Tampilkan postingan dengan label UK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UK. Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 September 2017

REVIEW : KINGSMAN: THE GOLDEN CIRCLE

REVIEW : KINGSMAN: THE GOLDEN CIRCLE


“Being a “Kingsman” is more than the clothing we wear or the weapons we bag. It’s about willing to sacrifice for the greater good.” 

Ditengah kecenderungan film spionase bergerak ke arah yang lebih serius dengan nada penceritaan muram – bahkan belakangan seri James Bond tidak lagi mengutamakan bersenang-senang – Kingsman: The Secret Service yang dirilis pada tahun 2014 menawarkan sebuah alternatif menyegarkan bagi para pecinta film. Sang sutradara, Matthew Vaughn (Kick-Ass, X-Men: First Class), memperkenalkan kita kepada agen rahasia anyar yang sanggup memadukan tindak tanduk ugal-ugalan bak bocah ingusan yang tidak pernah mengenal sopan santun dengan elegansi ala bangsawan Inggris. Sebuah kombinasi unik yang lantas menghadapkan penonton kepada gelaran laga berbalut komedi yang penuh gaya, berwarna, dan tanpa tedeng aling-aling dalam menggeber kekerasan demi mencapai dua tujuan: kejutan dan kesenangan. Hidangan berbeda yang materinya bersumber dari komik bertajuk sama rekaan Dave Gibbons dan Mark Millar ini tanpa dinyana-nyana sanggup memperoleh resepsi memuaskan baik dari penonton maupun kritikus sehingga 20th Century Fox seketika memberi lampu hijau untuk pembuatan sekuel. Yang kemudian menjadi pertanyaan, mengingat instalmen pertama telah menetapkan standar cukup tinggi bagi film beraliran serupa, mungkinkah si sekuel dari Kingsman: The Secret Service yang diberi subjudul The Golden Circle ini berhasil melampauinya atau minimal berada di tataran yang sama? 

Tewasnya Valentine (Samuel L. Jackson), musuh besar para agen Kingsman di The Secret Service, ternyata tidak lantas membuat kehidupan Eggsy Unwin (Taron Egerton) damai sentosa. Memang sih setelah melenyapkan si psikopat, Eggsy sempat untuk menjalani kehidupan normal dengan menjalin hubungan serius bersama perempuan yang diselamatkannya di jilid awal, Putri Tilde (Hanna Alström). Tapi itu tak berlangsung lama karena satu tahun selepas insiden film sebelumnya, Eggsy mesti menghadapi Charlie (Edward Holcroft), mantan trainee yang tak diterima oleh Kingsman, yang kini bekerja dibawah komando pemimpin kartel narkoba misterius, Poppy Adams (Julianne Moore). Tangan sibernetik Charlie mampu menyelinap ke dalam markas rahasia Kingsman dan menyadap data-data penting yang kemudian dimanfaatkan Poppy untuk melancarkan serangan dalam bentuk misil. Akibatnya, sejumlah lokasi luluh lantak yang turut menewaskan beberapa agen utama dan hanya menyisakan Eggsy beserta Merlin (Mark Strong). Mencoba mencari bantuan dengan mengikuti protokol ‘hari kiamat’, kedua agen tersebut lantas dituntun menuju organisasi elit rahasia lain yang bermarkas di Amerika Serikat bernama Statesman. Bekerjasama dengan para agen Statesman serta Harry Hart (Colin Firth), mentor Eggsy yang sempat diduga telah tewas, Eggsy berupaya menggagalkan rencana besar Poppy dalam melegalisasi penggunaan narkoba.


Mengikuti pola film kelanjutan, sudah barang tentu The Golden Circle meluaskan cakupan skalanya. Tengok saja jajaran pemainnya yang kian meriah melibatkan nama-nama besar dari Hollywood seperti Julianne Moore, lalu Halle Berry, Channing Tatum, dan Jeff Bridges sebagai personil Statesman. Vaughn ditemani Jane Goldman di sektor penulisan naskah pun berupaya meningkatkan kompleksitas dalam penceritaan dengan membentangkan universe dalam film, menghadirkan setumpuk karakter anyar sekaligus menyisipkan beragam subplot yang mau tak mau berkontribusi pada melarnya durasi hingga mencapi 141 menit (betul sekali, kamu tak salah baca!). Durasi yang kelewat panjang ini merupakan problematika utama yang menyergap The Golden Circle sehingga menghalanginya untuk tampil segegap gempita seperti sang predesesor. Selama satu jam pertama, laju pengisahan terkesan berlarut-larut hanya demi memperkenalkan penonton kepada Statesman yang berujung dengan reuni kejutan bersama Harry. Usai adegan pembuka seru yang menampilkan kejar-kejaran mobil di jalanan London dan lontaran misil, The Golden Circle bergerak melambat yang berdampak pada menyusutnya intensitas. Penonton disuguhi sederet konflik sampingan di sekitar Eggsy yang sejatinya bisa diperpadat bahkan dipangkas demi menghemat durasi. Rasa jenuh sempat menghampiri yang untungnya ditebus oleh rentetan laga mengasyikkan terhitung sedari Eggsy kembali turun ke lapangan. 

