Tampilkan postingan dengan label arul fittron. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arul fittron. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

THE GIFT (2018) REVIEW : Pemandu Perjalanan Memaknai Ulang Pesan
Tentang Cinta

THE GIFT (2018) REVIEW : Pemandu Perjalanan Memaknai Ulang Pesan Tentang Cinta


Setelah sibuk mengurusi proyek mega besar, Hanung Bramantyo secara tak disangka hadir menawarkan sesuatu yang baru tahun ini. Proyek film terbarunya ini digadang menjadi sebuah proyek yang personal baginya. Lewat film terbaru inilah, Hanung Bramantyo memberikan klaim bahwa ini adalah salah satu karyanya di mana dirinya bisa menjadi dirinya sendiri dan bebas. Lantas, dengan trailer saja, tentu calon penonton tahu bahwa film ini akan sedikit berbeda

The Gift, proyek film dari Hanung Bramantyo ini dibintangi oleh tiga deretan artis yang sudah memiliki rekam jejak yang baik. Mulai dari Dion Wiyoko, Ayushita Nugraha, Reza Rahadian, hingga Christine Hakim mau memberikan kontribusinya terhadap karya terbaru film Hanung Bramantyo ini. Meski baru saja dirilis di bulan Mei ini, The Gift telah memiliki kesempatan untuk dinikmati penontonnya lewat sebuah film festival di kota Yogyakarta.

Hanung Bramantyo yang biasa mengusung sebuah ide yang besar dalam film-filmnya, tentu sangat penasaran dengan The Gift dalam presentasinya. Terlebih, lewat trailer pun penonton bisa tahu bahwa Hanung Bramantyo memiliki pendekatannya yang berbeda dibanding dengan karya-karya sebelumnya. Pendekatannya yang berbeda inilah yang ternyata menjadi amunisi senjata di dalam filmnya. The Gift tentu menjadi sebuah sajian yang segar di antara film-film Hanung sebelumnya.


Hanung Bramantyo benar-benar memperhatikan betul komposisi di dalam film The Gift ini sehingga bisa menjadi sebuah sajian yang sangat pas. Tak perlu dialog dan performa aktor-aktrisnya yang meluap-luap, tetapi The Gift sangat mampu untuk mengajak penontonnya merasakan perjalanan memaknai ulang apa itu cinta dan kasih sayang dengan pion-pion karakternya yang juga sedang kehilangan kepercayaan terhadap makna cinta yang sesungguhnya.

Inilah The Gift, medium di mana Hanung Bramantyo berani untuk bereksplorasi lebih tentang sensitivitasnya dalam mengarahkan sebuah film. Lewat film inilah, Hanung Bramantyo membuktikan bahwa dirinya tak hanya bisa mengarahkan sebuah film dengan ide yang besar. Semua komposisi pengarahan dari Hanung Bramantyo di dalam film The Gift ini adalah perkara rasa. Lantas, hal ini akan berkorelasi secara signifikan dengan karakter-karakter yang ada di dalam film The Gift ini.



The Gift mengajak menyelami bagaimana Tiana (Ayushita Nugraha), seorang novelis yang ingin sekali lagi berkarya di dalam hidupnya. Dalam caranya untuk berkarya, Tiana berusaha mengeksplorasi dirinya ke tempat-tempat baru dalam hidupnya dan tibalah dia di sebuah kota usang yang dipermak ulang yaitu Yogyakarta. Tinggal di sebuah lingkungan yang cukup kecil, Tiana bertemu dengan laki-laki misterius bernama Harun (Reza Rahadian).

Perkenalan awal mereka tak berjalan dengan baik, hingga akhirnya Harun berusaha mengajaknya sarapan untuk mengenal lebih jauh siapa Tiana. Harun adalah seorang pemuda tuna netra yang masih harus menjaga sikapnya yang tempramental. Tetapi, tak berlangsung begitu lama, Tiana merasa memiliki koneksi yang kuat dengan Harun. Hingga akhirnya, seseorang dari masa lalu Tiana bernama Arie (Dion Wiyoko) datang kepadanya dan berusaha memenangkan hati Tiana.


Dengan perjalanan cerita tersebut, The Gift memang masih menyadur konflik cinta segitiga yang usang. Hanya saja, The Gift tak akan semudah itu berhenti di formulanya yang usang. Naskahnya tak berhenti memposisikan film ini sebagai drama cinta saja, tetapi juga ada usaha untuk mendalami kata ‘cinta’ sehingga memiliki makna yang jauh lebih luas. Caranya adalah dengan menggali lebih lagi perkembangan setiap karakternya sehingga pesan yang disampaikan bisa lebih tepat sasaran.

Dengan durasinya yang mencapai 118 menit, penonton disuguhi perjalanan karakter Tiana, Harun, dan Arie yang sama-sama memiliki problematikanya memaknai kata cinta. Penuturan Hanung Bramantyo kali ini lebih berusaha mendekatkan ketiga karakternya kepada penonton. Sehingga, setiap karakternya punya ruang untuk berkembang dan dekat kepada penontonnya. Pada akhirnya, simpati penonton adalah hal yang sangat diharapkan dari film The Gift agar bisa mendapatkan efek yang kuat di narasi akhirnya nanti.


Hanung juga dengan rapi menutupi narasi akhirnya yang sengaja disimpan. Sehingga, ketika narasi akhir tersebut berhasil disampaikan, penonton bisa merasakan perasaan getir yang sangat kuat. Setiap menitnya memiliki cita rasa romantis yang muncul sangat sederhana tetapi begitu personal dan punya kekuatannya untuk bisa merasuk ke dalam hati penontonnya. Hal inilah yang membuat The Gift menjadi sebuah persembahan yang berbeda dibandingkan dengan film-film Hanung sebelumnya.

Lewat The Gift, Hanung Bramantyo terasa benar untuk membebaskan dirinya. Bertutur dengan lebih jujur dan berusaha menawarkan sesuatu yang lebih hangat kepada penontonnya. Hal ini diperkuat lewat bagaimana Hanung berusaha menguatkan kesan intimasi tersebut lewat tata gambarnya yang elok. Belum lagi dipercantik dengan warna-warnanya yang menghangatkan mata dan suara musik yang mengalun cantik agar memperkuat sisi manisnya film ini.


Meskipun ada beberapa kebebasan dari Hanung Bramantyo yang akhirnya terbatasi karena masalah durasi. The Gift masih punya cukup banyak amunisi yang membuat dirinya bisa menjadi salah satu karya terbaik dari sutradara satu ini. Belum lagi, nyawa dari film ini sejatinya adalah performa dari ketiga nama utama yang mampu mengajak penonton berinterpretasi ulang atas makna tentang cinta. Ketiganya mampu menjadi sosok karakter yang belum sempurna betul memaknai sebuah kasih sayang yang datang pada dirinya dan The Gift akan menjadi pemandu yang pas untuk memaknai itu.


ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

 
Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di bawah naungan MD Pictures. Begitu pula dengan Risa Sarasvati yang juga berusaha mengeksplorasi genre adaptasi bukunya dari cerita horor ke cerita drama romantis. Kesuksesan Risa Sarasvati dengan MD Pictures lewat Danur, tentu dengan mudah MD Pictures percaya dengan karya-karya yang dihasilkan lewat bukunya.

Ananta, sebuah karya romantis milik Risa Sarasvati yang diadaptasi oleh MD Pictures yang dipercayakan proyeknya kepada Rizki Balki. Sebagai sutradara, Rizki Balki sudah pernah menangani film drama remaja milik MD Pictures juga berjudul Beauty And The Best. Ananta tentu sangat bertumpu dengan kehadiran wajah Michelle Ziudith yang sudah berpengalaman dengan film-film serupa dan didampingi dengan Fero Walandouw dan juga Nino Fernandez.

Alim Sudio berperan untuk mengadaptasi tulisan buku milik Risa Sarasvati ke dalam sebuah naskah. Dirinya juga sudah berpengalaman dalam mengadaptasi buku-buku remaja serupa lewat film A : Aku, Benci, Cinta. Lewat film Ananta, naskah adaptasi yang dilakukan oleh Alim Sudio berhasil menjadi poin utama di dalam filmnya yang berdurasi 90 menit. Dengan adanya hal tersebut, Ananta berhasil menjadi sebuah sajian film drama romantis Indonesia yang manis untuk disaksikan.


Menceritakan tentang Tania (Michelle Ziudith), seorang remaja perempuan yang sering dianggap aneh oleh teman-temannya karena dirinya yang sangat anti sosial. Meski begitu, Tania mempunyai bakat menggambar yang sangat luar biasa. Dengan menggambar itulah, Anantabisa bertahan karena dirinya terserap oleh dunia yang dibuatnya sendiri. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan sosok yang bisa membuatnya mau untuk mengenal dunia sekitarnya.

Sosok itu adalah seorang laki-laki bernama Ananta Prahadi (Fero Walandouw). Dia adalah anak baru di sekolah Tania dan tak sengaja bertemu di ruang guru kala itu. Ananta berusaha mendekati Tania yang sangat tak mau untuk berinteraksi dengan orang lain. Ananta menemukan kelemahan Tania yang tak tahan dengan menu nasi kerak dan obrolan tentang lukisannya. Semenjak itulah, Ananta dan Tania menjadi dekat satu sama lain.


Sebagai sebuah film drama romantis Indonesia, Ananta memang masih terjebak dengan segala tanda yang bisa dikategorikan sama dengan film-film serupa. Membahas tentang kehilangan yang dikemas dengan cara yang sama dan tak bisa menjadi sesuatu yang segar di dalam genrenya. Tetapi secara mengejutkan, dibalik caranya yang sama dalam mengemas dan menceritakan hal tersebut, Anantaberhasil menunjukkan performanya yang pas sehingga film ini masih sangat bisa dinikmati dibanding dengan film-film serupa.

Naskah adaptasinya adalah bintang utama dari film Ananta ini sendiri. Naskah milik Alim Sudio berhasil menangkap ceritanya yang awalnya mendayu-dayu tetapi berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tetapi, tak lupa untuk tetap tahu menempatkan momen-momen romantis yang bisa membawa perasaan penontonnya selama 90 menit. Sayangnya, Rizki Balki tak berusaha untuk memberikan sesuatu yang lebih agar Ananta bisa menggali perasaan penontonnya lebih dalam lagi.

Ananta memiliki beberapa karakter yang bisa memberikan rasa keterikatan yang bisa lebih kuat lagi kepada penontonnya. Sayangnya, Rizki Balki nampak masih malu untuk mengenalkan karakter-karakter lainnya dengan lebih baik. Sehingga, Ananta mungkin memiliki linimasa yang cukup melompat dari satu adegan ke adegan lainnya. Rizki Balki nampaknya tahu kapabilitasnya sehingga dengan menuturkan cerita utama dari film ini akan jauh lebih bijaksana dibanding berusaha keras untuk mengatasi hal lainnya.


Kesederhanaan tujuan dari Rizki Balki inilah yang ternyata membuat film Ananta punya porsinya yang sangat pas untuk bisa dinikmati oleh segmentasi penontonnya. Rizki Balki mampu menghadirkan suasana mendayu yang mendukung keromantisan yang ada di film Ananta. Tetapi, unsur komedi yang diselipkan di dalam naskahnya agar film Anantatetap bisa menghibur juga masih mampu ditranslasikan dengan baik olehnya.

Bintang lain yang perlu disoroti di dalam film ini adalah penampilan dari Michelle Ziudith yang meskipun masih berkutat di genre serupa tetapi bisa memaksimalkan potensinya. Michelle Ziudith berhasil memerankan sosok Tania yang memang anti sosial lewat gerakan tubuh dan matanya yang sesuai dengan karakterisasi Tania sesungguhnya. Pun, mampu dengan sangat kuat membangun ikatan hubungan dengan lawan mainnya, Fero Walandouw.

Film Ananta bukanlah film pertama dari Fero Walandouw. Tetapi, performanya di dalam film Ananta ini membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi wajah baru yang sangat potensial di perfilman Indonesia. Ikatan yang terjalin begitu kuat antara Fero Walandouw dan Michelle Ziudith ini akan berdampak kepada penontonnya. Dengan begitu, suasana romantis, gemas, sekaligus sedih bisa dengan mudah tergambar dan dengan mudah membawa penonton hanyut ke dalamnya.


Meskipun, paruh ketiga di dalam film Ananta ini masih memiliki konklusi yang bisa membuat geleng kepala. Tetapi, film Ananta ditutup dengan performa Michelle Ziudith yang sangat emosional serta epilog yang manis sehingga kekurangan tersebut mampu tertutupi dengan hal-hal terbaik di dalam filmnya. Pun, sepanjang film Anantaini penonton juga sudah disuguhi dengan warna sinematografi yang pas dengan penuturan kisah Tania dan Ananta yang manis namun tak biasa itu.

JURASSIC WORLD : FALLEN KINGDOM (2018) REVIEW : Ekspansi Dunia Yang
Hilang Kemagisannya

JURASSIC WORLD : FALLEN KINGDOM (2018) REVIEW : Ekspansi Dunia Yang Hilang Kemagisannya


Meneruskan kembali sebuah warisan legendaris memang tak semudah itu. Menyandang nama besar tentu akan membuat sebuah film mampu dikenal lebih cepat oleh khalayak luas. Inilah yang terjadi dengan franchise dunia dinosaurus yang awalnya dibangun oleh Steven Spielberg yang berdasarkan novel Michael Crichton, Jurassic Park. Di era sekarang, franchise ternama ini sudah diremajakan dengan nama Jurassic World yang tetap disupervisi oleh Steven Spielberg.

