Tampilkan postingan dengan label Vino Bastian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Vino Bastian. Tampilkan semua postingan

Selasa, 06 Februari 2018

REVIEW : HOAX

REVIEW : HOAX


“Apa yang bisa Mama lakukan supaya Adek betul-betul percaya bahwa ini benar-benar Mama? Mama asli.” 

Pada tahun 2012 silam, Ifa Isfansyah (Sang Penari, Garuda di Dadaku) memperkenalkan film terbarunya bertajuk Rumah dan Musim Hujan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Dalam film yang merekrut nama-nama besar seperti Vino G. Bastian, Tora Sudiro, Landung Simatupang, Jajang C. Noer, serta Tara Basro – kala itu masih terhitung pendatang baru – tersebut, Ifa mencoba sedikit bereksperimen dengan memecah jalinan kisah ke dalam tiga segmen yang masing-masing mewakili suatu genre seperti komedi, drama, dan horor. Disamping JAFF, Rumah dan Musim Hujan turut berkelana pula ke berbagai festival film bertaraf internasional tanpa pernah diketahui secara pasti apakah film produksi Fourcolours Films ini akan menyambangi bioskop komersil tanah air. Tidak lagi terdengar kabarnya selama bertahun-tahun – sampai saya mengasumsikan, film ini mungkin sebatas dipertontonkan khusus untuk festival film – tiba-tiba tersiar kabar yang menyatakan Rumah dan Musim Hujan siap dirilis di tahun 2018. Berbagai perombakan pun dilakukan demi membuatnya terlihat baru seperti mengubah desain poster, judul yang beralih menjadi Hoax (Siapa yang Bohong?), sampai menyunting ulang film sehingga memiliki susunan cerita yang lebih bisa diterima oleh kebanyakan penonton arus utama. 

Hoax membawa kita mengunjungi rumah Bapak (Landung Simatupang) pada suatu hari di bulan Ramadhan yang jatuhnya bertepatan dengan musim penghujan. Ketiga anak Bapak, yakni Raga (Tora Sudiro), Ragil (Vino G. Bastian), dan Adek (Tara Basro), yang tidak lagi hidup di bawah satu atap yang sama diundang oleh Bapak untuk berbuka puasa bersama. Satu tamu lain yang turut memenuhi undangan adalah Sukma (Aulia Sarah), kekasih baru Raga. Selepas menyantap makanan, lalu bermain bersama di meja makan, tiga anak Bapak ini lantas berpisah jalan. Dimulai dari titik inilah, jalinan pengisahan dalam Hoax bercabang menjadi tiga yang masing-masing menyoroti permasalahan tiap karakter dan tidak memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Pada segmen Raga, persoalan yang dihadapi adalah kehamilan yang tidak diharapkan. Baik Raga maupun Sukma mencurigai adanya kemungkinan Sukma telah hamil setelah mereka melakukan kesalahan dalam berhubungan badan. Pada segmen Ragil, sang karakter mengalami dilema untuk menyampaikan kebenaran dibalik hubungan yang tengah dijalaninya kepada Bapak yang ingatannya telah menurun drastis. Sedangkan pada segmen Adek, unsur mistis mengambil alih tatkala Adek kesulitan untuk membuktikan bahwa Ibu (Jajang C. Noer) yang diajaknya mengobrol di rumah memang benar-benar ibunya alih-alih makhluk gaib yang menyerupai sang ibu.


