Tampilkan postingan dengan label June. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label June. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

JURASSIC WORLD : FALLEN KINGDOM (2018) REVIEW : Ekspansi Dunia Yang
Hilang Kemagisannya

JURASSIC WORLD : FALLEN KINGDOM (2018) REVIEW : Ekspansi Dunia Yang Hilang Kemagisannya


Meneruskan kembali sebuah warisan legendaris memang tak semudah itu. Menyandang nama besar tentu akan membuat sebuah film mampu dikenal lebih cepat oleh khalayak luas. Inilah yang terjadi dengan franchise dunia dinosaurus yang awalnya dibangun oleh Steven Spielberg yang berdasarkan novel Michael Crichton, Jurassic Park. Di era sekarang, franchise ternama ini sudah diremajakan dengan nama Jurassic World yang tetap disupervisi oleh Steven Spielberg.

Kesuksesan secara angka dengan mudah diraih oleh Jurassic World yang diarahkan oleh Colin Trevorrow. Sehingga, Universal Pictures dengan mudah memberikan lampu hijau agar franchise ini tak berhenti begitu saja. Tahun ini, Jurassic World kembali hadir dengan sutradara baru yaitu J.A. Bayona dan mengekspansi dunianya dengan film keduanya berjudul Jurassic World : Fallen Kingdom. Meski tak lagi mengarahkan, Colin Trevorrow tetap andil dalam penulisan naskahnya dibantu oleh oleh Derek Connolly.

Kesuksesan seri dari Jurassic World ini tentu saja memerlukan kedua pemain utamanya, Chris Pratt dan juga Bryce Dallas Howard dan keduanya kembali hadir di sekuel tersebut. Kebutuhan Jurassic World : Fallen Kingdom untuk mengekspansi dunianya perlu mendapatkan tambahan karakter lainnya sehingga film ini pun akan semakin ramai. Hanya saja dengan ekspansi dunianya yang semakin besar, tak membuat Jurassic World : Fallen Kingdom tahu caranya yang tepat


Kembali melanjutkan linimasa cerita dari serinya yang pertama, Jurassic World : Fallen Kingdom menceritakan ketika Claire (Bryce Dallas Howard) berusaha untuk menyelamatkan para dinosaurus di Isla Nublar karena kondisi alam yang ada di sana yang tak lagi memadai. Sayangnya, kegiatan tersebut dianggap ilegal oleh pemerintah. Hingga suatu saat, Claire ditawari oleh seseorang utusan dari Benjamin Lockwood (James Cromwell) untuk menyelamatkan mereka.

Tahu akan penawaran ini, Claire pun butuh bantuan banyak orang mulai dari organisasi penyelamat hewan hingga salah satu pegawai Jurassic World. Orang tersebut adalah Owen Grady (Chris Pratt) yang memang memiliki kedekatan dengan salah satu jenis dinosaurus di sana. Di tengah usaha penyelamatan dinosaurus di Isla Nublar, Claire melihat ada penyimpangan tujuan utamanya. Ternyata, ada beberapa oknum yang berusaha untuk mengambil keuntungan dari dinosaurus-dinosaurus tersebut.


Dengan plot cerita demikian, Jurassic World : Fallen Kingdom seharusnya memiliki potensi untuk memberikan ekspansi dunia dengan cara yang menarik. J.A. Bayona terlihat sangat berusaha mengarahkan Jurassic World : Fallen Kingdom sekuat tenaga agar bisa memberikan performa yang kuat. Tetapi, ketidaktepatan Jurassic World : Fallen Kingdom terletak pada lemahnya penulisan naskah oleh Colin Trevorrow dan juga Derek Connolly.

Jurassic World : Fallen Kingdommemiliki performa yang sangat bisa dinikmati di satu jam pertama filmnya. Dalam satu jam tersebut, Jurassic World : Fallen Kingdom tahu untuk memanfaatkan potensi-potensinya. Mulai dari visual efek yang luar biasa, letupan komedi yang sesuai takarannya, hingga bagaimana Jurassic World : Fallen Kingdomdi satu jam pertama pun bisa memaksimalkan kekuatan nostalgia sehingga penonton bisa merasakan kembali pengalaman pergi ke Isla Nublar dengan baik.

Sayangnya, ambisi menggebu-gebu Colin Trevorrow dan Derek Connolly dalam mengekspansi franchise ini tak lagi bisa berada di jalan yang tepat. Banyak sekali plot cerita yang saling tumpang tindih dan ingin sekali untuk diceritakan. Sehingga, perjalanan Jurassic World : Fallen Kingdom tak lagi bisa fokus dengan jalan utamanya. Hal inilah yang malah membuat performa Jurassic World di satu jam berikutnya tak lagi terasa menggiurkan untuk diikuti.


Munculnya karakter-karakter baru di dalam film ini pun tak memiliki urgensi yang kuat untuk hadir menguatkan performa filmnya. Sehingga di durasinya yang mencapai 125 menit, Jurassic World : Fallen Kingdom nampak masih tak efektif untuk menuturkan segala poin ceritanya karena terlalu banyak informasi yang ingin disampaikan. Pun, adanya perpindahan mood cerita yang tak lagi tampak sama dengan apa yang hadir di satu jam pertamanya.

Jurassic World : Fallen Kingdomberusaha untuk memberikan penonton sebuah pengalaman serupa yang hadir di film kedua Jurassic Park, yaitu The Lost World. Serta memiliki tujuan untuk memberikan perubahan untuk menjadi lebih baik. Sayangnya, Jurassic World : Fallen Kingdom pun akhirnya malah jatuh ke dalam kesalahan yang sama seperti dengan The Lost World. Tak memiliki rasa magis yang sama dengan seri pendahulunya meski telah memiliki babak penceritaan baru


Ekspansi dunia Jurassic World : Fallen Kingdom pun tampak tak begitu kentara berkat performanya yang tak lagi prima seperti pendahulunya. J.A. Bayona sudah sangat berusaha menutupi berbagai cabang cerita yang menjadi problematika di film ini agar sedikit lebih baik. Sehingga, di beberapa bagian dari Jurassic World : Fallen Kingdom masih memiliki intensitas ketegangan dan emosional yang pas. Hal ini sudah menjadi ciri khas J.A. Bayona di beberapa film-film yang pernah dia arahkan sebelumnya.

Setidaknya yang tertinggal di Jurassic World : Fallen Kingdom adalah konklusi akhir cerita yang bisa membuat orang bertanya-tanya apa yang akan terjadi di film selanjutnya. Sehingga, Jurassic World : Fallen Kingdom hanya akan menantikan performa box office yang gemilang saja. Karena hanya itulah saja harapan untuk franchise film ini agar mendapatkan lampu hijau untuk melakukan ekspansi di film selanjutnya dan semoga saja bisa jadi lebih baik.
OCEAN’S 8 (2018) REVIEW : Tempat Para Aktris Terkenal Bersenang-senang

OCEAN’S 8 (2018) REVIEW : Tempat Para Aktris Terkenal Bersenang-senang

 
Sebuah film bertema perampokan dengan artis perempuan sebagai para pelakunya? Hal ini mungkin akan sangat segar dilakukan perfilman Hollywood saat ini. Inilah yang berusaha dilakukan oleh Warner Bros Pictures bersama dengan sutradara Gary Ross untuk mengembalikan keluarga Ocean kembali ke layar lebar. Tak ada George Clooney, Brad Pitt, dan Matt Damon, kali ini kehormatan keluarga Ocean berada di tangan para perempuan tangguh untuk merampok harta berharga di Amerika.

