Tampilkan postingan dengan label Hanung Bramantyo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hanung Bramantyo. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

THE GIFT (2018) REVIEW : Pemandu Perjalanan Memaknai Ulang Pesan
Tentang Cinta

THE GIFT (2018) REVIEW : Pemandu Perjalanan Memaknai Ulang Pesan Tentang Cinta


Setelah sibuk mengurusi proyek mega besar, Hanung Bramantyo secara tak disangka hadir menawarkan sesuatu yang baru tahun ini. Proyek film terbarunya ini digadang menjadi sebuah proyek yang personal baginya. Lewat film terbaru inilah, Hanung Bramantyo memberikan klaim bahwa ini adalah salah satu karyanya di mana dirinya bisa menjadi dirinya sendiri dan bebas. Lantas, dengan trailer saja, tentu calon penonton tahu bahwa film ini akan sedikit berbeda

The Gift, proyek film dari Hanung Bramantyo ini dibintangi oleh tiga deretan artis yang sudah memiliki rekam jejak yang baik. Mulai dari Dion Wiyoko, Ayushita Nugraha, Reza Rahadian, hingga Christine Hakim mau memberikan kontribusinya terhadap karya terbaru film Hanung Bramantyo ini. Meski baru saja dirilis di bulan Mei ini, The Gift telah memiliki kesempatan untuk dinikmati penontonnya lewat sebuah film festival di kota Yogyakarta.

Hanung Bramantyo yang biasa mengusung sebuah ide yang besar dalam film-filmnya, tentu sangat penasaran dengan The Gift dalam presentasinya. Terlebih, lewat trailer pun penonton bisa tahu bahwa Hanung Bramantyo memiliki pendekatannya yang berbeda dibanding dengan karya-karya sebelumnya. Pendekatannya yang berbeda inilah yang ternyata menjadi amunisi senjata di dalam filmnya. The Gift tentu menjadi sebuah sajian yang segar di antara film-film Hanung sebelumnya.


Hanung Bramantyo benar-benar memperhatikan betul komposisi di dalam film The Gift ini sehingga bisa menjadi sebuah sajian yang sangat pas. Tak perlu dialog dan performa aktor-aktrisnya yang meluap-luap, tetapi The Gift sangat mampu untuk mengajak penontonnya merasakan perjalanan memaknai ulang apa itu cinta dan kasih sayang dengan pion-pion karakternya yang juga sedang kehilangan kepercayaan terhadap makna cinta yang sesungguhnya.

Inilah The Gift, medium di mana Hanung Bramantyo berani untuk bereksplorasi lebih tentang sensitivitasnya dalam mengarahkan sebuah film. Lewat film inilah, Hanung Bramantyo membuktikan bahwa dirinya tak hanya bisa mengarahkan sebuah film dengan ide yang besar. Semua komposisi pengarahan dari Hanung Bramantyo di dalam film The Gift ini adalah perkara rasa. Lantas, hal ini akan berkorelasi secara signifikan dengan karakter-karakter yang ada di dalam film The Gift ini.



The Gift mengajak menyelami bagaimana Tiana (Ayushita Nugraha), seorang novelis yang ingin sekali lagi berkarya di dalam hidupnya. Dalam caranya untuk berkarya, Tiana berusaha mengeksplorasi dirinya ke tempat-tempat baru dalam hidupnya dan tibalah dia di sebuah kota usang yang dipermak ulang yaitu Yogyakarta. Tinggal di sebuah lingkungan yang cukup kecil, Tiana bertemu dengan laki-laki misterius bernama Harun (Reza Rahadian).

Perkenalan awal mereka tak berjalan dengan baik, hingga akhirnya Harun berusaha mengajaknya sarapan untuk mengenal lebih jauh siapa Tiana. Harun adalah seorang pemuda tuna netra yang masih harus menjaga sikapnya yang tempramental. Tetapi, tak berlangsung begitu lama, Tiana merasa memiliki koneksi yang kuat dengan Harun. Hingga akhirnya, seseorang dari masa lalu Tiana bernama Arie (Dion Wiyoko) datang kepadanya dan berusaha memenangkan hati Tiana.