Dalam Hoax, ketiga segmen berbeda warna ini – Raga lebih ke komedi, Ragil berada di drama, sementara Adek cenderung ke horor – tidak disampaikan secara bergiliran melainkan saling bersahut-sahutan. Dalam artian, ketiganya berjalan beriringan. Kita menyaksikan apa yang terjadi pada Raga, Ragil, maupun Adek di waktu bersamaan. Keputusan untuk menghadirkannya dalam susunan kisah semacam ini jelas membawa keuntungan sekaligus kerugian tersendiri. Bisa dibilang menguntungkan karena kebenaran dibalik setiap kisah bakal terungkap bersamaan di penghujung durasi yang secara otomatis mendatangkan ketertarikan bagi penonton untuk mengikuti film hingga menit terakhir. Terlebih lagi, setiap segmen yang masing-masing mengapungkan topik pembicaraan cukup sensitif di dewasa ini terkait perbedaan keyakinan dalam hubungan, kepercayaan terhadap agama leluhur, hamil diluar ikatan pernikahan, pemerkosaan, sampai hubungan sesama jenis, mampu disajikan oleh Ifa Isfansyah dalam guliran pengisahan yang mengikat atensi. Tagline yang diusung oleh Hoax pun menjadi terasa masuk akal, begitu pula dengan judulnya, karena saya berulang kali tergugah untuk melontarkan pertanyaan “siapa yang berbohong?” di setiap segmen, khususnya yang melibatkan Raga dan Adek. Kedua segmen ini merupakan kekuatan utama dari Hoax sementara segmen Ragil terasa kurang tergali. 

Dari sini kita sampai pada sisi merugikan dari menyusun tiga kisah berbeda tanpa benang merah dengan alur paralel. Yang paling kentara adalah adanya emosi yang terputus apalagi ketiga segmen ini mempunyai warna berbeda satu sama lain. Menjadi terasa ganjil saat kita sedang menyaksikan satu dua karakter tengah terisak-isak lalu sedetik kemudian menyaksikan satu karakter tengah merasa terteror, begitu juga sebaliknya. Penyuntingan semacam ini juga menyebabkan salah satu segmen terpaksa dikorbankan – dalam hal ini milik Ragil – yang penyampaiannya terkesan sepotong-sepotong sehingga saat kebenarannya terungkap, tidak ada impak pada emosi. Apakah keputusan ini dilandasi oleh isu sensitif yang dihembuskannya? Bisa jadi demikian. Pun begitu, mengesampingkan emosi yang ada kalanya tidak tersampaikan dengan baik plus bagaimana pencahayaan di sejumlah momen terasa kurang memadai (guelap euy!), Hoax masih bisa dikategorikan ke dalam tontonan yang apik. 

Setidaknya tuturan masih mengikat, iringan musiknya asyik, dan jajaran pemain yang meliputi Landung Simatupang, Vino G. Bastian, Tora Sudiro, Aulia Sarah, Tara Basro, sampai Jajang C. Noer mampu menampilkan performa diatas rata-rata. Yang paling membekas tentu saja penampilan Jajang C. Noer sebagai Ibu yang misterius. Intonasi dan tatapannya itu lhoooo… menyeramkan. Kalau bukan karena peristiwa traumatis yang baru saja dialaminya dan banjir di sekitar rumah, mungkin Adek sudah tunggang langgang meninggalkan rumah setelah mendengar ajakan Sholat Tarawih bersama dari sang ibu yang bikin bulu kuduk meremang.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Rabu, 30 Agustus 2017

REVIEW : WARKOP DKI REBORN: JANGKRIK BOSS! PART 2

REVIEW : WARKOP DKI REBORN: JANGKRIK BOSS! PART 2


“Asal lu tahu, kecepatan paling cepet di dunia itu mencret. Belum sempat kepikir, udah basah… kecepirit…” 