Ya, berbicara soal kandungan hiburan dalam bentuk sekuens laga, The Golden Circle tidak kekurangan sedikitpun – walau agak disayangkan tidak dihadirkan secara non-stop. Level “wow”-nya memang agak dibawah film pertama yang memberi kita dua adegan sulit terlupakan, yakni pembantaian di gereja dan ‘kembang api’, namun tetap saja sulit untuk menolak saat tata laganya masih terbilang menggenjot adrenalin, bukan? Beberapa momen yang membuat diri ini bersemangat selama menyaksikan The Golden Circle di layar lebar disamping adegan pembuka antara lain kereta gantung di pegunungan salju yang terpontang-panting, konfrontasi akhir di Poppy Land atau markas utama Poppy yang desain bangunannya terinspirasi dari Amerika Serikat era 1950-an, hingga apapun yang melibatkan sang legenda musik Elton John yang memerankan versi fiktif dari dirinya sendiri yang gemar melontarkan sumpah serapah. Diluar dugaan, Elton John mampu menyumbang beberapa momen komedik terbaik di film yang sejatinya kadar kelucuannya turut mengempes. Yang juga menghadirkan performa mengesankan dari departemen akting dalam The Golden Circle adalah Taron Egerton (entah mengapa saya merasa dia terlihat ‘tua’ disini?), Colin Firth, Mark Strong, Pedro Pascal sebagai agen Statesman yang menyimpan agenda terselubung, serta Julianne Moore sebagai villain utama yang sinting tapi tetap tampak berkelas. Jika ada yang terasa sia-sia dalam The Golden Circle selain durasi kepanjangan, maka itu kehadiran trio Statesman: Channing Tatum, Jeff Bridges, dan Halle Berry, yang jatah tampilnya tak lebih banyak dari Elton John. Mungkinkah ini hanya sebagai perkenalan menuju peran lebih besar di jilid ketiga? Semoga saja. Karena jika tidak, sungguh amat mubazir.

Note : Coba tonton The Golden Circle dalam format 4DX. Sensasi menonton yang diberikannya sungguh luar biasa.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Minggu, 23 Juli 2017

REVIEW : DUNKIRK

REVIEW : DUNKIRK


“You can practically see it from here. Home.” 

Tiada lagi penjelajahan antar galaksi antar dimensi. Tiada lagi perjalanan menyusuri alam mimpi. Tiada lagi manusia kelelawar berkedok pengusaha kaya yang memberantas para kriminal kala malam menyingsing. Dalam film terbarunya bertajuk Dunkirk, sutradara Christopher Nolan memutuskan untuk tetap menjejakkan kaki di semesta yang sangat kita kenal. Menjauhi fantasi yang berada di ranah kekuasaannya, pembesut Inception dan The Dark Knight ini mencoba untuk lebih merangkul realita dengan menghadirkan sebuah retrospektif tentang Perang Dunia II. Diantara setumpuk topik ihwal ‘teror perang, kemanusiaan, dan keajaiban’ yang dapat dipilih dari kurun waktu tersebut, Nolan menjumput topik perihal Evakuasi Dunkirk yang berlangsung sedari 26 Mei hingga 4 Juni 1940. Sebuah bahan obrolan yang terhitung menarik lantaran pahlawan dalam peristiwa ini bukanlah para prajurit yang diterjunkan ke medan peperangan melainkan rakyat sipil yang memenuhi panggilan mendadak dari pemerintah Britania Raya untuk membantu keberlangsungan proses evakuasi sebanyak 400 ribu tentara sekutu yang posisinya terdesak oleh pergerakan pasukan Adolf Hitler dari pesisir pantai di Dunkirk, Prancis. 

Dalam menuturkan kembali peristiwa ini, Nolan mengaplikasikan metode penceritaan non-linear yang digemarinya dengan harapan dapat tersaji lebih menarik. Untuk itu, tuturan Dunkirk dipecah ke dalam tiga narasi yang masing-masing memiliki rentang waktu penceritaan berbeda satu sama lain sebelum akhirnya saling beririsan dalam klimaks. Narasi pertama berlangsung di tanggul selama sepekan dimana para tentara mengantri panjang untuk menaiki kapal-kapal penyelamat yang merapat seraya berharap agar bom kiriman pesawat tempur Nazi tidak jatuh lebih dulu. Karakter yang mendapat sorotan pada bagian ini adalah tiga tentara muda; Tommy (Fionn Whitehead), Gibson (Aneurin Barnard), dan Alex (Harry Styles), yang berjuang mati-matian demi memperoleh jatah tempat di kapal. Lalu narasi kedua berlangsung di atas sebuah kapal kecil selama sehari yang meletakkan fokusnya pada seorang pelayar bernama Pak Dawson (Mark Rylance), putranya Peter (Tom Glynn-Carney) serta sahabat sang putra George (Barry Keoghan) dalam upaya mereka untuk menyelamatkan para tentara yang terdampar di pantai. Dan narasi ketiga yang bertempat di udara selama satu jam menyoroti tiga pilot pesawat tempur Inggris dalam memburu pesawat tempur Jerman yang hendak menjatuhkan bom di Dunkirk. 


Sulit ditampik bahwa Christopher Nolan mampu menghadirkan Dunkirk sebagai sebuah pengalaman sinematis yang memikat. Elemen teknisnya berada di kelas teratas dan amat tidak mengherankan apabila nantinya menjadi kontender kuat dalam beragam ajang penghargaan untuk insan perfilman dunia. Lihat bagaimana kinerja Hoyte van Hoytema yang sebelumnya berkolaborasi dengan Nolan dalam Interstellar kala melensakan setiap gambar di darat, air, serta udara secara mengagumkan sehingga rekonstruksi peristiwa Evakuasi Dunkirk dalam bentuk adegan terasa meyakinkan. Penonton seolah-olah ditempatkan berada di tengah-tengah para pejuang yang kelelahan menanti datangnya kapal dan ketakutan akan datangnya ajal. Kegemilangan dari sisi visual yang tak jarang pula tampil puitis ini turut memperoleh sokongan dari departemen tata suara yang berhasil mengkreasi suara gemuruh pesawat, dentuman bom, desingan peluru, sampai deburan ombak dalam tingkatan akurasi yang tinggi serta iringan skoring musik gubahan Hans Zimmer yang membantu mempertajam nuansa meneror medan peperangan dalam Dunkirk. Membuatnya sangat perlu ditonton di layar lebar. Mempunyai kombinasi elemen teknis sekuat ini, jelas bukan perkara sulit untuk mengagumi pencapaian Nolan dalam Dunkirk. Yang kemudian pertanyaan adalah apakah kekaguman ini berakhir sebatas kekaguman atau dapat pula berkembang lebih jauh menjadi cinta? 