Kesuksesan secara angka dengan mudah diraih oleh Jurassic World yang diarahkan oleh Colin Trevorrow. Sehingga, Universal Pictures dengan mudah memberikan lampu hijau agar franchise ini tak berhenti begitu saja. Tahun ini, Jurassic World kembali hadir dengan sutradara baru yaitu J.A. Bayona dan mengekspansi dunianya dengan film keduanya berjudul Jurassic World : Fallen Kingdom. Meski tak lagi mengarahkan, Colin Trevorrow tetap andil dalam penulisan naskahnya dibantu oleh oleh Derek Connolly.

Kesuksesan seri dari Jurassic World ini tentu saja memerlukan kedua pemain utamanya, Chris Pratt dan juga Bryce Dallas Howard dan keduanya kembali hadir di sekuel tersebut. Kebutuhan Jurassic World : Fallen Kingdom untuk mengekspansi dunianya perlu mendapatkan tambahan karakter lainnya sehingga film ini pun akan semakin ramai. Hanya saja dengan ekspansi dunianya yang semakin besar, tak membuat Jurassic World : Fallen Kingdom tahu caranya yang tepat


Kembali melanjutkan linimasa cerita dari serinya yang pertama, Jurassic World : Fallen Kingdom menceritakan ketika Claire (Bryce Dallas Howard) berusaha untuk menyelamatkan para dinosaurus di Isla Nublar karena kondisi alam yang ada di sana yang tak lagi memadai. Sayangnya, kegiatan tersebut dianggap ilegal oleh pemerintah. Hingga suatu saat, Claire ditawari oleh seseorang utusan dari Benjamin Lockwood (James Cromwell) untuk menyelamatkan mereka.

Tahu akan penawaran ini, Claire pun butuh bantuan banyak orang mulai dari organisasi penyelamat hewan hingga salah satu pegawai Jurassic World. Orang tersebut adalah Owen Grady (Chris Pratt) yang memang memiliki kedekatan dengan salah satu jenis dinosaurus di sana. Di tengah usaha penyelamatan dinosaurus di Isla Nublar, Claire melihat ada penyimpangan tujuan utamanya. Ternyata, ada beberapa oknum yang berusaha untuk mengambil keuntungan dari dinosaurus-dinosaurus tersebut.


Dengan plot cerita demikian, Jurassic World : Fallen Kingdom seharusnya memiliki potensi untuk memberikan ekspansi dunia dengan cara yang menarik. J.A. Bayona terlihat sangat berusaha mengarahkan Jurassic World : Fallen Kingdom sekuat tenaga agar bisa memberikan performa yang kuat. Tetapi, ketidaktepatan Jurassic World : Fallen Kingdom terletak pada lemahnya penulisan naskah oleh Colin Trevorrow dan juga Derek Connolly.

Jurassic World : Fallen Kingdommemiliki performa yang sangat bisa dinikmati di satu jam pertama filmnya. Dalam satu jam tersebut, Jurassic World : Fallen Kingdom tahu untuk memanfaatkan potensi-potensinya. Mulai dari visual efek yang luar biasa, letupan komedi yang sesuai takarannya, hingga bagaimana Jurassic World : Fallen Kingdomdi satu jam pertama pun bisa memaksimalkan kekuatan nostalgia sehingga penonton bisa merasakan kembali pengalaman pergi ke Isla Nublar dengan baik.

Sayangnya, ambisi menggebu-gebu Colin Trevorrow dan Derek Connolly dalam mengekspansi franchise ini tak lagi bisa berada di jalan yang tepat. Banyak sekali plot cerita yang saling tumpang tindih dan ingin sekali untuk diceritakan. Sehingga, perjalanan Jurassic World : Fallen Kingdom tak lagi bisa fokus dengan jalan utamanya. Hal inilah yang malah membuat performa Jurassic World di satu jam berikutnya tak lagi terasa menggiurkan untuk diikuti.


Munculnya karakter-karakter baru di dalam film ini pun tak memiliki urgensi yang kuat untuk hadir menguatkan performa filmnya. Sehingga di durasinya yang mencapai 125 menit, Jurassic World : Fallen Kingdom nampak masih tak efektif untuk menuturkan segala poin ceritanya karena terlalu banyak informasi yang ingin disampaikan. Pun, adanya perpindahan mood cerita yang tak lagi tampak sama dengan apa yang hadir di satu jam pertamanya.

Jurassic World : Fallen Kingdomberusaha untuk memberikan penonton sebuah pengalaman serupa yang hadir di film kedua Jurassic Park, yaitu The Lost World. Serta memiliki tujuan untuk memberikan perubahan untuk menjadi lebih baik. Sayangnya, Jurassic World : Fallen Kingdom pun akhirnya malah jatuh ke dalam kesalahan yang sama seperti dengan The Lost World. Tak memiliki rasa magis yang sama dengan seri pendahulunya meski telah memiliki babak penceritaan baru


Ekspansi dunia Jurassic World : Fallen Kingdom pun tampak tak begitu kentara berkat performanya yang tak lagi prima seperti pendahulunya. J.A. Bayona sudah sangat berusaha menutupi berbagai cabang cerita yang menjadi problematika di film ini agar sedikit lebih baik. Sehingga, di beberapa bagian dari Jurassic World : Fallen Kingdom masih memiliki intensitas ketegangan dan emosional yang pas. Hal ini sudah menjadi ciri khas J.A. Bayona di beberapa film-film yang pernah dia arahkan sebelumnya.

Setidaknya yang tertinggal di Jurassic World : Fallen Kingdom adalah konklusi akhir cerita yang bisa membuat orang bertanya-tanya apa yang akan terjadi di film selanjutnya. Sehingga, Jurassic World : Fallen Kingdom hanya akan menantikan performa box office yang gemilang saja. Karena hanya itulah saja harapan untuk franchise film ini agar mendapatkan lampu hijau untuk melakukan ekspansi di film selanjutnya dan semoga saja bisa jadi lebih baik.
OCEAN’S 8 (2018) REVIEW : Tempat Para Aktris Terkenal Bersenang-senang

OCEAN’S 8 (2018) REVIEW : Tempat Para Aktris Terkenal Bersenang-senang

 
Sebuah film bertema perampokan dengan artis perempuan sebagai para pelakunya? Hal ini mungkin akan sangat segar dilakukan perfilman Hollywood saat ini. Inilah yang berusaha dilakukan oleh Warner Bros Pictures bersama dengan sutradara Gary Ross untuk mengembalikan keluarga Ocean kembali ke layar lebar. Tak ada George Clooney, Brad Pitt, dan Matt Damon, kali ini kehormatan keluarga Ocean berada di tangan para perempuan tangguh untuk merampok harta berharga di Amerika.