Memecah satu film menjadi dua bagian acapkali tidak memberikan hasil yang memuaskan. Terlebih jika motif utama yang melandasinya sekadar mengeruk uang sebanyak mungkin tanpa pernah memperhatikan kebutuhan cerita. Yang lantas terjadi, ketimpangan kualitas terpampang amat nyata. Satu bagian terasa sangat berisi, sementara bagian lain terasa seperti pelengkap yang dipanjang-panjangkan saja. Rumah produksi Falcon Pictures sempat mengambil keputusan kurang bijaksana ini untuk Comic 8: Casino Kings yang sejatinya sama sekali tidak membutuhkan dua bagian mengingat plotnya sendiri tidak memiliki kompleksitas berarti. Dicibir sebagian pihak, nyatanya keputusan beresiko tersebut berbuah manis. Tidak mengherankan saat kemudian rilisan besar terbaru mereka, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, arahan Anggy Umbara mendapatkan perlakuan serupa yakni dibagi ke dalam dua bagian. Sulit terhindarkan, belum apa-apa sudah muncul semacam kecemasan tontonan yang memberi penghormatan kepada grup lawak legendaris, Warkop DKI (Dono Kasino Indro), ini bakal menghadapi problematika senada seperti film yang memakai embel-embel ‘part’ lainnya. Yang lantas memunculkan secercah harapan, pernyataan dari si pembuat film yang mengatakan bahwa sejak awal film telah diniatkan untuk dibagi menjadi dua jilid. Memupuskan sedikit keraguan terhadap Part 2 yang mungkin saja kurang menghibur karena kesenangan sudah digeber habis di Part 1. Betulkah tidak ada yang perlu dikhawatirkan? 

Bagi kamu yang belum sempat menonton Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1, namun menunjukkan ketertarikan ingin menyaksikan Part 2, tak perlu risau akan tersesat dalam penceritaan. Sebelum kisah petualangan Dono (Abimana Aryasatya), Kasino (Vino G. Bastian), serta Indro (Tora Sudiro) dalam berburu harta karun di Malaysia berlanjut, penonton diajak mengilas balik ke serentetan kejadian di Part 1 terlebih dahulu. Hitung-hitung, menyegarkan ingatan. Selepas recap ditunaikan, film memulai guliran pengisahannya tepat setelah trio DKI beserta Sophie (Hannah Al Rashid), rekan kerja mereka dari CHIPS cabang Prancis, kehilangan jejak perempuan cantik berbaju merah yang disinyalir membawa tas berisi kode harta karun milik mereka. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari tas milik si perempuan, mereka diarahkan ke Perpustakaan Pusat yang kemudian mengantarkan mereka ke Pulau Langkawi. Di sana, kuartet asal Indonesia ini akhirnya berjumpa dengan si empunya tas yang tak lain tak bukan adalah seorang peneliti bernama Nadia (Nur Fazura). Menyadari Nadia mempunyai setumpuk informasi berharga mengingat statusnya sebagai penduduk setempat dan profesinya, trio DKI dan Sophie pun mengajak Nadia turut serta untuk berburu harta karun. Sebagai imbalannya, mereka akan bagi hasil. Kode harta karun yang mereka bawa lantas menuntun kelimanya menuju sebuah pulau tak berpenghuni di ujung barat. Berbagai peristiwa seram nan konyol yang turut melibatkan makhluk-makhlub gaib pun mewarnai petualangan mereka. 

Rupa-rupanya, kekhawatiran bahwa Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 akan berakhir kopong dan garing lantaran kandungan hiburannya telah dipergunakan secara maksimal di Part 1 tidaklah terbukti. Selepas menyaksikan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2, barulah saya memahami mengapa si pembuat film begitu kekeuh memecah satu judul ini ke dalam dua bagian. Part 1 lebih bersifat sebagai babak introduksi yang memberi kesempatan kepada para penggemar Warkop DKI untuk mengakrabi kembali idolanya dalam ‘wujud’ baru sekaligus memberi kesempatan kepada para generasi muda yang tidak terlalu familiar dengan Warkop DKI berikut gaya ngelabanya untuk berkenalan. Inti konfliknya pun belum benar-benar dimunculkan – baru sebatas pemicunya – dan hampir sebagian besar durasi dibentuk selayaknya sketsa berisi kumpulan adegan ngelawak yang memadukan lawakan lawas sang legenda dengan kreasi baru. Barulah di Part 2 ini, penonton melihat para protagonis utama dihadapkan persoalan sesungguhnya seiring mulai berlangsungnya petualangan di Negeri Jiran. Tidak lagi menyerupai sketsa, humor dalam Part 2 terintegrasi dengan baik ke dalam plot yang sekali ini referensi utamanya adalah Setan Kredit dan IQ Jongkok. Yang menarik, tidak seperti katakanlah Comic 8: Casino Kings Part 2 yang berasa repetitif, tergolong kosong dan seolah sekadar pelengkap untuk jilid sebelumnya, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 memang mempunyai jalinan pengisahan cukup memadai dan mengikat buat diikuti untuk diterjemahkan menjadi satu film.


