Tampilkan postingan dengan label Spin-Off. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Spin-Off. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Juni 2018

REVIEW : OCEAN'S 8

REVIEW : OCEAN'S 8


“In three and a half weeks the Met will be hosting its annual ball and we are going to rob it. Sixteen point five million dollars in each of your bank accounts, five weeks from now.” 

Apabila ditanya mengenai film perampokan terbaik yang pernah dibuat, rasanya kurang afdol kalau tak menyebut judul Ocean’s Eleven (2001) yang didasarkan pada film berjudul sama rilisan tahun 1960. Kisah perampokan beserta pembalasan dendam yang memercikkan ketegangan, kejutan, serta humor dipadupadankan dengan begitu elegan sehingga sulit untuk menyangkal pesonanya. Terlebih lagi, film ini dianugerahi pemain ansambel menggiurkan seperti George Clooney, Brad Pitt, Matt Damon, Andy Garcia, Don Cheadle sampai Julia Roberts. Menilik kombinasi mautnya tersebut, tak mengherankan jika resepsi hangat berhasil diperolehnya dari kritikus maupun penonton sehingga melahirkan dua buah sekuel yang juga renyah buat dikudap, Ocean’s Twelve (2004) dan Ocean’s Thirteen (2007). Satu dekade berselang sejak jilid ketiga dilepas, seri lain bertajuk Ocean’s 8 dikreasi yang masih menerapkan konsep serupa; perekrutan tim dengan jumlah beserta keahlian tertentu, perampokan besar yang penuh gaya, dan didukung barisan pemain ansambel. Yang kemudian membedakan Ocean’s 8 dengan trilogi utama adalah ini sebentuk spin-off alih-alih sekuel langsung dan seluruh pemain utamanya adalah perempuan alih-alih laki-laki. Jadi mari kita ucapkan selamat tinggal kepada Danny Ocean (George Clooney), lalu ucapkan selamat datang kepada sang adik, Debbie Ocean (Sandra Bullock). Era baru dari kisah perampokan yang dinahkodai klan Ocean yang lain telah dimulai! 

Seperti halnya Ocean’s Eleven, guliran penceritaan di Ocean’s 8 dimulai dengan adegan yang memperlihatkan karakter utama, Debbie, baru saja menghirup udara kebebasan usai meringkuk di tahanan selama lima tahun lamanya. Kakak tercintanya, Danny, diceritakan telah meninggal dan Debbie yang mewarisi bakat kriminal sang kakak sudah merencanakan perampokan akbar di helatan prestisius tahunan, Met Gala. Bukan uang yang menjadi incaran utamanya, melainkan kalung Toussaint senilai $150 juta yang akan dikenakan oleh seorang aktris yang tengah naik daun, Daphne Kluger (Anne Hathaway). Demi memuluskan rencananya, Debbie pun merekrut enam anggota yang konfigurasinya terdiri dari Lou (Cate Blanchett) yang merupakan sahabat baik Debbie, Amita (Mindy Kaling) si pengrajin perhiasan, Nine Ball (Rihanna) si peretas, Constance (Awkwafina) si pencopet jalanan, Tammy (Sarah Paulson) si penadah barang curian, serta Rose Weil (Helena Bonham Carter) si perancang busana. Lagi-lagi seperti halnya Ocean’s Eleven, motif utama Debbie dalam merancang perampokan ini bukanlah semata-mata untuk memperoleh penghasilan dari barang jarahannya melainkan demi membalas dendam kepada seseorang yang telah mengkhianatinya dan menghancurkan hidupnya. Seseorang tersebut adalah mantan kekasihnya, Claude Becker (Richard Armitage), yang telah menjadikan Debbie sebagai kambing hitam dalam suatu kasus penipuan sehingga dia berakhir di penjara selama lima tahun.


