Tampilkan postingan dengan label Lady Bird. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lady Bird. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Maret 2018

LADY BIRD (2018) REVIEW : Memorabilia Masa Remaja yang Bersemangat

LADY BIRD (2018) REVIEW : Memorabilia Masa Remaja yang Bersemangat



Menggambarkan sebuah pengalaman tentang transisi remaja mungkin sudah pernah ada di dalam banyak film. Tema-tema seperti ini tentu sudah bukan lagi sebuah hal yang baru bagi perfilman Hollywood. Dinamika remaja yang terus berubah-ubah setiap waktu ini tetap saja menjadi topik yang masih sering dibicarakan apalagi dalam ranah tontonan alternatif Hollywood. Hal ini pula yang sedang berusaha disampaikan lewat Greta Gerwig dalam debut penyutradaraannya.

Greta Gerwig berusaha untuk membuat sebuah catatan kecil dalam bentuk visual tentang dirinya dan kota kecilnya dalam film Lady Bird. Naskah dari film Lady Bird ini juga ditulis sendiri oleh Greta Gerwig sehingga tentu film ini akan terasa sangat personal baginya. Diperankan oleh aktris yang tak main-main yaitu Saoirse Ronan dengan ditemani oleh nama-nama terkenal seperti Laurie Metcalf, Timothee Chalamet, dan beberapa nama lain.

Remaja tentu punya banyak cerita, dinamika kehidupan mereka pun masih sangat bergairah. Bahkan sering kali semangat mereka terlalu meluap untuk selalu membenci kehidupan mereka. Greta Gerwig berusaha untuk menampilkan dinamika remaja seperti ini di dalam Lady Bird. Keinginan seorang remaja yang terkadang terlalu muluk ini terwakili dengan baik lewat karakter Christine yang diperankan oleh Saoirse Ronan.


Digarap dengan personal bukan berarti Lady Bird pada akhirnya tak bisa dinikmati dengan jangkauan yang lebih luas. Lady Bird tentu bisa mewakili bagi mereka yang pernah mengalami hal serupa. Ingin merasakan indahnya dunia tanpa memperhatikan kondisi yang ada di sekitar mereka. Menjadi remaja yang selalu merasa hidupnya serba kekurangan dan membencinya karena diri mereka terlalu egois untuk mengakui dan bersyukur atas apa yang mereka punya.

Greta Gerwig bisa menyajikan catatan kecil tentang hidupnya ini sebagai memorabilia bagi siapa saja yang pernah remaja saat menonton film ini. Rasa jujur dan sederhana inilah yang berusaha ingin ditunjukkan oleh Greta Gerwig di dalam debut penyutradaraannya. Emosi dalam Lady Bird ini sangat kuat tetapi tak berusaha terlihat meletup-letup inilah yang akan jarang ditemui di dalam film bertema serupa. Sehingga tak salah apabila Greta Gerwig patut untuk dinominasikan dengan sutradara lainnya dalam Oscars 2018 ini.


Menceritakan tentang seorang remaja perempuan bernama Christine McPherson (Saoirse Ronan) yang sedang mengalami transisi di dalam kehidupan remajanya. Di akhir tahun sekolahnya, Christine ingin melanjutkan sekolah ke universitasnya memiliki lingkungan dengan jangkauan yang lebih luas. Tetapi sayangnya, hal ini tidak disetujui oleh sang ibu, Marion McPherson (Laurie Metcalf). Tentu saja ini membuat Christine harus sering berdebat hebat dengan Ibunya setiap saat.

Meskipun problematika utamanya adalah kondisi keluarga mereka yang serba kekurangan, Christine tetap seorang remaja perempuan yang tak mau mengalah. Perempuan yang biasa menyebut dirinya Lady Bird ini tetap memaksakan kehendaknya untuk bisa bersekolah di daerah yang lebih memiliki budaya. Berbagai cara dilakukan oleh Christine agar dia mendapatkan rekomendasi untuk bersekolah di tempat yang dia inginkan.


Lady Bird bisa menjadi sebuah gambaran tentang kehidupan masyarakat menengah ke bawah dan cara-cara mereka berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Betapa mereka sangat memimpikan kemapanan yang ternyata harus bertabrakan dengan realita mereka sendiri. Sehingga, dalam film Lady Birdini bisa menjadi sebuah kontemplasi bagi mereka yang ada di dalam kelas tersebut untuk selalu bisa bersyukur dengan keadaan. Tetapi mereka pun tetap bisa berusaha untuk mewujudkan mimpi tentang kemapanan mereka menjadi nyata.

Pun, Lady Bird adalah sebuah surat cinta bagi mereka yang sedang berusaha bermigrasi ke tempat yang dirasa lebih baik. Pengarahan dari Greta Gerwig bisa menangkap maksudnya tanpa ada pretensi apapun ataupun memiliki pesan-pesan ambisius di dalam filmnya. Inilah yang membuat Lady Bird punya citarasa yang berbeda dibandingkan dengan film-film bertema serupa. Lady Bird berusaha menyajikan apa adanya dinamika kehidupan remaja yang terkadang emosinya pun masih tak stabil.