Sayangnya, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah Dunkirk mudah untuk dikagumi tetapi tidak untuk dicintai. Sulit untuk benar-benar terhubung secara emosional pada film. Saat melangkahkan kaki ke luar bioskop, tidak ada impak apapun yang membuatnya terus terngiang-ngiang dalam pikiran dan meninggalkan kesan mendalam di hati. Ini ditengarai hasil dari keputusan sang sutradara untuk membingkainya dengan gaya tutur bercabang yang mesti diakui beresiko tinggi. Penonton diminta untuk mencerna kisah dari tiga sudut pandang berbeda yang acapkali terasa membingungkan lantaran peralihan antar narasi tidak diberi penanda yang jelas sekaligus terasa melelahkan akibat adanya sederet adegan repetitif tanpa urgensi dan emosi. Apabila kamu sama sekali tidak familiar dengan peristiwa Evakuasi Dunkirk, sangat disarankan untuk menggali informasinya terlebih dahulu sebelum menonton atau kamu akan kian kebingungan di dalam bioskop karena film memang enggan menyediakan banyak penghantar. Disamping itu, Nolan juga memutuskan memilih untuk lebih memberi penekanan pada suasana ketimbang rasa yang menyebabkan lantunan narasi kian menantang buat disimak. Betapa tidak, penonton hanya diberi sedikit kesempatan untuk memiliki ikatan dengan barisan karakter yang ada dalam film. 

Jangan berharap kamu akan memperoleh penokohan memadai dari Tommy, Gibson, Alex, Pak Dawson, Peter, George, apalagi para petarung udara. Mereka tidak ubahnya para figuran dalam film, kecuali mereka mempunyai jatah tampil lebih banyak dan diperankan aktor-aktor ternama dengan kualitas akting mumpuni termasuk Cillian Murphy yang menciptakan ‘drama’ di atas kapal Pak Dawson. Ketidaksanggupan untuk berakrab ria dengan karakter inti (hmmm... mungkin hanya George yang bisa membuat kita sedikit peduli) berdampak munculnya ketidakpedulian atas nasib mereka. Karena tidak mengenal, tidak ada rasa peduli, maka situasi yang mengepung mereka pun kurang memberi daya sentak seperti semestinya. Andai Nolan mempersilahkan film dibubuhi lebih banyak rasa dibalik tema besarnya mengenai ‘kepahlawanan dan kemanusiaan’ tanpa harus menahan-nahan emosi, bisa jadi Dunkirk akan lebih membekas dan montase di ujung film bakal mengendap lama dalam benak. Jika niat si pembuat film adalah agar Dunkirk tetap tersaji realistis, ‘bersihnya’ medan pertempuran tentu susah dimaklumi. Tanpa ada darah, intensitas film tereduksi. Memang masih mencekam, tapi kalau mesti dibandingkan dengan film berlatar Perang Dunia II lain seperti Saving Private Ryan atau Hacksaw Ridge, teror dalam Dunkirk tidaklah seberapa. Itulah mengapa sulit bagi saya untuk mendaulat Dunkirk sebagai film tentang Perang Dunia II terbaik yang pernah dibuat atau karya paling gemilang dari seorang Christopher Nolan. Bagus sih, hanya saja tidak istimewa.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1G60F

Exceeds Expectations (3,5/5)


Rabu, 19 Juli 2017

REVIEW : THE CRUCIFIXION

REVIEW : THE CRUCIFIXION


“Sungguh memuakkan setiap kali tipu daya berlindung dibalik kemuliaan.” 

Diantara setumpuk tema yang bisa dipilih untuk menggulirkan penceritaan dalam khasanah film horor, sineas-sineas negeri barat terhitung paling getol dalam mengelupas tema eksorsisme. Keputusan untuk mengungkit tema ini sebetulnya amat wajar mengingat praktik pengusiran setan oleh rohaniawan utusan gereja maupun ‘orang pintar’ ini sendiri amat berbahaya dan beresiko menelan korban jiwa sehingga terdengar amat seksi apabila diaplikasikan ke dalam suatu film. Semenjak The Exorcist (1973) mendapat perhatian berbagai pihak dan pada akhirnya menyandang status klasik, serentetan judul film memedi turut menyentuh tema ini yang beberapa diantaranya mempunyai kualitas diatas rata-rata seperti The Exorcism of Emily Rose (2005) dan The Conjuring (2013), meski tidak sedikit pula yang berakhir tragis. Salah satu judul terbaru yang membicarakan tentang eksorsisme adalah The Crucifixion arahan sineas Prancis, Xavier Gens (The ABCs of Death; segmen X is for XXL, Frontier(s)). Guliran kisahnya dicuplik dari sebuah kasus nyata yang menghebohkan Romania pada tahun 2005 yang disebut-sebut oleh media dengan nama ‘Tanacu exorcism’. Dalam kasus tersebut, seorang pastor dan empat biarawati didakwa bersalah atas tewasnya seorang perempuan usai disalib selama beberapa hari dalam praktik eksorsisme. 