Sebagai sebuah tontonan yang mengatasnamakan hiburan, Ocean’s 8 sejatinya bisa dibilang cukup berhasil. Menyaksikan segambreng aktris-aktris kenamaan pemenang penghargaan dalam satu frame di Ocean’s 8 jelas merupakan keistimewaan dan kesenangan tersendiri bagi para penikmat film. Kapan lagi coba kita bisa melihat Sandra Bullock beradu akting dengan Cate Blanchett, Anne Hathaway, Helena Bonham Carter, dan Sarah Paulson? Ocean’s 8 menyediakan kesempatan langka tersebut dan aktris-aktris ini menyanggupinya dengan mempersembahkan performa yang tidak mengecewakan. Bullock memperlihatkan karisma sebagai pemimpin grup lalu menjalin chemistry rekat bersama Blanchett, sementara Hathaway yang memiliki sensitivitas kuat dalam ngelaba membentuk ‘duo gesrek’ bersama Carter yang memungkinkan keduanya untuk senantiasa mencuri perhatian sekaligus mengundang gelak tawa di setiap kemunculan. Harus diakui, performa dari jajaran pemain (khususnya Hathaway sebagai seorang aktris yang ego besarnya tidak sejalan dengan kapasitas otaknya) plus ditambah Awkwafina dan James Corden yang baru nongol di babak ketiga adalah sumber energi utama yang dimiliki oleh film. Penampilan mereka yang cenderung nyantai kayak di pantai terasa menyenangkan untuk disimak sekaligus membantu menyelamatkan film dari keterpurukan akibat penggarapan kurang bertenaga dari Gary Ross (Pleasantville, The Hunger Games) serta skrip lemah yang diracik Ross bersama dengan Olivia Milch. 

Di tangan Ross, Ocean’s 8 tak ubahnya versi inferior dari Ocean’s Eleven. Jalinan kisahnya bisa dikata serupa tapi tak sama (termasuk pembentukan karakter yang sebagian besar sekadar copy paste) dengan elemen komedi lebih ditekankan dan ketegangan yang anehnya malah direduksi. Jika Ocean’s 8 semata-mata menyebut dirinya sebagai komedi, tentu tidak ada keluhan berarti. Akan tetapi sebagai anggota keluarga Ocean dan heist film, Ocean’s 8 terasa kurang bernyali. Kemana perginya fase berdebar-debar serta harap-harap cemas kala para personil mengeksekusi rencana mereka? Terlihat mewah sih, menghibur juga sih, cuma saya tidak mendapatkan gregetnya. Tidak ada momen yang membuat saya bercucuran keringat seraya meremas-remas gemas kursi bioskop seperti saat menyaksikan Ocean’s Eleven. Ross terlalu banyak menghabiskan waktu pada perencanaan yang seringkali berlangsung monoton dan pertaruhan yang dihadapi oleh Debbie and the gang pun tidak ada apa-apanya dibandingkan Danny and the gang. Jika Danny mesti mengakali Terry (Andy Garcia) yang bengis, maka lawan terberat Debbie sebatas sistem keamanan yang ketat di lokasi perampokan. Itupun bisa diakali dengan satu jentikkan jari. Minimnya ketegangan yang mencekat ditambah guliran kisah yang kekurangan daya kejut membuat Ocean’s 8 kesulitan untuk memenuhi potensi besar yang dimilikinya dan gagal mengulangi pesona jilid-jilid terdahulu. Beruntung jajaran pemainnya bermain apik (kecuali Rihanna yang aposeeee) sehingga setidaknya film masih bisa dinikmati di kala senggang sekalipun akan sangat mudah untuk dilupakan dalam hitungan hari.

Acceptable (3/5)


Kamis, 10 Agustus 2017

REVIEW : ANNABELLE CREATION

REVIEW : ANNABELLE CREATION


“Sister, you always say we can’t see God but we can feel His presence. In this house, I feel a different kind of presence and evil one. It’s coming after me.” 

Selain para petinggi studio yang kecipratan untung film pertama, siapa sih yang menanti-nantikan babak berikutnya dari teror boneka iblis bernama Annabelle? Dirilis pada tahun 2014 silam, Annabelle yang merupakan spin-off sekaligus prekuel bagi The Conjuring memang berhasil memperoleh ratusan juta dollar dari peredaran seluruh dunia. Akan tetapi di saat bersamaan, film ini juga meninggalkan perasaan traumatis tersendiri bagi sebagian penontonnya. Bukan karena filmnya sungguh meneror, melainkan disebabkan keburukannya yang bikin kepala pusing-pusing tidak karuan. Sebagai film horor, Annabelle sulit dikategorikan menakutkan dan lebih tepat disebut menggelikan. Namun keuntungan besar yang diperolehnya mendorong New Line Cinema untuk tetap memberi lampu hijau bagi instalmen selanjutnya yang diposisikan sebagai prekuel (well, prekuel bagi sebuah prekuel. Prequelception) dan menempatkan sutradara Lights Out, David F. Sandberg, sebagai sang nahkoda. Mengingat seri terdahulu sudah cukup buruk, tentu mustahil kan film yang diberi judul Annabelle Creation ini akan berada di level lebih rendah? Berkaca pada Ouija: Origin of Evil yang tak dinyana-nyana justru tampil superior dibanding film pertamanya, sejatinya ada harapan Annabelle Creation bisa menebus kesalahan sang predesesor terlebih tim produksinya sangat bisa diandalkan. 

