Tampilkan postingan dengan label france. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label france. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Mei 2017

Elle (2016) (4/5)

Elle (2016) (4/5)

Shame isn't a strong enough emotion to stop us from doing anything at all. Believe me. 
RottenTomatoes: 90% | IMDb: 7,3/10 | Metascore: 89/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: R
Genre: Thriller, Drama

Directed by Paul Verhoeven ; Produced by Saïd Ben Saïd, Michel Merkt ; Screenplay by David Birke ; Based on Oh... by Philippe Djian ; Starring Isabelle Huppert, Laurent Lafitte, Anne Consigny, Charles Berling, Virginie Efira, Judith Magre, Christian Berkel, Jonas Bloquet, Alice Isaaz, Vimala Pons, Arthur Mazet, Raphaël Lenglet, Lucas Prisor ; Music by Anne Dudley ; Cinematography Stéphane Fontaine ; Edited by Job ter Burg ; Production companySBS Productions, Pallas Film, France 2 Cinéma, Entre Chien et Loup, Canal+ France Télévisions, Orange Cinéma, Séries Casa, Kafka Pictures, Proximus Centre, National de la Cinématographie, Filmförderungsanstalt ; Distributed by SBS Distribution ; Release date 21 May 2016 (Cannes), 25 May 2016 (France & Belgium) ; Running time130 minutes ; Country France, Germany ; Language French ; Budget €8.2 million ($9.1 million)

Story / Cerita / Sinopsis :
Michelle (Isabella Huppert), seorang wanita sukses yang menjadi boss di sebuah perusahaan game developer berusaha mencari tahu laki-laki asing yang telah memperkosanya. 

Review / Resensi:
Sebagai perempuan, saya tidak tahu harus bereaksi bagaimana atau harus punya perasaan seperti apa setelah menonton Elle. Entahlah, perasaan saya campur aduk setelah menonton. Antara suka dan tidak suka. Antara berusaha memahami dan berpikir what-the-fuck-that-I-just-watched? Pertama, film yang disutradarai oleh Paul Verhouven, sineas asal Belanda yang terkenal berkat drama erotic-thriller Basic Instinct ini, punya premis cerita yang sangat mengerikan: pemerkosaan. Ini jelas teror yang menakutkan buat perempuan. Kedua, solusi untuk kasus raping ini sangat twisted alias di luar dugaan. Ketiga, karakter Michelle - yang menjadi sentral film ini jelas bukan seorang perempuan biasa. Karakter yang..... fucked-up abiz lah. Nih film kalo tokohnya orang normal pasti kasusnya dilaporin ke polisi dan kelar. Atau si korban yang "baik hati" akan dengan "beruntung" bisa mengalahkan pemerkosanya. But no-no... Michelle is a complicated, assertive, strong, kinda type of alpha female woman and not-loveable character. Jadi bersiaplah untuk menerima cerita yang tidak biasa.

Ngomongin Elle maka kita akan ngomongin Isabella Huppert. Tbh saya ga terlalu familiar ama film-film Perancis (dan film Eropa lainnya), jadi sebenarnya sebelumnya saya nggak terlalu kenal dengan nama Isabella Huppert. Tapi ya Tuhan.... aktingnya di sini keren sekali! She's supposed to be the winner of Best Actress for this year Oscar. I mean, don't get me wrong... I love Emma Stone. But please...... akting Isabella Huppert di sini juara banget! Dan karakter yang ia perankan di sini, Michelle, asli sinting. Karakter Michelle adalah nyawa film ini dan Isabelle Huppert memerankannya dengan sangat luar biasa. 

Sebagai rape movie, kita mungkin mengira akan bertemu dengan karakter yang "loveable" untuk jadi korban, supaya kita bisa bersimpati dengan sang tokoh utama. Tapi Michelle di sini punya karakter yang rumit, dan wajar kalau karakternya rumit jika mengingat masa lalunya yang juga kelam. Ia anak dari seorang bapak psikopat yang divonis hukuman seumur hidup setelah membunuh banyak orang. Ibunya yang sudah tua terlibat asmara dengan seorang pria muda. Anak Michelle, Vincent, tidak punya karir yang baik dan terlibat hubungan asmara dengan wanita yang mendominasi dan hobi marah-marah. Michelle sendiri terlibat affair dengan suami sahabatnya dan sexually attracted sama suami tetangganya. Michelle sendiri "bengis" di tempat kerjanya dan nggak disukai oleh anak buahnya. So, basically this woman is bitch. Saya merasa antara entah harus simpati atau harus benci dengan wanita ini. 