Inilah dia proyek bernama Ocean’s 8 yang sangat ambisius mengedepankan nama-nama aktris besar dari Sandra Bullock, Cate Blancett, Anne Hathaway hingga Rihanna untuk melakukan tindakan kriminal. Ocean’s 8 bisa dibilang bukanlah sebuah reboot, tetapi menceritakan sisi lain dari keluarga Ocean yang berbeda. Setelah George Clooney yang berperan sebagai Danny Ocean di Ocean’s trilogy milik Steven Soderbergh. Kali ini, Ocean’s 8 akan menyorot kehidupan Debbie Ocean yang juga sama-sama memiliki rencana untuk mendapatkan sesuatu yang besar.

Meski dengan sutradara yang berbeda, Ocean’s 8 tentu sangat diminati banyak orang hanya berkat nama-nama besar yang terlibat di dalam filmnya. Ocean’s 8 ini sepertinya tetap memberikan sebuah film hiburan yang ringan dan seru untuk dinikmati oleh penontonnya. Akan tetapi, teknik pengarahan dari Gary Ross yang tak bisa sekuat apa yang dilakukan oleh Steven Soderbergh bisa mengurangi performa Ocean’s 8 yang berpotensi lebih prima.


Babak penceritaan dari Ocean’s 8pun bisa dikategorikan bermain aman. Tak ada yang segar dalam babak penceritaan dari Ocean’s 8 ini. Naskah yang juga ditulis oleh Gary Ross bersama dengan Olivia Milch ini tak bisa mengeksplorasi trik-trik pencurian baru di dalam genre filmnya. Naskah milik Ocean’s 8 hanya mengulangi formula-formula yang sama yang dimiliki oleh film Ocean’s Trilogy sebelumnya atau film-film bertema serupa.

Ocean’s 8 menceritakan tentang seorang perempuan paruh baya bernama Debbie Ocean (Sandra Bullock) yang baru saja keluar dari penjara karena telah melakukan pencurian. Tetapi, hal itu tak membuat dirinya kapok dan berhenti melakukan kegiatan tersebut. Debbie merencanakan sebuah tindak kriminal baru dengan mengajak rekan yang sudah dirinya kenal lama yaitu Lou (Cate Blanchett). Mereka akan mencuri sebuah perhiasan termahal yang ada di New York.

Sayangnya, rencana ini tak bisa mereka lakukan berdua saja. Debbie dan Lou merekrut banyak perempuan-perempuan kriminal lainnya untuk ikut andil dalam rencana ini. Mulai dari teman lama mereka bernama Tammy (Sarah Paulson), seorang peretas canggih bernama Nine Ball (Rihanna), hingga seorang mantan desainer terkenal bernama Rose Weil (Helena Bonham Carter). Mereka akan mencuri sebuah perhiasan bernilai jutaan dolar yang akan dipakai oleh seorang aktris, Daphne Kruger (Anne Hathaway).


Dengan formula cerita yang diadaptasi dari beberapa film dengan tema serupa memang tak ada salahnya jika bisa dikemas dengan baik pula. Sayangnya, Gary Ross masih tak bisa memaksimalkan potensi yang ada di dalam Ocean’s 8 sehingga bisa tampil dengan performa yang juga bisa mencuri perhatian. Ocean’s 8 terjebak dalam penuturan cerita yang tak istimewa tak seperti nama-nama yang ikut serta di dalam film ini.

Paruh awal dari Ocean’s 8ini belum bisa menemukan ritmenya yang pas. Sehingga, beberapa motif dan latar belakang cerita dari setiap karakter di dalam film ini tak bisa disampaikan dengan baik. Terlebih, kedelapan karakter perempuan di dalam film ini punya perannya masing-masing. Sehingga, akan lebih baik jika penonton pun juga bisa ikut kenal dan simpati dengan setiap karakternya. Dengan durasinya yang mencapai 115 menit, Ocean’s 8 hanya berputar di tempat.


Gary Ross nampaknya ragu untuk mengeksplorasi dan mengembangkan potensi dari Ocean’s 8 hingga mencapai titik puncaknya. Banyak sekali pesan yang berusaha disampaikan tak bisa diterima utuh oleh penontonnya. Perlu waktu bagi Gary Ross untuk bisa menyampaikan apa yang dirinya mau kepada penonton. Beruntungnya, di paruh kedua film ini, Gary Ross bisa memberikan tempo yang jauh lebih pas dibandingkan dengan satu jam awalnya.

Setelah cerita fokus ke rencana pencurian, barulah Ocean’s 8 bisa mengeluarkan kekuatannya sehingga dapat menghibur penontonnya. Meski tak ada yang baru dengan rencana pencuriannya, tetapi Gary Ross masih bisa mengemasnya dengan takaran yang pas. Sehingga, saat rencana pencurian berlangsung, penonton bisa juga ikut bersenang-senang dengan apa yang dilakukan oleh para pemeran perempuan yang ada di dalam film ini.


Meskipun, beberapa cerita yang tak meyakinkan di awal bisa membuat pelaksanaan pencurian ini tak bisa semencengkram yang semestinya. Tetapi, bagaimana Sandra Bullock, Cate Blanchett, Sarah Paulson, Anne Hathaway, Mindy Kailing, Rihanna, Helena Bonham Carter, dan Awkwafina bisa terlihat sangat senang bermain di dalam film ini bisa menutupi kekurangan Ocean’s 8. Kesenangan para ensemble cast film ini bisa disalurkan menjadi sebuah performa yang keren dan memiliki kharismanya yang kuat. Serta inilah nyawa dari film ini sehingga bisa menghibur penontonnya.

INCREDIBLES 2 (2018) REVIEW : Paket Liburan Keluarga Yang Seru

INCREDIBLES 2 (2018) REVIEW : Paket Liburan Keluarga Yang Seru

 
Bagi yang pernah menonton The Incredibles, terlebih bagi mereka yang saat itu menontonnya di tahun 2004, pasti akan sangat menantikan kelanjutan dari adegan dari terakhirnya. Setelah banyak pergantian tahun dan sekuel-sekuel dari film-film animasi Pixar lainnya, akhirnya Pixar sadar untuk memberikan jawaban atas adegan kota yang porak poranda di akhir The Incredibles. Berselang 14 tahun, bagi para penggemar The Incredibles tentu saja ini waktu cukup lama.

Sebuah pernyataan datang dari Brad Bird bahwa sekuel dari film ini tak ingin dibuat sembarangan. Oleh karena itu, Brad Bird membutuhkan waktu yang lama hingga akhirnya Incredibles 2hadir untuk menyapa penontonnya di tahun 2018 ini. Brad Bird mengumpulkan kembali nama-nama yang pernah mengisi suara keluarga Mr. Incredibles dan rekannya. Bahkan membuat sebuah karakter baru demi perkembangan cerita di Incredibles 2 yang lebih baik.