Inilah dia proyek bernama Ocean’s 8 yang sangat ambisius mengedepankan nama-nama aktris besar dari Sandra Bullock, Cate Blancett, Anne Hathaway hingga Rihanna untuk melakukan tindakan kriminal. Ocean’s 8 bisa dibilang bukanlah sebuah reboot, tetapi menceritakan sisi lain dari keluarga Ocean yang berbeda. Setelah George Clooney yang berperan sebagai Danny Ocean di Ocean’s trilogy milik Steven Soderbergh. Kali ini, Ocean’s 8 akan menyorot kehidupan Debbie Ocean yang juga sama-sama memiliki rencana untuk mendapatkan sesuatu yang besar.

Meski dengan sutradara yang berbeda, Ocean’s 8 tentu sangat diminati banyak orang hanya berkat nama-nama besar yang terlibat di dalam filmnya. Ocean’s 8 ini sepertinya tetap memberikan sebuah film hiburan yang ringan dan seru untuk dinikmati oleh penontonnya. Akan tetapi, teknik pengarahan dari Gary Ross yang tak bisa sekuat apa yang dilakukan oleh Steven Soderbergh bisa mengurangi performa Ocean’s 8 yang berpotensi lebih prima.


Babak penceritaan dari Ocean’s 8pun bisa dikategorikan bermain aman. Tak ada yang segar dalam babak penceritaan dari Ocean’s 8 ini. Naskah yang juga ditulis oleh Gary Ross bersama dengan Olivia Milch ini tak bisa mengeksplorasi trik-trik pencurian baru di dalam genre filmnya. Naskah milik Ocean’s 8 hanya mengulangi formula-formula yang sama yang dimiliki oleh film Ocean’s Trilogy sebelumnya atau film-film bertema serupa.

Ocean’s 8 menceritakan tentang seorang perempuan paruh baya bernama Debbie Ocean (Sandra Bullock) yang baru saja keluar dari penjara karena telah melakukan pencurian. Tetapi, hal itu tak membuat dirinya kapok dan berhenti melakukan kegiatan tersebut. Debbie merencanakan sebuah tindak kriminal baru dengan mengajak rekan yang sudah dirinya kenal lama yaitu Lou (Cate Blanchett). Mereka akan mencuri sebuah perhiasan termahal yang ada di New York.

Sayangnya, rencana ini tak bisa mereka lakukan berdua saja. Debbie dan Lou merekrut banyak perempuan-perempuan kriminal lainnya untuk ikut andil dalam rencana ini. Mulai dari teman lama mereka bernama Tammy (Sarah Paulson), seorang peretas canggih bernama Nine Ball (Rihanna), hingga seorang mantan desainer terkenal bernama Rose Weil (Helena Bonham Carter). Mereka akan mencuri sebuah perhiasan bernilai jutaan dolar yang akan dipakai oleh seorang aktris, Daphne Kruger (Anne Hathaway).


Dengan formula cerita yang diadaptasi dari beberapa film dengan tema serupa memang tak ada salahnya jika bisa dikemas dengan baik pula. Sayangnya, Gary Ross masih tak bisa memaksimalkan potensi yang ada di dalam Ocean’s 8 sehingga bisa tampil dengan performa yang juga bisa mencuri perhatian. Ocean’s 8 terjebak dalam penuturan cerita yang tak istimewa tak seperti nama-nama yang ikut serta di dalam film ini.

Paruh awal dari Ocean’s 8ini belum bisa menemukan ritmenya yang pas. Sehingga, beberapa motif dan latar belakang cerita dari setiap karakter di dalam film ini tak bisa disampaikan dengan baik. Terlebih, kedelapan karakter perempuan di dalam film ini punya perannya masing-masing. Sehingga, akan lebih baik jika penonton pun juga bisa ikut kenal dan simpati dengan setiap karakternya. Dengan durasinya yang mencapai 115 menit, Ocean’s 8 hanya berputar di tempat.


Gary Ross nampaknya ragu untuk mengeksplorasi dan mengembangkan potensi dari Ocean’s 8 hingga mencapai titik puncaknya. Banyak sekali pesan yang berusaha disampaikan tak bisa diterima utuh oleh penontonnya. Perlu waktu bagi Gary Ross untuk bisa menyampaikan apa yang dirinya mau kepada penonton. Beruntungnya, di paruh kedua film ini, Gary Ross bisa memberikan tempo yang jauh lebih pas dibandingkan dengan satu jam awalnya.

Setelah cerita fokus ke rencana pencurian, barulah Ocean’s 8 bisa mengeluarkan kekuatannya sehingga dapat menghibur penontonnya. Meski tak ada yang baru dengan rencana pencuriannya, tetapi Gary Ross masih bisa mengemasnya dengan takaran yang pas. Sehingga, saat rencana pencurian berlangsung, penonton bisa juga ikut bersenang-senang dengan apa yang dilakukan oleh para pemeran perempuan yang ada di dalam film ini.


Meskipun, beberapa cerita yang tak meyakinkan di awal bisa membuat pelaksanaan pencurian ini tak bisa semencengkram yang semestinya. Tetapi, bagaimana Sandra Bullock, Cate Blanchett, Sarah Paulson, Anne Hathaway, Mindy Kailing, Rihanna, Helena Bonham Carter, dan Awkwafina bisa terlihat sangat senang bermain di dalam film ini bisa menutupi kekurangan Ocean’s 8. Kesenangan para ensemble cast film ini bisa disalurkan menjadi sebuah performa yang keren dan memiliki kharismanya yang kuat. Serta inilah nyawa dari film ini sehingga bisa menghibur penontonnya.

INCREDIBLES 2 (2018) REVIEW : Paket Liburan Keluarga Yang Seru

INCREDIBLES 2 (2018) REVIEW : Paket Liburan Keluarga Yang Seru

 
Bagi yang pernah menonton The Incredibles, terlebih bagi mereka yang saat itu menontonnya di tahun 2004, pasti akan sangat menantikan kelanjutan dari adegan dari terakhirnya. Setelah banyak pergantian tahun dan sekuel-sekuel dari film-film animasi Pixar lainnya, akhirnya Pixar sadar untuk memberikan jawaban atas adegan kota yang porak poranda di akhir The Incredibles. Berselang 14 tahun, bagi para penggemar The Incredibles tentu saja ini waktu cukup lama.

Sebuah pernyataan datang dari Brad Bird bahwa sekuel dari film ini tak ingin dibuat sembarangan. Oleh karena itu, Brad Bird membutuhkan waktu yang lama hingga akhirnya Incredibles 2hadir untuk menyapa penontonnya di tahun 2018 ini. Brad Bird mengumpulkan kembali nama-nama yang pernah mengisi suara keluarga Mr. Incredibles dan rekannya. Bahkan membuat sebuah karakter baru demi perkembangan cerita di Incredibles 2 yang lebih baik.