Melalui The Crucifixion, Xavier Gens mencoba untuk merekonstruksinya menggunakan pendekatan fiktif. Penonton tidak mengikuti investigasi nyata atas kasus kematian seorang perempuan bernama Adelina Marinescu (Olivia Nita) dari sudut pandang penyelidik sebelum vonis dijatuhkan kepada para tersangka dengan sesekali menengok ke masa-masa saat Adelina masih ‘bersih’, melainkan selepas sang pastor dijebloskan ke penjara. Yang mencoba memperoleh kebenaran dari peristiwa Tanacu adalah seorang reporter tanpa iman asal New York, Nicole Rawlins (Sophie Cookson). Telah sedari awal meyakini bahwa sang pastor merupakan psikopat dan praktik yang dijalankannya tidak lebih dari ritual sesat, membuat Nicole kesulitan mencerna informasi-informasi ‘ajaib’ yang diperolehnya dari teman baik Adelina, Vaduva (Brittany Ashworth), dan kakak Adelina, Stefan Marinescu (Ivan Gonzales). Di tengah upayanya menyatukan kepingan-kepingan bukti yang didapatnya, Nicole mendapati sejumlah peristiwa ganjil sulit dijabarkan. Kebingungan, Nicole pun meminta bantuan pada seorang pastor muda, Anton (Corneliu Ulici), yang lantas mengingatkan Nicole untuk meninjau ulang keimanannya. Berkat wejangan-wejangan dari Anton dan situasi ganjil yang sering dihadapinya selama di Romania, perlahan tapi pasti Nicole mulai meyakini bahwa iblis mempunyai andil besar dalam kasus Tanacu.


Sejatinya tidak ada hal benar-benar baru yang coba ditawarkan oleh The Crucifixion. Penyampaian kisahnya sedikit banyak melayangkan ingatan kita pada The Exorcism of Emily Rose yang juga mengajak penonton untuk mengkaji kembali kebenaran dari suatu kasus nyata. Sederet pertanyaan dilontarkan oleh si pembuat film demi menghadirkan beberapa teori untuk kemudian menghasilkan suatu hipotesis. Apakah benar praktik eksorsisme dijalankan sang pastor semata-mata demi melampiaskan hasratnya untuk menyiksa? Apakah benar tindak tanduk nyeleneh Adelina dipantik oleh skizofrenia dan bukan sebab lain? Apakah benar tidak ada campur tangan iblis dibalik segala kejanggalan ini? Ketiga pertanyaan ini berguna pula dalam mengikat atensi penonton sehingga bersedia mengikuti Nicole untuk menyingkap suatu fakta. Usai berbincang-bincang dengan beberapa narasumber, beberapa fakta diperoleh: gereja menentang praktik eksorsisme yang dilakoni Pastor Dimitru karena dianggap sesat, kondisi kejiwaan Adelina tidak stabil usai kena tipu-tipu dari pria Jerman yang memintanya untuk merelakan keperawannya, dan iblis itu memang nyata adanya. Materi yang sungguh menjanjikan buat diolah, bukan? Sayangnya Xavier Gens agak kelimpungan dalam mengolahnya yang berdampak pada guliran pengisahan terhidang mentah dan ada kalanya menjemukan. Tidak menggugah selera penonton untuk mencicipinya. 

Dua elemen yang turut berkontribusi terhadap hasil akhir The Crucifixion yang kurang greget, naskah dan akting. Duo Chad Hayes dan Carey Hayes selaku penulis skrip terlalu fokus pada penjlentrehan proses investigasi sampai-sampai mengabaikan perkembangan karakter Nicole. Alhasil, sosoknya pun menjelma menjadi karakter satu dimensi yang sulit diberikan simpati. Performa lempeng Sophie Cookson dengan intonasi pada pengucapan dialog yang juga monoton jelas sama sekali tidak membantu. Lakon terbaik dalam film – seperti film eksorsisme pada umumnya – berasal dari si perempuan yang kesurupan, Olivia Nita. Dari karakter yang dimainkannya, Adelina, penonton peroleh kengerian. Berbincang mengenai kengerian dan urusan menakut-nakuti yang mana inti dari suatu film horor, The Crucifixion tergolong tidak buruk. Malah boleh dikata cukup berhasil. Sebagian besar diantaranya sih telah diobral dalam trailer (sebaiknya kamu tengok usai menonton saja, khusus melihat adegan ‘semut’ yang dipangkas gunting sensor), namun masih cukup efektif untuk membuatmu beberapa kali terlonjak dari kursi bioskop. Bulu kuduk juga acapkali meremang saat Nicole menghabiskan waktunya seorang diri di kamar hotel. Entah saat dia berselancar di dunia maya, berada di kamar mandi, atau beristirahat. Terasa ada sesuatu yang salah di sekitarnya seolah-olah ada yang mengawasi. Kemampuan The Crucifixion dalam menghadirkan ketidaknyamanan pada penontonnya ini sedikit banyak mengampuni lemasnya sektor lain. Paling tidak, para pecinta film horor yang datang ke bioskop dengan harapan untuk ditakut-takuti tidak mendapatkan sajian lempeng.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1lzoN

Acceptable (2,5/5)


Rabu, 12 April 2017

The Awakening (2011)

The Awakening (2011)

Pada tahun 1921, Inggris kewalahan oleh kehilangan dan kesedihan Perang Dunia I. Hoax exposer Florence Cathcart mengunjungi sebuah sekolah asrama untuk menjelaskan penampakan hantu anak. Segala sesuatu yang dia percaya membongkar sebagai 'hilang' mulai menunjukkan diri mereka sendiri.
LK21 Unduh
Artis : Rebecca Hall, Dominic West, Imelda Staunton Negara : UKRilis : 11 November 2011Kategori : Horor, ThrillerDurasi : 1 jam 42 menit ( 179 mb )IMDb : tt1687901

Sedang Proses...

Rabu, 01 Maret 2017

REVIEW : LION

REVIEW : LION


“I'm not from Calcutta... I'm lost.” 

