Tampilkan postingan dengan label Bad Genius. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bad Genius. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 Agustus 2017

BAD GENIUS (2017) REVIEW : Kemasan Unik tentang Kecurangan di Dunia
Pendidikan

BAD GENIUS (2017) REVIEW : Kemasan Unik tentang Kecurangan di Dunia Pendidikan

 
Semenjak pecahan dari GTH entertainment berubah menjadi GDH, banyak film-film Thailand ini yang mendapatkan antusias lebih dari penonton. Mulai dari One Day dan A Gift, penonton cukup menanti film-film yang diproduksi dari rumah produksi ini. Penonton menunggu hal terbaru apa yang berusaha ditawarkan agar semua penonton mempercayai film yang dibuat oleh rumah produksi ini. Datanglah film ketiga dari rumah produksi ini yang cukup membuat penontonnya menantikan karena trailernya yang cukup menggugah selera.

Nattawut Poonpiriya menjadi pemegang kunci untuk mengarahkan produk film ketiga dari rumah produksi GDH ini. Berbeda dengan kedua film Thailand lainnya, film ketiganya ini ber-genre suspenseyang sudah biasa dia lakukan lewat debut filmnya Countdown. Proyek  terbarunya kali ini tidak mengombinasikan suspense-nya dengan thriller, tetapi dengan film heist  ala Ocean’s Eleven atau yang paling dekat dengan rentang tahunnya yaitu Now You See Me.

Tetapi, proyek heist-suspensefilm ini tak menggunakan magic trickatau pencurian besar-besaran yang memang akan memberikan problematika yang terlihat serius. Bad Genius, proyek terbaru dari Nattawut Poonpiriya ini fokus tentang kecurangan-kecurangan kecil yang mungkin dilakukan oleh setiap orang saat sekolah dulu. Mencontek, sesuatu yang mungkin akan lumrah terjadi di kehidupan akademis yang terlihat begitu kecil tetapi ternyata efeknya bisa jadi lebih dari itu. 


Inilah Bad Genius yang menceritakan tentang para siswa-siswi Sekolah Menengah Atas di Thailand yang sedang berusaha bertahan hidup di tengah kerasnya ujian sekolah. Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying), seorang siswi pintar pindahan dari sekolah lain dan mendapatkan beasiswa di sekolah barunya. Di tengah perasaan asingnya dengan lingkungan sekolah barunya, Lynn menemukan seorang teman bernama Grace (Eisaya Hosuwan). Berbeda dengan Lynn, Grace memiliki problem dengan nilai-nilai di sekolahnya.

Dengan adanya hal tersebut, Lynn berusaha mencari cara agar bisa membuat Grace juga mendapatkan nilai yang bagus. Tetapi, cara yang ditempuh Lynn adalah cara yang salah dilakukan oleh Lynn. Dia berusaha memberikan contekan kepada Lynn di ujiannya dan tentu saja membantu meningkatkan nilai ujian dari Grace. Hal ini dimanfaatkan pula oleh pacar Grace, Pat (Teeradon Supapunpinyo) dan membuatnya menjadi lahan bisnis. Lynn pun menerima penawaran dari Pat dan Grace karena dia juga membutuhkan uang. 


Inilah Bad Genius yang memberikan sebuah realita tentang kehidupan pendidikan yang begitu relevan di berbagai masanya. Sebuah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para siswa di banyak sekolah yang sudah menjadi kebiasaan dan lumrah dilakukan oleh banyak orang. Nattawut Poonpiriya berusaha mengungkap berbagai cara bagi siswa-siswi di sebuah sekolah untuk mendapatkan jawaban dengan cara yang curang.

Mengungkapkan sebuah realita yang terjadi di lingkungan sosial sekitar pun bisa dikemas dengan berbagai genre yang dapat membuat penontonnya tak perlu merasa bosan. Dengan Bad Genius ini, Nattawut Poonpiriya membuat fenomena sosial yang terasa lumrah dilakukan di masyarakat ini menjadi sebuah sajian yang begitu menegangkan di durasinya yang mencapai 129 menit. Di durasinya yang cukup lama itu, Nattawut Poonpiriya memberikan banyak sekali keefektifan dalam pengarahanya.