Meski memiliki jeda selama 14 tahun, Brad Bird memutuskan untuk tak melewati adegan terakhir di film The Incredibles. Di film Incredibles 2ini linimasa ceritanya akan langsung melanjutkan adegan terakhir di dalam film pertamanya. Brad Bird seakan mengetahui apa yang diinginkan oleh penontonnya untuk sekedar mendapatkan jawaban tentang akhir cerita tersebut. Usaha Brad Bird untuk menghadirkan sekuel yang pantas pun dijawab dengan mudah di Incredibles 2.


Brad Bird tak sembarangan dan tak aji mumpung untuk mengembangkan cerita sekuel dari The Incredibles. Dengan adanya permintaan sekuel, Brad Bird malah membuatnya dengan sangat hati-hati karena agar tak mengalami penurunan performa dibandingkan dengan film pertamanya. Di tengah gempuran film-film superheroyang sudah berdatangan, Incredibles 2mampu tampil sangat segar dan memberikan alternatif cerita superhero yang sangat bisa dinikmati oleh keluarga.

Incredibles 2 seperti memberikan pernyataan bahwa meski dalam format film animasi, film ini mampu untuk disandingkan dan masuk daftar film-film superhero terbaik yang pernah dibuat. Brad Bird sebagai penulis naskah bersama Pixarberusaha untuk memberikan kedewasaan bercerita yang khas. Incredibles 2 pun ikut menggunakan isu tentang perempuan agar memiliki relevansi dengan apa yang terjadi masa kini. Sehingga, Incredibles 2  kali ini akan berfokus kepada Helen Parr atau Elastigirl.

 

Incredibles 2 memperlihatkan problematika superhero perempuan yang diwakilkan oleh karakter Helen Parr atau Elastigirl (Holly Hunter) di dalam film ini. Superhero memang masih tak bisa beroperasi lagi, sehingga sebuah perusahaan bernama Devtech yang dipimpin oleh Winston Deavor (Bob Odenkirk) bersama saudara perempuannya, Evelyn Deavor (Catherine Keener) berusaha untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap superhero.

Mereka mengumpulkan Mr. Incredibles (Craig T. Nelson), Elastigirl, dan Frozone (Samuel L. Jackson) untuk bekerjasama. Winston dan Evelyn menunjuk Elastigirl untuk memimpin operasi ini sebagai uji coba agar kampanye yang dilakukan berhasil. Tentu saja hal ini mengubah kehidupan dari Mr. Incredibles atau Bob Parr. Dirinya pun harus melakukan pekerjaan rumah yang biasa dilakukan oleh istrinya. Mr. Incredibles pun harus berusaha dekat dengan anak-anaknya yaitu Violet (Sarah Powell), Dash (Huck Miller), dan si bungsu Jack-Jack (Eli Fucile).


Incredibles 2 sangat menyinggung isu tentang pekerjaan domestik yang biasa dilakukan oleh perempuan. Ini sangat relevan dengan kondisi masa sekarang di mana perempuan pun bisa memiliki pilihan untuk sejenak meninggalkan pekerjaan domestik demi melakukan hal yang mereka sukai. Pesan inilah yang diangkat dan disematkan kepada karakter Bob dan Helen Parr sebagai sepasang suami istri lewat Incredibles 2. Pun, pesan tentang perempuan ini disampaikan tanpa ada keberpihakan gender yang terlalu signifikan. Pintarnya pula, pesan berat ini bisa dikemas dan disampaikan dengan cara yang sangat ringan.

Pengarahan dari Brad Bird pun sebenarnya tak selamanya mulus. Paruh pertama, Brad Bird pun masih terasa ragu untuk menyampaikan ceritanya. Tetapi tak berlangsung lama, Brad Bird tahu bagaimana mengemas kisahnya yang berat dengan caranya yang pas. Incredibles 2masih mengetahui pangsa pasarnya adalah penonton anak-anak. Sehingga, pesan tersebut ditampilkan secara implisit dan tak terlalu membuatnya terlalu kelam.

Brad Bird tetap berusaha menjadikan Incredibles 2 sebagai sebuah film animasi yang bisa menyenangkan berbagai pihak mulai dari anak-anak hingga orang dewasa yang menemani mereka. Dengan tujuan tersebut, Incredibles 2pun memiliki comedic timing yang sangat pas dan sangat menghibur penontonnya.Jack-Jack lah pion yang digunakan untuk memberikan comedic timing di dalam film Incredibles 2.


Selain itu, pemberian porsi komedi ini juga dijadikan sebagai pengembangan karakter bagi sosok Jack-Jack yang di film pertamanya memiliki clue yang perlu dibahas di film keduanya. Begitu juga dengan karakter-karakter lainnya yang juga memiliki porsi yang juga sesuai. Fokus Incredibles 2yang membahas keluarga dengan cara lebih kental inilah yang membuat Incredibles 2 tampak begitu segar untuk dinikmati penontonnya.

Incredibles 2 juga memiliki villain dengan motif yang sangat kuat. Bagi yang sudah memiliki banyak referensi menonton, twist yang terjadi di Incredibles 2 mungkin tak akan semencengangkan itu. Tetapi, motif karakter penjahatnya yang kuat dan bagaimana Brad Bird mengarahkan karakter tersebut bisa membuat Incredibles 2 terlihat sangat matang.  Sebagai film animasi, jangan remehkan bagaimana Incredibles 2 mengemas adegan aksinya.

Ada detil warna dan pergerakan kamera yang benar-benar diperhatikan oleh Brad Bird sehingga Incredibles 2bisa tampil begitu kuat. Dengan durasinya yang mencapai 118 menit, Incredibles 2 tetap bisa menjaga tensinya dengan sangat baik. Penekanan Incredibles 2 telah masuk ke babak baru pun ditekankan lewat warna-warna yang lebih kelam tapi tetap eye-catching. Pun, komposisi musik latar yang luar biasa indah dari Michael Giacchino juga mampu memperkuat setiap menit dari film ini.


Lantas, Incredibles 2 bisa dikategorikan sebagai sebuah sekuel yang berhasil. 14 tahun penantian para penggemarnya terbayar lunas berkat performa pengarahan yang gemilang dari Brad Bird di Incredibles 2 ini. Meski tak bisa dibilang lebih baik dari yang pertama, tetapi Incredibles 2 berhasil memiliki performa yang sama bagusnya dengan film pertamanya. Incredibles 2 tak hanya menggunakan kekuatan nostalgianya saja, tetapi juga mampu berkembang menjadi sebuah paket liburan seru bagi seluruh anggota keluarga. Bahkan, bisa jadi menumbuhkan penggemar baru di era ini. Bagus sekali!