Jelang mengularnya credit title, Lion beberkan sebuah informasi yang bikin hati serasa teriris. Informasi tersebut memuat statistik miris di India terkait bocah-bocah menghilang tanpa kabar setiap harinya yang mencapai angka 80 ribu serta para anak jalanan yang jumlahnya telah menyentuh 11 juta. Lewat Lion, sutradara Garth Davis yang baru sekali ini menggarap film layar lebar mencoba membahasagambarkan fenomena yang boleh jadi umum terjadi di negara-negara berpopulasi lebih dari ratusan juta jiwa ini. Bukan menggunakan sudut pandang keluarga ditinggalkan, melainkan dari kacamata korban. Ndilalah, ada satu penyintas bernasib mujur yang pernah berada di posisi terpisahkan dari keluarga maupun terlunta-lunta di jalanan semasa cilik, namanya Saroo Brierly. Pengalaman luar biasa yang memaksanya putus kontak selama 25 tahun lamanya dengan keluarga biologisnya ini dituangkan Saroo ke sebuah buku nonfiksi bertajuk A Long Way Home. Buku yang merupakan cikal bakal dari lahirnya film ‘keji’ pengoyak emosi berjudul Lion

Saroo cilik (Sunny Pawar) tinggal di sebuah perkampungan terpencil bersama kakaknya, Guddu (Abhishek Bharate), ibunya (Priyanka Bose), beserta adik perempuannya yang masih balita. Bersama Guddu, Saroo kerap mencuri batu bara dari kereta api yang melintas dekat perkampungan mereka guna ditukar dengan susu maupun makanan. Kehidupan keluarga miskin namun bahagia ini sontak berubah setelah Saroo memaksa ikut Guddu yang mencoba mencari pekerjaan di suatu malam dan keduanya terpisahkan. Saroo terjebak selama dua hari dalam sebuah kompartemen kereta api kosong yang menghantarkannya ke Kalkuta – hampir dua ribu kilometer jauhnya dari kampungnya – dan mengalami kesulitan untuk kembali. Berbagai cobaan lantas menghampirinya dari nyaris terjerembab dalam sindikat perdagangan anak, bertahan hidup di bawah kolong jembatan, sampai diboyong ke panti asuhan. Keengganan Saroo untuk menyerah mendorongnya berjumpa dengan nasib baik. Pasangan asal Australia, Sue (Nicole Kidman) dan John (David Wenham), mengadopsinya. Setelah 25 tahun, Saroo dewasa (Dev Patel) mencoba melacak kembali keberadaan keluarga biologisnya bermodalkan Google Earth dan ingatan-ingatan samar masa kecil. 

Lion terbagi menjadi dua babak besar. Babak pertama menaruh fokusnya kepada Saroo kecil, sementara babak kedua menggambarkan Saroo di usia dewasa. Kedua babak mempunyai kekuatannya masing-masing, meski separuh awal film bisa dikata adalah bagian terbaik dari Lion lantaran pergerakkan kisahnya lebih memiliki dinamika. Penonton disuguhi plot yang menyoroti jatuh bangunnya si bocah untuk memperoleh kesempatan berjumpa kembali dengan keluarganya semenjak terdampar di kota yang sama sekali asing baginya. Ada kepiluan, kengerian, serta sedikit kejenakaan di dalamnya. Tangguhnya paruh utama film dipersembahkan oleh materi cerita dan performa menakjubkan dari barisan pemainnya. Priyanka Bose hanya tampil sekejap tanpa banyak dibekali dialog, namun pancaran matanya sanggup menegaskan bahwa dia mencintai anak-anaknya. Pendatang baru Abhishek Bharate pun impresif sebagai kakak yang mengayomi adik-adiknya. Akan tetapi, Lion tidak akan mengaum selantang ini tanpa sokongan dari Sunny Pawar yang mempesembahkan salah satu akting terbaik dari seorang aktor cilik debutan (bahkan, Jacob Tremblay dari Room pun dibuat keok olehnya!).


Kita iba melihat bocah sekecil ini terkikis masa kanak-kanaknya yang semestinya dilalui penuh canda tawa, kita juga takjub menyimak ketangguhan usahanya agar bisa kembali ke pelukan sang ibunda – bayangkan, dia hanya sesekali menitikkan air mata tanpa pernah sekalipun merengek berkepanjangan. Seperti halnya para pelakon lain, Sunny Palwar membicarakan perasaannya melalui mata. Dari pancarannya, penonton bisa mendeteksi kesedihan, kebingungan, ketakutan, kebahagiaan, hingga harapan. Berkatnya, kita mampu teresonansi secara emosi dengan kisah hidup menakjubkan Saroo. Sekalipun kita telah mengetahui sesuatu yang baik telah menanti Saroo cilik di depan, namun tetap saja fase harap-harap cemas sempat menghampiri diri karena kepedulian terhadap jalan hidupnya membentuk keinginan untuk melihatnya berbahagia. Maka sulit untuk tidak merasakan kegundahan melihatnya terombang-ambing di jalanan tanpa kepastian, melihatnya didekati seorang pria misterius bernama Rama (Nawazuddin Shiddiqui) yang mempunyai agenda terselubung, dan melihatnya berakhir di panti asuhan tanpa fasilitas memadai. 

Dibandingkan babak pertama, babak kedua cenderung lebih tenang. Saroo dewasa telah memperoleh kehidupan yang layak dengan keluarga baru penuh kasih sayang, pekerjaan mapan, dan kekasih cantik, Lucy (Rooney Mara) yang mendukung keputusan-keputusannya. Gejolak konflik pada titik ini bersumber dari adik Saroo yang pemarah, Mantosh (Keshav Jadhav), serta relasi menghambar antara Saroo dengan orang-orang terdekatnya menyusul obsesinya untuk menemukan kampung halamannya. Dev Patel meng-handle babak kedua ini secara menawan dengan memunculkan kerapuhan berwujud penyesalan mendalam yang membawanya pada kemarahan-kemarahan, obsesi melampaui batas, serta kerinduan tak terbendung sehingga kepedulian penonton pada sosok Saroo pun tak terputus. Masih terus berlanjut. Kepedulian kita terhadap si tokoh utama merupakan kunci keberhasilan dari Lion atau berdasarkan konteks babak kedua, momen klimaks. Apabila penonton tidak pernah terhubung dengan Saroo, apa yang tersaji di penghujung film akan berakhir sia-sia belaka. Tapi jika penonton berhasil dibuat bersimpati pada Saroo – seperti telah dilakukan oleh Lion, apa yang tersaji di penghujung film akan menghajar emosimu sampai babak belur. Sebuah kisah 'pulang kampung' yang begitu hangat, mendebarkan, sekaligus menyentuh. Bagus!