Hal ini tergambar jelas dengan bagaimana performa Saoirse Ronan sebagai Christine “Lady Bird” McPherson. Saoirse Ronan mengeluarkan pesona terbaiknya dengan menjadi sosok remaja labil dengan range emosi yang sangat luas. Perpindahan karakter Christine yang sangat cepat membuat penontonnya merasa bahwa mereka memang sedang benar-benar menyaksikan dinamika kehidupan remaja yang sebenarnya di sekitar mereka.


Hal ini pun didukung oleh performa yang sangat luar biasa dari Laurie Metcalf yang mampu menerjemahkan arti pemeran pendukung dengan baik. Laurie Metcalf berhasil meyakinkan penonton bahwa dirinya adalah Ibu asli dari Saoirse Ronan. Memerankan karakter yang dapat mengontrol pemeran utamanya tanpa perlu harus berusaha mendominasi. Kedua pemeran inilah yang juga menjadi kunci utama dari presentasi Lady Bird selama 94 menit.

Greta Gerwig punya sensitivitasnya sebagai seorang sutradara yang mampu membuat filmnya yang sederhana ini bisa menempel di benak penontonnya. Greta Gerwig menyalurkan emosi dalam hatinya tentang kerinduannya akan kota kelahirannya dengan sangat baik kepada penontonnya. Sehingga, di akhir film, penonton akan diberikan sebuah perjalanan montage kecil tentang kota kelahiran Christine yang sederhana namun berhasil memberikan dampak emosional yang sangat luar biasa besar.


Sehingga pada akhirnya Lady Birdtentu bisa jadi sebuah catatan kecil bagi mereka yang jauh dengan rumah asli mereka. Digambarkan dengan berbagai cara yang sangat menyentuh dan komedi-komedi sarkastik yang muncul di saat-saat yang tepat. Pun, Lady Bird juga bisa menjadi sebuah memorabilia masa remaja yang penuh akan rasa keegoisan yang meluap-luap dan semangat yang menggebu-gebu untuk meraih apa yang diinginkan. Juga, masa remaja yang penuh akan jatuh bangun dalam menjalani hari-hari.

Rabu, 07 Maret 2018

REVIEW : LADY BIRD

REVIEW : LADY BIRD


“Different things can be sad. It’s not all war!” 

Lady Bird adalah film kecil yang sederhana. Tidak ada sesuatu yang bombastis, meletup-letup, atau mencengangkan dalam guliran pengisahan yang diusung oleh Greta Gerwig (Frances Ha, Mistress America) di Lady Bird yang menandai untuk pertama kalinya dia menempati posisi penyutradaraan. Greta Gerwig sebatas mengajak penonton untuk menapak tilas ke masa remajanya sebagai seorang siswi SMA Katolik yang tumbuh berkembang di suatu kota kecil membosankan bersama sebuah keluarga dengan kondisi finansial seadanya. Untuk sesaat, selepas mengetahui bahwa ternyata Lady Bird merupakan film semi biopik dari si pembuat film yang belum juga menjadi nama besar di perfilman dunia dengan pencapaian pantas diagung-agungkan, diri ini mengajukan satu pertanyaan bodoh: apa ada hal menarik dari kisah hidup seorang Greta Gerwig yang patut untuk diceritakan? Bukankah jika membaca premisnya, dia memiliki kehidupan yang biasa-biasa saja dan cenderung monoton di kampung halamannya? Memang betul tidak ada kisah menginspirasi penuh glorifikasi di sini dan film lebih banyak menyoroti kemarahan-kemarahan seorang remaja yang baru saja menapaki usia dewasa terhadap lingkungan di sekitarnya. Akan tetapi, letak kekuatan yang dimiliki oleh Lady Bird justru berada pada ceritanya yang amat familiar serta dekat dengan realita ini sehingga penonton mudah untuk merasa terhubung dan terwakili. Alih-alih berujar “kehidupanku lebih seru daripada kalian semua!” si pembuat film lebih memilih untuk berkata “kehidupanku sama saja dengan kalian semua, jadi aku bisa memahami kalian.” 

Karakter utama yang menggulirkan penceritaan Lady Bird adalah seorang siswi SMA Katolik di pinggiran kota Sacramento, California, bernama Christine McPherson (Saoirse Ronan) yang kekeuh meminta orang lain memanggilnya “lady bird” karena dianggapnya lebih keren ketimbang nama aslinya. Menapaki bangku SMA tingkat akhir, Christine semakin vokal dalam menyuarakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke universitas di area pesisir timur Amerika Serikat (baca: New York) hanya semata-mata agar bisa meninggalkan kehidupan di kampung halaman yang dianggapnya menjemukan. Menilik prestasi akademik Christine yang hanya berada pada level ‘cukup’, emosinya yang masih sangat labil, serta tentunya biaya kuliah yang tidak murah, sang ibu, Marion (Laurie Metcalf), menentang keras rencana sang putri dan memintanya untuk berpikir realistis. Marion mempersilahkan Christine untuk kuliah asalkan universitasnya tidak jauh dari rumah. 