Dengan perjalanan cerita tersebut, The Gift memang masih menyadur konflik cinta segitiga yang usang. Hanya saja, The Gift tak akan semudah itu berhenti di formulanya yang usang. Naskahnya tak berhenti memposisikan film ini sebagai drama cinta saja, tetapi juga ada usaha untuk mendalami kata ‘cinta’ sehingga memiliki makna yang jauh lebih luas. Caranya adalah dengan menggali lebih lagi perkembangan setiap karakternya sehingga pesan yang disampaikan bisa lebih tepat sasaran.

Dengan durasinya yang mencapai 118 menit, penonton disuguhi perjalanan karakter Tiana, Harun, dan Arie yang sama-sama memiliki problematikanya memaknai kata cinta. Penuturan Hanung Bramantyo kali ini lebih berusaha mendekatkan ketiga karakternya kepada penonton. Sehingga, setiap karakternya punya ruang untuk berkembang dan dekat kepada penontonnya. Pada akhirnya, simpati penonton adalah hal yang sangat diharapkan dari film The Gift agar bisa mendapatkan efek yang kuat di narasi akhirnya nanti.


Hanung juga dengan rapi menutupi narasi akhirnya yang sengaja disimpan. Sehingga, ketika narasi akhir tersebut berhasil disampaikan, penonton bisa merasakan perasaan getir yang sangat kuat. Setiap menitnya memiliki cita rasa romantis yang muncul sangat sederhana tetapi begitu personal dan punya kekuatannya untuk bisa merasuk ke dalam hati penontonnya. Hal inilah yang membuat The Gift menjadi sebuah persembahan yang berbeda dibandingkan dengan film-film Hanung sebelumnya.

Lewat The Gift, Hanung Bramantyo terasa benar untuk membebaskan dirinya. Bertutur dengan lebih jujur dan berusaha menawarkan sesuatu yang lebih hangat kepada penontonnya. Hal ini diperkuat lewat bagaimana Hanung berusaha menguatkan kesan intimasi tersebut lewat tata gambarnya yang elok. Belum lagi dipercantik dengan warna-warnanya yang menghangatkan mata dan suara musik yang mengalun cantik agar memperkuat sisi manisnya film ini.


Meskipun ada beberapa kebebasan dari Hanung Bramantyo yang akhirnya terbatasi karena masalah durasi. The Gift masih punya cukup banyak amunisi yang membuat dirinya bisa menjadi salah satu karya terbaik dari sutradara satu ini. Belum lagi, nyawa dari film ini sejatinya adalah performa dari ketiga nama utama yang mampu mengajak penonton berinterpretasi ulang atas makna tentang cinta. Ketiganya mampu menjadi sosok karakter yang belum sempurna betul memaknai sebuah kasih sayang yang datang pada dirinya dan The Gift akan menjadi pemandu yang pas untuk memaknai itu.


Sabtu, 26 Mei 2018

REVIEW : THE GIFT (2018)

REVIEW : THE GIFT (2018)


“Setiap kali kamu cerita, imajinasi kamu membuat dunia semakin luas. Dan aku ingin menaklukkan itu.” 

Sejujurnya, saya lebih antusias tatkala Hanung Bramantyo menggarap film-film ‘kecil’ ketimbang film-film berskala raksasa. Saat menggarap film yang jauh dari kesan ambisius (dan tendensius), Hanung terasa lebih jujur, intim, dan mampu menunjukkan kepekaannya dalam bercerita sehingga emosi yang dibutuhkan oleh film berhasil tersalurkan dengan baik ke penonton. Tengok saja beberapa karya terbaiknya seperti Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2006), Get Married (2007), dan Hijab (2015). Bangunan komediknya amat jenaka sekaligus menyentil di waktu bersamaan sementara elemen dramatiknya sanggup membuat baper manusia-manusia berhati sensitif secara berkepanjangan. Melalui film-film tersebut, kita bisa memafhumi statusnya sebagai salah satu sutradara tanah air terkemuka saat ini. Maka begitu Hanung bersiap untuk merilis proyek kecilnya yang mengambil genre drama romantis bertajuk The Gift – saya tidak tahu menahu mengenai film ini sampai diputar perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017 – ada rasa penasaran yang menggelayuti. Lebih-lebih, dia mengajak turut serta sejumlah pemain besar yang terdiri atas Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Dion Wiyoko, beserta Christine Hakim untuk menyemarakkan departemen akting. Kombinasi maut yang terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja, bukan? 