Outstanding (4/5)


Rabu, 23 November 2016

REVIEW : UNDER THE SHADOW

REVIEW : UNDER THE SHADOW


"They travel on the wind, moving from place to place until they find someone to possess"

Sebelum lahirnya A Girl Walks Home Alone at Night (2014), tidak sedikit publik internasional yang dibuat bertanya-tanya, “bagaimana sih wajah sinema Iran dalam film horor?,” lantaran selama ini referensi atas film asal Iran mayoritas terbatas di sektor drama. Memang sih film vampire berhijab ini merupakan keluaran Negeri Paman Sam, namun paling tidak khalayak ramai memperoleh cukup pandangan bakal seperti apa wujudnya kalau-kalau sineas Persia mencoba mempermainkan rasa takut penonton dalam produk kreatif. Tontonan terbaru kreasi sutradara debutan Babak Anvari yang mewakili Inggris Raya di ajang Oscars tahun depan, Under the Shadow, pun tak beda jauh kasusnya dengan A Girl Walks Home Alone at Night. Memperoleh banyak dukungan dari pemain serta kru berdarah Iran, nyatanya film ini merupakan hasil kerjasama antara Inggris dengan Qatar dan Yordania alih-alih produk lokalan seperti kerap dikira banyak pihak. Berita buruk? Sama sekali tidak. Malahan adanya keuntungan tersendiri tidak terbentur dengan persoalan sensor membuat Under the Shadow lebih lugas dan bebas dalam menyuarakan kegundahan hati si pembuat filmnya terkait mimpi buruk yang terlahir dari situasi sosial politik dan represi terhadap perempuan di Iran. Yang membuatnya terdengar semakin menarik, segala bentuk komentar sosial ini disampaikan melalui film bergenre horor. 

Under the Shadow mengambil latar cerita di Tehran, Iran, pada era 1980-an kala Perang Revolusi Iran tengah berkecamuk hebat. Satu persatu penduduk ibukota memilih mengungsi ke pinggiran – atau malah bertolak ke negara lain – karena keadaan yang jauh dari kata kondusif. Bayangkan, saat misil yang dilontarkan oleh Irak bisa saja mendarat manis di atas atap rumahmu sewaktu-waktu, bukankah perasaan tentram lantas menjadi barang paling mewah yang bisa kamu peroleh? Sekalipun dirundung situasi mencekam seperti ini dan sang suami ditugaskan ke garda depan, Shideh (Narges Rashidi) bersikukuh dengan pendiriannya untuk tetap bertahan di rumah bersama putri semata wayangnya, Dorsa (Avin Manshadi), alih-alih bergabung bersama keluarga mertuanya seperti saran dari sang suami. Alasannya, Shideh ingin membuktikan kepada suaminya bahwa dia mampu mengurus Dorsa seorang diri. Mula-mula sih tanggung jawab ini terkesan remeh saja bagi Shideh apalagi ada bantuan dari tetangga dekat dan alarm beserta bunker selalu bisa diandalkan apabila ada misil mendekat. Namun keadaan perlahan kian memburuk pula aneh selepas sebuah misil nyaris meluluhlantakkan gedung apartemen yang didiami Shideh, berlanjut pindahnya satu persatu penghuni gedung. Dorsa percaya ada kekuatan jahat berwujud Jin sedang mengincar mereka berdua.  

Aroma horor belum terendus di menit-menit pertama film. Titik lontar Under the Shadow sedikit banyak mengingatkan kita ke tontonan drama buatan Asghar Farhadi, semisal A Separation, yang mengetengahkan pada pertikaian pasangan berskala domestik. Teror yang mendera karakter utama di paruh ini tidaklah berelemen supranatural nan menggedor jantung, melainkan lebih ke psikis akibat rongrongan lingkungan sekitar yang tidak ramah pada perempuan. Ya, Shideh telah dikondisikan dalam posisi tercekam sejak Babak Anvari mulai menggulirkan narasinya. Disamping misil dari Irak yang rutin dikirim untuk menerjang Tehran (which is, ini adalah teror bagi seluruh penduduk yang masih bertahan), Shideh dikungkung oleh ketidaknyamanan lainnya. Pertama, fakta bahwa dia tidak mungkin lagi mewujudkan mimpinya menjadi dokter karena keterlibatannya dengan kelompok sayap kiri penentang pemerintah pada beberapa tahun silam. Dan kedua, sang suami meragukan kompetensinya sebagai seorang ibu. Kedua perkara ini adalah teror bagi Shideh belum lagi ditambah peraturan bersifat opresif dari pemerintah Iran terkait penggunaan hijab di ruang publik yang di suatu waktu malah menambah beban masalah Shideh. Guna melepas stres, Shideh kerap kali diperlihatkan berolahraga mengikuti instruksi dari Jane Fonda melalui video yang diputar di VCR hanya mengenakan tank top yang ironisnya termasuk bentuk pelanggaran lain menurut undang-undang pemerintah (VCR terhitung barang ilegal kala itu). 

