Tampilkan postingan dengan label 2017. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 2017. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Juni 2018

mother! (2017) (3,5/5)

mother! (2017) (3,5/5)


You never loved me. You just loved how much I loved you. 

RottenTomatoes: 68% | IMDb: 6,7/10 | Metascore: 75/100 | NikenBicaraFilm: 3,5/5

Rated: R | Genre: Drama, Horror, Mystery

Directed by Darren Aronofsky ; Produced by Scott Franklin, Ari Handel ; Written by Darren Aronofsky ; Starring Jennifer Lawrence, Javier Bardem, Ed Harris, Michelle Pfeiffer ; Cinematography Matthew Libatique ; Edited by Andrew Weisblum ; Production companyProtozoa Pictures ; Distributed by Paramount Pictures ; Release date September 15, 2017 (United States) ; Running time121 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $30 million ; Box office $44.5 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Sepasang suami istri (Jennifer Lawrence dan Javier Bardem) tinggal berdua di sebuah rumah terpencil. Suatu hari mereka kedatangan tamu misterius yang bertindak sesuka hati.

Review / Resensi :
Tidak dapat dipungkiri, mother! (mother! dengan huruf m kecil dan tanda seru di bagian belakangnya) adalah salah satu film paling kontroversial tahun 2017 sekaligus paling banyak dibicarakan. Sebagaimana The Tree of Life (Terrence Malick, 2011), publik tampaknya terbagi menjadi dua kubu: love it or hate it. Di Cinemascore, mother! dapat nilai F, dimana hal ini membuat mother! selevel dengan The Wicker Man-nya Nicholas Cage. Skor buruk ini tampaknya juga mempengaruhi penghasilan box office yang didapatkan, mother! cuma dapat 44,5 juta dollar dari budget yang 30 juta dollar. Saya rasa melepas film seperti ini ke publik umum juga bukan hal yang tepat, apalagi jika penonton tertipu karena menyangkanya sebagai film horror biasa belaka - belum lagi nama Jennifer Lawrence sebagai top billing cast bisa membuat publik mengira akan menonton film horror mainstream. Nggak cuma dapat mixed review dari audiens, para kritikus pun sebenarnya terbagi jadi dua. Hampir sebagian besar kritikus menyukainya, namun Rex Reed dari The New York Observer dengan jahatnya menyebut mother! sebagai film paling buruk abad ini, sementara Caryn James dari BBC menyebut film ini sebagai pretentious mess. Di situs Rotten Tomatoes skor yang didapatkan mother! juga cuma 68%.  Saya sendiri cenderung untuk tidak terlalu suka. Saya mengagumi keberanian yang dilakukan sutradara  Darren Aronofsky (dan Paramount Pictures yang bertindak sebagai distributor), namun saya tidak bisa mengatakan bahwa mother! adalah sebuah film yang cerdas. Mother! bahkan bukan film yang ingin saya tonton lagi suatu saat, dan itu bukan karena adegan kontroversi di bagian akhirnya....

Saya nggak cukup yakin apakah cara menonton mother! yang terbaik adalah dengan tidak membaca satu review-pun tentang film ini yang bisa jadi mengandung sedikit spoiler, supaya saat kamu nonton pertama kalinya kamu akan merasa otakmu benar-benar dikacaukan oleh Aronofsky. Tapi jika memang menurutmu ini cara yang baik, maka ada baiknya stop baca review ini sampai di sini, soalnya review saya akan mengandung spoiler. Saya pribadi sih ngerasa sebaiknya kamu tahu apa yang Aronofsky maksudkan sebelum nonton, supaya ada sedikit bekal biar paham inti filmnya. Hal ini yang saya lakukan pada saat nonton film ini. Arofonosky dan Jennifer Lawrence (yang by the way, keduanya pacaran pas produksi film ini) sendiri dalam inteview-nya untuk promosi juga sudah ngasih bocoran tentang inti mother!: sebuah alegori relijius tentang Tuhan, ibu bumi, dan manusia. Setelah menggarap film tentang bahtera nabi Nuh lewat Noah (2013), Darren Aronofsky - yang kabarnya seorang atheis, menjadikan mother! sebagai intrepretasinya sendiri akan kisah dalam Alkitab. 

Tampaknya alegori ini sudah cukup jelas dengan tidak diberikannya nama spesifik pada setiap karakter yang ada. Javier Bardem, adalah seorang penulis puisi yang mengalami writer's block (dan tulisannya nantinya tentu saja mengacu pada firman Tuhan, Alkitab). Karakter Bardem disebut Him, (Him dengan huruf kapital H), so it's pretty obvious that he's God. Istrinya, Jennifer Lawrence, adalah mother, mengacu pada mother earth - ibu bumi. Tugasnya tampaknya mendukung karir sang suami sambil merawat dan mempercantik rumah yang mereka tinggali. Hubungan keduanya tampaknya seperti hubungan pernikahan yang tidak sehat - suami yang egois dan istri yang nrimo-an. Mungkin di kepala Arofonosky demikianlah hubungan antara Tuhan dan bumi: sebuah pernikahan yang nggak sehat dan hubungan cinta yang berat sebelah. Suatu hari mereka kedatangan seorang pria misterius, man (Ed Harris) - yang merujuk pada Adam, dan istrinya woman (Michelle Pfeiffer) - yang merujuk pada Eve (Hawa). Keduanya bertindak seenaknya, merepotkan karakter Lawrence, sementara karakter Bardem tampaknya sangat menikmati kehadiran keduanya. Lalu karakter Lawrence makin kewalahan dan kebingungan ketika tamu-tamu aneh terus berdatangan ke rumah mereka dan bertindak sesuka hati...

Jika tidak tahu tentang alegori Tuhan, bumi, manusia dll, maka mungkin kita berpikir mother! sekedar sekedar film horror versi lain dari Rosemary's Baby (1968). Belum lagi mother! juga merilis poster yang merupakan homage akan film horror klasik itu. Banyak elemen yang mungkin juga akan mengingatkan kita akan film Rosemary's Baby. Jennifer Lawrence adalah Mia Farrow, dan Javier Bardem adalah John Cassavetes. Pasangan suami istri Ed Harris dan Michelle Pfeiffer adalah tetangga nyentrik Rosemary dan suami, yang diperankan Sidney Blackmer dan Ruth Gordon. Namun sampai di sini saja kesamaan keduanya, karena pada third act-nya Aronofsky menyuguhkan adegan long sequence full of chaos: kerusuhan, pembunuhan, penyiksaan, hingga puncaknya daging bayi yang dimakan ramai-ramai. Tiga puluh menit bagian akhirnya sangat twisted, kita seperti sedang bermimpi buruk. Penonton awam yang nggak paham film semacam ini mungkin akan merasa film ini membingungkan dan membuat mual. 

Aronofsky kabarnya mendapat inspirasi untuk membuat mother! setelah membaca berita-berita penuh kekacauan yang kini terjadi di dunia. Ditambah mengetahui fakta bahwa ia seorang environmentalist, maka pesan dalam mother! kayaknya sudah terbaca dengan jelas: betapa mother earth (Jennifer Lawrence) sudah memberikan segalanya untuk Tuhan (Javier Bardem) dan tamunya (manusia), tapi manusia tetap saja seenaknya sendiri dan nggak tahu terima kasih. I get this point, tapi apakah pesan ini bisa disampaikan dengan baik melalui filmnya? 

Sayangnya menurut saya enggak. This movie is intense and disturbing, but I can't feel and learn anything new. Kalau emang Aronofsky hendak kasih nasihat ke saya untuk menjaga bumi, saya lebih tersentuh dengan kampanye diet plastik National Geographic atau nontonin dokumenter beruang kutub di BBC yang sekarat karena efek global warming. Jika memang pesan yang ingin disampaikan Aronofsky adalah agar manusia tidak bertindak seenaknya sendiri di dunia dan mensyukuri apa yang sudah mother earth lakukan kepada kita, saya tidak mendapatkannya di sini (atau memang bukan itu yang sedang Aronofsky lakukan?). Kesan yang saya dapatkan di sini cuma bahwa Aronofsky mempersonifikasi Tuhan (Javier Bardem) sebagai sosok egois, narsistik dan haus pujian - tapi juga pengampun, walaupun hal ini hanya supaya ia tetap dipuji dan membiarkan mother earth yang menanggung bebannya. Sementara pesan yang nancap di benak saya cuma overpopulasi berbahaya buat bumi dan fanatisme buta pada agama membuatnya semakin kacau. 

Saya mengagumi keberanian yang dilakukan Aronofsky dengan mempersonifikasi Tuhan dan Bumi, beberapa alegorinya juga sudah cukup jelas (you can read it here), namun banyak hal masih membuat kita bertanya-tanya. Saya ngerasa naskahnya tidak cukup solid, dan script-nya sendiri ga bagus-bagus banget. Ada banyak hal dari film ini yang terasa membingungkan, tapi sementara sebagian orang berusaha menebak isi kepala Aronofsky, saya merasa Aronofsky sendiri sebenarnya kebingungan untuk mengejawentahkan ide-ide di kepalanya. Saya ga cuma bicara cairan kuning aneh yang diminum mother - yang masih belum jelas maksudnya apa, tapi saya juga masih berusaha memahami hubungan Him dan mother dalam pernikahan mereka yang tidak imbang dan patriarkal, persetubuhan mendadak keduanya dan sejauh mana relevansinya dengan Alkitab, karakter man (Ed Harris) yang merokok seenaknya sendiri (dan berprofesi sebagai dokter ortopedi), interaksi antara woman (Michelle Pfeiffer) dan mother yang aneh, dan detail-detail lainnya yang sulit saya tuliskan di sini. Adakah detail-detail itu penting dan punya makna khusus? Ataukah detail-detail ini dipaksakan dan asal saja? 