Senin, 02 Juli 2018

JAILANGKUNG 2 (2018) REVIEW : Performa Sebuah Sekuel Yang Semakin
Menurun

JAILANGKUNG 2 (2018) REVIEW : Performa Sebuah Sekuel Yang Semakin Menurun


Memiliki raihan secara kuantitas hingga 2,5 juta penonton, tentu menjadi pertimbangan tersendiri bagi Screenplay Films untuk melanjutkan kisah tentang matianak. Meskipun, di akhir film Jailangkung pertama penonton sudah diberi petunjuk tentang adanya sekuel untuk film ini. Performa Jailangkung pertama yang belum matang tak menjadi alasan bagi proyek ini untuk berhenti. Mungkin, di film keduanya Jailangkung bisa membenarkan kesalahannya di film pertama.

Jailangkung 2 kembali ditangani oleh Rizal Mantovani bersamaan dengan Jose Purnomo untuk mengarahkan filmnya. Sama-sama memiliki jejak rekam menangani film horor dan bahkan berkecimpung di mitos yang sama, tentu menjadi alasan kenapa mereka berdua tetap menangani sekuel dari Jailangkung. Selain sutradara yang sama, tentu saja Jailangkung 2 kembali menggunakan dua pemain utamanya yaitu Jefri Nichol dan Amanda Rawles.

Bukan hanya itu, nama-nama besar seperti Hannah Al-Rashid, Lukman Sardi, bahkan almarhum Deddy Soetomo ikut menjadi bagian dari Jailangkung 2 ini. Untuk urusan naskah, kali ini Baskoro Adi Wuryanto dibantu oleh Ve Handojo untuk Jailangkung 2. Meskipun dengan banyak orang-orang yang terlibat di perfilman, Jailangkung 2 ternyata tak bisa memberikan performa yang baik. Bahkan, film ini pun mengalami penurunan performa dibandingkan film pertamanya.


Jailangkung 2 memang berusaha untuk menampilkan sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan film pertamanya. Terlebih, konflik yang semakin rumit itu sudah tersebar di film pertamanya sehingga film keduanya sudah memiliki dasar untuk melanjutkan cerita. Sayangnya, apa yang dituturkan oleh Jailangkung 2 ini tak bisa sesuai dengan tujuannya. Konfliknya semakin kabur dengan banyaknya cabang cerita yang berusaha dimasukkan di dalam filmnya.

Begitu pula dengan durasinya yang mencapai 83 menit, Jailangkung 2 tak memiliki ruang untuk semakin berkembang. Cerita dengan karakter yang semakin banyak, membuat Jailangkung 2 serasa bingung untuk membawa filmnya ini ke arah mana. Karakternya berhenti di tempat yang sama, ceritanya pun melebar ke mana-mana. Sehingga, Jailangkung 2 benar-benar hanya menyisakan nama-nama besar sebagai produk utama untuk meraih jumlah penonton yang fantastis.


Kisahnya tentu saja berlanjut dan bermulai dari kisah akhir di film Jailangkung yang pertama. Di mana mati anak, seorang  bayi campuran iblis yang lahir dari rahim Angel (Hannah Al-Rashid) membawa petaka di keluarganya. Sang ayah, Ferdi (Lukman Sardi) yang baru saja kembali nyawanya setelah diambil oleh arwah jahat berusaha untuk membuat keluarganya kembali seperti semula. Tetapi, tentu saja hal itu tak bisa begitu saja terjadi.

Bella (Amanda Rawles), adik dari Angel berusaha untuk menyingkirkan mati anak dari keluarganya agar tidak terjadi hal-hal aneh di keluarga tersebut. Bella pun meminta bantuan dari Rama (Jefri Nichol) yang kala itu juga membantu dirinya menyelamatkan hidup sang ayah. Kali ini dia berusaha meminta bantuan Rama untuk menyingkirkan mati anak dengan cara mencari kalung mistis yang bisa menghentikan mati anak. Dan perjalanan mencari kalung kali ini mendapatkan rekan tambahan yaitu Bram (Naufal Samudra) yang mengetahui keberadaan kalung tersebut.


Jika plot cerita Jailangkung 2hanya berfokus kepada satu linimasa yang dituliskan di sinopsis di atas, setidaknya Jailangkung 2 masih bisa memiliki performa dengan film sebelumnya. Meskipun, tak bisa membaik, tetapi ceritanya masih tak berputar sendiri yang menyebabkan penonton merasa kebingungan. Ada plot cerita lain yang bertambah di film Jailangkung 2 ini tetapi tak memiliki pengenalan dan penjelasan dengan porsi yang pas.

Hasilnya, plot cerita Jailangkung 2 serasa muncul tiba-tiba dari antah berantah tanpa adanya pemberitahuan. Tentu saja ini karena pengarahan yang belum teliti dari kedua sutradaranya. Jailangkung 2 seperti 2 film yang diringkas menjadi satu dengan pengarahan yang sesuai dengan egonya masing-masing. Jailangkung 2 sudah berjalan terlalu jauh meninggalkan mitos legendarisnya. Tak ingin mensia-siakan kesempatan itu, Jailangkung 2berusaha hadir secara formalitas untuk meramalkan mantra “datang gendong, pulang bopong” sebagai plot cerita lain.  

Plot ini tetap beriringan dengan plot menghilangkan matianak yang bahkan tak memiliki koneksi apapun satu sama lain.  Tentu saja ini akan membuat munculnya kerutan di dahi dari penonton untuk mengikuti plot cerita mana yang ingin disampaikan. Dampaknya, penonton akan lelah dengan apa yang berusaha disampaikan dengan Jailangkung 2. Sudah tak memiliki simpati dengan setiap karakternya, plot ceritanya pun tak bisa diikuti dengan baik.


Tak ada tensi horor yang berhasil dibuat di dalam Jailangkung 2. Segala usahanya untuk menakut-nakuti penontonnya terasa sangat hambar hanya dibantu dengan ilusi tata rias karakter hantunya dan penyuntingan suara. Bahkan, kedua aspek itu tak bisa sepenuhnya membantu agar adegan tersebut bisa tersampaikan dengan baik di filmnya. Dan tak bisa dihindari pula, beberapa penyuntingan film yang terasa sangat berloncat dengan setting yang berbeda padahal masih berada di satu setting waktu yang sama sering terlihat di dalam film ini.

Yang tersisa dari Jailangkung 2tentu saja hanyalah beberapa adegan yang tak sengaja membuat penontonnya tertawa. Hal ini muncul karena kurangnya ketelitian dalam pengarahan dari Rizal Mantovani dan Jose Purnomo. Meski terlihat sekali bagaimana Jailangkung 2 sebenarnya memiliki intensi untuk membuat sekuelnya memiliki dunia yang lebih besar dan rumit. Tetapi, apa yang hadir di dalam presentasinya malah membuat Jailangkung 2 hanyalah sebuah sekuel yang performanya malah menurun dari film pertamanya yang juga jauh dari kata sempurna. Sayang sekali!