Kekhawatiran Marion terhadap masa depan putri bungsunya ini ternyata diinterpretasikan berbeda oleh Christine sehingga perang dingin diantara keduanya pun tak terelakkan. Disamping peperangan dengan sang ibu, beberapa kejadian lain turut datang silih berganti dalam kehidupan Christine usai dirinya memutuskan terlibat dalam produksi drama sekolah seperti jatuh cinta kepada orang yang salah, melepaskan keperawanan dengan laki-laki yang tidak tepat, menjalin persahabatan dengan teman yang keliru demi menaikkan strata sosial di sekolah, hingga dipecatnya sang ayah dari pekerjaannya yang seketika mengancam mimpi besar Christine untuk kuliah. 



Bagi para penonton yang telah melewati masa remaja, menyaksikan Lady Bird itu ibarat tengah diajak bernostalgia ke masa-masa usia belasan. Mengenang suatu fase pencarian jati diri yang dipenuhi kekonyolan akibat kepenasaran, kemarahan, serta kengeyelan yang sulit dikontrol. Keterkejutan dalam memasuki tahapan baru dalam hidup membuat stabilitas emosi goyah (baca: labil) sehingga memunculkan pemikiran bahwa diri ini lebih baik dari orang lain, lebih unik dari orang lain, dan lebih penting dari orang lain. Christine McPherson pun seperti itu; dengan menggunakan nama “lady bird” lalu mewarnai rambutnya membuat dia berpikir bahwa dia berbeda dari rekan-rekannya (baca: unik), dengan bergaul lalu menyetubuhi anak populer membuat dia memiliki derajat sosial lebih tinggi, dan dengan meninggalkan kampung halamannya (perlu dicatat, motif utama Christine untuk kuliah tidak benar-benar karena ingin menimba ilmu) demi menjalani hidup di kota besar membuat dia menjadi seseorang yang keren. 

Padahal, entah disadari atau tidak, Christine justru menunjukkan bahwa dirinya tidak lebih dari seorang remaja haus pengakuan dengan pemikiran yang dangkal. Sekalipun kadangkala terasa menjengkelkan, apa yang diperbuat oleh Christine sejatinya masih terbilang manusiawi. Siapa sih yang tidak ingin menjadi bagian dari genk populer di sekolah? Siapa sih yang tidak ingin dirinya terlihat menonjol dibandingkan orang lain? Siapa sih yang tidak gerah mendiami satu tempat yang sama sepanjang hidup? Penonton dewasa, entah mengakui atau tidak, rasa-rasanya pernah berada di fase Christine. Setidaknya ada minimal satu dua adegan yang akan membuatmu berkata “ya, aku dulu seperti ini!” selama menonton Lady Bird

Kedekatan kita pada guliran penceritaan yang disampaikan oleh Lady Bird adalah faktor utama yang menyebabkan film terasa begitu hidup. Ini semacam kaca yang merefleksikan kekonyolan hidup kita semasa masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kedekatan ini akan semakin terasa saat dirimu akhirnya memutuskan untuk merantau dan memiliki hubungan kompleks (entah sangat benci, renggang, atau sangat cinta yang memunculkan ikatan benci-cinta) dengan ibu. Maka jangan heran jika kemudian mendapati dirimu berkaca-kaca atau malah bersimbah air mata saat film mencapai adegan dengan kata kunci “menerima surat”, “mencuci piring” dan “mengantar ke bandara”. Kapabilitas si pembuat film membangun emosi setapak demi setapak dengan penuh perhatian kepada detil dalam dialog, karakter, maupun konflik adalah faktor kedua yang menyebabkan film mampu menghujam emosimu sedemikian rupa. Sosok Christine dan Marion sebagai inti cerita tidaklah hampa melainkan dideskripsikan sebagai karakter bulat yang merangkul dua sisi, hitam dan putih. Terkadang kita bersimpati penuh pada mereka sampai-sampai ingin memberi pelukan hangat, terkadang pula kita jengkel luar biasa sampai-sampai ingin berteriak keras “sakarepmu!” (suka-suka kau saja lah) ke muka mereka. 


Ini kemudian mengantarkan kita kepada faktor ketiga yang menyebabkan keinginan Greta Gerwig dalam membuat penonton berkenan mendengarkan ceritanya dapat terpenuhi, performa para pemain yang luar biasa. Tidak ada titik lemah di departemen akting, baik Lucas Hedges, Timothee Chalamet, Beanie Feldstein, serta Tracy Letts di jajaran pendukung menyumbang akting bagus. Namun jika berbicara siapa yang punya kontribusi paling besar, maka itu jelas adalah duo Saoirse Ronan dengan Laurie Metcalf. Berkat mereka, sosok Christine dan Marion lebih dari sebatas “karakter dalam film” karena keduanya tampak begitu hidup dan nyata. Kita bisa memahami obsesi berlebih “lady bird”, kita bisa merasakan kegundahan hati seorang ibu, kita bisa meyakini adanya cinta dibalik hubungan penuh kebencian antara Christine dengan Marion, dan akhirnya kita pun bisa jatuh hati tidak saja kepada mereka berdua tetapi juga kepada Lady Bird sebagai sebuah karya. Bagus sekali!

Outstanding (4,5/5)