Dalam The Gift, Hanung memanfaatkan relasi dan interaksi dua manusia yang tidak mengenal cinta, Tiana (Ayushita Nugraha) dan Harun (Reza Rahadian), sebagai pemantik konflik. Perkenalan diantara mereka bermula ketika Tiana, seorang penulis novel asal Jakarta yang sedang mencari ilham untuk menuntaskan novel terbarunya, menyewa sebuah kamar kos di rumah Harun yang berlokasi di Jogjakarta. Mengingat akses ke rumah utama senantiasa tertutup dan Harun bukanlah pria yang gemar beramah tamah, hubungan baik tidak seketika terbentuk. Malah, kesan pertama bagi masing-masing individu terbilang buruk. Pangkal permasalahannya, Harun memutar musik keras-keras yang membuat Tiana merasa terganggu. Sebagai permintaan maaf, lelaki tunanetra ini pun berinisiatif mengajak tamunya tersebut untuk sarapan bersama yang sayangnya tidak berjalan mulus karena tukar dialog diantara mereka berujung pada pertikaian verbal lebih lanjut. Menilik karakteristik Harun dan Tiana yang sama-sama keras, sebetulnya agak sulit membayangkan keduanya dapat menciptakan koneksi tanpa harus saling menyinggung satu sama lain. Tapi baik Tiana maupun Harun mencoba untuk melunak, lalu berusaha untuk saling memahami. Di saat inilah, benih-benih asmara perlahan mulai bersemi sampai kemudian datangnya teman masa kecil Tiana, Arie (Dion Wiyoko), membuyarkan kisah cinta yang siap dirajut oleh Tiana dan Harun.


Menyodorkan problematika “benci jadi cinta” lalu menghadirkan orang ketiga dalam hubungan asmara yang bersiap untuk mekar, tidak bisa dipungkiri bahwa The Gift memang terdengar generik di permukaan. Akan tetapi, apa yang kemudian membuat film ini tidak lantas menjelma sebagai ‘film percintaan pada umumnya’ adalah cara Hanung Bramantyo mengemasnya. Tidak ada lontaran dialog-dialog rayuan puitis, melainkan bergantung pada interaksi yang terbentuk diantara Tiana dengan Harun. Guliran penceritaannya sendiri mengalun lambat demi memberi cukup waktu dan ruang bagi penonton untuk mengobservasi dua karakter utama lebih dalam. Mereka digambarkan sebagai dua manusia yang tak pernah terpapar hangatnya cinta dan justru memelihara luka, amarah, serta rasa putus asa. Guna mempertegas karakteristik, kilas balik pun kerap disisipkan yang mengajak penonton berkelana ke masa lampau dan menengok masa kecil Tiana yang sungguh kelam. Dari sana, kita bisa mengerti kenapa dia tumbuh sebagai perempuan yang dingin, kaku, dan cenderung antisosial. Harun, sayangnya, tak mendapat perlakuan serupa dan penjabaran mengenai masa lalunya hanya diucapkan melalui beberapa patah kalimat. Akan tetapi, sebuah momen kebenaran yang meninggalkan rasa pilu ketika Harun akhirnya bersedia diri kepada Tiana merupakan titik balik yang menyadarkan penonton bahwa kedua insan ini sebetulnya saling membutuhkan. Mereka adalah korban ‘pengkhianatan’ orang-orang terkasih yang hanya bisa disembuhkan dengan cinta yang tulus. 

