tak hanya datang dari internal keluarga, tetapi juga oknum-oknum lain yang berusaha membeli toko kelontong koh Afuk untuk kepentingan yang lain. 

 
Menuliskan permasalahan dengan ranah domestik atau pribadi tetapi berusaha memberikan dampak secara luas dan untuk semua kalangan ini dibutuhkan ketelitian. Naskah yang ditulis oleh Ernest Prakasa dan juga mendapat pengembangan cerita dari sang Istri, Meira Anastasia, ini memiliki kehati-hatian itu. Problematika di dalam plot cerita ini memiliki banyak kekayaan bila dirasakan lewat naskahnya, tetapi hasilnya di layar tak dapat dirasakan sepenuhnya.

Dengan durasi mencapai 104 menit, Cek Toko Sebelah terlihat memiliki keterbatasan dalam memperlihatkan kekayaan naskahnya. Yang menyebabkan hal tersebut adalah bagaimana Ernest yang sibuk berusaha menumpulkan isu sosialnya yang berat dengan kemasan komedi yang terlalu banyak. Sekuens-sekuens komedi itu memang cara jitu untuk sesekali digunakan sebagai pelarian diri dari plot yang terlalu serius. Tetapi, sekuens komedi ini tak bisa membaur menjadi satu dengan penuturan plot utamanya dan jadinya informasi yang diterima akan terpisah-pisah.

Cek Toko Sebelah pun tak bisa menjadi sebuah film yang utuh, perkembangan karakternya pun tak bisa terasa maksimal. Ada rasa Ernest ingin mendekatkan penonton dengan setiap karakternya, apalagi problematika seperti ini memang dekat dengan kehidupan sosial yang ada. Hanya saja, penuturannya terbata-bata, sehingga tujuan Ernest untuk mendekatkan itu kurang bisa tersampaikan. Ketika penonton sudah berusaha ingin menyatu dengan setiap karakter dan konfliknya, sekuens komedinya malah mendistraksi intimasi dengan karakternya. 


Kekuatan dari Cek Toko Sebelah adalah nilai produksi yang dibuat dengan teliti. Parodi brand produk yang ada di dalam film ini adalah bentuk salah satu ketelitian Ernest saat mengarahkan film ini. Selain dalam hal teknis, poin penting yang patut mendapat apresiasi adalah penampilan Dion Wiyoko dan Adinia Wirasti. Dion Wiyoko berhasil menerjemahkan kegelisahan Yohan yang merasa bahwa hirarkinya terganggu, diimbangi dengan permainan persona yang teduh dari Adinia Wirasti sebagai ayu. Sehingga, keduanya berhasil menjadi sorotan utama bagi film Cek Toko Sebelah ini.

Cek Toko Sebelah sebenarnya adalah sebuah film yang dibuat dengan teliti dan hati-hati. Hal itu terasa di dalam naskahnya yang ditulis begitu kaya. Hanya saja, dalam translasi menjadi sebuah film, Cek Toko Sebelah tak dapat menjadi sebuah film yang utuh. Hal itu dikarenakan distraksi sekuens komedi yang pada akhirnya menghambat perkembangan konfliknya, sehingga kekayaan naskahnya dalam menggambarkan isu-isu sosial itu tak dapat muncul dengan maksimal. Tetapi, detil nilai produksi dan performa Dion Wiyoko serta Adinia Wirasti ini menunjukkan bahwa Ernest Prakasa sebagai sutradara sebenarnya memiliki misi yang kuat dan mulia. Cek Toko Sebelah harusnya punya performa yang jauh lebih bagus dari ini. 

Rabu, 04 Januari 2017

HANGOUT (2016) REVIEW : Zona Baru Raditya Dika dengan Cara Lama

HANGOUT (2016) REVIEW : Zona Baru Raditya Dika dengan Cara Lama


Nama Raditya Dika yang sudah menjadi sebuah brand tersendiri di Indonesia, lantas membuat para rumah produksi sudah mulai percaya dengan kinerjanya. Setelah proyek Koala Kumal bersama Starvision Plus, di tahun ini pula Raditya Dika bekerja sama dengan Rapi Films untuk merilis sebuah karya baru yang ditulis dan juga diarahkan oleh dirinya sendiri. Proyeknya kali ini berusaha berbeda dengan apa yang sudah dikerjakan sebelumnya.