Saya mungkin sok-sokan liberal dan open minded, tapi untuk beberapa hal saya masih sangat konservatif. Karena itulah saya tidak harus bagaimana menerima dan memaknai film Elle ini. That rape scene is so brutal and make any women feel uncomfortable. Tapi kemudian Michelle digambarkan dengan tenang "membereskan" rumahnya yang berantakan akibat perkosaan ini, lalu menjalani hari-harinya dengan biasa-biasa saja tanpa melaporkan kasus pemerkosaannya ini ke polisi. Lalu kemudian terungkap juga bahwa Michelle juga bukan karakter wanita normal baik hati yang patut mendapat simpati. Bayangin donk dia affair ama suami sahabatnya. Jadi entahlah, di pertengahan film saya seperti berada di posisi "jahat" dengan sejenak berpikir bahwa Michelle layak dapat apa yang ia dapatkan. *spoiler alert* Oh but wait a minute, ga cuma sampai di situ letak "keanehannya", yang bikin saya mikir nih film makin kacau adalah ketika Elle justru terlibat hubungan consensual sex dengan pemerkosanya. Ini sakit banget nggak sih? *spoiler ends*

Dalam durasinya yang mencapai 2 jam lebih, Elle akan terus menarik atensimu. Paul Verhouven dengan baik memainkan ketegangan itu, menipu kita dengan sebuah red herring, serta mengatur permainan cerita yang tidak mudah ditebak. Ada unsur black comedy yang cukup segar - membuatnya tidak monoton, serta setiap tokoh lain dalam kehidupan Michelle juga diberikan introduksi dan karakterisasi yang baik. Dan sekali lagi, film ini adalah sebuat erotic-thriller, bagaimana mungkin ini bisa jadi membosankan? Ah sayangnya ceritanya sendiri memang sedikit provokatif sehingga Elle bahkan tidak masuk shortlist Best Foreign Film di Oscar tahun ini (demikian juga dengan The Handmaiden-nya Park Chan-Wook yang juga sama provokatifnya). 

Overview:
Provocative, controversial, and.... ambiguos? Paul Verhouven berada dalam salah satu kekuatan utamanya: menggabungkan thriller dengan erotika. Elle akan mengajakmu ke petualangan yang aneh, disturbing tapi menarik, sekaligus menimbulkan perasaan tidak nyaman. Isabella Huppert bermain luar biasa sebagai Michelle. 

Minggu, 22 Januari 2017

REVIEW : BALLERINA

REVIEW : BALLERINA


“Never give up on your dreams.” 

Plot mengenai anak muda yang berkelana ke kota besar untuk merealisasikan mimpi-mimpinya sejatinya telah berulang kali dibongkar pasang oleh para sineas dunia. Bahkan baru beberapa hari lalu kita menjumpai penceritaan segendang sepenarian dalam film musikal jempolan, La La Land. Bagi mereka yang mudah bersikap sinis, tentu akan melabelinya dengan “klise” atau “mudah ditebak”. Tapi seperti kita buktikan bersama melalui La La Land, tak peduli seberapa familiar kisah yang kamu bagikan ke khalayak ramai, eksekusi dari sang sutradara lah penentu segalanya. Di tangan Damien Chazelle, film beraroma klise ini berhasil memberi cecapan rasa segar pula magis bagi penontonnya. Belajar dari pengalaman tersebut yang menunjukkan bahwasanya gagasan sederhana maupun usang tidak selalu berkonotasi buruk, saya membawa sikap positif saat memutuskan menyimak film animasi 3D produksi kerjasama antara Kanada dengan Prancis, Ballerina (akan dipasarkan menggunakan judul Leap! di Amerika Utara), yang memiliki jalinan kisah yang senada dengan La La Land. Hasilnya, kepercayaan saya tak dikhianati. Malahan Ballerina lebih menyenangkan dan membahagiakan melebihi ekspektasi. 

Karakter utama dari Ballerina adalah seorang perempuan belia yatim piatu bernama Félicie (Elle Fanning) yang telah bermimpi menjadi penari sedari masih kecil. Terbelenggu oleh peraturan ketat panti asuhan yang juga mendikte pemikirannya kalau mimpi bukanlah realita, Félicie kesulitan mewujudkan mimpinya. Sampai suatu hari segalanya berubah usai sahabatnya, Victor (Dane DeHaan), yang bercita-cita menjadi penemu membawanya kabur dari panti dan bertolak ke Paris. Tidak mempunyai kerabat maupun tujuan jelas, keduanya sempat terkatung-katung lalu berpisah jalan. Tapi mereka tidak menyerah begitu saja dan bermodalkan kenekatan, Félicie mengikuti audisi dalam pertunjukkan The Nutcracker yang digelar Paris Opera Ballet menggunakan identitas Camille Le Haut (Maddie Ziegler) yang dicurinya. Tanpa adanya dasar tari balet, Félicie jelas kelimpungan menjalani audisi ini hingga Odette (Carly Rae Jepsen), penjaga misterius di sekolah tari terkemuka tersebut, memutuskan mengajarinya beberapa teknik dasar yang kudu dikuasai para balerina. Bukan perkara mudah bagi Félicie untuk bisa mencapai garis akhir. Disamping balet tergolong sulit dipelajari, Camille Le Haut tentu tidak begitu saja tinggal diam mengetahui identitasnya dicuri. 