Meski memiliki jeda selama 14 tahun, Brad Bird memutuskan untuk tak melewati adegan terakhir di film The Incredibles. Di film Incredibles 2ini linimasa ceritanya akan langsung melanjutkan adegan terakhir di dalam film pertamanya. Brad Bird seakan mengetahui apa yang diinginkan oleh penontonnya untuk sekedar mendapatkan jawaban tentang akhir cerita tersebut. Usaha Brad Bird untuk menghadirkan sekuel yang pantas pun dijawab dengan mudah di Incredibles 2.


Brad Bird tak sembarangan dan tak aji mumpung untuk mengembangkan cerita sekuel dari The Incredibles. Dengan adanya permintaan sekuel, Brad Bird malah membuatnya dengan sangat hati-hati karena agar tak mengalami penurunan performa dibandingkan dengan film pertamanya. Di tengah gempuran film-film superheroyang sudah berdatangan, Incredibles 2mampu tampil sangat segar dan memberikan alternatif cerita superhero yang sangat bisa dinikmati oleh keluarga.

Incredibles 2 seperti memberikan pernyataan bahwa meski dalam format film animasi, film ini mampu untuk disandingkan dan masuk daftar film-film superhero terbaik yang pernah dibuat. Brad Bird sebagai penulis naskah bersama Pixarberusaha untuk memberikan kedewasaan bercerita yang khas. Incredibles 2 pun ikut menggunakan isu tentang perempuan agar memiliki relevansi dengan apa yang terjadi masa kini. Sehingga, Incredibles 2  kali ini akan berfokus kepada Helen Parr atau Elastigirl.

 

Incredibles 2 memperlihatkan problematika superhero perempuan yang diwakilkan oleh karakter Helen Parr atau Elastigirl (Holly Hunter) di dalam film ini. Superhero memang masih tak bisa beroperasi lagi, sehingga sebuah perusahaan bernama Devtech yang dipimpin oleh Winston Deavor (Bob Odenkirk) bersama saudara perempuannya, Evelyn Deavor (Catherine Keener) berusaha untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap superhero.

Mereka mengumpulkan Mr. Incredibles (Craig T. Nelson), Elastigirl, dan Frozone (Samuel L. Jackson) untuk bekerjasama. Winston dan Evelyn menunjuk Elastigirl untuk memimpin operasi ini sebagai uji coba agar kampanye yang dilakukan berhasil. Tentu saja hal ini mengubah kehidupan dari Mr. Incredibles atau Bob Parr. Dirinya pun harus melakukan pekerjaan rumah yang biasa dilakukan oleh istrinya. Mr. Incredibles pun harus berusaha dekat dengan anak-anaknya yaitu Violet (Sarah Powell), Dash (Huck Miller), dan si bungsu Jack-Jack (Eli Fucile).


Incredibles 2 sangat menyinggung isu tentang pekerjaan domestik yang biasa dilakukan oleh perempuan. Ini sangat relevan dengan kondisi masa sekarang di mana perempuan pun bisa memiliki pilihan untuk sejenak meninggalkan pekerjaan domestik demi melakukan hal yang mereka sukai. Pesan inilah yang diangkat dan disematkan kepada karakter Bob dan Helen Parr sebagai sepasang suami istri lewat Incredibles 2. Pun, pesan tentang perempuan ini disampaikan tanpa ada keberpihakan gender yang terlalu signifikan. Pintarnya pula, pesan berat ini bisa dikemas dan disampaikan dengan cara yang sangat ringan.

Pengarahan dari Brad Bird pun sebenarnya tak selamanya mulus. Paruh pertama, Brad Bird pun masih terasa ragu untuk menyampaikan ceritanya. Tetapi tak berlangsung lama, Brad Bird tahu bagaimana mengemas kisahnya yang berat dengan caranya yang pas. Incredibles 2masih mengetahui pangsa pasarnya adalah penonton anak-anak. Sehingga, pesan tersebut ditampilkan secara implisit dan tak terlalu membuatnya terlalu kelam.

Brad Bird tetap berusaha menjadikan Incredibles 2 sebagai sebuah film animasi yang bisa menyenangkan berbagai pihak mulai dari anak-anak hingga orang dewasa yang menemani mereka. Dengan tujuan tersebut, Incredibles 2pun memiliki comedic timing yang sangat pas dan sangat menghibur penontonnya.Jack-Jack lah pion yang digunakan untuk memberikan comedic timing di dalam film Incredibles 2.


Selain itu, pemberian porsi komedi ini juga dijadikan sebagai pengembangan karakter bagi sosok Jack-Jack yang di film pertamanya memiliki clue yang perlu dibahas di film keduanya. Begitu juga dengan karakter-karakter lainnya yang juga memiliki porsi yang juga sesuai. Fokus Incredibles 2yang membahas keluarga dengan cara lebih kental inilah yang membuat Incredibles 2 tampak begitu segar untuk dinikmati penontonnya.

Incredibles 2 juga memiliki villain dengan motif yang sangat kuat. Bagi yang sudah memiliki banyak referensi menonton, twist yang terjadi di Incredibles 2 mungkin tak akan semencengangkan itu. Tetapi, motif karakter penjahatnya yang kuat dan bagaimana Brad Bird mengarahkan karakter tersebut bisa membuat Incredibles 2 terlihat sangat matang.  Sebagai film animasi, jangan remehkan bagaimana Incredibles 2 mengemas adegan aksinya.

Ada detil warna dan pergerakan kamera yang benar-benar diperhatikan oleh Brad Bird sehingga Incredibles 2bisa tampil begitu kuat. Dengan durasinya yang mencapai 118 menit, Incredibles 2 tetap bisa menjaga tensinya dengan sangat baik. Penekanan Incredibles 2 telah masuk ke babak baru pun ditekankan lewat warna-warna yang lebih kelam tapi tetap eye-catching. Pun, komposisi musik latar yang luar biasa indah dari Michael Giacchino juga mampu memperkuat setiap menit dari film ini.


Lantas, Incredibles 2 bisa dikategorikan sebagai sebuah sekuel yang berhasil. 14 tahun penantian para penggemarnya terbayar lunas berkat performa pengarahan yang gemilang dari Brad Bird di Incredibles 2 ini. Meski tak bisa dibilang lebih baik dari yang pertama, tetapi Incredibles 2 berhasil memiliki performa yang sama bagusnya dengan film pertamanya. Incredibles 2 tak hanya menggunakan kekuatan nostalgianya saja, tetapi juga mampu berkembang menjadi sebuah paket liburan seru bagi seluruh anggota keluarga. Bahkan, bisa jadi menumbuhkan penggemar baru di era ini. Bagus sekali!