Minggu, 01 Juli 2018

DIMSUM MARTABAK (2018) REVIEW : Kisah Upik Abu Ala Televisi

DIMSUM MARTABAK (2018) REVIEW : Kisah Upik Abu Ala Televisi


Raffi Ahmad berusaha untuk berpindah keberuntungan dari layar televisi ke layar perak. RA Pictures menjadi rumah produksi baru yang menelurkan film-film bioskop. Intensinya baik, menarik pasar televisi ke layar lebar dan semakin memeriahkan perfilman Indonesia. Mulai dari Rafathar, The Secret, hingga proyek terbarunya yang rilis pada musim lebaran tahun ini berusaha dia lepas. Raihan penontonnya pun bisa dibilang lumayan untuk ukuran rumah produksi baru.

Kali ini, Raffi Ahmad menunjuk seorang sutradara baru Andreas Sullivan untuk mengarahkan sebuah drama kisah komedi romantis. Film terbarunya ini pun disupervisi oleh Fajar Bustomi yang pernah mengarahkan Dilan 1990. Pun, dibantu dengan naskah yang ditulis oleh Alim Sudio yang sudah sering menulis film dengan genre yang sama. Dimsum Martabak, judul ini dibintangi oleh Ayu Ting-Ting dan juga Boy William sebagai pasangan utama.

Dimsum Martabak adalah debut akting dari Ayu Ting-Ting di layar lebar. Tentu saja banyak yang meragukan performa yang ditampilkan oleh Ayu Ting-Ting di dalam film Dimsum Martabak. Dengan banyaknya nama baru di dalam Dimsum Martabak, tentu saja proyek ini bisa dibilang sangat berani untuk rilis di musim lebaran. Jika performa sebuah film bisa diukur dengan keberaniannya, Dimsum Martabak ini mungkin belum sepenuhnya berani dalam menyampaikan ceritanya.


Kisah ini dimulai dari seorang pelayan sebuah restoran chinese food bernama Mona (Ayu Ting-Ting) yang hidup menjadi tulang punggung keluarga. Dirinya bekerja banting tulang karena ayahnya yang sudah meninggalkan meninggalkan banyak hutang untuk keluarganya. Mona harus bekerja siang malam demi bisa membayar hutang keluarganya. Sayangnya, Mona harus dipecat oleh istri pemilik restoran karena dikira ingin merebut suaminya.

Setelah dipecat, Mona kebingungan mencari pekerjaan ke sana ke mari untuk tetap bisa membuat keluarganya bahagia. Bertemulah dia dengan Sooga (Boy William), pemilik kedai Martabak yang butuh karyawan agar bisnisnya berjalan lancar. Mona pun bersedia menjadi karyawan dan membantu Sooga untuk membuat sistem untuk kedai martabaknya. Semakin lama, Sooga melihat ada sesuatu yang menarik pada Mona. Ternyata, Sooga jatuh cinta kepada Mona.


Ya, cerita dalam Dimsum Martabakmemang semudah itu. Sebagai film komedi romantis, Dimsum Martabak memang tak perlu menjadi sesuatu yang rumit. Apalagi, intensi dari rumah produksi ini adalah untuk memindahkan penonton televisi ke layar perak. Dengan cerita semudah ini, tentu saja niat dari RA Pictures bisa dikatakan berhasil. Inilah konten yang diinginkan oleh penonton televisi kita selama ini. Mimpi menjadi seorang upik abu yang derajatnya naik karena menemukan seorang pangeran tampan dan kaya raya.

Dengan kisah segenerik ini, Dimsum Martabak sebenarnya masih bisa memuaskan segmentasi penontonnya. Bisa dikatakan bahwa 40 menit pertama dari film ini masih diarahkan dengan baik. Konflik-konflik sederhanya dikemas dengan ajaib dan ditambah pula dengan dialog serba cheesy, Dimsum Martabak sebenarnya masih sangat bisa ditoleransi. Untuk film yang berada di kelasnya, Dimsum Martabak masih digarap dengan cukup baik.

Andreas Sullivan bisa membuat Dimsum Martabak dinikmati oleh penontonnya. Kisah cintanya pas, ditambahi dengan bumbu komedi yang juga tahu tempat dan porsinya. Sehingga, plot ceritanya bisa tersampaikan dengan baik. Begitu pula dengan performa Ayu Ting-Ting yang sebenarnya bisa mengeluarkan sinarnya. Menjadi sosok perempuan damsel in distress yang mungkin karakternya generik tetapi untungnya masih bisa diperankan dengan baik oleh Ayu Ting-Ting.


Tapi sayangnya, bagian terbaik dari Dimsum Martabak hanya bertahan hingga 45 menit pertamanya saja. Setelahnya, Dimsum Martabak penuh akan cabang-cabang cerita yang tak bisa disampaikan dengan baik. Sebenarnya dalam naskah yang ditulis oleh Alim Sudio, sudah menunjukkan intensi untuk menampilkan cabang cerita yang cukup banyak. Hanya saja, Pengarahan dari Andreas Sullivan seperti tak tahu harus menyampaikan semua plotnya dengan benar.

Kesibukan membuat kesenangan di 45 menit pertama ternyata membuatnya terlena untuk harus mengakhiri ceritanya. Paruh akhir dari Dimsum Martabak tampil sangat malas dan menunjukkan konklusi-konklusi ala sinema elektronik yang sudah basi. Performanya pun semakin menurun, dari kisah komedi romantis yang energik menuju ke sebuah  drama mendayu-dayu dengan penyelesaian yang juga semakin ajaib.

Belum lagi dengan pemilihan casting dan penyampaian komedi ala variety show yang ada di televisi yang semakin menunjukkan segmentasi dari film ini sebenarnya. Padahal, seharusnya Dimsum Martabak memiliki potensi untuk setidaknya dinikmati oleh berbagai kalangan. Yang tersisa hanyalah kemewahan-kemewahan setting yang sebenarnya adalah properti pribadi dari Raffi Ahmad. Hal itu pun tak bisa membuat Dimsum Martabak kembali bisa dinikmati oleh penontonnya secara general.