Dari permukaan, Ballerina memang tak ubahnya film animasi yang dipasarkan untuk perempuan cilik menilik sorotannya pada dunia tari balet. Tapi percayalah, Ballerina bukan sekadar film yang diproyeksikan ke pemirsa berusia dan bergender tertentu sehingga mengalienasi penonton dewasa yang menemani penonton cilik ke bioskop atau mereka yang memilih Ballerina sebagai tontonan karena alasan tertentu. Duo sutradara Eric Summer dan Eric Warin mengupayakan agar seluruh anggota keluarga dapat menikmati keriaan yang dihadirkan oleh Ballerina. Bahkan pesan inspiratif yang diusungnya yakni “jangan pernah menyerah dalam mewujudkan mimpimu” maupun “jalani apapun di kehidupan ini dengan menggunakan hati” bersifat universal yang pastinya akan mengena bagi siapapun yang mempunyai angan, harapan, serta impian. Ya, pada dasarnya ini adalah film untuk para pemimpi. Seperti versi animasi dari La La Land hanya minus momen-momen musikal, tidak terlalu mengakrabi elemen romansanya, dan meninggikan unsur gegap gempita berbalut petualangannya demi menambat perhatian penonton belia. 

Dalam perjalanannya, Ballerina agak kikuk mula-mula. Untung desain animasinya yang ciamik pula detil khususnya dalam penggambaran setting tempat, telah mencuri perhatian sedari awal. Dengan babak perkenalan yang teramat singkat, membutuhkan waktu untuk bisa betul-betul masuk ke dalam dunia Félicie yang berlatar tahun 1880-an. Ketertarikan mulai timbul begitu si karakter utama menjalani hari-hari penuh ujian di Paris Opera Ballet. Dari sini kita mulai mengenal Félicie. Perlahan tapi pasti, Ballerina mulai menguarkan charm-nya terlebih saat Odette turun tangan memberikan bantuannya pada Félicie. Diiringi tembang-tembang pop kekinian yang renyah di telinga dan didukung sumbangan bernyawa dari para pengisi suara – kredit khusus bagi Carly Rae Jepsen yang menyimpan kehangatan dibalik sikap dinginnya dan Maddie Ziegler yang sungguh menjengkelkan – Ballerina pun enak dinikmati. Terlebih lagi proses Félicie dalam menggapai mimpinya dijlentrehkan penuh humor menggelitik yang bersumber dari setiap tokoh (interesting, huh?), guliran konflik mengikat, dan menghangatkan hati. Jika ada keluhan berarti, maka itu terkait cara si pembuat film mengakhiri Ballerina yang cenderung tergesa-gesa dan kurang menghentak. Selebihnya, ini adalah tontonan keluarga yang menyenangkan.

Exceeds Expectations (3,5)

Jumat, 11 November 2016

Inside (À l'intérieur) (France, 2007) (4/5)

Inside (À l'intérieur) (France, 2007) (4/5)


RottenTomatoes: 83% | IMDb: 6,9/10 | NikenBicaraFilm: 4/5

Genre: Horror
Rated: R

Directed by Julien Maury, Alexandre Bustillo ; Produced by Franck Ribière, Vérane Frédiani ; Screenplay by Alexandre Bustillo ; Story by Alexandre Bustillo ; Starring Aymen Saïdi, Béatrice Dalle, Alysson Paradis, Nathalie Roussel, Nicolas Duvauchelle, François-Régis Marchasson ; Music by François-Eudes Chanfrault ; Cinematography Laurent Barès ; Edited by Baxter Production company, BR Films, La Fabrique de Films ; Distributed by La Fabrique de Films ; Release dates May 13, 2007 (Cannes Film Festival) ; Running time 82 minutes ; Country France ; Language French ; Budget $2.5 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Di suatu malam sendirian di rumah, seorang perempuan muda yang sedang hamil besar kedatangan tamu misterius yang hendak membunuhnya.