Raditya Dika berusaha keluar dari zona nyamannya yang sudah terbiasa mengarahkan sebuah drama komedi cinta patah hati di setiap filmnya. Raditya Dika tetap bermain di wilayah komedi yang sudah menjadi kebiasannya tetapi digabungkan dengan genre thrilleratau mungkin lebih kepada misteri. Rapi Films menaungi film eksperimen Raditya Dika ini dengan judul Hangout. Di sinilah sebenarnya Raditya Dika berusaha untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa diperhitungkan untuk menjadi sutradara yang lebih berbeda.

Setelah kematangan Raditya Dika lewat ‘Single’ ataupun ‘Koala Kumal’, tentu membuat adanya kepercayaan tersendiri lewat film Hangout. Meskipun, ada pula rasa khawatir yang tetap hadir karena apa yang dikerjakan ini masih baru di tangan Raditya Dika. Yang terjadi, sebenarnya ‘Hangout’ masih memiliki kematangan bertutur milik Raditya Dika. Hanya saja, beberapa poin di dalam film ‘Hangout’ ini membuat intensitas filmnya menurun dan masih terasa terburu-buru dalam pembuatannya. 


Kali ini, cerita dari Raditya Dika di dalam film Hangout mengisahkan tentang 9 artis yang memerankan dirinya sendiri. Mereka adalah Raditya Dika, Surya Saputra, Prilly Latuconsia, Mathias Muchus, Dinda Kanya Dewi, Bayu Skak, Gading Marten, Soleh Solihun, dan Titi Kamal. Mereka adalah artis-artis dengan sifat-sifatnya yang berbeda dan sedang diundang oleh Tonni P. Sacalu untuk acara off-air di sebuah pulau terpencil. Mereka mau datang ke acara tersebut karena mereka mendapatkan masing-masing 50 juta sebagai bayaran mereka.

Mereka masih tak tahu acara seperti apa yang akan mereka lakukan di pulau tersebut. Tetapi, hal tragis menimpa mereka ketika mereka tahu mereka sedang dijebak di pulau tersebut. Satu persatu dari mereka dibunuh dan tak tahu pelaku siapa. Mereka berusaha keluar dari pulau tersebut dan mereka menyadari bahwa salah satu dari mereka adalah pembunuhnya. Orang-orang yang tersisa di pulau itu berusaha mencari siapa pembunuhnya. 


Konsep yang dimiliki oleh Raditya Dika di dalam film Hangout ini sangat menarik. Poin pertama yang membuat film Hangout ini menarik adalah ketika 9 karakter ini memerankan diri mereka sendiri. Mengingatkan penontonnya dengan film-film meta seperti This Is The End. Poin kedua adalah bagaimana penonton akhirnya diberikan pilihan dari karya-karya Raditya Dika untuk mencoba hal baru. Di dalam film Hangout ini, Raditya Dika menawarkan unsur misteri yang belum pernah dia gunakan sebelumnya, apalagi ditambahi dengan unsur komedi yang notabene masih baru di perfilman Indonesia.

Bisa dikatakan, misteri-misteri yang berusaha disebarkan kepada penonton di dalam film Hangout ini masih enak untuk diikuti. Raditya Dika berusaha menuturkan setiap kejadian-kejadian di dalam film ini dengan baik. Di durasinya yang mencapai 100 menit, bisa dibilang Raditya Dika masih bertutur dengan tetap menyembunyikan misteri. Cukup mengagetkan pula, dengan jejak rekam Raditya Dika yang belum pernah menangani film seperti ini, film Hangout ini berhasil memiliki momen-momen yang berhasil membuat penontonnya ikut tegang.