Saya sebenarnya cukup menyukai langkah yang dilakukan Aronofsky lewat Matthew Libatique, sinematografer langganannya, yang memilih menggunakan hand-held camera dan mengikuti kemanapun karakter Lawrence melangkah. Sepanjang film kamera sangat dominan menyorot wajah Jennifer Lawrence secara close-up, dan sesekali menampilkan situasi yang ada lewat sudut pandang Lawrence. Konon katanya 66 menit dari 121 menit film ini menampilkan wajah Jennifer Lawrence. Ini adalah beban yang cukup berat yang harus diemban Jennifer Lawrence karena separuh film adalah tentang ekspresi wajahnya,  ditambah lagi karakternya adalah karakter yang rumit. Tapi sayangnya... saya tidak merasa performanya luar biasa. I know she's a good actress and I love her personality, namun kayaknya arahan Aronofsky membuatnya hampir selalu menampilkan ekspresi naif dan kebingungan yang lama-lama terasa menjemukan. Dan saya ga bisa menemukan koneksi antara akting dan peran Jennifer Lawrence itu dengan gagasan besar yang ingin disampaikan film ini sendiri. Am I supposed to feel bad and sorry about her? Saya hanya menemukan diri saya sama tersesat dan kebingungannya dengan karakter Lawrence. I'm not dragged into her character and its movie itself. 

Overview:
Mengutip dari apa yang ditulis Julia Alexander di polygon.com, mother! membagi penonton menjadi 3 kubu: penonton yang tidak tahu maksud film ini dan tidak menyukainya, penonton yang merasa tahu maksud film ini dan menyukainya, dan penonton yang merasa tahu apa yang Aronofsky lakukan dan tidak menyukainya. Saya, termasuk yang ketiga. Mother! adalah sebuah film alegori yang berani, kontroversial, intens, dan unsur misteriya juga membuat kita penasaran untuk menontonnya sampai akhir. Namun di balik alegori yang berani itu, saya tidak cukup bisa mendapatkan dan memahami gagasan besar yang ingin disampaikan oleh Darren Aronofsky. Ini adalah film yang berani, namun sebenarnya nggak terlalu cerdas dan tidak kompleks (atau saya aja yang kurang paham?). Saya nggak merasa terkoneksi dengan karakter utamanya, pun saya merasa Darren Aronofsky juga tidak cukup kuat dan solid dalam menyampaikan hal yang ingin ia sampaikan. Tapi seenggaknya Aronofsky berhasil menjadikan mother! sebagai bahan perbincangan setiap penonton yang sudah menonton film ini. Tapi semoga saja penonton tidak cuma sekedar membicarakan kontroversi bayi yang dimakan ramai-ramai atau dada Jennifer Lawrence yang kelihatan dari balik bajunya yang nerawang, namun juga pesan moral kuat yang ingin disampaikannya. 

Senin, 04 Juni 2018

NIINI TOWOK (2018)

NIINI TOWOK (2018)

Nini Thowok film tells the story of Nadine (Natasha Wilona) who just got a heritage in the form of guest house or inn in Solo area named Mekar Jiwo. The inheritance he received from the grandmother Eyang Marni (Jajang C.Noer).
DOWNLOAD
Artis : natasa wilona Negara : IndonesiaRilis : 17 Januari 2017 (Indonesia) Kategori : Drama KomediDurasi : 1 jam 47 menitIMDb : tt1762358


MEREKA YANG TAK TERLIHAT (2017)

MEREKA YANG TAK TERLIHAT (2017)

The Indonesian horror film entitled “Invisible People” is a film that tells the story of a single parent family consisting of Lidya (Sophia Latjuba) along with two daughters named Saras (Estelle Linden) and Laras (Bianca Hello). Saras, since childhood different from other children generally because Saras has the ability of the sixth sense or commonly called indigo children.
DOWNLOAD
Artis : Negara : IndonesiaRilis : (Indonesia) Kategori : Drama KomediDurasi : 1 jam 47 menitIMDb : tt1762358


NAURA GENK JUARA 2017 WEBDL

NAURA GENK JUARA 2017 WEBDL

Naura, Okky, dan Bimo dipilih untuk mewakili sekolah mereka untuk bersaing dalam kompetisi sains di Kemah Kreatif yang terletak di hutan hujan Situ Gunung, Sukabumi. Petualangan ini bertemu mereka dengan Kipli, seorang ranger kecil yang menggagalkan upaya Trio Licik, kelompok sindikat perdagangan hewan liar. Trio Licik yang rumit akhirnya membawa Naura, Okky, Bimo, dan Kipli ke dalam aksi petualangan yang mendebarkan ini. Persahabatan dan kesempatan untuk menjadi juara kompetisi sains antar sekolah dipertaruhkan
DOWNLOAD
Artis : - Negara : IndonesiaRilis : - (Indonesia) Kategori : Drama KomediDurasi : 1 jam 47 menitIMDb : tt1762358


STIP & PENSIL (2017) WEBDL

STIP & PENSIL (2017) WEBDL

Toni, Agi, Bubu, and Saras were rich kids whose getting bullied at their school because of their supposed exclusivity. One day they get an essay writing task about social problems. Instead of just writing, they get their act real by establishing a provisional school for poor children who lives in slum village under the bridge. Things aren’t going as smooth as they expected. But from this provisional school, they learn their most valuable experience.
DOWNLOAD
Artis : Ernes Prakasa Negara : IndonesiaRilis : 19 april 2017 (Indonesia) Kategori : Drama KomediDurasi : 1 jam 47 menitIMDb : tt1762358


Senin, 16 April 2018

Lady Bird (2017) (5/5)

Lady Bird (2017) (5/5)


"The only exciting thing about 2002 is that it's a palindrome," 


RottenTomatoes : 99% | IMDb: 7,5/10 | Metascore: 94/100 | NikenBicaraFilm: 5/5

Rated: R | Genre : Drama, Comedy

Directed by Greta Gerwig ; Produced by Scott Rudin, Eli Bush, Evelyn O'Neill ; Written by Greta Gerwig ; Starring Saoirse Ronan, Laurie Metcalf, Tracy Letts, Lucas Hedges, Timothée Chalamet, Beanie Feldstein, Stephen McKinley, Henderson Lois Smith ; Music by Jon Brion ; Cinematography Sam Levy ; Edited by Nick Houy ; Production companyScott Rudin Productions, A24 Management, 360 IAC Films ; Distributed by A24 (United States), Universal Pictures (International) ; Release dateSeptember 1, 2017 (Telluride), November 3, 2017 (United States) ; Running time93 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $10 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Sacramento, 2002. Christine "Lady Bird" McPherson (Saoirse Ronan) adalah remaja kelas 3 SMA yang mendambakan bisa melanjutkan kuliah di Ivy League. Sayangnya, orangtuanya bukanlah keluarga kaya dan dia juga bukan murid yang pinter-pinter banget.  

Review / Resensi :
I love Greta Gerwig, and I love Saoirse Ronan. Pertemukanlah keduanya, dan jadilah salah satu film terbaik tahun lalu : Lady Bird (yang berhasil meraih nominasi di 5 kategori Oscar walaupun sayangnya kalah di semua kategori). Greta Gerwig mungkin nama yang agak asing bagi pecinta film mainstream, namun namanya cukup dikenal buat pecinta film-film indie mumblecore. Greta Gerwig mendapat atensi berkat kolaborasinya lewat beberapa film dengan sutradara (yang sekaligus juga kekasihnya) Noah Baumbach. Memulai sebagai aktris, belakangan Greta Gerwig juga aktif sebagai penulis naskah. Salah satunya Frances Ha (2012) dan Mistress America (2015) - yang disutradarai oleh Noah Baumbach. Di Lady Bird, Greta Gerwig kemudian tidak hanya menulis naskahnya - namun juga menjadi sutradara, dan mengantarkannya sebagai sutradara perempuan kelima yang berhasil masuk jajaran nominasi Best Director di piala Oscar. Wow, sebuah debut yang manis.

*Anwyay, Greta Gerwig adalah icon role model cewek yang saya idamkan. Saya pengen pencitraan saya bisa sekeren Greta Gerwig gitu: indie, artsy, smart, dan..... ayu. Dan bisa macarin sutradara keren.  