Review / Resensi :
Saya nggak terlalu familiar dengan film-film Perancis sebelumnya, termasuk film-film horror dari negeri tersebut. Tapi atas rekomendasi seorang kawan, saya memutuskan di suatu siang yang damai untuk nonton Inside (atau A L'Interieur) karena katanya film horror yang dirilis tahun 2007 ini keren banget. Oke, perlu diluruskan terlebih dahulu bahwa film horror yang keren adalah mimpi buruk bagi mereka yang tidak menggemari film horror, apalagi subgenre slasher dan gore yang artinya penuh darah muncrat sana-sini. Dimulai dengan agak lambat, lalu sedikit bernuansa suspense, separuh akhir filmnya akan membuatmu misuh-misuh dan mengumpat nggak karuan - dimana hal ini adalah hal yang baik dalam konteks film horror gore / slasher. Saya jamin penggemar film semacam ini akan menontonnya sambil bersuka cita. Oh ya, buat yang lagi hamil, saya sarankan sebaiknya kamu nggak usah nonton ya. Just don't. 

Inside bermula dari kecelakaan yang melibatkan Sarah (Alysson Paradis) yang sedang hamil empat bulan dan kecelakaan itu menewaskan sang suami. Cerita berlanjut lima bulan kemudian, Sarah yang sedang hamil besar terpaksa menghabiskan malam natal sendirian di rumahnya. Atau setidaknya dia pikir dia akan sendirian, sampai kemudian seorang tamu misterius datang ke rumahnya. Inside, sebagaimana kebanyakan film-film bergenre serupa, sebenarnya tidak menawarkan kompleksitas cerita. Dan peduli amat dengan cerita yang beda dan kompleks, jika eksekusi akhir film ini melahirkan mimpi buruk yang tidak akan mudah dilupakan bagi penonton. At least film ini membuat saya nggak bakal tinggal sendirian pas lagi hamil, atau pada saat apapun!

Ceritanya agak lambat di awal, sebagaimana trik film horror kebanyakan. Namun memasuki babak kedua setelah kita dikenalkan sekilas mengenai karakter sang protagonis Sarah, perlahan-lahan Inside memasuki ritme horror-nya. Dimulai dari sebuah ketukan pintu rumah dari seseorang yang mencurigakan, yang untungnya Sarah sudah cukup cerdik untuk tidak tertipu. Lalu dilanjutkan penampakan "La Femme" (Beatrice Dalle) di halaman rumah, berdiri dengan tenang sambil menyalakan rokok. Bagian suspense-nya ini sudah cukup menarik dan bikin stress jantung, apalagi ketika sang "penampakan berambut panjang dengan dress hitam vintage panjang" oleh sutradara Julien Maury dan Alexandre Bustillo ditampilkan dengan cukup "subtle" dan brilian pada suatu momen mengendap-ngendap yang tidak diduga, tanpa perlu efek suara dramatis yang bikin kaget. Ini momen sempurna dimana penonton akan berteriak "Di belakangmu! Belakangmu!".

Jika bagian suspense ini sudah cukup creepy, maka bagian akhirnya akan membuat penggemar film gore berpesta, because blood is everywhere. Inside menghabiskan separuh filmnya pada pesta berdarah, dimulai dari sebuah gunting menusuk ke pusar perut yang dijamin udah bikin kamu ngilu. Inside tidak sungkan menampilkan banyak adegan gory dan brutal yang bikin perut mulas: gunting yang dibikin ngehancurin wajah, kepala meledak, tangan ditusuk gunting, duh... pokoknya sumpah serapah dan mungkin sedikit "crazy laugh" menjadi reaksi wajar selama nonton film ini. Jika kamu berpikir bahwa Inside sudah cukup tenang menjelang akhirnya dan membuat berpikir "keparahan" ini bisa separah apa lagi - maka Alexandre Bustillo yang juga bertindak sebagai penulis naskah tidak akan membiarkan kamu dalam kondisi tentram, karena menjelang akhir film ini akan makin parah. There are so many what the fuck and unpredictable moment, walaupun twistnya sendiri udah cukup ketebak buat saya di bagian awal. Oh yes, Inside adalah film gore-horror yang sinting!

*Anyway, kalaupun ada hal yang bikin saya ngerasa terganggu adalah animasi bayi di dalam perut yang entahlah... ngeganggu banget. 

Overview :
Bagi ibu hamil dan yang tidak menyukai film horror - terutama film gore, maka sudah jelas Inside bukanlah film yang cocok buatmu. Namun bagi penggemar subgenre ini, Inside adalah salah satu contoh sempurna film gore yang keren. It's so brutal and disgusting. Jika kamu berpikir bahwa bagian pertengahan film ini uda sinting, maka justru semakin akhir Inside akan makin ngawur. Oh well, ngawur dalam artian baik. Saya juga menyukai bagian menjelang pertengahan, sebuah susupan suspense yang cukup elegan dan efektif, sebuah pengantar sempurna bagi penonton sebelum kita merayakan pesta berdarah-darah.