Senin, 02 Juli 2018

JAILANGKUNG 2 (2018) REVIEW : Performa Sebuah Sekuel Yang Semakin
Menurun

JAILANGKUNG 2 (2018) REVIEW : Performa Sebuah Sekuel Yang Semakin Menurun


Memiliki raihan secara kuantitas hingga 2,5 juta penonton, tentu menjadi pertimbangan tersendiri bagi Screenplay Films untuk melanjutkan kisah tentang matianak. Meskipun, di akhir film Jailangkung pertama penonton sudah diberi petunjuk tentang adanya sekuel untuk film ini. Performa Jailangkung pertama yang belum matang tak menjadi alasan bagi proyek ini untuk berhenti. Mungkin, di film keduanya Jailangkung bisa membenarkan kesalahannya di film pertama.

Jailangkung 2 kembali ditangani oleh Rizal Mantovani bersamaan dengan Jose Purnomo untuk mengarahkan filmnya. Sama-sama memiliki jejak rekam menangani film horor dan bahkan berkecimpung di mitos yang sama, tentu menjadi alasan kenapa mereka berdua tetap menangani sekuel dari Jailangkung. Selain sutradara yang sama, tentu saja Jailangkung 2 kembali menggunakan dua pemain utamanya yaitu Jefri Nichol dan Amanda Rawles.

Bukan hanya itu, nama-nama besar seperti Hannah Al-Rashid, Lukman Sardi, bahkan almarhum Deddy Soetomo ikut menjadi bagian dari Jailangkung 2 ini. Untuk urusan naskah, kali ini Baskoro Adi Wuryanto dibantu oleh Ve Handojo untuk Jailangkung 2. Meskipun dengan banyak orang-orang yang terlibat di perfilman, Jailangkung 2 ternyata tak bisa memberikan performa yang baik. Bahkan, film ini pun mengalami penurunan performa dibandingkan film pertamanya.


Jailangkung 2 memang berusaha untuk menampilkan sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan film pertamanya. Terlebih, konflik yang semakin rumit itu sudah tersebar di film pertamanya sehingga film keduanya sudah memiliki dasar untuk melanjutkan cerita. Sayangnya, apa yang dituturkan oleh Jailangkung 2 ini tak bisa sesuai dengan tujuannya. Konfliknya semakin kabur dengan banyaknya cabang cerita yang berusaha dimasukkan di dalam filmnya.

Begitu pula dengan durasinya yang mencapai 83 menit, Jailangkung 2 tak memiliki ruang untuk semakin berkembang. Cerita dengan karakter yang semakin banyak, membuat Jailangkung 2 serasa bingung untuk membawa filmnya ini ke arah mana. Karakternya berhenti di tempat yang sama, ceritanya pun melebar ke mana-mana. Sehingga, Jailangkung 2 benar-benar hanya menyisakan nama-nama besar sebagai produk utama untuk meraih jumlah penonton yang fantastis.


Kisahnya tentu saja berlanjut dan bermulai dari kisah akhir di film Jailangkung yang pertama. Di mana mati anak, seorang  bayi campuran iblis yang lahir dari rahim Angel (Hannah Al-Rashid) membawa petaka di keluarganya. Sang ayah, Ferdi (Lukman Sardi) yang baru saja kembali nyawanya setelah diambil oleh arwah jahat berusaha untuk membuat keluarganya kembali seperti semula. Tetapi, tentu saja hal itu tak bisa begitu saja terjadi.

Bella (Amanda Rawles), adik dari Angel berusaha untuk menyingkirkan mati anak dari keluarganya agar tidak terjadi hal-hal aneh di keluarga tersebut. Bella pun meminta bantuan dari Rama (Jefri Nichol) yang kala itu juga membantu dirinya menyelamatkan hidup sang ayah. Kali ini dia berusaha meminta bantuan Rama untuk menyingkirkan mati anak dengan cara mencari kalung mistis yang bisa menghentikan mati anak. Dan perjalanan mencari kalung kali ini mendapatkan rekan tambahan yaitu Bram (Naufal Samudra) yang mengetahui keberadaan kalung tersebut.


Jika plot cerita Jailangkung 2hanya berfokus kepada satu linimasa yang dituliskan di sinopsis di atas, setidaknya Jailangkung 2 masih bisa memiliki performa dengan film sebelumnya. Meskipun, tak bisa membaik, tetapi ceritanya masih tak berputar sendiri yang menyebabkan penonton merasa kebingungan. Ada plot cerita lain yang bertambah di film Jailangkung 2 ini tetapi tak memiliki pengenalan dan penjelasan dengan porsi yang pas.

Hasilnya, plot cerita Jailangkung 2 serasa muncul tiba-tiba dari antah berantah tanpa adanya pemberitahuan. Tentu saja ini karena pengarahan yang belum teliti dari kedua sutradaranya. Jailangkung 2 seperti 2 film yang diringkas menjadi satu dengan pengarahan yang sesuai dengan egonya masing-masing. Jailangkung 2 sudah berjalan terlalu jauh meninggalkan mitos legendarisnya. Tak ingin mensia-siakan kesempatan itu, Jailangkung 2berusaha hadir secara formalitas untuk meramalkan mantra “datang gendong, pulang bopong” sebagai plot cerita lain.  

Plot ini tetap beriringan dengan plot menghilangkan matianak yang bahkan tak memiliki koneksi apapun satu sama lain.  Tentu saja ini akan membuat munculnya kerutan di dahi dari penonton untuk mengikuti plot cerita mana yang ingin disampaikan. Dampaknya, penonton akan lelah dengan apa yang berusaha disampaikan dengan Jailangkung 2. Sudah tak memiliki simpati dengan setiap karakternya, plot ceritanya pun tak bisa diikuti dengan baik.


Tak ada tensi horor yang berhasil dibuat di dalam Jailangkung 2. Segala usahanya untuk menakut-nakuti penontonnya terasa sangat hambar hanya dibantu dengan ilusi tata rias karakter hantunya dan penyuntingan suara. Bahkan, kedua aspek itu tak bisa sepenuhnya membantu agar adegan tersebut bisa tersampaikan dengan baik di filmnya. Dan tak bisa dihindari pula, beberapa penyuntingan film yang terasa sangat berloncat dengan setting yang berbeda padahal masih berada di satu setting waktu yang sama sering terlihat di dalam film ini.

Yang tersisa dari Jailangkung 2tentu saja hanyalah beberapa adegan yang tak sengaja membuat penontonnya tertawa. Hal ini muncul karena kurangnya ketelitian dalam pengarahan dari Rizal Mantovani dan Jose Purnomo. Meski terlihat sekali bagaimana Jailangkung 2 sebenarnya memiliki intensi untuk membuat sekuelnya memiliki dunia yang lebih besar dan rumit. Tetapi, apa yang hadir di dalam presentasinya malah membuat Jailangkung 2 hanyalah sebuah sekuel yang performanya malah menurun dari film pertamanya yang juga jauh dari kata sempurna. Sayang sekali!