Konon awalnya film ini mau diberi judul Mothers and Daughters - sebuah pemilihan judul yang generik, sebelum akhirnya diberi judul Lady Bird. Siapakah Lady Bird? Lady Bird adalah nama julukan yang diberikan oleh Christine McPherson (Saoirse Ronan) untuk dirinya sendiri ("I gave it to myself, it’s given to me by me,"). Lady Bird adalah remaja rebel yang merasa "salah tempat" karena tinggal di Sacramento, California, dan mendambakan bisa tinggal di kota yang lebih "berbudaya" seperti New York, atau minimal Connecticut dan New Hampshire. Ia berharap bisa kuliah di sana, biarpun dia tidak punya prestasi apa-apa untuk mendapatkan beasiswa dan orangtuanya juga bukan orang kaya. Ia keras kepala, penuh kepercayaan diri, walaupun sebenarnya ia tipikal cewek biasa-biasa saja: ga kaya, ga pinter, dan ga cantik banget. Saya rasa banyak orang akan feel-related dengan karakter seperti ini. Lewat film ini, kita diajak mengikuti kisah satu tahun Lady Bird saat kelas 3 SMA: perjuangannya untuk bisa lanjut kuliah, menjalin hubungan romantis dengan teman sekolahnya, persahabatannya dengan Julie (Beannie Feldstein), hingga pertengkarannya dengan sang ibu, Marion (Laurie Metcalf). 

Salah satu teman pembaca blog saya pernah berujar, "Mbak belum nonton Lady Bird? Ini pasti film mbak banget,". And yeah he's damn right!  Saya selalu suka drama-drama ringan tapi dalem dengan sisipan komedi seperti ini. Sebut saja film-film Jason Reitman: Juno (2007) dan Up in The Air (2009), The Squid and The Whale (2005)-nya Noah Baumbach, atau Little Miss Sunshine (2006). Sebenarnya film dengan tema coming-of-age yang bagus-bagus udah banyak banget, tapi Lady Bird tetap punya keistimewaannya tersendiri. Saya rasa banyak yang tidak hanya ngerasa feel-related dengan karakter Lady Bird, tapi juga ceritanya sendiri. Kerasa sekali ada sentuhan personal yang ditampilkan Greta Gerwig lewat naskahnya, dan ini yang membuat film ini sangat heartwarming, genuine, dan relatable banget. Dialog-dialognya begitu ringan, natural, dan kocak, tapi tetap cerdas dan sama sekali nggak kacangan kayak sinetron FTV Indonesia yang bikin kamu frustasi. Film ini hanya berdurasi 93 menit, tapi bisa merangkum semua konflik dengan sangat detail, menarik, dan feel-nya dapet banget. Kepribadian Lady Bird, persahabatan, hubungan ibu-anak, ayah-anak, murid-guru, hubungan cinta, pencarian jati diri, kehilangan keperawanan....  semuanya tersaji sempurna. Konflik-konfliknya kan generik banget ya, tapi sangat real dan bisa ditampilkan dengan sangat menarik dan gag membosankan sama sekali. Tidak ada scene yang terasa intens dan full-emotional, tapi justru kesederhanaannya malah bikin film ini kerasa sweet. 

Saya juga menyukai betapa setiap relasi yang dimiliki Lady Bird dengan orang-orang di sekitarnya ditampilkan dengan sangat baik dan menyentuh. Persahabatan Lady Bird dan Julie yang naik turun dan kocak, mengingatkan saya dengan persahabatan saya dengan sahabat baik saya (dan scene pas mereka ke prom bareng bikin mata saya berkaca-kaca). Hubungan Lady Bird dengan sang ayah (Tracy Letts) juga sangat manis. Namun tentu yang paling spesial adalah hubungannya dengan sang ibu, Marion (Laurie Metcalf): sebuah hubungan pasif-agresif yang hampir selalu berantem tapi membaik juga dengan sama cepatnya. Lady Bird stress karena ibunya selalu mengkritiknya, sedangkan ibunya stress karena Lady Bird dianggap sebagai anak yang nggak pernah berterima kasih. Lady Bird sering complain tentang ibunya, tapi nggak terima kalau ada orang lain yang bilang buruk soal ibunya (she's upset when Danny (Lucas Hedges) said that her mother is scary). Ya Allaaaah... ini kayak hubungan saya dengan mama saya yang hobi banget adu argumen pagi-pagi dengan nada tinggi. But hey, I can complaining about my mother all the time - but I love her. 

Hal paling menarik dari Lady Bird jelas adalah karakter Lady Bird ini sendiri. Ia tipikal mediocre-girl yang hidup di kota yang biasa-biasa aja, namun dengan jiwa rebel yang membuatnya bercita-cita tinggi dan merasa bahwa dirinya bukan "gadis biasa-biasa saja". Di balik kepercayaan diri dan ke-"snob"-annya, Lady Bird sebenarnya masihlah remaja yang labil yang mencari jati diri. Kita melihatnya melalui berbagai problematika khas remaja: jatuh cinta, persahabatan, berusaha menjadi seseorang yang bukan dirinya karena ingin fit-in, hingga pertengkarannya dengan sang ibu. Dan karakter ini kerasa real dan hidup berkat performa luar biasa dari Saoirse Ronan, yang aslinya orang Irlandia. Saya biasanya gampang sebel sama cewe-cewe remaja labil yang jadi tokoh utama di coming-of-age movie, sebut saja karakter Bel Powley di The Diary of a Teenage Girl (2015) atau karakter Lindsay Lohan di Mean Girls (2004), but I totally in love with Lady Bird. Setiap keputusan buruknya terasa sangat naif dan bisa dimaklumi. Mungkin karena saya uda kadung suka dan ga sirik sama Saoirse Ronan. And yes Greta Gerwig bisa memunculkan Saoirse Ronan senatural mungkin, termasuk bare face dan sedikit jerawat alami di muka Lady Bird. 

Selain akting Saoirse Ronan, yang tentu saja juga paling mengesankan adalah akting Laurie Metcalf sebagai Marion. Kita percaya bahwa karakternya adalah ibu yang sangat menyayangi keluarganya, namun karakternya juga keras kepala sebagaimana sifat itu tampaknya menurun ke anak perempuannya. Sedikit banyak aktingnya mengingatkan saya dengan perannya sebagai ibunya Sheldon di serial The Big Bang Theory: sama - sama punya anak yang menyusahkan. Chemistry antara dua karakter ibu dan anak ini juga tampil sangat natural. Dialog yang terjalin antara Laurie Metcalf dan Saoirse Ronan tampak sangat real dan alami, seperti kita diajak mendengarkan dialog (atau pertengkaran) antara ibu dan anak sungguhan. Ga heran kalo keduanya dapat nominasi Oscar di kategori Best Actress dan Best Supporting Actress.

Biarpun Lady Bird adalah tentang Lady Bird, tapi Greta Gerwig tidak mengucilkan karakter para pemain lainnya. Bahkan sekecil apapun perannya, setiap karakter tampil mengesankan. Saya rasa kita cukup mudah untuk menjelaskan karakterisasi setiap tokoh yang muncul. Sahabat Lady Bird, Julie yang loveable, sang ayah yang penyayang dan sensitif, kakak Lady Bird yang vegan dan sok aktivis, pacar pertama Lady Bird si Danny yang "anak-anak baik" banget, hingga pacar kedua Lady Bird, Kyle yang sok emo dan anarkis tapi menjalani gaya hidup hedon. Bahkan, peran-peran kecil seperti guru-guru di sekolah Lady Bird juga bisa tampil dengan baik. Saya rasa selain ini didukung oleh pemilihan cast yang tepat, tapi juga kuatnya chemistry yang terjalin di antara setiap karakter. Satu-satunya chemistry yang kurang cocok hanyalah chemistry Lady Bird dan Kyle (Timothee Chalamet), dimana hal ini memang dimaksudkan demikian!

Overview :
Funny, genuine, heartwarming, and relatable. Lady Bird adalah salah satu film coming-of-age terbaik yang pernah saya tonton. Ini bikin saya tersenyum, tertawa dan terharu di saat yang bersamaan - tanpa bumbu-bumbu drama emosional yang berlebihan. Greta Gerwig melakukan hal yang baik sebagai sutradara, tapi lebih baik lagi sebagai screenwriter. Senang sekali melihat akting Saoirse Ronan yang luar biasa sebagai Lady Bird dengan karakter quirky-nya yang tetap loveable. Cast lain juga bermain sama baiknya, terutama Laurie Metcalf sebagai "tandem" Ronan. Chemistry antar setiap pemain juga baik dan terasa natural, dan Gerwig membuat setiap karakter yang muncul punya karakterisasi yang kuat dan berkesan. Skor? Perfecto 5/5.

Selasa, 03 April 2018

The Shape of Water (2017) (4,5/5)

The Shape of Water (2017) (4,5/5)


"When he looks at me, the way he looks at me... He does not know, what I lack... Or - how - I am incomplete. He sees me, for what I - am, as I am. He's happy - to see me," 

RottenTomatoes: 92% | IMDb: 7,5/10 | Metascore: 82/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5


Rated: R | Genre: Drama, Scifi & Fantasy, Adventure

Directed by Guillermo del Toro ; Produced by Guillermo del Toro, J. Miles Dale ; Screenplay by Guillermo del Toro, Vanessa Taylor ; Story by Guillermo del Toro ; Starring Sally Hawkins, Michael Shannon, Richard Jenkins, Doug Jones, Michael Stuhlbarg, Octavia Spencer ; Music by Alexandre Desplat ; Cinematography Dan Laustsen ; Edited by Sidney Wolinsky ; Production companiesTSG Entertainment, Double Dare You Productions ; Distributed by Fox Searchlight Pictures ; Release date August 31, 2017 (Venice), December 1, 2017 (United States) ; Running time 123 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $19.5 million ; Box office $190.5 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Elisa Esposito (Sally Hawkins) adalah seorang perempuan bisu yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih di sebuah fasilitas penelitian negara. Suatu hari ia bertemu dengan makhluk misterius di tempat kerjanya dan kemudian menjalin hubungan yang unik.