Anvari mendayagunakan elemen drama ini sebagai corongnya untuk menyuarakan keresahan-keresahannya terhadap para perempuan yang menghadapi diskriminasi gender, selain tentunya demi membentuk karakterisasi dari dua tokoh utamanya agar membentuk ikatan emosi dengan penonton. Bagi penonton yang hanya ingin ditakut-takuti seraya mencemil berondong jagung tanpa mau ribet, laju film ini mungkin akan bermasalah. Cenderung lambat, seringkali sunyi, namun sejatinya tidak pernah berasa menjemukan lantaran rentetan konfliknya mengusik pikiran dengan komentar-komentar sosialnya yang masih terdengar sangat relevan dan performa brilian kedua pelakon utamanya memustahilkan kita untuk masa bodoh pada apa yang mereka alami. Penonton sangat bisa terhubung dengan masing-masing tokoh. Narges Rashidi memberi potret meyakinkan sebagai perempuan tangguh yang mengalami tekanan dari lingkungan di sekitarnya. Amarahnya, kegelisahannya, sampai ketakutannya tersalurkan sangat baik lewat air muka. Begitu juga Avin Manshadi yang memerankan putrinya, menunjukkan performa sangat kuat dalam debut aktingnya. Tatapan matanya mampu berbicara banyak; kadang menunjukkan ketakutan, kebingungan, kadang pula memberi sinyal kejengkelan luar biasa pada sang ibu. Rasa-rasanya apabila Oscars mempunyai kategori Pemain Cilik Terbaik, mungkin saja dia terdaftar sebagai salah satu nomine. Yup, she’s that good

Sekalipun Under the Shadow menaruh perhatian teramat tinggi pada lantunan dramatiknya, Anvari tidak lupa menunaikan tugasnya untuk turut mendorong munculnya rasa takut penonton. Ada satu dua jumpscares berdaya sentak mencukupi disertakan olehnya yang akan membuatmu terlonjak dari kursi bioskop, namun bagi saya secara personal, ketakutan lebih banyak diperoleh dari permainan atmosfir atau masa-masa saat si lelembut tidak menunjukkan rupanya ke penonton. Ketika Shideh merasakan adanya ketidakberesan di tempat tinggalnya tapi tak bisa benar-benar mengonfirmasi apakah memang ada makhluk lain di dekatnya seperti berulang kali diutarakan Dorsa atau itu hanya ilusi belaka hasil dari tekanan demi tekanan. Terlepas dari apapun jawabannya, penonton berada di fase terteror sesuatu yang bersifat supranatural. Mengerikannya, ini seperti ketika kita sedang berada di rumah atau kos sendirian (yup, tak ada seorangpun!) lalu menyadari adanya keganjilan sulit terjelaskan dan kita tidak bisa memastikannya entah karena pandangan mata terbatas atau sekadar ulah dari imajinasi yang kelewat liar. Rasa takutnya ada di level berbeda. Ya, karena mengetahui ada sesuatu yang salah tetapi tidak bisa melihatnya itu seringkali lebih menyeramkan ketimbang dapat mendeteksi secara jelas dimana letak kesalahannya. Cara inilah yang ditempuh Anvari dalam mempermainkan ketakutan penontonnya di Under the Shadow dan harus diakui, itu sangatlah jitu!

Outstanding (4/5)

Jumat, 18 November 2016

REVIEW : FANTASTIC BEASTS AND WHERE TO FIND THEM

REVIEW : FANTASTIC BEASTS AND WHERE TO FIND THEM


“Yesterday, a wizard entered New York with a case. A case full of magical creatures. And unfortunately, some have escaped.” 

Gagasan mengalihrupakan buku Fantastic Beasts and Where to Find Them hasil tulisan J.K. Rowling (menggunakan nama samaran Newt Scamander) ke medium audio visual sebetulnya sudah terdengar maksa, apalagi merentangkannya menjadi franchise baru dengan total jenderal lima seri. Jelas sudah jauh lebih gila pula ambisius dari The Hobbit tempo hari. Pasalnya, Fantastic Beasts bukanlah berbentuk novel konvensional yang didalamnya mengandung plot runtut melainkan sebuah ensiklopedia mini berisi panduan atas satwa magis yang dijadikan buku teks wajib bagi siswa-siswi Hogwarts. Jadi pertanyaannya adalah, akankah versi filmnya berceloteh mengenai petualangan si pengarang dalam berburu binatang-binatang fantastis ini seperti, errr... Pokemon? Bisa jadi. Pun demikian, segala bentuk skeptisisme terhadap spin-off sekaligus prekuel bagi kedelapan seri film Harry Potter ini perlahan tereduksi begitu dikonfirmasi bahwa J.K. Rowling ikut turun tangan secara langsung sebagai penulis skrip. Keterlibatan ibunda, disamping sedikit banyak memberikan jaminan bahwa Fantastic Beasts tidak akan melenceng jauh dari jalurnya, juga membantu meningkatkan excitement di kalangan Potterhead karena ini kesempatan emas untuk bernostalgia pula mengeksplor lebih jauh wizarding world dalam semesta Harry Potter rekaan Rowling. 

Fantastic Beasts melempar kita jauh ke pertengahan dekade 20’an – atau 70 tahun sebelum peristiwa di Harry Potter and the Sorcerer’s Stone – dengan fokus penceritaan diletakkan pada seorang zoologist satwa ajaib bernama Newton Scamander (Eddie Redmayne) yang melakukan penjelajahan mengarungi berbagai belahan dunia guna menemukan hewan-hewan magis. Di jilid pertama ini, Newt menyambangi The Big Apple. Beberapa saat setelah menjejakkan kaki di New York, Newt dihadapkan pada suatu insiden yang menyebabkan kopernya tertukar dengan seorang No-Maj (sebutan bagi Muggle, manusia biasa tanpa kekuatan sihir, di Amerika), Jacob Kowalski (Dan Fogler). Koper Newt bukan sembarang koper, saudara-saudara. Ini semacam portal ke dimensi lain yang didiami satwa-satwa magis ‘peliharaan’ si empunya koper. Maka alangkah paniknya tatkala benda tersebut menghilang dari pandangannya dan terlebih lagi, beberapa penghuninya melepaskan diri. Mengingat situasi di New York tengah tidak kondusif bagi para penyihir dengan munculnya grup ekstrimis ‘Salem Kedua’ yang menentang keberadaan penyihir, Newt dibantu oleh Tina (Katherine Waterston), mantan Auror di Magical Congress of the United States of America, dan Jacob, harus berpacu waktu untuk mengumpulkan kembali satwa-satwa yang terlepas sebelum situasi dan kondisi semakin merunyam. 

