Tampilkan postingan dengan label Juli. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Juli. Tampilkan semua postingan

Selasa, 15 Agustus 2017

DUNKIRK (2017) REVIEW : Visual yang Subtil tentang Perang Dunia Kedua

DUNKIRK (2017) REVIEW : Visual yang Subtil tentang Perang Dunia Kedua

 
Menceritakan sebuah kisah yang sudah menjadi bagian dari sejarah memang sudah biasa dilakukan oleh para sineas Hollywood. Ada berbagai macam jenis film yang berusaha menjelaskan berbagai macam peristiwa sejarah penting yang bisa memberi sebuah informasi sekaligus atensi dari penonton. Tetapi, bagaimana informasi tentang peristiwa penting itu dikemas menjadi sesuatu yang perlu untuk dikembangkan. Tentu, ada satu poin tertentu yang membuat film-film tentang sebuah peristiwa ini bisa terjebak dengan kemasan yang sama.

Christopher Nolan berusaha menantang dirinya sendiri untuk mengarahkan sebuah film tentang salah satu peristiwa sejarah penting yang ada di perang dunia kedua ini yaitu Battle of Dunkirk. Christopher Nolan mengemasnya menjadi sebuah film yang berjudul Dunkirk yang dibintangi oleh Tom Hardy, Cillian Murphy, Kenneth Branagh serta memberikan nafas baru dengan merekrut aktor-aktor baru seperti Fionn Whitehead dan Harry Styles.

Christopher Nolan adalah seorang sutradara yang biasanya terjun dalam film-film bertema science fiction atau yang memiliki jalan cerita penuh twist and turn. Tentu Dunkirk ini akan menjadi sesuatu yang terasa baru bagi Christopher Nolan untuk berusaha mengemas sebuah peristiwa sejarah penting yang mungkin akan terjebak dengan kemasan yang sama. Tetapi, Christopher Nolan tetaplah seorang Christopher Nolan. Sebuah peristiwa sejarah penting yang sudah memiliki linimasanya ini dikemas dengan pembagian 3 sudut pandang sekaligus 3 setting waktu yang berbeda. 


Membuat film yang sudah memiliki cerita di dunia nyata dan dikemas dengan cara seperti yang dilakukan oleh Christopher Nolan ini memang cukup riskan. Tetapi, Christopher Nolan sudah terbiasa untuk mengemas filmnya dengan linimasa waktu yang terpencar seperti ini. Sehingga, dalam pengaplikasiannya, Christopher Nolah berhasil membuat 3 linimasa waktu dan 3 sudut pandang ini menjadi sesuatu yang segar sekaligus unik untuk menceritakan peristiwa sejarah penting dalam sebuah film.

Sebagai sebuah perang, Dunkirkmemang akan terasa berbeda seperti film-film perang lainnya atau contoh yang paling baru adalah Hacksaw Ridge. Visual adalah kekuatan dari Dunkirkuntuk menimbulkan tensi dan emosi yang ada di dalam filmnya. Maka dari itu, kekuatan naskah yang ditulis sendiri juga oleh Christopher Nolan adalah bagaimana dirinya sebagai seorang sutradara dapat mengadegankan setiap gambarnya yang minim akan dialog tetapi memiliki penyampaian yang subtil. Memberikahan pemahaman kepada penontonnya tentang perang itu sendiri dengan caranya sendiri. 


Menceritakan tentang sebuah peristiwa perang di Dunkirk, ada banyak pasukan Inggris yang sudah terkepung dan tak bisa kembali ke tanah kelahirannya. Hal tersebut demi membela harga diri negara tersebut. Maka tiga sudut pandang dan tiga linimasa waktu ini diwakili oleh Tommy (Fionn Whitehead), Ferrier (Tom Hardy), dan Mr. Dawson (Mark Rylance). Mereka adalah perwakilan dari setiap sisi cerita dari perang di daerah Dunkirk ini.