Annabelle Creation mengambil latar penceritaan di sebuah rumah pedesaan yang jauh dari cengkraman modernitas pada pertengahan era 50-an. Rumah tersebut dihuni pasangan suami istri Mullins, Samuel (Anthony LaPaglia) dan Esther (Miranda Otto), yang masih belum bisa berdamai dengan duka selepas kematian putri semata wayang mereka. Guna membunuh sepi karena ketiadaan suara tawa canda anak-anak, Samuel mengizinkan sejumlah penghuni panti asuhan yang telah ditutup untuk mendiami rumah mereka. Mudah bagi Suster Charlotte (Stephanie Sigman) beserta anak-anak asuhnya, terutama Janice (Talitha Bateman) dan Linda (Lulu Wilson) yang memiliki hubungan amat dekat bak kakak adik, untuk merasa betah tinggal di rumah tersebut. Betapa tidak, banyak ruangan yang bisa dimanfaatkan dan pekarangannya pun luas. Jika ada kejanggalan, maka itu sebatas Esther yang mengurung dirinya di dalam kamar dan menggunakan lonceng bel untuk memanggil sang suami. Tidak ada yang lain sampai kemudian Janice melakukan kesalahan fatal dengan melangkahkan kaki memasuki kamar milik mendiang putri pasangan Mullins. Di sana, Janice mendapati keberadaan sebuah boneka porselen dengan gaun berwarna putih yang tersembunyi dalam lemari. Saat lemari terbuka, boneka yang kita kenal sebagai Annabelle ini tak pelak bebas berkeliaran dan menebarkan serentetan teror mengerikan ke seluruh penghuni rumah.


Seperti halnya Ouija: Origin of Evil, Annabelle Creation menunjukkan peningkatan pesat saat disandingkan dengan jilid sebelumnya. David F. Sandberg berhasil menghadirkan kengerian yang membuat penonton menahan nafas lalu berteriak dan pada akhirnya tertawa tanda kelegaan melalui bangunan atmosfer mengusik serta trik menakut-nakuti dengan penempatan efektif. Mulanya sih tenang-tenang saja ketika kita diajak berkenalan dengan keluarga Mullins termasuk Bee (Samara Lee), putri Samuel dan Esther di sepuluh menit pertama. Nada penceritaan yang semula lembut mulai mengusik bulu kuduk begitu Suster Charlotte dan anak-anak asuhnya menjejakkan kaki untuk pertama kali di rumah pasangan Mullins atau dua belas tahun semenjak Bee meninggal. Siapa coba tidak bergidik ngeri berada dalam rumah yang lokasinya terpencil, berpencahayaan temaram, lorong-lorongnya panjang, dan memiliki ruangan kosong terlarang? Rasa-rasanya hanya para karakter dalam film horor. Sebelum teror demi teror dilancarkan di dalam ‘wahana rumah berhantu’ ini, penonton diajak terlebih dahulu mengikuti tur singkat bersama Samuel yang mengajak kita berkeliling, mencermati sudut-sudut penting, dan memahami aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar selama ‘permainan’ berlangsung... atau tanggung sendiri konsekuensinya. 