Reza Rahadian (tanpa perlu dipertanyakan lagi) memeragakan karakter Harun yang dilingkupi kemarahan dan kekecewaan dengan gemilang. Bersama Ayushita Nugraha dalam akting terbaiknya sebagai penulis dengan masa lalu menyakitkan yang memiliki dunianya sendiri, mereka membentuk chemistry memikat yang menarik atensi penonton untuk menyimak interaksi ‘ajaib’ keduanya. Naskah racikan Ifan Ismail membekali karakter-karakter ini dengan dialog-dialog mengalir nan tajam yang akan membuat penonton terkadang ingin melempar botol air mineral ke mereka, menyunggingkan senyum, tersipu-sipu malu, sampai ingin memberikan pelukan hangat. Turut menguarkan nuansa romantis, interaksi dua insan ini jelas merupakan kekuatan utama yang dimiliki oleh The Gift. Tak jarang pula, interaksi keduanya tidak dibekali dialog melainkan hanya sebatas pada ekspresi atau sentuhan – mengingat Harun tak dapat memandang Tiana secara langsung. Iringan musik merdu dari Charlie Meliala serta sumbangan lagu tema dengan lirik menyayat hati bertajuk ‘Pekat’ yang dibawakan oleh Reza beserta Yura Yunita membantu memperkuat emosi yang sedianya telah hadir sekalipun tanpa disokong skoring menggebu-nggebu. Jika ada titik lemah The Gift, maka itu adalah kebetulan-kebetulan sukar dipercaya yang mengiringi di satu dua sudut penceritaan, utamanya jelang tutup durasi, demi mempermudah penyelesaian konflik (persoalan klasik film Indonesia!). Ada kalanya membuat diri ini meringis geli dan menggaruk-nggaruk kepala, tapi untungnya tak sampai berdampak signifikan pada keseluruhan film.


Pada akhirnya, terlepas dari kekurangan yang ada, The Gift tak saja layak untuk bertengger di deretan karya terbaik Hanung Bramantyo, tetapi juga memperkuat pernyataan saya di paragraf awal bahwa Hanung memang lebih bergigi kala menggarap film kecil. Mungkin ada baiknya Mas Hanung fokus mengerjakan film-film semacam ini saja ketimbang menangani film biopik atau adaptasi dengan bujet bombastis tapi seringkali minim rasa.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Selasa, 06 Maret 2018

REVIEW : BENYAMIN BIANG KEROK

REVIEW : BENYAMIN BIANG KEROK


“Suruh mereka bikin akses khusus ke hapenya Pengki. Kalau gue kontak, dia kagak bisa reject. Kalau dia matiin, gue bisa hidupin!” 

Kesuksesan luar biasa yang direngkuh oleh Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (jilid pertamanya tercatat sebagai film Indonesia paling banyak ditonton sepanjang masa) ternyata menginspirasi Falcon Pictures selaku rumah produksi untuk sekali lagi ‘melestarikan’ karakter legendaris dalam perfilman Indonesia. Kali ini, pilihan mereka jatuh kepada karakter-karakter yang dimainkan oleh komedian sekaligus seniman kenamaan, mendiang Benyamin Sueb. Dua judul yang dipilih adalah Benyamin Biang Kerok (1972) dan Biang Kerok Beruntung (1973) garapan Nawi Ismail. Bukan berwujud remake maupun reboot, Benyamin Biang Kerok versi mutakhir ini sebatas meminjam judul beserta karakter saja tanpa ada kesinambungan perihal plot. Demi memperoleh hasil akhir yang ciamik, tidak tanggung-tanggung Falcon pun merekrut Hanung Bramantyo guna menempati posisi sebagai dalang dan aktor serba bisa Reza Rahadian sebagai pengganti posisi Benyamin Sueb. Di atas kertas, menyatukan dua nama besar di perfilman tanah air saat ini (keduanya mengoleksi lebih dari satu Piala Citra lho!) untuk menafsirkan ulang film komedi klasik memang terlihat menjanjikan. Akan tetapi, apa yang terlihat begitu menjanjikan di atas kertas sayangnya acapkali tidak sejalan dengan realita di lapangan dan (sayangnya lagi) ini berlaku pada Benyamin Biang Kerok versi 2018. Alih-alih mampu menjadi ‘pewaris’ yang layak, film ini justru memberi kita definisi dari frasa ‘kacau balau’. 