Review / Resensi :
The Shape of Water berhasil meraih Best Picture di ajang Oscar tahun 2017. Selain itu, film ini juga mengantarkan Guilermo del Toro menjadi sutradara terbaik, mengikuti jejak kawan-kawannya dalam "The Three Amigos" yaitu Alejandro G. Innaritu (Birdman, The Revenant) dan Alfonso Cuaron (Gravity) yang sebelumnya juga berhasil menyabet penghargaan yang sama. Review ini saya tulis setelah mengetahui kemenangan The Shape of Water di ajang Oscar, atau lebih tepatnya saya baru nonton film ini 1 bulan setelah ajang Oscar, dan belum nonton film-film nominasi Oscar lainnya kecuali Get Out. Sungguh sangat telat dan ga update sama sekali. Kalau udah gini saya kadang mempertanyakan apa saya pantas sok-sokan ngereview film karena jam terbang nonton saya belakangan ini uda ga seheboh dulu lagi. Ini aja saya harus ngumpulin mood semaksimal mungkin sebelum akhirnya mulai memaksa diri untuk nulis dan ngeblog lagi. Saya harap sih blog ini ga terbengkalai lama-lama dan masih punya sedikit pembaca yang masih suka baca review saya yang begini ini.... Huhu. Oke, cukuplah racauannya.

Kayaknya hampir semua penggemar film pasti tahu bahwa Guilermo del Toro punya hubungan baik dan spesial dengan monster. Saya pernah nonton video sekilas tentang rumah Guilermo del Toro yang dipenuhi patung, lukisan, poster dan hiasan yang "del Toro" banget. Dengan dinding interior yang dicat merah, rumahnya sangat artsy, gothic, dan penuh monster. Bikin ngiri lah. Kalau saya punya duit banyak saya pengen punya rumah model begini yang kemudian juga bisa dijadiin museum. Must be cool. Anyway, coba lihat videonya disini. Setelah menggarap Pacific Rim (2013) dan Crimson Peak (2015) yang terasa seperti sisi mainstream dari del Toro, melalui The Shape of Water, del Toro kembali menciptakan dunia fantasi yang lebih terasa personal seperti yang pernah dilakukannya lewat Pan's Labyrinth (2006). The Shape of Water ini budgetnya cuma 20 juta dollar lho, itungannya film ini termasuk indie. 

The Shape of Water sering disebut sebagai "Beauty and the Beast" versi dewasa. Sebuah fairy tale  untuk penonton dewasa. Disebut versi dewasa, karena melibatkan adegan masturbasi dan percintaan interspesies. Yap, The Shape of Water is about a woman who fallin in love and have sex with fish-man. Kisahnya mengikuti seorang perempuan tuna wicara bernama Elisa, yang kesepian dalam keterbatasannya. Sahabatnya adalah Zelda (Octavia Spencer), seorang perempuan kulit hitam, dan Giles (Richard Jenkins), pelukis tua yang gay. Elisa dan sahabat-sahabatnya ini mewakili minoritas, apalagi setting film ini pada tahun 60-an dimana orang-orang seperti Elisa, Zelda dan Giles adalah kaum yang terpinggirkan. Elisa kemudian bertemu dengan sebuah makhluk misterius - sebuah makhluk sejenis persilangan ikan dan manusia yang inspirasinya menurut del Toro diambil dari film Creature from Black Lagoon (1954) dan mengingatkan kita akan Abe Sapiens dari film Hellboy (dan diperankan oleh orang yang sama, Doug Jones). Makhluk tersebut rupanya adalah aset penelitian yang kemudian dijadikan perebutan dalam konflik perang dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dalam usaha menyelamatkan si amphibi-man ini, Elisa harus berhadapan dengan Colonel Strickland (Michael Shannon). 

Saya sering membaca komentar orang mengenai film ini, yang mengatakan bahwa The Shape of Water ini ngebosenin dan predictable. It's another story about good versus evil. Banyak yang bilang, The Shape of Water adalah film yang bagus, tapi untuk dinobatkan sebagai pemenang Oscar rasanya terlalu berlebihan. Saya setuju di bagian predictable-nya, tapi untuk disebut ngebosenin nggak juga. Dan biarpun saya belum nonton film-film nominasi Oscar lainnya, saya sih ga keberatan film ini meraih Best Picture. Why? Because The Shape of Water shows you "the power of cinema". The Shape of Water ini seperti Titanic (1997) atau Avatar (2012), yang secara cerita sebenarnya ya gitu-gitu aja, tapi menunjukkan betapa powerfulnya sebuah film. Hellloo... The Shape of Water ini dapet 13 nominasi Oscar lho. Buat yang bilang The Shape of Water ini adalah pilihan yang terlalu aman untuk menjadi pemenang Oscar, perlu saya ingatkan bahwa nggak banyak film sci-fi dan fantasi yang berhasil menang penghargaan ini. Correct me if I'm wrong, tapi film fantasi yang pernah menang Oscar sejauh ini cuma Lord of The Rings : The Return of the King (2003). Selain itu, ada unsur nostalgia klasik (filmnya mengambil setting tahun 60an dengan soundtrack musik-musik lawas) dan semangat optimis yang tentu menjadi poin favorit bagi para juri Academy. Dan setelah ramai isu pelecehan seksual oleh Harvey Weinstein bertahun-tahun terkuak, maka kemenangan untuk Guilermo del Toro yang secara personality sangat loveable juga bisa dijadikan alasan tersendiri untuk memenangkannya. 

Okelah ceritanya mungkin emang biasa dan predictable, tapi Del Toro bisa menyusunnya menjadi sebuah narasi yang kohesif dan rapi, dan jelas aspek teknis dan visualnya menjadikan bonus yang membuat film ini terasa sangat indah. Dan jangan lupakan juga kemampuan Guilermo del Toro dan timnya dalam mewujudkan monster the amphibi-man yang terasa sangat real, tampak sangat aneh tapi juga cantik. Lalu ya Allah, ada adegan bercinta dengan makhluk aneh... tapi entah bagaimana Guilermo Del Toro bisa menjadikan adegan itu tidak terasa menjijikkan, malah kerasa indah dan romantis. Sebuah adegan ketika Zelda menanyakan Elisa tentang "bagaimana mereka melakukannya" juga menjadi sebuah unsur komedi sendiri yang menjawab rasa penasaran tentang "how they consummate their love". Sebuah narasi dari puisi yang dibacakan karakter Richard Jenkins di bagian akhirnya juga terdengar sangat indah: 
Unable to perceive the shape of You, I find You all around me. Your presence fills my eyes with Your love, It humbles my heart, For You are everywhere.
(saya pikir puisi ini puisinya Rumi, tapi ternyata puisinya Hakim Sanai. "You" di sini bisa berarti Tuhan, namun jika melihat apa yang ingin disampaikan del Toro, maka "You" bisa diartikan dengan cinta. So sweet ga sih...).

The Shape of Water juga menjadi makin spesial dengan cast yang bermain dengan sangat luar biasa, terutama Sally Hawkins yang sepanjang film harus berakting dengan mengandalkan ekspresi dan gestur tubuh berhubung ia berperan sebagai perempuan bisu. Sally Hawkins mungkin tidak punya kecantikan tipikal aktris Hollywood, namun sebagaimana del Toro mengatakan dalam salah satu wawancaranya, "Ia cantik dengan caranya sendiri,". Dan ya, Hawkins tampil mempesona. Karakter menarik lainnya ditunjukkan oleh Colonel Strickland (Michael Shannon), yang justru mempunyai kehidupan lengkap dengan keluarga khas suburban Amerika: istri yang cantik, dan dua anak yang manis. Namun rupanya ia tetap merasa kurang (ia tampak tidak bahagia di rumahnya, dan berkhayal bisa bercinta dengan Elisa yang bisu). Strickland, tampaknya adalah "monster" sesungguhnya dalam film ini. I love Shannon's performance, tapi sebenarnya saya berharap dia bisa dapet peran lain yang ga terus-terusan jahat. Lama-lama dia kayak Kevin Bacon yang sering banget jadi villain. 

Overview :
The Shape of Water adalah sebuah fairy-tale dewasa yang indah, menawan, dan terasa hangat. Passion dan semangat Guilermo del Toro sebagai seorang filmmaker sangat terasa di The Shape of Water. Jalinan ceritanya mungkin terasa predictable, namun The Shape of Water menunjukkan "the power of cinema", sebuah pertunjukkan romantis dengan semangat yang optimis yang terasa sangat klasik - padahal film ini dirilis tahun 2017. Well-cast, well-crafted, beautiful movie. Saya ikhlas kok film ini menang Oscar (padahal belum nonton yang lain).