Minggu, 01 Juli 2018

DIMSUM MARTABAK (2018) REVIEW : Kisah Upik Abu Ala Televisi

DIMSUM MARTABAK (2018) REVIEW : Kisah Upik Abu Ala Televisi


Raffi Ahmad berusaha untuk berpindah keberuntungan dari layar televisi ke layar perak. RA Pictures menjadi rumah produksi baru yang menelurkan film-film bioskop. Intensinya baik, menarik pasar televisi ke layar lebar dan semakin memeriahkan perfilman Indonesia. Mulai dari Rafathar, The Secret, hingga proyek terbarunya yang rilis pada musim lebaran tahun ini berusaha dia lepas. Raihan penontonnya pun bisa dibilang lumayan untuk ukuran rumah produksi baru.

Kali ini, Raffi Ahmad menunjuk seorang sutradara baru Andreas Sullivan untuk mengarahkan sebuah drama kisah komedi romantis. Film terbarunya ini pun disupervisi oleh Fajar Bustomi yang pernah mengarahkan Dilan 1990. Pun, dibantu dengan naskah yang ditulis oleh Alim Sudio yang sudah sering menulis film dengan genre yang sama. Dimsum Martabak, judul ini dibintangi oleh Ayu Ting-Ting dan juga Boy William sebagai pasangan utama.

Dimsum Martabak adalah debut akting dari Ayu Ting-Ting di layar lebar. Tentu saja banyak yang meragukan performa yang ditampilkan oleh Ayu Ting-Ting di dalam film Dimsum Martabak. Dengan banyaknya nama baru di dalam Dimsum Martabak, tentu saja proyek ini bisa dibilang sangat berani untuk rilis di musim lebaran. Jika performa sebuah film bisa diukur dengan keberaniannya, Dimsum Martabak ini mungkin belum sepenuhnya berani dalam menyampaikan ceritanya.


Kisah ini dimulai dari seorang pelayan sebuah restoran chinese food bernama Mona (Ayu Ting-Ting) yang hidup menjadi tulang punggung keluarga. Dirinya bekerja banting tulang karena ayahnya yang sudah meninggalkan meninggalkan banyak hutang untuk keluarganya. Mona harus bekerja siang malam demi bisa membayar hutang keluarganya. Sayangnya, Mona harus dipecat oleh istri pemilik restoran karena dikira ingin merebut suaminya.

Setelah dipecat, Mona kebingungan mencari pekerjaan ke sana ke mari untuk tetap bisa membuat keluarganya bahagia. Bertemulah dia dengan Sooga (Boy William), pemilik kedai Martabak yang butuh karyawan agar bisnisnya berjalan lancar. Mona pun bersedia menjadi karyawan dan membantu Sooga untuk membuat sistem untuk kedai martabaknya. Semakin lama, Sooga melihat ada sesuatu yang menarik pada Mona. Ternyata, Sooga jatuh cinta kepada Mona.


Ya, cerita dalam Dimsum Martabakmemang semudah itu. Sebagai film komedi romantis, Dimsum Martabak memang tak perlu menjadi sesuatu yang rumit. Apalagi, intensi dari rumah produksi ini adalah untuk memindahkan penonton televisi ke layar perak. Dengan cerita semudah ini, tentu saja niat dari RA Pictures bisa dikatakan berhasil. Inilah konten yang diinginkan oleh penonton televisi kita selama ini. Mimpi menjadi seorang upik abu yang derajatnya naik karena menemukan seorang pangeran tampan dan kaya raya.

Dengan kisah segenerik ini, Dimsum Martabak sebenarnya masih bisa memuaskan segmentasi penontonnya. Bisa dikatakan bahwa 40 menit pertama dari film ini masih diarahkan dengan baik. Konflik-konflik sederhanya dikemas dengan ajaib dan ditambah pula dengan dialog serba cheesy, Dimsum Martabak sebenarnya masih sangat bisa ditoleransi. Untuk film yang berada di kelasnya, Dimsum Martabak masih digarap dengan cukup baik.

Andreas Sullivan bisa membuat Dimsum Martabak dinikmati oleh penontonnya. Kisah cintanya pas, ditambahi dengan bumbu komedi yang juga tahu tempat dan porsinya. Sehingga, plot ceritanya bisa tersampaikan dengan baik. Begitu pula dengan performa Ayu Ting-Ting yang sebenarnya bisa mengeluarkan sinarnya. Menjadi sosok perempuan damsel in distress yang mungkin karakternya generik tetapi untungnya masih bisa diperankan dengan baik oleh Ayu Ting-Ting.


Tapi sayangnya, bagian terbaik dari Dimsum Martabak hanya bertahan hingga 45 menit pertamanya saja. Setelahnya, Dimsum Martabak penuh akan cabang-cabang cerita yang tak bisa disampaikan dengan baik. Sebenarnya dalam naskah yang ditulis oleh Alim Sudio, sudah menunjukkan intensi untuk menampilkan cabang cerita yang cukup banyak. Hanya saja, Pengarahan dari Andreas Sullivan seperti tak tahu harus menyampaikan semua plotnya dengan benar.

Kesibukan membuat kesenangan di 45 menit pertama ternyata membuatnya terlena untuk harus mengakhiri ceritanya. Paruh akhir dari Dimsum Martabak tampil sangat malas dan menunjukkan konklusi-konklusi ala sinema elektronik yang sudah basi. Performanya pun semakin menurun, dari kisah komedi romantis yang energik menuju ke sebuah  drama mendayu-dayu dengan penyelesaian yang juga semakin ajaib.

Belum lagi dengan pemilihan casting dan penyampaian komedi ala variety show yang ada di televisi yang semakin menunjukkan segmentasi dari film ini sebenarnya. Padahal, seharusnya Dimsum Martabak memiliki potensi untuk setidaknya dinikmati oleh berbagai kalangan. Yang tersisa hanyalah kemewahan-kemewahan setting yang sebenarnya adalah properti pribadi dari Raffi Ahmad. Hal itu pun tak bisa membuat Dimsum Martabak kembali bisa dinikmati oleh penontonnya secara general.


Mungkin dalam berbagai aspeknya, Dimsum Martabak adalah sebuah film generik yang seharusnya memiliki kesempatan untuk bersinar. Sayangnya, tarik ulur dalam konklusinya membuat pace film ini semakin lambat dan belum lagi adegan-adegan yang membuat mata berputar. Untuk target segmentasinya, Dimsum Martabakseharusnya masih bisa memuaskan mereka. Sayangnya, bagi penonton yang general tanpa mengetahui intensi ini, Dimsum Martabak hanyalah sebuah kisah upik abu dan mimpi para penikmat televisi yang usang ditelan waktu.
KUNTILANAK (2018) REVIEW : Potensi Yang Kurang Maksimal

KUNTILANAK (2018) REVIEW : Potensi Yang Kurang Maksimal


Film horor sedang menjadi genreyang sedang mendapatkan hype sangat besar di perfilman Indonesia. Dimulai dari Danur, Jailangkung, hingga Pengabdi Setan, ketiganya memiliki raihan penonton yang sangat fantastis. Lantas, banyak judul-judul lain yang juga kena getahnya yang setidaknya mendapatkan raihan ratusan ribu penonton. Hal ini akhirnya juga membuat rumah produksi Multivision Plus ikut meramaikan genre ini.