Yang mengasyikkan, si pembuat film tidak terburu-buru menjerumuskan kita ke dalam kubangan teror berisi penampakan-penampakan sekenanya beserta skoring musik memekakkan telinga. Sandberg telaten dalam membangun tensi setapak demi setapak. Caranya, mendekatkan penonton pada karakter inti yakni Janice dan Linda sehingga tercipta afeksi yang menimbulkan kepedulian, kemudian menguarkan nuansa menggelisahkan yang menyatakan bahwa ada kekuatan jahat bersembunyi di dalam rumah pasangan Mullins. Tatkala ketidaknyaman dirasa telah menguasai dan kita sudah cukup memahami ikatan yang terjalin antara Janice dengan Linda, maka pada saat itulah permainan secara resmi dimulai. Terhitung semenjak pertemuan pertama Janice bersama si boneka iblis yang sekali ini agak-agak genit, Annabelle Creation seolah enggan memberikan celah kepada penonton untuk menghembuskan nafas lega. Dimanapun, kapanpun – bahkan saat matahari bersinar terang benderang – teror bisa dengan mudah menyergap. Disokong dengan amat baik oleh gerak kamera dari Maxime Alexandre dan iringan musik gubahan Benjamin Wallfisch, Sandberg pun sanggup mengkreasi trik-trik menakuti yang sekalipun bukan sesuatu benar-benar baru namun mempunyai daya cekam hebat. Antisipasi terdengarnya keriuhan suara jerit-jerit cemas, takut, dan tawa di dalam gedung bioskop dalam adegan berkode “selimut Annabelle”, “kasur susun”, serta “siksaan untuk Janice”. 

Disamping berkat pengarahan sangat baik dari David F. Sandberg yang memungkinkan setiap teror tidak terlontar sia-sia, Annabelle Creation terasa sangat menyenangkan buat disimak berkat performa bagus barisan pemainnya terutama duo maut Talitha Bateman dan Lulu Wilson. Kedua bocah ini hadirkan chemistry hidup yang meyakinkan kita bahwa Janice dan Linda memang betul-betul sahabat sejati yang saling menaruh peduli. Talitha bertugas menangani momen dramatik mengingat kondisi Janice, sementara Lulu bertindak mencairkan ketegangan melalui momen komedik yang dipantik oleh kepolosan tindak tanduknya (ehem... melempar bola ke kegelapan buat mancing setan, dik?) dan celetukannya. Mereka mendapat bantuan dari pemain dewasa seperti Stephanie Sigman sebagai Suster yang mengayomi, Anthony LaPaglia yang tampak menyimpan rahasia, dan Miranda Otto sebagai ibu yang berduka. Pengarahan Sandberg beserta akting para pemain ini dapat dikatakan sangat membantu dalam mengangkat skrip buatan Gary Dauberman yang pada dasarnya masih agak menggelikan serta terbilang tipis sehingga Annabelle Creation pun berhasil terlepas dari mengulangi kesalahan film pendahulu dan tidak lagi mempermalukan universe The Conjuring. Melihat apa yang telah diperbuat David F. Sandberg untuk Lights Out dan Annabelle Creation, para pecinta film horor rasa-rasanya tak perlu khawatir apabila nantinya James Wan sepenuhnya berhenti membesut tontonan seram karena Sandberg membuktikan bahwa dia cocok menerima tongkat estafet dari Wan.

Note : Annabelle Creation mempunyai dua adegan tambahan. Pertama, di sela-sela bergulirnya credit title. Kedua, di penghujung credit title. Bersabarlah.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_M2Nq

Outstanding (4/5)


Minggu, 19 Februari 2017

REVIEW : THE LEGO BATMAN MOVIE

REVIEW : THE LEGO BATMAN MOVIE


“Wait a minute. Bruce Wayne is Batman... 's roommate?” 

Gelap, muram, serta depresif adalah citra Batman yang acapkali dimunculkan dalam film-film sang Manusia Kelelawar dewasa ini terutama sejak era Christopher Nolan. Tidak mengherankan jika kemudian cukup banyak khalayak ramai yang menaruh anggapan bahwa film yang melibatkan superhero kepunyaan DC Comics ini memang seharusnya dilingkungi kemuraman dan nestapa, sampai-sampai usai menontonnya justru tersisa perasaan murung alih-alih bahagia. Ugh. Apakah sungguh teramat mustahil untuk mengkreasi sebuah film Batman yang di dalamnya dipenuhi suka cita? Warner Bros. agaknya belum berani menjawab pertanyaan tersebut lewat instalmen resmi sang superhero (mungkin masih trauma dengan Batman & Robin? Who knows), namun mereka memiliki itikad baik untuk menjajalnya di The Lego Batman Moviespin-off dari film animasi The Lego Movie yang gesrek itu. Mengusung semangat dari semesta filmnya yang penuh warna, meriah, serta cenderung semau-mau gue, The Lego Batman Movie memberi perspektif menyegarkan dalam menuturkan kisah pahlawan dari Gotham City ini: bahwa Batman pun manusia biasa yang bisa berkelakar.