...
SPOILER!
Anyway, ada analisa yang bilang kalau Elisa sebenarnya sejenis makhluk yang sama dengan si Amphibi-man. Ada banyak alasan: Elisa tidak bisa berbicara, saat kecil ia ditemukan di sebuah sungai, dan ia punya luka yang aneh di lehernya. And they're both in love and could have sex. Kalau sampai ada sekuelnya dan mereka punya anak, secara biologis bisa dipastikan kalau keduanya spesies yang sama! 

Jumat, 30 Maret 2018

Rabu, 07 Maret 2018

REVIEW : LADY BIRD

REVIEW : LADY BIRD


“Different things can be sad. It’s not all war!” 

Lady Bird adalah film kecil yang sederhana. Tidak ada sesuatu yang bombastis, meletup-letup, atau mencengangkan dalam guliran pengisahan yang diusung oleh Greta Gerwig (Frances Ha, Mistress America) di Lady Bird yang menandai untuk pertama kalinya dia menempati posisi penyutradaraan. Greta Gerwig sebatas mengajak penonton untuk menapak tilas ke masa remajanya sebagai seorang siswi SMA Katolik yang tumbuh berkembang di suatu kota kecil membosankan bersama sebuah keluarga dengan kondisi finansial seadanya. Untuk sesaat, selepas mengetahui bahwa ternyata Lady Bird merupakan film semi biopik dari si pembuat film yang belum juga menjadi nama besar di perfilman dunia dengan pencapaian pantas diagung-agungkan, diri ini mengajukan satu pertanyaan bodoh: apa ada hal menarik dari kisah hidup seorang Greta Gerwig yang patut untuk diceritakan? Bukankah jika membaca premisnya, dia memiliki kehidupan yang biasa-biasa saja dan cenderung monoton di kampung halamannya? Memang betul tidak ada kisah menginspirasi penuh glorifikasi di sini dan film lebih banyak menyoroti kemarahan-kemarahan seorang remaja yang baru saja menapaki usia dewasa terhadap lingkungan di sekitarnya. Akan tetapi, letak kekuatan yang dimiliki oleh Lady Bird justru berada pada ceritanya yang amat familiar serta dekat dengan realita ini sehingga penonton mudah untuk merasa terhubung dan terwakili. Alih-alih berujar “kehidupanku lebih seru daripada kalian semua!” si pembuat film lebih memilih untuk berkata “kehidupanku sama saja dengan kalian semua, jadi aku bisa memahami kalian.” 

Karakter utama yang menggulirkan penceritaan Lady Bird adalah seorang siswi SMA Katolik di pinggiran kota Sacramento, California, bernama Christine McPherson (Saoirse Ronan) yang kekeuh meminta orang lain memanggilnya “lady bird” karena dianggapnya lebih keren ketimbang nama aslinya. Menapaki bangku SMA tingkat akhir, Christine semakin vokal dalam menyuarakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke universitas di area pesisir timur Amerika Serikat (baca: New York) hanya semata-mata agar bisa meninggalkan kehidupan di kampung halaman yang dianggapnya menjemukan. Menilik prestasi akademik Christine yang hanya berada pada level ‘cukup’, emosinya yang masih sangat labil, serta tentunya biaya kuliah yang tidak murah, sang ibu, Marion (Laurie Metcalf), menentang keras rencana sang putri dan memintanya untuk berpikir realistis. Marion mempersilahkan Christine untuk kuliah asalkan universitasnya tidak jauh dari rumah. 

Kekhawatiran Marion terhadap masa depan putri bungsunya ini ternyata diinterpretasikan berbeda oleh Christine sehingga perang dingin diantara keduanya pun tak terelakkan. Disamping peperangan dengan sang ibu, beberapa kejadian lain turut datang silih berganti dalam kehidupan Christine usai dirinya memutuskan terlibat dalam produksi drama sekolah seperti jatuh cinta kepada orang yang salah, melepaskan keperawanan dengan laki-laki yang tidak tepat, menjalin persahabatan dengan teman yang keliru demi menaikkan strata sosial di sekolah, hingga dipecatnya sang ayah dari pekerjaannya yang seketika mengancam mimpi besar Christine untuk kuliah. 



Bagi para penonton yang telah melewati masa remaja, menyaksikan Lady Bird itu ibarat tengah diajak bernostalgia ke masa-masa usia belasan. Mengenang suatu fase pencarian jati diri yang dipenuhi kekonyolan akibat kepenasaran, kemarahan, serta kengeyelan yang sulit dikontrol. Keterkejutan dalam memasuki tahapan baru dalam hidup membuat stabilitas emosi goyah (baca: labil) sehingga memunculkan pemikiran bahwa diri ini lebih baik dari orang lain, lebih unik dari orang lain, dan lebih penting dari orang lain. Christine McPherson pun seperti itu; dengan menggunakan nama “lady bird” lalu mewarnai rambutnya membuat dia berpikir bahwa dia berbeda dari rekan-rekannya (baca: unik), dengan bergaul lalu menyetubuhi anak populer membuat dia memiliki derajat sosial lebih tinggi, dan dengan meninggalkan kampung halamannya (perlu dicatat, motif utama Christine untuk kuliah tidak benar-benar karena ingin menimba ilmu) demi menjalani hidup di kota besar membuat dia menjadi seseorang yang keren. 

Padahal, entah disadari atau tidak, Christine justru menunjukkan bahwa dirinya tidak lebih dari seorang remaja haus pengakuan dengan pemikiran yang dangkal. Sekalipun kadangkala terasa menjengkelkan, apa yang diperbuat oleh Christine sejatinya masih terbilang manusiawi. Siapa sih yang tidak ingin menjadi bagian dari genk populer di sekolah? Siapa sih yang tidak ingin dirinya terlihat menonjol dibandingkan orang lain? Siapa sih yang tidak gerah mendiami satu tempat yang sama sepanjang hidup? Penonton dewasa, entah mengakui atau tidak, rasa-rasanya pernah berada di fase Christine. Setidaknya ada minimal satu dua adegan yang akan membuatmu berkata “ya, aku dulu seperti ini!” selama menonton Lady Bird

Kedekatan kita pada guliran penceritaan yang disampaikan oleh Lady Bird adalah faktor utama yang menyebabkan film terasa begitu hidup. Ini semacam kaca yang merefleksikan kekonyolan hidup kita semasa masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kedekatan ini akan semakin terasa saat dirimu akhirnya memutuskan untuk merantau dan memiliki hubungan kompleks (entah sangat benci, renggang, atau sangat cinta yang memunculkan ikatan benci-cinta) dengan ibu. Maka jangan heran jika kemudian mendapati dirimu berkaca-kaca atau malah bersimbah air mata saat film mencapai adegan dengan kata kunci “menerima surat”, “mencuci piring” dan “mengantar ke bandara”. Kapabilitas si pembuat film membangun emosi setapak demi setapak dengan penuh perhatian kepada detil dalam dialog, karakter, maupun konflik adalah faktor kedua yang menyebabkan film mampu menghujam emosimu sedemikian rupa. Sosok Christine dan Marion sebagai inti cerita tidaklah hampa melainkan dideskripsikan sebagai karakter bulat yang merangkul dua sisi, hitam dan putih. Terkadang kita bersimpati penuh pada mereka sampai-sampai ingin memberi pelukan hangat, terkadang pula kita jengkel luar biasa sampai-sampai ingin berteriak keras “sakarepmu!” (suka-suka kau saja lah) ke muka mereka. 


Ini kemudian mengantarkan kita kepada faktor ketiga yang menyebabkan keinginan Greta Gerwig dalam membuat penonton berkenan mendengarkan ceritanya dapat terpenuhi, performa para pemain yang luar biasa. Tidak ada titik lemah di departemen akting, baik Lucas Hedges, Timothee Chalamet, Beanie Feldstein, serta Tracy Letts di jajaran pendukung menyumbang akting bagus. Namun jika berbicara siapa yang punya kontribusi paling besar, maka itu jelas adalah duo Saoirse Ronan dengan Laurie Metcalf. Berkat mereka, sosok Christine dan Marion lebih dari sebatas “karakter dalam film” karena keduanya tampak begitu hidup dan nyata. Kita bisa memahami obsesi berlebih “lady bird”, kita bisa merasakan kegundahan hati seorang ibu, kita bisa meyakini adanya cinta dibalik hubungan penuh kebencian antara Christine dengan Marion, dan akhirnya kita pun bisa jatuh hati tidak saja kepada mereka berdua tetapi juga kepada Lady Bird sebagai sebuah karya. Bagus sekali!

Outstanding (4,5/5)

Kamis, 08 Februari 2018

REVIEW : DOWNSIZING

REVIEW : DOWNSIZING


“Sometimes you think we’re in the normal world and then something happens and you realize we’re not.” 

Menengok materi promosi yang beredar luas dan premis yang disodorkan, Downsizing memang tampak seperti tontonan fiksi ilmiah yang menjanjikan. Sulit untuk tidak tergoda begitu mengetahui bahwa film arahan Alexander Payne (The Descendants, Sideways) ini bakal berceloteh mengenai program penyusutan manusia hingga ke ukuran 5 inci saja yang bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari kepunahan akibat kelebihan populasi di bumi – kurang lebih semacam versi upgrade dari Honey, I Shrunk the Kids! (1989). Terlebih lagi, Payne yang kembali berkolaborasi dengan Jim Taylor dalam penulisan naskah di Downsizing turut memboyong bintang-bintang besar untuk mengisi jajaran departemen akting seperti Matt Damon, Christoph Waltz, Kristen Wiig, Jason Sudeikis, sampai Udo Kier. Mudahnya, ini terlihat sangat bagus di atas kertas jadi apa sih yang mungkin salah? Usai menyaksikan gelaran yang merentang sepanjang 140 menit ini, saya bisa mengatakan bahwa setidaknya ada dua alasan yang lantas membuat Downsizing ternyata berjalan tidak sesuai harapan atau dengan kata lain, salah. Pertama, menanamkan ekspektasi yang keliru pada penonton, dan kedua, menyia-nyiakan premis bombastisnya demi mengejar pesan sederhana yang tidak juga mengena ke penonton. 