Multivision Plus dulunya pernah memiliki franchise horor yang menjanjikan yaitu trilogi Kuntilanak. Multivision Plus ingin membangkitkan lagi mitos tentang Kuntilanak tersebut untuk ditonton oleh penonton masa kini. Rizal Mantovani adalah juru kunci atas ketiga cerita Kuntilanak yang melibatkan Julie Estelle. Di tahun 2018 ini, Kuntilanakkembali dipanggil dengan juru kunci yang sama tetapi melibatkan artis muda Aurelie Moeremans, Fero Walandouw, dan artis-artis cilik lainnya.

Naskah yang digunakan sebagai dasar pengarahan dari Rizal Mantovani ini ditulis oleh Alim Sudio. Dengan rekam jejak Rizal Mantovani dalam mengarahkan film horor, tentu banyak orang yang meragukan performa Kuntilanak sebagai sebuah film utuh. Sebuah prediksi yang kurang menyenangkan ini sayangnya benar-benar terjadi di film Kuntilanak terbaru ini. Jika harus dibandingkan dengan versi sebelumnya, Kuntilanakini tampil kurang sempurna sebagai sebuah film horor.


Film Kuntilanak terbaru ini memang masih menggunakan mitos yang sama. Bahkan, beberapa nama dan ciri-cirinya pun seperti masih menggunakan benang merah film trilogi Kuntilanak sebelumnya. Secara tulisan, Alim Sudio sebenarnya sudah berusaha untuk memberikan penuturan cerita yang runtut di dalam naskahnya. Problematika utama dari Kuntilanak terbaru ini adalah pengarahan dari Rizal Mantovani yang terasa tak matang.

Kuntilanak sebagai sebuah film horor, tak bisa mengeluarkan taringnya secara maksimal. Film ini tak bisa memberikan sensi ngeri yang harusnya ada di dalam sebuah film horor. Hanya saja sebagai sebuah film, Kuntilanak mampu memberikan cara berceritanya yang runtut meskipun harus banting setir ke genre lain. Berbedanya di film Kuntilanak kali ini adalah bagaimana karakter dari artis-artis cilik yang membuat film ini lebih memiliki cita rasa film dengan genre petualangan.


Kuntilanak terbaru ini menceritakan tentang mitos makhluk ini yang datang dari sebuah rumah tak berpenghuni. Rumah tersebut ternyata bekas dari sebuah keluarga yang anaknya pernah menghilang karena diambil oleh Kuntilanak. Cermin tempat Kuntilanak bersarang ini sayangnya berpindah ke rumah seorang Ibu Rumah Tangga bernama Donna (Nena Rosier). Donna hidup sebagai seorang Ibu yang mengadopsi banyak anak.

Cermin tersebut dibawa oleh Glenn (Fero Walandouw), pacar dari Lydia (Aurelie Moeremans) yang tinggal bersama Donna. Ketika Donna pergi ke luar negeri, anak-anak di dalam rumah tersebut ternyata harus berurusan dengan makhluk astral tersebut. Banyak kejadian-kejadian janggal yang terjadi di rumah tersebut. Mereka diganggu oleh Kuntilanakyang berasal dari rumah tersebut. Hingga suatu ketika, anak-anak kecil tersebut berusaha untuk membuktikan mitos tersebut.


Jika memang intensinya untuk mengubah nuansa film terbarunya agar memiliki perbedaan dengan film sebelumnya, Kuntilanaksebenarnya memiliki potensi untuk menjadi berbeda. Bahkan, bisa menjadi sebuah film horor dengan pendekatan yang lebih segar. Tak dapat dipungkiri bahwa Kuntilanak memiliki referensi seperti Super 8, Stranger Things, atau IT yang memadukan genre supernatural dengan petualangan bersama anak kecil. Jangan asal skeptis, karena menyadur referensi seperti ini bukan berarti langsung menduplikasi.

Kuntilanak bisa saja menjadi sebuah sajian film horor yang segar, terlebih dengan banyaknya film horor yang diproduksi akhir-akhir ini. Sayangnya, Rizal Mantovani tak bisa memanfaatkan potensi itu agar bisa tampil maksimal. Naskah dari Alim Sudio memang masih memiliki beberapa penceritaan yang terkesan tumpang tindih. Bermain baik dalam komposisi dramanya, tetapi naskahnya belum bisa mempadu padankan kedua genre yang ada agar bisa melebur satu sama lain.


Tak sepenuhnya salah dalam penulisan naskah, tetapi Rizal Mantovani juga tak bisa menyampaikan kelemahan dalam naskah dengan pengarahannya yang kuat. Rizal Mantovani yang sudah lama terjun dalam mengarahkan sebuah film horor, Kuntilanak tak bisa menjawab kerinduan penonton untuk ditakut-takuti. Sayang, padahal bagaimana sebuah film horor bisa menakut-nakuti penontonnya adalah amunisi yang harusnya dimiliki.

Tak seperti film sebelumnya, Kuntilanakterbaru ini tak bisa mengantarkan mitos tentang makhluk astral ini dengan cara yang lebih otentik seperti film sebelumnya. Cerita tentang budaya sekte pemanggilan Kuntilanak yang tak lagi lebih detil di film ini, membuat Kuntilanakmenjadi sebuah film horor Indonesia yang generik. Pun, Kuntilanak dalam film ini memiliki tata rias yang kurang bisa menakut-nakuti penontonnya. Padahal cara ini bisa jadi salah satu ilusi bagi penontonnya untuk bisa merasa takut dengan makhluk tersebut.


Dengan berbagai film horor yang ada di Indonesia akhir-akhir ini, Kuntilanak memang masih bisa dikategorikan sebagai film yang dibuat dengan layak. Mulai dari tata suara, sinematografi, warna, dan nilai produksi yang masih bisa dinikmati. Juga, usaha film Kuntilanak terbaru ini yang ingin tampil dengan berbeda ini masih menjadi poin menarik di film ini. Sayang, segala potensinya yang bisa mambuat Kuntilanakini akan terasa segar tak bisa tersampaikan dengan baik.

Kamis, 28 Juni 2018

TARGET (2018) REVIEW : Uji Coba Kedua Raditya Dika di Luar Zona Nyaman

TARGET (2018) REVIEW : Uji Coba Kedua Raditya Dika di Luar Zona Nyaman


Raditya Dika bisa dikategorikan berhasil keluar dari zona nyamannya dalam membuat sebuah film lewat film Hangout. Hal ini terbukti lewat raihan penonton Hangoutyang mencapai 2,7 penonton. Dengan rekam jejak seperti ini, tentu saja Raditya Dika akan dipercaya untuk menangani hal-hal serupa untuk proyek selanjutnya. Bersama dengan Soraya Intercine Films, Raditya Dika membuat sebuah proyek dengan genre film yang hampir sama.

Bukan kali pertama pula Raditya Dika bekerjasama dengan Soraya Intercine Films. Proyek terbarunya berjudul Targetini adalah kerjasama ketiga kalinya setelah Single dan The Guys. Target ini disutradarai dan ditulis juga oleh Raditya Dika dengan bintang-bintang yang bertaburan. Mulai dari Willy Dozan hingga Ria Ricis, Targetmembuktikan bahwa film ini tak dikerjakan dengan sembarangan. Raditya Dika ingin sekali membuat Target mencapai semua kalangan usia sebagai penontonnya.