Jalinan pengisahan The Lego Batman Movie bermula dari upaya Batman (Will Arnett) dalam menuntaskan misi mencegah salah satu musuh abadinya, Joker (Zach Galifianakis), untuk meluluhlantakkan Gotham City. Dapat diterka dengan mudah, misi ini berjalan sukses seperti semestinya. Yang mungkin tidak kita antisipasi, ada drama mencuat diantara dua pihak dari kubu bersebrangan tersebut. Joker mengklaim dirinya sebagai musuh terbesar Batman, sementara sang Ksatria Kegelapan enggan mengakuinya. Mendengar jawaban “tidak” meluncur dari mulut Batman, sakit hati pun melanda Joker. Seperti layaknya seorang psikopat yang memperoleh penolakan, Joker merancang aksi balas dendam. Memanfaatkan momen pengumuman Barbara Gordon (Rosario Dawson) menjadi komisionaris polisi baru di Gotham, aksi dieksekusi. Tidak menciptakan kegaduhan, justru mengajak musuh-musuh Batman untuk menyerah bersama seakan ingin mengetes, “bagaimana ya perasaan Batman jika tidak ada lagi kejahatan yang harus diatasinya?.” Batman sendiri menyadari, ini merupakan awal mula dari rencana besar Joker demi menghancurkan Gotham. Dibantu oleh pelayan setianya, Alfred (Ralph Fiennes), beserta Barbara atau Batgirl dan Dick Grayson atau Robin (Michael Cera), Batman pun sekali lagi berupaya untuk menghentikan kegilaan Joker.


Pola yang diusung oleh The Lego Batman Movie sama persis dengan sesepuhnya. Kegilaan menyenangkan ditebar sebanyak mungkin, digenjot semaksimal mungkin, sedari detik pertama sampai film tutup durasi. Bahkan bersamaan dengan logo-logo studio yang mengalunnya perlahan sekali itu menampakkan wujudnya, banyolan telah dilontarkan. Banyolannya bernada ejekan menyentil dan inilah yang akan kamu dapatkan sepanjang film. Sasaran tembak si pembuat film beraneka macam, tidak sebatas pada semesta komik maupun film Batman itu sendiri dimulai dari era 40-an, 60-an, 90-an, hingga 2000-an mencakup Batman v Superman yang dihujani keripik pedas Maicih itu. Film juga ikutan ngenyek superhero dari studio sebelah (ehem, Marvel!), kemudian petinggi-petinggi studio, sampai film-film gede yang mempunyai karakter jahat legendaris (you name it!). Betul, lawakan-lawakan The Lego Batman Movie banyak mengandalkan pada referensi budaya populer. Apabila kamu bisa menangkap lemparan referensi si pembuat film, bersiaplah buat tertawa berderai-derai sepanjang 104 menit. Tapi kalaupun banyak yang meleset, tidak perlu risau karena film arahan Chris McKay ini masih menawarkan jalinan pengisahan yang imajinatif, seru, serta segar. 

Imajinatif lantaran menonton The Lego Batman Movie seperti melihat seorang bocah berimajinasi liar tengah asyik menciptakan dunianya sendiri yang mencampurbaurkan banyak elemen dalam permainan legonya, seru berkat alur cepatnya menghadirkan serentetan aksi menyenangkan selayaknya sebuah film superhero (hanya pembedanya, ini dalam format animasi), dan menyegarkan karena penonton memperoleh kesempatan didongengi kisah kepahlawan Batman menggunakan gaya bercerita yang cenderung berbeda. Tidak lagi bermuram durja, melainkan penuh kegembiraan. The Lego Batman Movie paham betul bagaimana caranya menempatkan diri. Tahu kapan saatnya berhura-hura dengan menampilkan sang karakter tituler dalam gaya slengean, tahu kapan saatnya harus serius yang menyumbangkan momen-momen menyentuh nan menghangatkan hati pada film. Serius disini tatkala film mengulik sisi rapuh dari Bruce Wayne/Batman seperti trauma masa lalu yang berujung ke kesendiriannya dan keengganannya mempunyai hubungan serius, sekaligus ketika menjalankan kewajibannya sebagai film untuk segala umur dengan menyempalkan pesan-pesan bermakna mengenai pentingnya keluarga, kepercayaan dan kerjasama. Hasilnya, sebuah paket hiburan keluarga yang komplit.