Karakter utama dari Downsizing adalah seorang terapis okupasi bernama Paul Safranek (Matt Damon) yang memiliki kehidupan, well, biasa-biasa saja kalau tidak mau dibilang monoton. Satu-satunya hal yang bisa dikatakan menarik untuk diceritakan dari kehidupannya adalah dia dan istrinya, Audrey (Kristen Wiig), tengah mengalami kesulitan secara finansial. Demi memperbaiki kondisi keuangannya yang memburuk, Paul pun berinisiatif mengajak serta Audrey untuk mengikuti program penyusutan terlebih selepas mendengar pengalaman membahagiakan dari seorang kawan yang mengikuti program sejenis. Konon, ‘dunia liliput’ ini menjanjikan kehidupan yang serba berkecukupan lantaran segala hal bisa diperoleh dengan harga jauh lebih rendah. Mereka yang berani menyusutkan tubuhnya pun disebut sebagai pahlawan karena dianggap telah berpartisipasi dalam menyelamatkan lingkungan. Memperoleh iming-iming surga seperti ini, Paul jelas kepincut sehingga tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk mempertimbangkan. Persoalan yang tadinya diharapkan pupus dengan mengikuti program ini, nyatanya justru semakin berlipat ganda tatkala Paul menyadari bahwa dunia liliput tidaklah seindah bayangannya. Sialnya, dia baru menyadari kekeliruannya dalam mengambil keputusan setelah tinggi tubuhnya menciut menjadi 5 inci saja. 


Satu hal yang perlu diingat sebelum kamu melangkahkan kaki ke bioskop untuk menyaksikan Downsizing adalah film ini bukanlah tipe tontonan eskapisme yang memadukan fiksi ilmiah dengan elemen petualangan. Bukan. Divisualisasikan oleh Alexander Payne yang terbiasa berjibaku dengan tema seputar mempertanyakan eksistensi diri dalam balutan komedi gelap yang dilengkapi sentilan sentilun ke masyarakat modern, sudah bisa diduga sebetulnya bahwa Downsizing memang tidak ditujukan sebagai sajian hiburan pelepas penat. Apabila kamu berekspektasi demikian – yang sebetulnya tidak salah juga jika (lagi-lagi) berpatokan pada materi promo beserta premis – maka segera hempaskan jauh-jauh. Downsizing lebih tertarik untuk mengajak penonton membicarakan isu-isu serius nan menggelitik pemikiran terkait lingkungan, perubahan iklim, konsumerisme, imigran gelap sampai ketimpangan sosial. Ini menarik, malah sejujurnya sangat menarik bagi saya, akan tetapi entah mengapa begitu film mencapai separuh perjalanan, Payne enggan menguliknya lebih jauh lagi dan mendadak membicarakan tentang tema kegemarannya: eksistensialisme di usia paruh baya. Tidak hanya berhenti mengobrol perihal topik yang lebih menggugah, si pembuat film pun berhenti mengeksplor dunia liliput dan mengembangkan premis brilian yang diajukannya sehingga terasa tidak ada bedanya apabila latar film diubah menjadi, katakanlah, suatu koloni di sekitar kita yang menawarkan fasilitas menggiurkan. 

Perubahan nada penceritaan ini terasa sangat disayangkan karena sejatinya separuh awal durasi Downsizing yang mengajak penonton untuk memahami prosedur penyusutan lalu berlanjut menyusuri dunia liliput (world building-nya juara banget!) sudah begitu mengasyikkan sementara separuh akhir durasi yang memilih untuk membicarakan tentang pencarian makna hidup sang karakter utama berlangsung bertele-tele dan tidak jarang menjemukan. Salah satu penyebabnya adalah sosok Paul yang kelewat lempeng serta tidak memiliki dinamika sampai-sampai menimbulkan resistensi pada diri ini untuk mengenalnya lebih dalam. Yang kemudian membuat saya tetap bertahan sampai menit penutup – walau mata berulang kali terasa begitu berat saking lelahnya – adalah jajaran pemain pendukung yang berlakon di level memesona seperti Hong Chau sebagai imigran asal Vietnam yang penyusutan tubuhnya merupakan hukuman dari pemerintah negaranya, Christoph Waltz sebagai tetangga Paul yang gemar berpesta, serta Udo Kier sebagai rekan Waltz yang juga gila pesta. Matt Damon sebetulnya juga menampilkan performa apik sebagai Paul, namun kehadiran Hong Chau yang begitu hidup nan kocak di sampingnya seketika mencuri lampu sorot darinya. Tanpa celetukan serta tingkah polah semau-mau gue Hong Chau yang menghibur, mungkin paruh akhir Downsizing yang terasa seperti film berbeda ini hanya akan membuat para penontonnya terlelap.

Acceptable (3/5)


Senin, 15 Januari 2018

THE GREATEST SHOWMAN (2017) REVIEW : An Ordinary Musical Sequence

THE GREATEST SHOWMAN (2017) REVIEW : An Ordinary Musical Sequence


Di ujung tahun 2017, datanglah sebuah drama musikal yang diarahkan oleh Michael Gracey. The Greatest Showman, film musikal yang sudah bertahun-tahun mengalami pengembangan dalam banyak hal, akhirnya bisa tayang dan rilis juga di tahun 2017. Sebelum rilis, The Greatest Showman mendapatkan kesempatan untuk masuk ke dalam nominasi Best Comedy or Musical Motion Picture di Golden Globes 2017.

Banyak nama-nama besar yang ikut terlibat dalam film The Greatest Showman. Mulai dari Hugh Jackman, Michelle Williams, Zac Efron, hingga Zendaya dan nama-nama baru yang meramaikan film ini. Sehingga, film ini pun sudah memiliki antisipasi yang cukup besar dari calon penontonnya. Belum lagi, The Greatest Showman menggunakan duo musisi, Benj Pasek dan Justin Paul, yang sudah memenangkan banyak penghargaan lewat film La La Land tahun lalu.

Ini adalah debut awal Michael Gracey di kursi sutradara sebuah film besar. Michael Gracey pada awalnya bermain di ranah visual effects dan art departments dan di film debutnya kali ini dia berusaha menceritakan sebuah kisah nyata dari sosok P.T. Barnum. Meski begitu, Michael Gracey berusaha untuk membuat filmnya tak sekedar menjadi kisah seseorang semata. Melainkan, Michael Gracey berusaha membuat The Greatest Showman sebagai sebuah anthem untuk mereka yang terpinggirkan.


The Greatest Showman menceritakan sosok P.T. Barnum (Hugh Jackman), seorang anak dari pembuat sepatu yang hidup serba kekurangan. Kehidupannya yang serba kekurangan ini tak membuat Barnum mundur untuk mengejar siapa yang dicintai. Dialah Charity (Michelle Williams), perempuan yang sangat dicintai oleh Barnum meskipun orang tua Charity tak menyetujui hubungan mereka. Selepas menikah, mereka hidup jauh dari orang tua Charity.

Selama hidupnya, Barnum memiliki kesusahan secara finansial padahal dia harus membiayai kehidupan istri dan dua anaknya. Kehidupannya semakin susah ketika Barnum harus diberhentikan secara paksa di tempatnya bekerja karena bangkrut. Barnum bertekad untuk membeli sebuah museum patung lilin dengan sisa uang dan pinjaman dari bank. Sempat sepi, tetapi Barnum mengubah museum itu menjadi sebuah tempat pertunjukkan dan hiburan unik untuk semua orang.


The Greatest Showman memberikan sebuah sensasi menarik untuk mengikuti kisah perjuangan hidup seseorang. Menggunakan genre musikal dalam kemasannya untuk memberikan inovasi dalam menuturkan cerita yang berpotensi biasa saja ini menjadi sesuatu yang sangat berbeda dan segar.  Hal ini sangat efektif bagi The Greatest Showman yang memiliki tujuan tak hanya sebagai media hiburan, tetapi juga sebagai media menyebarkan semangat positivistik bagi setiap penontonnya.

Tak diragukan lagi, dengan rekam jejak Michael Gracey yang pernah berada di art departments membuat The Greatest Showman terlihat begitu mewah untuk ukuran film-film musikal yang ada. Set-set musikalnya dibuat begitu menghentak dan bisa membuat penonton berdecak kagum saat menontonnya. Segala musical sequence punya segala kedinamisannnya sehingga penonton bisa tahu alasan kenapa sosok P.T. Barnum adalah sosok yang sangat berpengaruh bagi semua orang yang ingin membuat sebuah pertunjukkan besar.