Sehingga, ada potensi dari dalam diri Raditya Dika untuk menunjukkan sisi lain di dalam dirinya di karya-karya selanjutnya. Tetapi, film ini pun masih minim akan eksplorasi yang seharusnya bisa memiliki kemasan jauh lebih baik lagi. Bila dibandingkan dengan kematangan yang ada di dalam film-film Raditya Dika sebelumnya, Hangout bisa dibilang penurunan dibandingkan keduanya. Ada rasa sedikit terburu-buru ketika menggarap proyeknya ini. Raditya Dika seperti hanya menawarkan kematangan dalam pemilihan genre, bukan kedewasaan yang berusaha muncul seperti dua film sebelumnya. 


Masih ada rasa ketakutan Raditya Dika yang masih tercermin di dalam film Hangout karena ini adalah sesuatu yang baru darinya. Terlihat bagaimana Raditya Dika masih terlihat bermain aman dalam menjalankan setiap ceritanya. Sehingga di beberapa bagian, Raditya Dika masih juga berkutat dengan hal-hal itu saja. Meski harus diakui, Raditya Dika masih pintar menggunakan referensi-referensi kehidupan bisnis hiburan sebagai set up komedinya. Tetapi, sayangnya hal itu juga minim eksplorasi.

Jadilah bagaimana Hangout penuh akan toilet jokesyang terkadang lebih kepada menganggu daripada menghibur. Guyonannya tak jauh-jauh dari alat vital, toilet, dan organ-organ tubuh lain yang masih terasa menjijikkan untuk diekspos. Dengan kematangan yang sudah ditawarkan lewat Single dan Koala Kumal dari segi referensi komedi, rasanya Hangout adalah titik di mana Raditya Dika ternyata kembali menjadi film komedi yang terasa mentah dan kasar. Meskipun, harus diakui usaha keras Raditya Dika membangun banyak sekali punchlinekomedi di setiap menit agar tetap menjaga intensitas komedinya perlu mendapat apresiasi. 


Bagaimana Raditya Dika terlihat bermain aman terlihat ketika film ini sebagai sebuah misteri, ternyata hanya sekedar sampai menunjukkan bahwa misteri itu perlu dijawab. Tetapi, setelah itu penonton tak diberi berbagai macam alasan yang jauh lebih kuat dari itu untuk lebih yakin tentang motif yang dilakukan karakernya hingga harus melakukan hal seberani itu. Dan alih-alih menjawab, Raditya Dika malah memberikan sebuah nilai moral dari film misterinya dan memberikan turn over character yang juga sangat lemah.

Karena berusaha bermain aman itulah yang membuat daya tarik dan kekuatan dari film Hangout berhasil keluar secara utuh. Hangout akhirnya berakhir seperti itu-itu saja, padahal film ini sudah memiliki banyak sekali pemain-pemain bagus yang dapat mendukung film ini secara keseluruhan. Tetapi, patut diacungi jempol bahwa Dinda Kanya Dewi adalah poin utama yang membantu performa Hangout untuk bisa mendapatkan poin komedinya yang efektif.


Sebagai sebuah film yang berusaha keluar dari zona aman, Hangout sebenarnya masih kurang akan eksplorasi dari Raditya Dika dan malah membuat filmnya masih berada di zona aman miliknya. Tetapi, lewat film inilah terlihat bagaimana Raditya Dika sebenarnya memiliki banyak sekali konsep yang sangat pintar. Memberikan meta film yang berhasil membiaskan sesekali penontonnya bahwa ini adalah film fiksi, bukan realita yang terjadi di kehidupan bisnis hiburan Indonesia. Tetapi, setelah bagaimana kematangan dalam menulis skenario lewat Single dan Koala Kumal, film Hangout jelas terasa memiliki segi kematangan menulis yang menurun. Pemilihan komedi yang lebih kasar ketimbang satir, motif karakter yang lemah, dan penuturannya yang harusnya lebih rapat adalah konsekuensi dari ketidakmatangan itu. Hangout harusnya bisa jauh lebih baik lagi!