Mungkin dalam berbagai aspeknya, Dimsum Martabak adalah sebuah film generik yang seharusnya memiliki kesempatan untuk bersinar. Sayangnya, tarik ulur dalam konklusinya membuat pace film ini semakin lambat dan belum lagi adegan-adegan yang membuat mata berputar. Untuk target segmentasinya, Dimsum Martabakseharusnya masih bisa memuaskan mereka. Sayangnya, bagi penonton yang general tanpa mengetahui intensi ini, Dimsum Martabak hanyalah sebuah kisah upik abu dan mimpi para penikmat televisi yang usang ditelan waktu.
KUNTILANAK (2018) REVIEW : Potensi Yang Kurang Maksimal

KUNTILANAK (2018) REVIEW : Potensi Yang Kurang Maksimal


Film horor sedang menjadi genreyang sedang mendapatkan hype sangat besar di perfilman Indonesia. Dimulai dari Danur, Jailangkung, hingga Pengabdi Setan, ketiganya memiliki raihan penonton yang sangat fantastis. Lantas, banyak judul-judul lain yang juga kena getahnya yang setidaknya mendapatkan raihan ratusan ribu penonton. Hal ini akhirnya juga membuat rumah produksi Multivision Plus ikut meramaikan genre ini.

Multivision Plus dulunya pernah memiliki franchise horor yang menjanjikan yaitu trilogi Kuntilanak. Multivision Plus ingin membangkitkan lagi mitos tentang Kuntilanak tersebut untuk ditonton oleh penonton masa kini. Rizal Mantovani adalah juru kunci atas ketiga cerita Kuntilanak yang melibatkan Julie Estelle. Di tahun 2018 ini, Kuntilanakkembali dipanggil dengan juru kunci yang sama tetapi melibatkan artis muda Aurelie Moeremans, Fero Walandouw, dan artis-artis cilik lainnya.

Naskah yang digunakan sebagai dasar pengarahan dari Rizal Mantovani ini ditulis oleh Alim Sudio. Dengan rekam jejak Rizal Mantovani dalam mengarahkan film horor, tentu banyak orang yang meragukan performa Kuntilanak sebagai sebuah film utuh. Sebuah prediksi yang kurang menyenangkan ini sayangnya benar-benar terjadi di film Kuntilanak terbaru ini. Jika harus dibandingkan dengan versi sebelumnya, Kuntilanakini tampil kurang sempurna sebagai sebuah film horor.


Film Kuntilanak terbaru ini memang masih menggunakan mitos yang sama. Bahkan, beberapa nama dan ciri-cirinya pun seperti masih menggunakan benang merah film trilogi Kuntilanak sebelumnya. Secara tulisan, Alim Sudio sebenarnya sudah berusaha untuk memberikan penuturan cerita yang runtut di dalam naskahnya. Problematika utama dari Kuntilanak terbaru ini adalah pengarahan dari Rizal Mantovani yang terasa tak matang.

Kuntilanak sebagai sebuah film horor, tak bisa mengeluarkan taringnya secara maksimal. Film ini tak bisa memberikan sensi ngeri yang harusnya ada di dalam sebuah film horor. Hanya saja sebagai sebuah film, Kuntilanak mampu memberikan cara berceritanya yang runtut meskipun harus banting setir ke genre lain. Berbedanya di film Kuntilanak kali ini adalah bagaimana karakter dari artis-artis cilik yang membuat film ini lebih memiliki cita rasa film dengan genre petualangan.


Kuntilanak terbaru ini menceritakan tentang mitos makhluk ini yang datang dari sebuah rumah tak berpenghuni. Rumah tersebut ternyata bekas dari sebuah keluarga yang anaknya pernah menghilang karena diambil oleh Kuntilanak. Cermin tempat Kuntilanak bersarang ini sayangnya berpindah ke rumah seorang Ibu Rumah Tangga bernama Donna (Nena Rosier). Donna hidup sebagai seorang Ibu yang mengadopsi banyak anak.

Cermin tersebut dibawa oleh Glenn (Fero Walandouw), pacar dari Lydia (Aurelie Moeremans) yang tinggal bersama Donna. Ketika Donna pergi ke luar negeri, anak-anak di dalam rumah tersebut ternyata harus berurusan dengan makhluk astral tersebut. Banyak kejadian-kejadian janggal yang terjadi di rumah tersebut. Mereka diganggu oleh Kuntilanakyang berasal dari rumah tersebut. Hingga suatu ketika, anak-anak kecil tersebut berusaha untuk membuktikan mitos tersebut.


Jika memang intensinya untuk mengubah nuansa film terbarunya agar memiliki perbedaan dengan film sebelumnya, Kuntilanaksebenarnya memiliki potensi untuk menjadi berbeda. Bahkan, bisa menjadi sebuah film horor dengan pendekatan yang lebih segar. Tak dapat dipungkiri bahwa Kuntilanak memiliki referensi seperti Super 8, Stranger Things, atau IT yang memadukan genre supernatural dengan petualangan bersama anak kecil. Jangan asal skeptis, karena menyadur referensi seperti ini bukan berarti langsung menduplikasi.

Kuntilanak bisa saja menjadi sebuah sajian film horor yang segar, terlebih dengan banyaknya film horor yang diproduksi akhir-akhir ini. Sayangnya, Rizal Mantovani tak bisa memanfaatkan potensi itu agar bisa tampil maksimal. Naskah dari Alim Sudio memang masih memiliki beberapa penceritaan yang terkesan tumpang tindih. Bermain baik dalam komposisi dramanya, tetapi naskahnya belum bisa mempadu padankan kedua genre yang ada agar bisa melebur satu sama lain.


Tak sepenuhnya salah dalam penulisan naskah, tetapi Rizal Mantovani juga tak bisa menyampaikan kelemahan dalam naskah dengan pengarahannya yang kuat. Rizal Mantovani yang sudah lama terjun dalam mengarahkan sebuah film horor, Kuntilanak tak bisa menjawab kerinduan penonton untuk ditakut-takuti. Sayang, padahal bagaimana sebuah film horor bisa menakut-nakuti penontonnya adalah amunisi yang harusnya dimiliki.

Tak seperti film sebelumnya, Kuntilanakterbaru ini tak bisa mengantarkan mitos tentang makhluk astral ini dengan cara yang lebih otentik seperti film sebelumnya. Cerita tentang budaya sekte pemanggilan Kuntilanak yang tak lagi lebih detil di film ini, membuat Kuntilanakmenjadi sebuah film horor Indonesia yang generik. Pun, Kuntilanak dalam film ini memiliki tata rias yang kurang bisa menakut-nakuti penontonnya. Padahal cara ini bisa jadi salah satu ilusi bagi penontonnya untuk bisa merasa takut dengan makhluk tersebut.


Dengan berbagai film horor yang ada di Indonesia akhir-akhir ini, Kuntilanak memang masih bisa dikategorikan sebagai film yang dibuat dengan layak. Mulai dari tata suara, sinematografi, warna, dan nilai produksi yang masih bisa dinikmati. Juga, usaha film Kuntilanak terbaru ini yang ingin tampil dengan berbeda ini masih menjadi poin menarik di film ini. Sayang, segala potensinya yang bisa mambuat Kuntilanakini akan terasa segar tak bisa tersampaikan dengan baik.