Dengan konsep yang hampir serupa dengan Hangout, penonton mungkin akan merasa skeptis dengan performa Target. Terlebih bagi mereka yang tak begitu menyukai pengarahan Raditya Dika dalam film Hangout. Sayangnya, skeptis penonton mungkin akan berakhir benar terhadap performa Target kali ini. Bagi penonton yang tak terlalu menyukai film Hangout, karya Raditya Dika terbaru ini mungkin harus segera dihindari karena Target tak bisa mengenai target yang ingin dibidik oleh Raditya Dika.


Dengan konsep serupa, ternyata Raditya Dika tak bisa mencoba lagi peruntungannya. Sebagai sebuah film dengan kombinasi genre thriller dan komedi, Target mencapai tujuan dari kedua genre tersebut. Sebagai sebuah film komedi, film ini memiliki amunisi tawa yang sangat minimalis. Hanya senyum kecil di beberapa bagian yang akan menghiasi raut muka penontonnya. Sebagai sebuah film thriller, film ini pun tak bisa menjaga intensitas misterinya dengan baik.

Kesalahan utama dari film Targettentu dari penulisan dan pengarahan yang tak diperhatikan betul oleh Raditya Dika. Sehingga, film Target ini benar-benar terasa sangat terburu-buru untuk tayang di slot film rilis Lebaran untuk memancing jumlah penonton yang cukup besar. Konsep menarik Raditya Dika dalam film Hangout sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi sebuah film dengan performa yang solid. Sayangnya, Target tak memenuhi ekspektasi konsepnya yang sudah besar tersebut.


Film Target sendiri menceritakan tentang para artis yang berperan sebagai dirinya sendiri. Mulai dari Raditya Dika, Cinta Laura, Rommy Rafael, Samuel Rizal, Abdur Arsyad, Hifdzi Khoir, Anggika Bolsterli, dan Willy Dozan. Mereka diundang oleh seorang sutradara misterius yang mengirimi mereka sebuah naskah film berjudul Target. Kedelapan artis tersebut memenuhi undangan syuting misterius tersebut di sebuah bangunan kecil yang tersembunyi.

Setelah sampai di tempat dan mengikuti instruksi yang ada di dalamnya, barulah mereka mengetahui apa yang diinginkan oleh sang sutradara misterius tersebut. Mereka ternyata terjebak dalam sebuah permainan yang mengharuskan mereka bertahan hidup. Permainan ini dibuat oleh seorang Game Master dan direkam untuk dijadikan sebuah film. Bagi mereka yang melanggar dan memaksa keluar dari permainan ini akan diganjar oleh hukuman yang setimpal. Oleh karena itu, mereka harus mengikuti setiap permainan hingga selesai.


Konsep yang dimiliki oleh film Targetini sebenarnya sangat menarik untuk diikuti. Punya banyak misteri-misteri yang disebar sehingga penonton akan berpotensi memiliki rasa penasaran hingga akhir film. Target memang berbeda dengan Hangout, bahkan Raditya Dika memiliki kesempatan untuk melantunkan sindiran terhadap film Hangout sendiri. Sarkastik yang dilakukan oleh Raditya Dika ini memang bagus, sayangnya poin menarik film ini hanya ada segelintir saja.

Sisanya, naskah yang ditulis oleh Raditya Dika ini seperti digarap kurang matang. Karakter-karakter di dalam film ini tak memiliki latar belakang cerita yang kuat. Dampaknya, konflik cerita di dalam film Target ini tak bisa tersampaikan dengan baik. Film Target langsung dibuka dan fokus kepada konflik tentang naskah misterius tersebut. Tak ada pengenalan karakter yang berarti lalu film Target sudah sibuk untuk menjelaskan tentang permainan yang dibuat oleh seorang Game Master tersebut.

Raditya Dika seperti terlena dengan bagaimana dirinya mengemas misteri-misteri tersebut dibanding mengenalkan karakter-karakternya. Padahal, di tengah Raditya Dika berusaha untuk menyampaikan misteri tersebut, ada cerita-cerita yang mengusik masa lalu karakternya. Hal ini tentu akan semakin kuat jika Raditya Dika punya tujuan dalam mengembangkan karakternya. Akhirnya, keberadaan setiap karakter di film ini tak memiliki motivasi yang kuat juga akan membuat penontonnya kebingungan.


Meski Raditya Dika terlalu fokus dengan penyebaran misterinya, film Target tak benar-benar diolah dengan pas. Masih ada misteri-misteri yang disampaikan dengan cara yang canggung, sehingga film Target dengan jelas mempertunjukkan lubang-lubang kecil yang menganggu performanya secara keseluruhan. Pengarahan Raditya Dika yang tak sekuat dalam zona nyamannya, inilah yang tak bisa membaurkan karakter dengan konflik-konfliknya. Sehingga, muncul jarak antara keduanya yang membuat film Target tak bisa memiliki performa yang solid.

Beruntungnya, Target masih memiliki warna dan sinematografi yang cocok untuk filmnya. Begitu pula dengan sound editing dan sound mixing filmnya yang dibuat secara detil. Sehingga, film Target masih dapat dikategorikan sebuah film yang layak untuk dinikmati secara kemasan. Meskipun untuk production value dari rumah produksi sekelas Soraya Intercine Films, film Targetbisa dibilang tak seniat biasanya. Tetapi, apa yang ditampilkan cukup bisa mewakili konsep dari filmnya ini sendiri.


Boleh saja bagi Raditya Dika untuk kembali mengeksplor dirinya keluar dari zona nyaman. Tetapi kenyataannya, Raditya Dika belum bisa mengemas konsep genre thriller komedi ini. Targetbisa menjadi bukti bahwa uji coba kedua Raditya Dika di luar genre favoritnya ini ternyata memiliki performa yang semakin menurun dibanding Hangout. Padahal, ada satu adegan romantis di dalam film Target ini akan membuat penggemarnya rindu Raditya Dika menggarap film yang biasa dia buat sebelumnya.

Senin, 03 Juli 2017

JAILANGKUNG (2017) REVIEW : Mitos Hantu dengan Wajah Baru yang Minim
Eksplorasi

JAILANGKUNG (2017) REVIEW : Mitos Hantu dengan Wajah Baru yang Minim Eksplorasi


Mitos tentang sosok tak kasat mata yang dipanggil dengan mantra “datang tak dijemput, pulang tak diantar”ini kembali menghantui penontonnya. Film tentang hantu legendaris ini pernah ada dan mewarnai perfilman Indonesia di tahun 2001 sekaligus menjadi penanda bangkitnya film Indonesia kala itu. Sehingga, sosok hantu ini sudah menjadi sebuah brand yang akan dengan mudah dikonsumsi dan mendapat kepercayaan dari penontonnya.