Outstanding (4/5)


Jumat, 18 November 2016

REVIEW : FANTASTIC BEASTS AND WHERE TO FIND THEM

REVIEW : FANTASTIC BEASTS AND WHERE TO FIND THEM


“Yesterday, a wizard entered New York with a case. A case full of magical creatures. And unfortunately, some have escaped.” 

Gagasan mengalihrupakan buku Fantastic Beasts and Where to Find Them hasil tulisan J.K. Rowling (menggunakan nama samaran Newt Scamander) ke medium audio visual sebetulnya sudah terdengar maksa, apalagi merentangkannya menjadi franchise baru dengan total jenderal lima seri. Jelas sudah jauh lebih gila pula ambisius dari The Hobbit tempo hari. Pasalnya, Fantastic Beasts bukanlah berbentuk novel konvensional yang didalamnya mengandung plot runtut melainkan sebuah ensiklopedia mini berisi panduan atas satwa magis yang dijadikan buku teks wajib bagi siswa-siswi Hogwarts. Jadi pertanyaannya adalah, akankah versi filmnya berceloteh mengenai petualangan si pengarang dalam berburu binatang-binatang fantastis ini seperti, errr... Pokemon? Bisa jadi. Pun demikian, segala bentuk skeptisisme terhadap spin-off sekaligus prekuel bagi kedelapan seri film Harry Potter ini perlahan tereduksi begitu dikonfirmasi bahwa J.K. Rowling ikut turun tangan secara langsung sebagai penulis skrip. Keterlibatan ibunda, disamping sedikit banyak memberikan jaminan bahwa Fantastic Beasts tidak akan melenceng jauh dari jalurnya, juga membantu meningkatkan excitement di kalangan Potterhead karena ini kesempatan emas untuk bernostalgia pula mengeksplor lebih jauh wizarding world dalam semesta Harry Potter rekaan Rowling. 

Fantastic Beasts melempar kita jauh ke pertengahan dekade 20’an – atau 70 tahun sebelum peristiwa di Harry Potter and the Sorcerer’s Stone – dengan fokus penceritaan diletakkan pada seorang zoologist satwa ajaib bernama Newton Scamander (Eddie Redmayne) yang melakukan penjelajahan mengarungi berbagai belahan dunia guna menemukan hewan-hewan magis. Di jilid pertama ini, Newt menyambangi The Big Apple. Beberapa saat setelah menjejakkan kaki di New York, Newt dihadapkan pada suatu insiden yang menyebabkan kopernya tertukar dengan seorang No-Maj (sebutan bagi Muggle, manusia biasa tanpa kekuatan sihir, di Amerika), Jacob Kowalski (Dan Fogler). Koper Newt bukan sembarang koper, saudara-saudara. Ini semacam portal ke dimensi lain yang didiami satwa-satwa magis ‘peliharaan’ si empunya koper. Maka alangkah paniknya tatkala benda tersebut menghilang dari pandangannya dan terlebih lagi, beberapa penghuninya melepaskan diri. Mengingat situasi di New York tengah tidak kondusif bagi para penyihir dengan munculnya grup ekstrimis ‘Salem Kedua’ yang menentang keberadaan penyihir, Newt dibantu oleh Tina (Katherine Waterston), mantan Auror di Magical Congress of the United States of America, dan Jacob, harus berpacu waktu untuk mengumpulkan kembali satwa-satwa yang terlepas sebelum situasi dan kondisi semakin merunyam. 