Film telah menguarkan aroma magis familiar yang kuat sedari menit-menit pertama dengan penampakkan surat kabar dunia sihir dengan foto-foto bergeraknya. Tak berselang lama, tanpa banyak berbasa-basi, penonton langsung digiring mengikuti adegan kejar-mengejar mengasyikkan tatkala seekor Niffler (menyerupai possum secara bentuk fisik) menyelinap keluar dari koper Newt, berburu benda-benda berkilauan di bank, dan membuat Newt terpontang-panting dalam upayanya menangkap sekaligus menahan perhatian dari kaum No-Maj. Harus diakui, perburuan si tokoh utama atas para satwa yang berlari-larian di sekitar kota New York merupakan salah satu bagian terbaik dari film. Selain Niffler, Newt juga harus menangkap beberapa hewan lain seperti Erumpent (mirip badak bercula satu) dan Occamy (perpaduan burung dengan ular) yang masing-masing menghadirkan momen mendebarkan, bernuansa magis, serta berbalut gelak tawa. Pemicunya, selain tingkah laku dari para satwa itu sendiri, reaksi Jacob terhadap hal-hal ajaib yang belum pernah dilihatnya sebelumnya pun priceless. Ya, sosok Jacob yang tidak lain yakni Muggle pertama dengan peran krusial di lini utama dalam franchise Harry Potter memang dimanfaatkan sebagai comic relief bagi Fantastic Beasts. Keberadaannya yang senantiasa memberikan keceriaan ke nada film merupakan salah satu faktor mengapa Fantastic Beasts terasa segar untuk disimak. 

Sementara di paruh awal Fantastic Beasts seringkali menghidupkan setelan mode ‘cerah’ seperti dua jilid pertama film Harry Potter, David Yates yang juga menangani empat jilid terakhir Harry Potter lantas mengaktifkan tone ‘suram’ seperti halnya seri ketiga sampai akhir di paruh sisanya seiring kian terdeteksinya ancaman. Fantastic Beasts bukan semata-mata berceloteh mengenai perjuangan Newt dalam mengumpulkan kembali piaraannya karena gambaran lebih besarnya adalah perkara klasik dari franchise ini; pertarungan antara kubu putih dengan kubu hitam. Sejatinya penonton telah bisa mengendusnya dari awal mula melalui eksistensi Salem Kedua dan satu dua karakter ambigu, namun Yates bersama Rowling baru benar-benar menaruh fokus ke guliran penceritaan yang kentara terasa merupakan pijakan awal dari intrik utama di franchise ini usai Newt menuntaskan ‘misi kecilnya’. Saya tidak akan menyebutkan secara spesifik pertentangan apa (dan siapa) yang dihadapi oleh Newt demi menjaga ketertarikanmu terhadap film, satu petunjuk yang bisa disebar adalah ada kemunculan kekuatan jahat berwujud Obscurial. Plot dalam pergulatan dengan sisi gelap sendiri sejatinya terbentuk dari ide dasar yang generik – sedikit banyak melemparkan ingatan ke seri-seri awal Harry Potter – namun pengolahan Rowling dan Yates membuatnya tetap mempunyai daya pikat maupun daya sentak. Malah, hasil akhirnya juga memberi daya sentuh ke emosi penonton. 

Memperoleh bala bantuan dari sang kreator bisa dikata membawa keuntungan tersendiri bagi Fantastic Beasts. Penceritaannya melaju cukup mulus – pembentukan world building-nya di era Roaring Twenties tertata rapi dan pendeskripsian barisan karakternya juga menarik – dengan perpaduan dua warna film yang bertolak belakang serasa saling melengkapi. Dampaknya, durasi sepanjang dua jam pun berlangsung cepat, mengikat, serta menyenangkan. Tidak sekalipun momen-momen menjemukan menyergap sepanjang berlangsungnya Fantastic Beasts malahan setiap menitnya terasa kian menyenangkan dan menyenangkan. Ndilalah, para pelakon yang direkrut untuk ambil bagian disini pun sadar akan tanggung jawab masing-masing. Eddie Redmayne begitu menyatu dengan sosok Newt yang canggung – membuktikan bahwa dia adalah salah satu aktor terbaik Britania Raya dewasa ini, lalu Katherine Waterston yang mengisi peran utama perempuan pertama di franchise (catatan, Hermione berada di posisi pendukung) menunjukkan kemesraan bersama Redmayne, sedangkan duo Dan Fogler beserta Alison Sudol yang merupakan versi lebih konyolnya Ron-Hermione pun tampil sesuai porsi tanpa pernah mendistraksi. Mereka bersatu padu dengan iringan musik membius dari James Newton Howard dan efek khusus mengagumkan yang lihai memvisualisasikan keajaiban wizarding world-nya Rowling maupun New York era 20-an, sehingga hasilkan tontonan fantasi menggelegar yang akan seketika menghapus keraguan terhadap dicetuskannya lima seri sekaligus menyulut ketidaksabaran penonton untuk sesegera mungkin mencicipi jilid selanjutnya dari Fantastic Beasts

Outstanding (4/5)