Sosok hantu legendaris ini kembali ditangani oleh sutradara yang pernah menangani sosok ini di tahun 2001 dengan rejenuvasi nama menjadi Jailangkung sesuai dengan mitos yang ada. Tetapi, mantra yang digunakan dalam ritualnya kali ini pun sudah berubah. “Datang Gendong, Pulang Bopong” menjadi mantra baru untuk memanggil makhluk tak kasat mata ini. Jose Purnomo dan Rizal Mantovani diakuisisi oleh Screenplay Films bersama dengan Legacy Pictures untuk mengarahkan Jailangkung yang dirilis di bulan lebaran 2017 ini.

Selain rejuvenasi nama dari Jelangkung ke Jailangkung, proyek film ini juga memakai nama-nama baru di perfilman Indonesia yang sekaligus memiliki  potensi agar sukses. Jefri Nichol dan Amanda Rawles menjadi pasanan di dalam film yang terbukti mampu mendatangkan penonton lewat Dear Nathan. Formula itu pun digunakan di dalam film dengan genre yang berbeda. Bersama dengan Baskoro Adi Wuryanto, Jose Purnomo dan Rizal Mantovani berusaha menghidupkan lagi mitos hantu legendaris ini untuk disajikan kepada penontonnya. 


Dengan kembalinya dua sutradara yang  berhasil menakut-nakuti penontonnya lewat film Jelangkung di tahun 2001, tentu penonton berusaha memiliki harapan terhadap versi terbarunya. Calon penonton tentu masih mengharapkan bagaimana dua sutradara ini memiliki kemagisannya lagi untuk sekali lagi dapat menghantui penontonnya dengan mitos yang sama. Nyatanya, Jailangkungmemang memiliki kekuatan yang sangat minimalis. Jailangkung menitikberatkan kekuatannya pada nilai produksi yang menunjukkan bahwa film ini tak dibuat sembarangan.

Jailangkung memiliki berbagai macam kekurangan yang perlu diperhatikan dalam mengarahkan dan menuturkan ceritanya. Meski Jefri Nichol, Amanda Rawles, Hannah Al Rashid, atau pun Lukman Sardi berusaha untuk memberikan performa terbaiknya, tak bisa dipungkiri bahwa Jailangkung secara tertulis dibangun begitu lemah. Jailangkungkebingungan dengan apa yang berusaha disampaikan secara visual. Sehingga, penonton pun akan merasakan banyak sekali pertanyaan yang tak terjawab. 


Jailangkung langsung saja dimulai dengan bagaimana Bella (Amanda Rawles) yang sedang berada di rumah sakit menemui ayahnya (Lukman Sardi) yang sedang koma. Bella dan juga kakaknya Angel (Hannah Al-Rashid) berusaha untuk mencari tahu penyebab ayahnya yang tiba-tiba koma dan tak sadarkan diri begitu lama. Informasi pertama yang mereka dapatkan adalah sang Ayah, Ferdi memiliki sebuah rumah lain tempat dia ditemukan dalam kondisi tak sadarkan diri.

Dengan adanya informasi tersebut, Bella berusaha mencari tahu seperti apa di sana. Bella yang putus asa secara tak sengaja mendengar sebuah penjelasan dari Rama (Jefri Nichol) yang membahas tentang mitos-mitos tentang dunia astral. Rama berusaha mencari tahu penyebab dari komanya ayah Bella dan memang ditemukan sebuah fakta bahwa Ferdi, ayah Bella, bermain Jailangkung di area rumah tersebut. Dan sekarang, arwah Ferdi dibawa oleh makhluk halus sehingga dia tak sadarkan diri.

Konflik yang digunakan di dalam film Jailangkung ini sebenarnya bukan lagi hal yang baru di dalam film-film dengan genre serupa. Jailangkungtetap diisi dengan plot cerita yang generik di dalam film horor, tetapi hal itu pula ditambahi dengan keklisean dialog khas film-film milik Screenplay lainnya. Sebenarnya Jailangkung berusaha memberikan mitos baru tentang makhluk tak kasat mata yang secara tak langsung terpanggil di dalam ritualnya. Tetapi, latar belakang cerita dan bagaimana konfliknya terbangun tetap tak bisa dipungkiri bahwa Jailangkung memiliki sesuatu yang generik. 


Meski dengan sesuatu yang generik, Jailangkungseharusnya bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang dapat dinikmati. Sayangnya, konflik yang generik dan lurus-lurus saja itu tampil dengan terbata-bata. Plot cerita yang seharusnya dapat diikuti begitu saja oleh penontonnya, Jailangkung malah membuatnya begitu rumit tetapi tanpa diarahkan dengan teliti. Sehingga, hal itu berdampak pada performa Jailangkung yang terpisah-pisah dalam penuturannya.

Transisi plot cerita dalam Jailangkungini tak bisa berjalan dengan baik. Konfilk yang muncul terlalu awal di dalam film ini membuat penonton bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Tetapi penjelasan itu tak dibahas dengan detil, hanya muncul sedikit informasi yang membuat penonton pada akhirnya meraba apa yang berusaha disampaikan oleh Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. Permasalahan yang belum selesai dibahas ini masih ditambahi pula dengan cabang cerita yang lain.

Alhasil, dengan durasi yang hanya berkisar 86 menit, penceritaannya terbata-bata tetapi berusaha terlihat komplikasi. Hal itu mempengaruhi penyelesaian dari film ini sendiri yang muncul tak rapi. Penonton kesusahan untuk mendapatkan afirmasi dengan apa yang berusaha diselesaikan oleh para karakternya. Ada rasa ketidakpuasan yang muncul saat film ini berakhir. Penonton merasa butuh penjelasan selanjutnya yang lebih rinci agar penonton mengerti apa yang dimau oleh dua sutradara film Jailangkungini.  Mungkin ada niatan dari dua sutradaranya untuk hadir menyapa penontonnya di seri kedua. Sehingga, film Jailangkung ini hanya berusaha membangun set-up dunia horor yang baru. 


Memang, performa dari para aktor dan aktrisnya berusaha memberikan sesuatu yang terbaik untuk penontonnya di dalam film Jailangkung. Tetapi, hal tersebut tetap tak dapat menutupi celah bagaimana Jailangkung masih belum maksimal dalam pengarahan dan penulisan skenarionya. Sehingga, Jailangkung memang masih belum terlalu maksimal dalam performa isinya. Tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa Jailangkungmemiliki performa teknis yang digarap tak sembarangan. Gambar dan tata produksi dalam film Jailangkung ini tak memiliki kesan asal-asalan.

Jailangkung memang akan dapat membawa kuantitas raihan penonton dengan nilai yang besar saat diedarkan. Tetapi, kuantitas tersebut tak memiliki relevansi dengan kualitas dari Jailangkung yang belum benar-benar maksimal oleh Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. Masih banyak kekurangan-kekurangan yang perlu untuk diperbaiki apabila memutuskan untuk memiliki seri selanjutnya. Pengarahan yang belum maksimal serta cerita yang masih belum dimatangkan lagi menjadi problematika utama dalam performa Jailangkung sebagai sebuah film. Meski dengan plotnya yang generik, film ini masih terbata-bata dalam menuturkan konfliknya. Dampaknya, ada kesan buru-buru serta penjelasan yang belum tersampaikan dengan maksimal dan hal tersebut tak dapat memuaskan penontonnya.