Belum lagi lagu-lagu gubahan Benj Pasek dan Justin Paul yang sangat ear-catchy. Sehingga, ketika penonton selesai menonton film ini, akan banyak beberapa lagu yang tetap terngiang di dalam pikirannya. Dengan begitu, perilaku yang timbul selanjutnya adalah penonton akan mencari setiap lagu yang ada di dalam The Greatest Showman. Lalu muncul sebuah efek domino bagi penontonnya yang terpukau dengan film dan berujung pada memberikan rekomendasi kepada orang lain.


Hanya saja, The Greatest Showman sebagai sebuah film musikal sebenarnya tidak memberikan sebuah pertunjukkan yang baru. Michael Gracey mampu membuat ilusi bagi penontonnya agar tak bisa melihat kekurangan pengarahannya lewat berbagai musical sequencenya. Itu pun sebenarnya segala keemosionalan The Greatest Showman hanya bertumpu dengan lagu-lagu gubahan dari Benj Pasek dan Justin Paul. Tanpa gubahan lagunya yang kuat, The Greatest Showman pun tak bisa tampil sekuat itu.

Dengan durasinya sepanjang 104 menit, banyak sekali cabang cerita dan sudut pandang yang harus dibebankan kepada film ini. Michael Gracey pun kesusahan memiliki kefokusan dalam pengarahan, sehingga The Greatest Showman hanya bisa bisa meraih permukaan setiap konfliknya. Ada banyak kisah yang berusaha disorot di dalam film ini. Hal ini sebenarnya bisa berpotensi bagi presentasi The Greatest Showman, hanya saja masih belum ada penanganan yang pas dari Michael Gracey untuk bisa memperdalam setiap konflik dan karakternya.

Pun, setelah tembang ‘This Is Me’ yang tampil begitu megah sekaligus menjadi anthem di dalam film ini, The Greatest Showman menunjukkan performanya yang melemah di 40 menit terakhir. Michael Gracey mungkin cukup bisa memberikan bridging karakter dan plot di satu jam pertama. Efeknya, Michael Gracey harus mulai kewalahan untuk menyelesaikan konfliknya yang ada di awal. Itu pun masih ada intensi dalam naskahnya untuk memberikan konflik tambahan lagi di 30 menit terakhir sehingga beban Michael Gracey pun harus semakin bertambah.


Segala kemegahan yang ada di awal film The Greatest Showman pun sayangnya tak bisa memiliki sebuah penutup yang bisa sama megahnya dengan apa yang sudah ada di awal. Adanya sebuah rendition yang jauh lebih kekinian di dalam setiap lagunya ini pula yang membuat beberapa musical sequencenya tak bisa kuat. Sehingga, The Greatest Showman pun tak bisa memiliki identitasnya dalam sebagai sebuah film musikal. Efek akhirnya, penonton mungkin akan bisa berkali-kali mendengarkan lagunya dan tak lagi merasakan atau bahkan tak mengenali kekuatan di dalam adegannya.

Sehingga, The Greatest Showman pun bisa saja hanya dinikmati sebagai sebuah album lepas tanpa harus disangkutpautkan dengan filmnya. Ini karena lagu gubahan Benj Pasek dan Justin Paul pun sudah sangat bisa diterima di telinga pendengarnya. Tetapi, The Greatest Showman perlu mendapatkan apresiasi dengan caranya berusaha memberikan inovasi dalam menceritakan kisah sosok nyata di dunia. Masih punya kekuatannya sebagai film yang menghibur, tetapi sebagai sebuah film akan gampang berlalu begitu saja.

Minggu, 07 Januari 2018

SUSAH SINYAL (2017) REVIEW : Kedewasaan Meredam Problematika Ibu dan
Anak

SUSAH SINYAL (2017) REVIEW : Kedewasaan Meredam Problematika Ibu dan Anak


Setelah debutnya yang menjanjikan lewat Ngenest The Movie, Ernest Prakasa menjadi sosok yang perlu untuk diwaspadai di perfilman Indonesia. Apalagi, ketika film keduanya berjudul Cek Toko Sebelah yang berhasil masuk dan mendapatkan penghargaan di berbagai tempat. Sehingga, Ernest Prakasa muncul sebagai fenomena perfilman Indonesia yang baru dan perlu untuk mendapatkan sorotan lebih oleh siapapun.

Tentunya ini akan menjadi beban bagi Ernest Prakasa untuk bisa menghasilkan karya-karya terbarunya.  Setelah 2 rekam jejak filmnya yang cukup menjanjikan, karya-karyanya pun bakal dinantikan oleh segala penikmat film Indonesia. Tak terkecuali adalah karya terbarunya yang dirilis tahun ini yaitu Susah Sinyal. Film ketiga dari Ernest Prakasa ini secara otomatis akan memunculkan harapan dari penonton film Indonesia.

Kembali bersama dengan Starvision, Ernest Prakasa dibantu oleh sang Istri, Meira Anastasia, menuliskan sebuah cerita tentang relasi Ibu dan Anak lewat Susah Sinyal. Kembali dibintangi oleh Adinia Wirasti di pemeran utamanya, tetapi Ernest Prakasa mengambil resiko yang cukup besar dan riskan di jajaran aktor-aktris lainnya. Lebih memilih jiwa-jiwa segar untuk filmnya dan memilih Aurora Ribero sebagai pendatang baru yang langsung memainkan karakter utama dalam Susah Sinyal tentu perlu jiwa pengarahan yang kuat. 


Ernest Prakasa mungkin mau untuk keluar dari zona nyaman dengan mencari jiwa-jiwa segar dalam film terbarunya. Tetapi, dengan rekam jejak yang baru seumur jagung, tentu ini adalah sesuatu yang sangat riskan untuk dilakukan. Dengan carannya yang riskan, nyatanya Ernest Prakasa berhasil membuat Susah Sinyal menjadi sebuah drama keluarga yang sangat kuat. Juga, film ini memberikan Ernest Prakasa ruang untuk berkembang dan dewasa untuk menentukan keputusan.

Mungkin, pesan yang dibawa oleh Susah Sinyal tak sebesar dan ambisius seperti Cek Toko Sebelah. Tetapi, ini malah jadi membuat Susah Sinyal memiliki performa yang jauh lebih baik dibandingkan karya kedua milik Ernest Prakasa. Susah Sinyal adalah pembuktian bahwa Ernest Prakasa punya kematangan dalam mengarahkan film terbarunya. Meskipun dengan pesan yang jauh lebih sederhana, Susah Sinyal malah jauh memiliki kehangatan yang luar biasa besar dibanding kedua film sebelumnya. 


Susah Sinyal ini sendiri adalah sebuah metafora dari problematika hubungan Ibu dan Anak yang dialami oleh Ellen (Adinia Wirasti), seorang pengacara muda sukses yang baru saja memutuskan untuk membuka firma sendiri. Tentu, hal ini membuat Ellen sangat sibuk mengurusi semua pekerjaannya dan tak memiliki waktu bersama dengan anak perempuannya, Kiara (Aurora Ribero). Tetapi, suatu ketika, Kiara yang beranjak remaja semakin memiliki jarak dengan Ellen.

Iwan (Ernest Prakasa), teman Ellen memberikan saran kepadanya untuk mengajak Kiara liburan agar hubungan di antara keduanya semakin membaik. Kiara pada awalnya tak setuju dengan ajakan Ellen, tetapi pada akhirnya Kiara setuju untuk mengajak Ellen liburan ke Sumba. Di saat liburan, Ellen yang membutuhkan internet untuk melakukan pekerjaannya harus kesusahan mencari sinyal, begitu pula dengan Kiara. Sehingga, di dalam liburan kali ini, Kiara dan Ellen berinteraksi untuk memperdekat jarak di antara keduanya yang sudah terlalu jauh. 


Susah Sinyal tak hanya sekedar sebuah kisah di mana dua orang harus merasakan bagaimana hidup tanpa sinyal yang menghidupi teknologi mereka. Susah Sinyal adalah sebuah metafora tentang jarak Ibu dan anak yang sedang kesusahan untuk memahami satu sama lain. Bagaimana film ini membicarakan tentang pola komunikasi antara orang tua dan anak yang terkadang tak berubah, meskipun sebenarnya zaman telah berubah. Sehingga, perlu adanya pembaruan dalam pola komunikasi mereka agar orang tua dan anak bisa memberikan relevansi satu sama lain.

Dengan potensi ceritanya yang lebih ke ranah drama, Ernest Prakasa memberikan sentuhan komedi yang sudah menjadi kekuatannya. Sehingga, film ini dibawakan dengan sangat ringan tetapi penuh akan pesan dan makna yang akan jauh lebih personal bagi penontonnya. Pengarahan Ernest Prakasa dalam Susah Sinyal tak lagi terlalu menggebu-gebu seperti Cek Toko Sebelah. Tetapi, ini malah menjadi membuat Susah Sinyal memiliki performa yang jauh lebih kuat dibanding Cek Toko Sebelah.

Ernest Prakasa sudah mulai mempelajari kesalahan apa yang ada di film sebelumnya. Ada kedewasaan dalam memutuskan setiap adegan di dalam film Susah Sinyal. Ada kontrol dalam film Susah Sinyal sehingga sepanjang film setiap menitnya yang mencapai 110 menit bisa berjalan dengan lancar. Serta, perpaduan antara unsur komedi dan drama dalam Susah Sinyal berhasil muncul sesuai dengan porsinya masing-masing tanpa harus mengorbankan satu sama lain. 