Tommy, seorang tentara inggris yang sedang berusaha menyelamatkan dirinya bersama dengan teman-temannya. Ferrier, seorang pilot angkatan udara yang juga berusaha menjaga dan menyingkirkan serangan udara dari para musuhnya. Sedangkan, Mr. Dawson adalah seorang warga sipil biasa yang berinisiatif untuk menyelamatkan tentara-tentara yang sedang berusaha keras membela negaranya.


Meski setiap sudut pandangnya memiliki pion-pion utamanya untuk mengerakkan ceritanya. Tetapi, yang diinginkan oleh Christopher Nolan adalah mengenalkan peristiwa Dunkirk secara menyeluruh. Sehingga, aktor utama dari film ini adalah peristiwa Dunkirk itu sendiri yang dapat membuat penonton bergidik ngeri dan merasakan emosional yang terjalin di setiap rangkaian adegan yang diarahkan oleh Christopher Nolan. Penonton tak merasa perlu memihak karakternya, tetapi mereka perlu untuk memihak mereka semua secara keseluruhan dalam menghadapi peristiwa Dunkirk yang mencekam.

Meskipun, sebenarnya apa yang dilakukan oleh Christopher Nolan ini memiliki resiko untuk membuat Dunkirktak bisa diterima secara universal. Penonton yang belum terbiasa dengan bagaimana sebuah pesan di dalam film disampaikan lewat sebuah gambar mungkin akan kesusahan untuk bersimpati. Mereka tak memiliki sosok karakter untuk menyamakan referensi dan pengalamannya hingga akhirnya dapat terkoneksi dengan apa yang ditampilkan di layar. Sehingga, penonton yang membutuhkan tuntunan karakter untuk menceritakan pesan di dalam filmnya.

Tentu, Directing dari Christopher Nolan adalah kunci dari keseluruhan presentasi dari film Dunkirk. Nolan berusaha untuk mengabungkan segala bentuk teknis untuk dapat menghasilkan sebuah presentasi film yang bisa memberikan aspek emosional yang diadegankan dengan sederhan tetapi punya dampak yang akan melekat. Dunkirkpenuh akan dramatisasi tanpa perlu ditampilkan berlebihan, sebuah kesederhanaan yang akan memunculkan aspek emosi yang mengharu biru dan getir untuk dirasakan oleh penontonnya. 


Kedetilannya dalam mengarahkan sebuah film diaplikasikan ke dalam sebuah tatanan teknis yang tak main-main. Pengambilan gambar yang dilakukan oleh Hoyte Van Hoytema ini juga menjadi aspek penguat bagaimana pengarahan Christopher Nolan yang kuat. Dunkirkmenjadi sebuah pengalaman sinematik yang sebenarnya di tahun 2017 ini. Gambar di dalam film Dunkirk ini adalah medium untuk menyampaikan pesan. Sehingga, penggunaan kamera IMAX 70 mm ini menjadi hal yang bukan sekedar gimmick, melainkan sebuah hal yang benar-benar krusial di dalam film ini.

Poin krusial di dalam film Dunkirktak hanya berhenti di dalam sisi pengambilan gambar, tetapi juga bagaimana suara juga menjadi hal penting. Christopher Nolan berusaha untuk memberikan atmosfir perang yang apa adanya, meskipun akan menjadi perdebatan apabila film tersebut tak memiliki pertumpahan darah. Tetapi, keputusan Nolan adalah tentang bagaimana memberikan pengalaman sinematik tetapi juga dengan atmosfir perang yang terasa nyata yang memiliki batasan bahwa Dunkirk tetaplah sebuah film. Sehingga, suara dan tata teknis kamera ini adalah sebuah ilusi dalam film ini yang bisa membuat penontonnya merasa terjebak di dalam situasi perang yang sesungguhnya. 