Berita bagus lainnya untuk para penonton, tiada kelakar yang direduksi dalam Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 demi memberi ruang lebih bagi sesi petualangan maupun aksi. Malahan, Anggy Umbara beserta dua penulis skrip, Bene Dion Rajagukguk dan Andi Awwe Wijaya, memilih untuk melipatgandakannya. Sebuah keputusan yang berpotensi mendatangkan ‘kerusuhan’ di dalam bioskop. Sebentar, sebentar, ‘kerusuhan’? Ya, saat saya menontonnya di Gala Premiere beberapa waktu lalu, suasana senyap tak pernah sekalipun terjadi. Gelak tawa heboh dari penonton hampir selalu terdengar di sepanjang durasi. Betapa tidak, sedari menit pembuka yang tepat melanjutkan apa yang tertinggal dari Part 1, penonton telah dihujani dengan banyolan-banyolan penggelitik saraf tawa meliputi keributan dengan penjual sabuk, toko serba KW yang memberi penghormatan ke Sama Juga Bohong, serta pertengkaran akibat lokasi toilet. Baru juga mereda, tawa berderai-derai lain dapat dipastikan muncul saat trio Warkop DKI beradu mulut dengan penjaga perpustakaan bersuara toa. Jika kamu berpikir bahwa humornya tidak bisa lebih lucu lagi, tunggu sampai kamu dibawanya mengikuti kelima tokoh dalam film menjejakkan kaki di pulau seram tak berpenghuni. Dimulai dari sini, kegilaannya semakin tak terbendung apalagi tatkala mereka bersentuhan dengan televisi ajaib yang memberi tawa heboh itu. Dilontarkan secara gesit dalam bentuk beraneka ragam (entah dialog sarat referensi yang terkadang nyentil, situasi ganjil, atau slapstick) dengan ketepatan waktu yang layak diacungi jempol membuat sebagian besar humor berhasil mengenai sasarannya. 

Satu dua keluhan tentu ada. Adegan di laboratorium yang melibatkan aktris Malaysia Nora Danish, daya bunuh komedinya tidak terlalu kuat begitu pula momen musikal Andeca Andeci. Pertarungan Indro melawan pocong, lalu Kasino melawan pohon hidup pun berlangsung agak terlalu lama dari semestinya yang sedikit banyak melunturkan kelucuannya. Mengalami sedikit sendatan di beberapa titik, untungnya tak mengganggu kesenangan secara keseluruhan yang diciptakan oleh Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2. Ketimbang jilid sebelumnya, Part 2 jelas lebih mengasyikkan, menghibur dan kocak. Sekali ini, penonton tidak saja diajak bernostalgia ke masa-masa kejayaan Warkop DKI tetapi juga bernostalgia dengan beberapa karakter / film Indonesia klasik. Dari sisi permainan lakon, trio Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, dan Tora Sudiro terasa semakin menyatu ke dalam karakter yang mereka mainkan khususnya Abimana dan Vino yang tampak meyakinkan sebagai Dono serta Kasino. Ketiganya memperoleh dukungan sangat baik dari barisan pemain pendukung seperti Indro Warkop, Hannah Al Rashid, Nur Fazura, Nora Danish, serta Babe Cabita dalam penampilan yang sangat menggelitik. Ya, departemen akting adalah salah satu kunci yang menjadikan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 terasa begitu semarak disamping penyutradaraan, naskah, tata kamera oleh Yunus Pasolang yang memberi kesan vintage, iringan musik gubahan Andhika Triyadi, penyuntingan dari Wawan I Wibowo, dan polesan efek khusus. Sungguh sebuah penghormatan yang pantas bagi Warkop DKI dan sungguh pecah sekali film ini!

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/9_a5nd

Outstanding (4/5)