Meskipun, Susah Sinyal masih memiliki keputusan yang harusnya bisa lebih dieksplorasi lagi dengan penggunaan karakter Mama Iwan yang diperankan oleh Dayu Wijanto. Penggunaan karakter ini hanya sebagai sidekick tanpa memberikan relevansi kepada cerita. Seharusnya, karakter ini pun bisa menjadi medium bagi Ernest Prakasa untuk menceritakan tentang mother issue dalam setiap karakternya dan akan semakin memperkuat Susah Sinyal yang mengangkat tema tersebut.

Pun, menyelipkan referensi tentang Moanayang mungkin perlu untuk diperdalam lagi dalam adegannya sehingga referensi tersebut bisa jauh lebih membaur dengan filmnya.  Tetapi, hal itu tak menyurutkan segala hal-hal baik yang terjadi di dalam film ini. Pemandangan Sumba yang indah tak hanya sebagai pemanis, tetapi pelengkap cerita yang pas. Maka, pemanis dalam film ini jatuh pada pemilihan soundtrackdengan penempatan yang pas. Meskipun dalam teknisnya, ada beberapa yang perlu diperbaiki.  


Ernest Prakasa dengan minor-minor kecilnya itu masih bisa membuat hati penontonnya merasakan kehangatan yang luar biasa besar. Sepanjang film, penonton akan diyakinkan dengan jarak yang terjadi di antara keduanya berkat performa luar biasa dari Adinia Wirasti dan Aurora Kibero. Sebagai pendatang baru, Aurora Kibero layak untuk diperhitungkan. Sehingga,  ketika Susah Sinyal masuk ke dalam adegan kuncinya, semua luapan emosi itu bisa tercapai dengan sangat baik berkat kedewasaan Ernest Prakasa dalam pengarahannya. 

Senin, 25 Desember 2017

WONDER (2017) REVIEW : A Message to Choose Kind.

WONDER (2017) REVIEW : A Message to Choose Kind.


Stephen Chbosky kembali hadir menyapa penontonnya setelah memberikan sebuah directorial debut yang menjanjikan lewat The Perks of Being Wallflower yang diadaptasi dari buku yang ditulisnya sendiri dengan judul yang sama. Kali ini, Stephen Chbosky Ingin membuktikan bahwa dirinya adalah sutradara yang mumpuni dengan karya yang berbeda. Tetapi, Stephen Chbosky tetap mencoba peruntungannya dalam adaptasi sebuah buku laris manis di Amerika.

Buku yang diadaptasinya ini adalah tulisan dari R.J. Palacio dengan judul Wonder. Bukunya sendiri sudah memiliki penggemar yang luar biasa besar, sehingga film Wonder ini cukup dinantikan oleh banyak orang. Dengan rekam jejaknya yang cukup menjanjikan, Stephen Chbosky menghadirkan sebuah adaptasi drama keluarga dalam Wonder dengan pemain yang tak kalah luar biasa. Wonderdihiasi dengan pemain-pemain yang luar biasa mulai dari Jacob Tremblay, Owen Wilson, dan Julia Roberts.

Banyak yang cukup menantikan film Wonderini dikarenakan oleh dua hal. Pertama, Wonderadalah sebuah buku bestseller yang perlu untuk diadaptasi. Kedua adalah apakah Stephen Chbosky akan berhasil membuktikan bahwa dirinya adalah sutradara yang bisa menjaga konsistensi karya-karyanya. Maka, bagi orang yang mengkhawatirkan kedua poin tersebut bisa bernafas lega. Wonder adalah sebuah karya adaptasi yang sangat hangat dan juga haru untuk para penontonnya


Menceritakan tentang Auggie Pullman (Jacob Tremblay) yang memiliki keterbatasan dalam fisiknya yaitu pada bagian wajahnya. Sehingga, Auggie perlu untuk berada di dalam pengawasan orang tua selama beberapa tahun dia hidup. Hingga suatu ketika, Nate (Owen Wilson) dan Isabel (Julia Roberts), sebagai orang tua memutuskan untuk memasukkan Auggie ke sekolah dasar umum untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Kehidupan Auggie di sekolah memang tak mulus, apalagi dia harus berhadapan dengan banyak temannya yang menganggap dirinya aneh dengan keterbatasan fisiknya. Perjuangan Auggie selama sekolah ini mengubah perilakunya saat di rumah. Sehingga membuat kedua orang tua dan kakaknya, Via (Izabela Vidovic) berusaha untuk mengembalikan semangat Auggie. Meskipun, setiap anggota keluarga Pullman sebenarnya memiliki kisah dan keluh kesahnya masing-masing. 


Wonder memang tak memiliki sebuah konflik yang rumit seperti The Perks of Being Wallflower. Film ini hanya sebuah catatan kisah setiap karakternya yang berusaha menghadapi kehidupannya masing-masing. Mulai dari sang tokoh utama Auggie, hingga tokoh-tokoh lainnya yang berada dalam lingkaran kehidupan milik Auggie. Tanpa begitu kuatnya pengarahan dari Stephen Chbosky, kesederhanaan di dalam kisah milik Wonder tak bisa tampil kuat untuk penontonnya.

Stephen Chbosky mempunyai kemagisannya memunculkan sebuah drama keluarga yang tak terlalu meletup dalam penuturannya tetapi memberikan dampak emosional yang sangat luar biasa besar. Penonton bisa saja masih meraba seperti apa konflik utama dari film Wonderyang ternyata menjadi kekuatan dalam filmnya. Stephen Chbosky mengajarkan penontonnya untuk tak memilih siapa yang lebih berat menanggung masalah, tetapi untuk merangkul semua yang memiliki masalah bahwa masalah sekecil apapun itu penting dan perlu untuk diselesaikan.

Oleh karena itu, ada banyak sudut pandang dalam film ini yang menjadi esensi utama dari bukunya. Memperlihatkan bagaimana setiap karakternya yang memiliki alasan-alasan dalam menentukan perilaku dalam hidupnya. Sehingga, skenario yang diadaptasi oleh Stephen Chbosky beserta dua rekannya, Steve Conrad dan Jack Thorne, ini berhasil mengangkat apa yang perlu untuk diceritakan di dalam filmnya tanpa mengurangi kekuatan asli dalam bukunya. 


Sehingga, Stephen Chbosky yang ikut menuliskan skenarionya memiliki keunggulan untuk memahami keseluruhan film yang diarahkannya. Hal ini berdampak kepada bagaimana performa dari Wondersebagai sebuah film dengan durasi 115 menit. Setiap adegan-adegan pentingnya berhasil dibangun dengan intensitas emosi yang sangat baik, sehingga tanpa perlu menggebu-gebu penonton bisa merasakan rasa emosional yang sangat luar biasa besar saat menonton film ini.

Bahkan, beberapa adegan penting dan emosional dalam film ini hadir tanpa alunan musik sama sekali. Alunan musik biasanya digunakan untuk menekankan adegan-adegan emosional dan bisa jadi sebagai alat manipulasi emosi penonton. Tetapi, Wonder memiliki musik yang sederhana tetapi bisa menghadirkan kehangatan di hati penontonnya dengan sangat luar biasa. Sekaligus, dengan ini membuktikan bahwa Stephen Chbosky adalah sutradara yang memiliki sensitivitas yang sangat hebat. 


Wonder bisa memberikan banyak sekali pesan moral tentang kebaikan dan menjadi kebaikan adalah pilihan hidup dalam kondisi apapun dengan cara yang tak sembarangan. Tanpa adanya sensitivitas dalam pengarahan milik Stephen Chbosky, Wonder akan bisa menjadi sebuah film yang akan tampil sangat menggurui dengan pesan kebaikan yang sangat harfiah. Tetapi, Stephen Chbosky berusaha untuk menyelipkan pesan-pesan itu dengan cara yang lebih implisit. Dengan begitu, pesan besar untuk berbuat kebaikan dalam film ini akan berdampak jauh lebih besar kepada penontonnya.

Segala usaha pengarahan yang sangat detil oleh Stephen Chbosky ini pun diperkuat dengan berbagai performa pemainnya yang sangat luar biasa. Jacob Tremblay, dibalik make-up prostetiknya masih dapat bermain dengan sangat emosional dan memberikan ikatan emosi yang sangat baik dengan semua lawan mainnya. Julia Roberts, Owen Wilson, dan Izabela Vidovic berhasil meyakinkan penontonnya bahwa mereka memang memiliki ikatan darah satu sama lain. Mereka adalah keluarga Pullman yang bahagia hidup di dalam konflik-konflik internal yang ternyata saling menguatkan. 


Dan pada akhirnya, di penghujung film Wonder ini penonton akan memberikan senyum haru terbaiknya. Mengikhlaskan setiap tetes airmatanya untuk ikut terenyuh dengan segala jatuh bangun kehidupan Auggie saat menjalani kehidupannya sebagai anak-anak pada umumnya. Serta, memberikan perasaan hangat dalam hati penontonnya yang sedang terinjeksi pesan ajakan untuk memprioritaskan kebaikan dalam sebuah film yang sangat luar biasa indah. Wonder is really a wonder