Maka, Dunkirk adalah sebuah cara bagi Nolan untuk memberikan sesuatu yang berbeda dengan pondasi cerita yang berdasarkan sebuah sejarah yang penting di linimasa perang dunia kedua. Tetapi, keputusan Christopher Nolan membuat Dunkirkmemiliki bahasa visual yang lebih kuat akan membuat penonton yang tak terbiasa akan tak dapat menyamakan referensi dan pengalamannya agar bisa bersimpati dengan apa yang disampaikan. Dengan begitu, Dunkirkakan terasa begitu tersegmentasi tetapi sekalinya Dunkirk akan tepat sasaran dengan segmentasinya, Dunkirk akan menjadi sebuah pengalaman sinematis yang sangat kuat sekaligus luar biasa emosional di sepanjang tahun sejauh ini. 

Kamis, 10 Agustus 2017

DESPICABLE ME 3 (2017) REVIEW : Cabang Plot yang Saling Mendistraksi

DESPICABLE ME 3 (2017) REVIEW : Cabang Plot yang Saling Mendistraksi


Film animasi buatan Illumination Pictures ini tak disangka menjadi sleeper hit, tak hanya dalam segi kuantitasnya di Box Office tetapi juga mendapatkan pujian oleh para kritikus. Despicable Me  hadir menjadi sebuah franchise yang sangat menjanjikan, terlebih ketika sidekick karakter di dalam film ini berhasil mencuri semua orang. Dan pada akhirnya, film ini pun dinantikan oleh banyak orang karena ingin menyaksikan tingkah jenaka para karakter sidekick yaitu Minions. 

Yang membuat sekuel kedua dari Despicable Me tak lagi bisa sekuat filmnya yang pertamanya adalah screen-time dari Minions membuat distraksi plot utama filmnya. Tetapi, hal tersebut malah membuat sosok Minions ini semakin memiliki nama dan membuat penontonnya ingin menyaksikan film selanjutnya. Meskipun pada akhirnya Minions memiliki filmnya sendiri, tetapi Illumination Pictures tetap menjadikan kesuksesan filmnya sebagai alasan membuat instalmen ketiga.

Pierre Coffin sebagai pencetus seri ini kembali mengarahkan film ini tetapi dengan rekan kerja yang berbeda. Kyle Balda menjadi pengganti Chris Renaud untuk mendampingi Pierre Coffin dalam mengarahkan seri ketiganya. Despicable Me 3 siap untuk kembali memberikan cerita baru kepada penontonnya, pun dengan para pengisi suara yang masih setia dari seri keduanya. Begitu pula dengan Cinco Paul dan Ken Daurino juga kembali sebagai penulis naskah seri ketiganya. 


Kali ini, Despicable Me 3 difokuskan kepada Gru (Steve Carell) yang sudah tak lagi menjadi seorang penjahat dan bergabung ke Liga Anti-Viillain harus menangkap seorang musuh bernama Baltazhar (Trey Parker). Baltazhar adalah mantan artis cilik yang sangat terobsesi untuk kembali dikenal karena reputasinya di dunia pertelevisian yang semakin lama semakin menurun. Oleh karena itu, Baltazhar merancang sebuah rencana yang bisa membuatnya menguasai dunia.

Gru hampir saja menangkap Baltazhar hingga pada akhirnya gagal. Gru hampir saja menyerah hingga suatu ketika ada sebuah berita yang mengatakan bahwa Gru memiliki saudara kembar. Dru, saudara kembar dari Gru adalah seseorang yang berbanding terbalik dengan Gru. Dia memiliki kehidupan yang mewah dan baik-baik saja. Tetapi, Dru ingin menjadi jahat seperti Gru dulu. Sikap Dru yang ingin seperti Gru membuat Dru terpaksa ikut terlibat dalam menangkap Baltazhar. 