Dengan premis yang mungkin terlihat begitu kacangan, Nattawut Poonpiriya berhasil menjadikannya sebagai sebuah heist film yang penuh akan komplikasi. Keefektifan yang dilakukan oleh Nattawut Poonpiriya adalah menggunakan 129 menitnya untuk menceritakan kerumitan yang muncul di dalam plot ceritanya. Menggali lebih dalam tentang setiap karakternya sehingga penonton bisa ikut bersimpati dengan para pion penggerak ceritanya. Hal ini penting agar penonton Bad Genius bisa tak memalingkan wajahnya dari layar. 


Terlebih, bagaimana Poonpiriya begitu berhasil membangun tensinya dengan sangat kuat. Dengan cerita yang diarahkan dan penggalian karakternya yang digarap begitu kuat, tensi yang dibangun susah payah oleh sutradaranya akan menambah kekuatan cengkraman kepada penontonnya. Sehingga, Bad Genius tak hanya sekedar menjadi sebuah film yang memberikan realita dan kritiknya terhadap dunia pendidikan dengan kemasan yang begitu-begitu saja. Tetapi sekaligus menjadi sebuah film yang sangat menghibur penontonnya dari awal hingga akhir.

Kerapatan dalam filmnya ini juga dipengaruhi oleh penulisan naskah filmnya yang berhasil memberikan cerita yang penuh komplikasi tetapi tidak basa-basi. Nattawut Poonpiriya, Tanida Hantaweewatana, dan Vasudhorn Piyaroma mengemas naskahnya dengan cara yang segar dengan premis cerita yang terlihat biasa saja. Segala pergerakan ceritanya memiliki alasan dan memiliki hubungan sebab-akibat yang lebih realistis dan memuaskan segala penontonnya. Hal ini terlihat dengan bagaimana cara Bad Genius mengakhiri filmnya. 


Bad Genius di awal film sebenarnya memberikan atribut optimisitik dan heroik kepada karakternya yang melakukan tindak kriminal cukup membuat penontonnya khawatir dengan bagaimana film ini akan berakhir. Tetapi, naskah yang ditulis oleh Nattawut Poonpiriya bersama teman-temannya ini berhasil memberikan penyelesaian yang memuaskan bagi penontonnya. Tak ada kesan glorifikasi atas kecurangan yang dilakukan karakternya dan memunculkan tentang keadilan, konsekuensi atas apapun yang dilakukan oleh setiap karakternya.

Poin itu yang berusaha ditekankan oleh Nattawut Poonpiriya ke dalam Bad Genius. Kritiknya terhadap siapapun yang terlibat di dalam dunia akademis yang memperlihatkan bahwa hasil akhir bukanlah sekedar angka. Tetapi, hasil akhir tersebut adalah hal yang perlu ditanggung jawabkan nantinya di dunia akademis. Kecurangan-kecurangan sekecil apapun yang dilakukan oleh pelaku dunia pendidikan ini pasti akan konsekuensinya. Kecurangan sekecil apapun tetaplah melanggar peraturan, ada konsekuensi yang tak bisa dikompromikan di dalam sebuah aturan tersebut.


Sehingga, Bad Genius tak hanya sekedar sebuah film dengan dosis hiburan yang sangat tinggi lewat heist genre-nya. Tetapi juga menjadi sebuah gambaran tentang realita dunia pendidikan yang masih saja memiliki celah untuk dapat dicurangi oleh para akademisinya. Tetapi, gambaran atas realita tersebut bisa dikemas dengan begitu rapat dan diarahkan dengan sangat baik oleh Nattawut Poonpiriya. Sehingga, efek yang ditimbulkan setelah menonton ini akan sangat kepada penontonnya. Ditutup dengan adegan penutup yang begitu adil sekaligus bisa dijadikan sebuah kontemplasi bagi penontonnya. Terlebih, bagi yang pernah melakukan kecurangan dan pemalsuan di dunia pendidikan. 