Film telah menguarkan aroma magis familiar yang kuat sedari menit-menit pertama dengan penampakkan surat kabar dunia sihir dengan foto-foto bergeraknya. Tak berselang lama, tanpa banyak berbasa-basi, penonton langsung digiring mengikuti adegan kejar-mengejar mengasyikkan tatkala seekor Niffler (menyerupai possum secara bentuk fisik) menyelinap keluar dari koper Newt, berburu benda-benda berkilauan di bank, dan membuat Newt terpontang-panting dalam upayanya menangkap sekaligus menahan perhatian dari kaum No-Maj. Harus diakui, perburuan si tokoh utama atas para satwa yang berlari-larian di sekitar kota New York merupakan salah satu bagian terbaik dari film. Selain Niffler, Newt juga harus menangkap beberapa hewan lain seperti Erumpent (mirip badak bercula satu) dan Occamy (perpaduan burung dengan ular) yang masing-masing menghadirkan momen mendebarkan, bernuansa magis, serta berbalut gelak tawa. Pemicunya, selain tingkah laku dari para satwa itu sendiri, reaksi Jacob terhadap hal-hal ajaib yang belum pernah dilihatnya sebelumnya pun priceless. Ya, sosok Jacob yang tidak lain yakni Muggle pertama dengan peran krusial di lini utama dalam franchise Harry Potter memang dimanfaatkan sebagai comic relief bagi Fantastic Beasts. Keberadaannya yang senantiasa memberikan keceriaan ke nada film merupakan salah satu faktor mengapa Fantastic Beasts terasa segar untuk disimak. 

Sementara di paruh awal Fantastic Beasts seringkali menghidupkan setelan mode ‘cerah’ seperti dua jilid pertama film Harry Potter, David Yates yang juga menangani empat jilid terakhir Harry Potter lantas mengaktifkan tone ‘suram’ seperti halnya seri ketiga sampai akhir di paruh sisanya seiring kian terdeteksinya ancaman. Fantastic Beasts bukan semata-mata berceloteh mengenai perjuangan Newt dalam mengumpulkan kembali piaraannya karena gambaran lebih besarnya adalah perkara klasik dari franchise ini; pertarungan antara kubu putih dengan kubu hitam. Sejatinya penonton telah bisa mengendusnya dari awal mula melalui eksistensi Salem Kedua dan satu dua karakter ambigu, namun Yates bersama Rowling baru benar-benar menaruh fokus ke guliran penceritaan yang kentara terasa merupakan pijakan awal dari intrik utama di franchise ini usai Newt menuntaskan ‘misi kecilnya’. Saya tidak akan menyebutkan secara spesifik pertentangan apa (dan siapa) yang dihadapi oleh Newt demi menjaga ketertarikanmu terhadap film, satu petunjuk yang bisa disebar adalah ada kemunculan kekuatan jahat berwujud Obscurial. Plot dalam pergulatan dengan sisi gelap sendiri sejatinya terbentuk dari ide dasar yang generik – sedikit banyak melemparkan ingatan ke seri-seri awal Harry Potter – namun pengolahan Rowling dan Yates membuatnya tetap mempunyai daya pikat maupun daya sentak. Malah, hasil akhirnya juga memberi daya sentuh ke emosi penonton. 

Memperoleh bala bantuan dari sang kreator bisa dikata membawa keuntungan tersendiri bagi Fantastic Beasts. Penceritaannya melaju cukup mulus – pembentukan world building-nya di era Roaring Twenties tertata rapi dan pendeskripsian barisan karakternya juga menarik – dengan perpaduan dua warna film yang bertolak belakang serasa saling melengkapi. Dampaknya, durasi sepanjang dua jam pun berlangsung cepat, mengikat, serta menyenangkan. Tidak sekalipun momen-momen menjemukan menyergap sepanjang berlangsungnya Fantastic Beasts malahan setiap menitnya terasa kian menyenangkan dan menyenangkan. Ndilalah, para pelakon yang direkrut untuk ambil bagian disini pun sadar akan tanggung jawab masing-masing. Eddie Redmayne begitu menyatu dengan sosok Newt yang canggung – membuktikan bahwa dia adalah salah satu aktor terbaik Britania Raya dewasa ini, lalu Katherine Waterston yang mengisi peran utama perempuan pertama di franchise (catatan, Hermione berada di posisi pendukung) menunjukkan kemesraan bersama Redmayne, sedangkan duo Dan Fogler beserta Alison Sudol yang merupakan versi lebih konyolnya Ron-Hermione pun tampil sesuai porsi tanpa pernah mendistraksi. Mereka bersatu padu dengan iringan musik membius dari James Newton Howard dan efek khusus mengagumkan yang lihai memvisualisasikan keajaiban wizarding world-nya Rowling maupun New York era 20-an, sehingga hasilkan tontonan fantasi menggelegar yang akan seketika menghapus keraguan terhadap dicetuskannya lima seri sekaligus menyulut ketidaksabaran penonton untuk sesegera mungkin mencicipi jilid selanjutnya dari Fantastic Beasts

Outstanding (4/5)