Tak ada yang salah memang apabila Despicable Me memiliki instalmen ketiga. Toh, film ini pun masih dikategorikan sangat menguntungkan sekaligus menghibur penonton dengan jumlah yang masif. Tetapi, formula di setiap instalmen inilah yang perlu diperhatikan agar penonton pun masih bisa merasa dijaga untuk tetap dihibur oleh seri dari Despicable Me ini. Kesalahan dari Despicable Me 2 adalah screen timedari Minions yang mendistraksi cerita, sehingga penonton akan menerima informasi yang terpecah.

Despicable Me 3 berusaha keras agar tak mengulangi kesalahan tersebut dan sayangnya penonton tak bisa mendapatkan sebuah penceritaan yang kuat. Kesalahan di dalam Despicable Me 3 ini adalah bagaimana Kyle Balda dan Pierre Coffin tak bisa menyatukan ritme dua plot cerita yang menjadi poin penting di dalam film ini. Informasi yang diberikan di dalam film ini pun banyak, sehingga terasa bahwa Despicable Me 3 dipaksa untuk ada.

Dosis kelucuan di dalam Despicable Me 3 pun tak bisa memiliki euphoria yang besar seperti yang mereka lakukan di kedua instalment sebelumnya. Minions tetap hadir memberikan sedikit kesegaran di dalam plot ceritanya yang kering dan para Minions tahu tempat mereka yang hanya sekedar sidekick di seri Despicable Me ini. Hal itu memang bagus, tetapi tak diimbangi dengan bagaimana Kyle Balda serta Pierre Coffin berusaha mengarahkan filmnya yang sudah keluar jalur ritmenya. 


Yang terjadi adalah subplot tersebut berjalan sendiri-sendiri layakanya dua film yang berusaha digabungkan jadi satu. Keduanya seperti sedang mengarahkan film mereka sendiri-sendiri sehingga di hasil akhirnya mereka baru menggabungkannya menjadi satu film yang sama. Ketika penonton berusaha memahami problematika Gru dan Baltazhar, penonton diberi informasi tentang bagaimana plot cerita antara Gru dan Dru. Dampaknya, penonton akan melupakan bagaimana plot Gru dan Baltazhar ini seharusnya juga perlu diselesaikan.

Sehingga, ketika Despicable Me 3 berusaha menyelesaikan plot cerita tentang Gru dan Baltazhar, penonton sudah merasa lelah terlebih dahulu karena disibukkan dengan plot cerita Gru dan Dru. Belum lagi ada beberapa cabang plot lain dengan Minions yang juga semakin mendistraksi bagaimana performa instalmen ketiganya ini. Selain itu, hilangnya kesinambungan atau korelasi antara setiap cabang cerita film ini yang membuat penontonnya tak begitu bisa menikmati Despicable Me 3 ini.

Despicable Me 3 tak memiliki pengalaman sinematik layaknya kedua instalmen sebelumnya. Dengan plot cerita yang dibuat begitu asal, penonton hanya merasakan sebuah serial animasi di hari minggu pagi yang biasa mereka tonton di televisi. Tetapi, serial animasi tersebut sedang melakukan pertunjukkan spesial yang membuatnya harus memperpanjang durasinya hingga 89 menit. Menonton Despicable Me 3 pun tak bisa memberikan efek apapun setelahnya selain menemani para penonton anak-anak yang memang menjadi target segmentasinya. 


Oleh karena itu, Despicable Me 3 ini memang tak sepenuhnya gagal dalam melakukan misinya karena tujuan utamanya untuk menyenangkan segmentasinya masih saja berhasil. Tetapi, Despicable Me 3 tak bisa memberikan sebuah hiburan keluarga instan yang bisa dinikmati oleh segala usia. Pengarahan dari Kyle Balda dan Pierre Coffin yang sangat minimalis ini membuat film ini begitu lemah dan terasa panjang. Distraksi kali ini bukan muncul dari para Minions, tetapi bagaimana setiap cabang cerita di dalam film ini tak bisa saling berkompromi agar dapat memunculkan sebuah kombinasi yang menarik. Despicable Me 3 adalah sebuah instalmen yang sangat lemah dibanding dua film sebelumnya.