Senin, 14 Agustus 2017

REVIEW : BAD GENIUS

REVIEW : BAD GENIUS


“To me ‘cheating’ means someone gets hurt. What we do doesn’t hurt anyone. It’s win-win.” 

Siapa bilang perfilman Thailand hanya jago memproduksi film horor dan percintaan? Rumah produksi terkemuka di Negeri Gajah Putih, GDH 559 (sebelumnya dikenal dengan nama GTH), membuktikan bahwa mereka pun jagoan dalam mengkreasi tontonan mencekam dengan subgenre heist film melalui rilisan teranyar mereka bertajuk Bad Genius. Tak seperti para karakter dari film beraliran sama yang umumnya memiliki riwayat sebagai kriminal dan misi utamanya adalah melakukan perampokan demi mendapatkan setumpuk uang atau emas sebagai bekal dapatkan hidup sejahtera, para karakter dalam film arahan Nattawut Poonpiriya (Countdown) ini hanyalah siswa-siswi setingkat SMA yang masih berusia belasan. Yang mereka incar juga bukan kemilau emas melainkan skor bagus dalam ujian-ujian sekolah yang menentukan. Berbeda pula dengan The Perfect Score (2004) dimana tokoh-tokohnya saling berkonspirasi untuk nyolong kunci jawaban, Bad Genius lebih ke menyoroti sepak terjang sindikat penyedia jasa sontekan kecil-kecilan dalam menyusun trik menyontek agar tak kepergok pengawas ujian selama tes kemampuan akademis berlangsung. Suatu kecurangan semasa sekolah yang sejatinya pernah dilakukan hampir semua siswa, bukan? 

Guliran pengisahan Bad Genius sendiri terinspirasi dari berita mengenai pembatalan nilai tes SAT – tes standardisasi bagi pelajar yang ingin melanjutkan kuliah di universitas-universitas Amerika Serikat – setelah terbongkar adanya praktik menyontek massal dalam ujian di Tiongkok. Lewat Bad Genius, peristiwa tersebut direka ulang dan didramatisir sedemikian rupa menjadi kasus kecurangan dalam tes STIC yang merupakan fiksionalisasi SAT. Empat siswa yang dianggap bertanggungjawab antara lain Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying), Bank (Chanon Santinatornkul), Pat (Teeradon Supapunpinyo), dan Grace (Eisaya Hosuwan). Di permulaan film, kita mendapati mereka dibombardir pertanyaan dalam suatu ruang interogasi usai kedapatan menyontek. Ada yang mengakui, ada pula yang mengelak. Kita pun dibuat bertanya-tanya, bagaimana semuanya ini bisa terjadi? Guna memaparkan kronologi peristiwanya, si pembuat film lantas melempar alur penceritaan ke tiga tahun sebelumnya saat para siswa ini baru memulai tahun ajaran awal di sebuah sekolah swasta terbaik. Penonton diperkenalkan kepada Lynn, siswi berotak brilian dari keluarga berekonomi pas-pasan yang mengalami kesulitan dalam interaksi sosial. 

Satu-satunya teman Lynn di sekolah adalah Grace yang bergabung dengan klub drama dan mewakili stereotip siswi cantik yang tidak pintar. Mengetahui Grace bermasalah dengan nilainya, Lynn berinisiatif untuk membantunya termasuk memberikan sontekan secara sukarela saat ujian. Kebaikan serta kecerdasan Lynn ini lantas dimanfaatkan kekasih Grace yang kaya raya sekaligus oportunis, Pat, yang menjanjikan senilai uang asalkan Lynn bersedia memberi dia dan beberapa kawan baikannya berupa sontekan saat ujian. Mengingat sang ayah (Thaneth Warakulnukroh) mengalami kesulitan secara finansial, Lynn menerima tawaran Pat. Perlahan tapi pasti, bisnis ilegal berkedok ‘les piano’ ini berkembang pesat seiring semakin banyaknya siswa yang bergabung bahkan merambah lebih jauh hingga ke tes STIC. Ancaman akan terbongkarnya praktik terlarang ini muncul dari siswa teladan yang polos dan memiliki jiwa pekerja keras, Bank. Tapi tentu saja Nattawut Poonpiriya tak akan membiarkan ‘les piano’ ini bubar jalan begitu saja hanya karena seorang Bank terlebih misi raksasa belum tercapai. Agar perjalanan menuju klimaks kian terasa greget, dia pun menghadirkan beberapa kelokan-kelokan yang akan membuatmu enggan untuk memalingkan muka barang sedetikpun dari layar bioskop.


Keengganan untuk memalingkan muka pada dasarnya telah terbentuk semenjak film memulai langkahnya. Cuplikan adegan interogasi di sela-sela babak introduksi mengapungkan kepenasaran untuk mengetahui lebih dalam kesulitan semacam apa yang menjerat keempat tokoh utama. Sedikit demi sedikit petunjuk yang mengarahkan pada adegan tersebut ditebar. Proses menuju detik-detik ‘pengungkapan fakta’ berlangsung amat menegangkan dengan intensitas yang tak sekalipun mengendur. Daya sentak untuk penonton secara resmi muncul pertama kali dalam adegan ujian di ruang kelas yang melibatkan Lynn dan Grace. Hanya bermodalkan properti berupa sepatu dan karet penghapus, sang sutradara yang memperoleh sokongan bagus dari penyuntingan lincah Chonlasit Upanikkit dan gerak kamera dinamis Phaklao Jiraungkoonkun berhasil menempatkan penonton dalam fase harap-harap cemas; menggigit-gigit kuku, menggenggam erat kursi bioskop, dan bercucuran keringat. Ya, ruang ujian dalam Bad Genius tak ubahnya bank atau ruang brankas di rumah seorang kaya dalam heist film pada umumnya. Situasinya memang tidak sampai tahapan seekstrim hidup-mati dan sekadar berhasil-gagal, namun tetap tak berdampak pada berkurangnya kadar ketegangan terlebih jika kamu pernah melakukan praktik menyontek atau memberi sontekan semasa sekolah. Mudah sekali untuk merasa terhubung. 

Seiring makin meluasnya bisnis yang dijalankan Lynn dan kawan-kawan, kemampuan Bad Genius dalam mencekam penonton turut berlipat ganda. Pasalnya, pertaruhannya terus ditingkatkan dan tidak lagi melibatkan satu dua karakter saja. “Apa yang akan terjadi selanjutnya?” adalah pertanyaan yang terus menerus berkecamuk di benak dan kandungan zat adiktif di Bad Genius memungkinkan kita untuk ketagihan mencari informasi yang lebih, dan lebih. Disamping pengarahan Nattawut, tata kamera Phaklao, serta editing Chonlasit, kunci keberhasilan lain dari Bad Genius sehingga penonton seolah-olah dilibatkan ke dalam film adalah akting cemerlang jajaran pemainnya khususnya pendatang baru Chutimon sebagai siswi yang dihimpit keadaan, Thaneth sebagai ayah yang sangat menyanyangi putrinya, dan Teeradon sebagai siswa kaya manja yang terkadang menyuplai humor, lalu naskah berisi racikan Nattawut bersama Tanida Hantaweewatana dan Vasudhorn Piyaromna. Tidak selamanya mulus – beberapa tindakan ada kalanya menyebabkan dahi mengerut – tapi masih sangat bisa dimaafkan karena terbayar oleh kesanggupannya menyuarakan kritik terhadap dunia pendidikan yang korup dan kerap kali menekan siswa dengan cara sangat mengasyikkan. Saya tak pernah sedikitpun menyangka lembar jawab pilihan ganda bisa membuat jantung berdegup begitu kencang kala ditampilkan dalam sebuah film layar lebar. Dalam Bad Genius, saya menjumpai itu.

Outstanding (4/5)