Dalam Benyamin Biang Kerok interpretasi Hanung, sosok Pengki (Reza Rahadian) tidak lagi digambarkan sebagai seorang supir yang kerap menjahili majikannya dan mempergunakan mobil sang majikan untuk tebar pesona kepada para perempuan. Di sini, dia dideskripsikan sebagai seorang pemuda kaya raya yang tidak berguna. Yang dikerjakannya setiap hari tidak pernah jauh-jauh dari melatih anak-anak di kampung sebelah rumahnya untuk bermain sepakbola serta melakoni misi rahasia bersama dua sahabatnya, Somad (Adjis Doaibu) dan Achie (Aci Resti). Bagi sang ibu, Nyak Mami (Meriam Bellina), yang menjalankan bisnis IT dengan sukses sampai-sampai memiliki hubungan baik dengan para pemangku jabatan, apa yang dilakukan oleh Pengki tidak lebih dari kesia-siaan belaka. Dia sejatinya ingin melihat putranya tersebut lebih menyerupai dirinya sebagai pebisnis ulung ketimbang menyerupai suaminya, Babe (Rano Karno), yang memilih untuk hidup sederhana. Ditengah upaya Nyak Mami melatih Pengki untuk menjadi pebisnis, Pengki justru terdistraksi dengan kehadiran seorang perempuan bernama Aida (Delia Hussein) yang merupakan simpanan dari mafia kelas kakap, Said (H. Qomar). Demi menyelamatkan Aida yang telah membuat Pengki jatuh hati dari cengkraman Said sekaligus membebaskan warga kampung sebelah dari penggusuran, Pengki bersama Somad dan Achie pun merancang misi pembobolan ke markas Said. Suatu misi yang lantas semakin memperkeruh hubungan antara Said dengan Nyak Mami yang memang tidak terjalin baik. 


Sebetulnya, disamping kolaborasi Hanung dengan Reza, faktor lain yang membuat Benyamin Biang Kerok tampak menggoda di atas kertas adalah konsepnya yang menggugah selera. Coba dengarkan ini: satir sosial dengan sentuhan budaya Betawi ala Get Married (salah satu film terbaik garapan Hanung!) yang dibalut elemen laga dan fiksi ilmiah. Menarik sekali, bukan? Meski seperti bukan padupadan yang tepat, tapi ini sedikit banyak mampu membangkitkan ketertarikan terhadap film ini. Yang kemudian membuat Benyamin Biang Kerok ternyata tidak berjalan sesuai pengharapan adalah si pembuat film terjebak dengan konsep ambisiusnya sendiri sehingga mengalami kebingungan hendak membawa film ke arah mana. Sentilan sentilun terhadap isu sosial politik yang berkembang di tanah air seperti penggusuran, penyuapan, sampai jual beli perempuan, dimunculkan sekenanya saja tanpa pernah dipergunjingkan lebih mendalam. Elemen fiksi ilmiahnya dihadirkan tanpa pernah memberi signifikansi apapun kepada penceritaan selain berusaha membuat film terlihat keren. Unsur Betawi hanya dimanfaatkan sebagai penghias agar tuntutan ‘memboyong kearifan lokal’ bisa terpenuhi. Dan guliran laganya yang memperoleh sentuhan dari film spionase tidak sanggup memompa adrenalin penonton. Semua-muanya dimasukkan begitu saja sampai-sampai terasa saling tumpang tindih. Pokoknya yang penting meriah walau ini berarti kemeriahan yang kosong dan hambar. Dalam melontarkan canda tawa yang merupakan jualan utamanya pun, nyaris tak terhitung berapa kali Benyamin Biang Kerok terpeleset dan kesulitan mengenai target secara tepat. 

Ini dapat dikategorikan masalah besar lantaran Benyamin Biang Kerok memproklamirkan dirinya sebagai film komedi. Perlu diketahui bersama bahwa dosa terbesar dari sebuah film komedi adalah saat suara jangkrik di kebun sebelah malah terdengar lebih membahana ketimbang suara derai tawa penonton di dalam bioskop. Dalam artian, kegaringannya lebih nyata nan manja daripada kelucuannya. Benyamin Biang Kerok, sayangnya (menghela nafas panjang)….. merangkul erat dosa tersebut bak sahabat karib. Selama durasi merentang hingga 95 menit, total jendral hanya sebanyak dua kali dapat terkekeh-kekeh kecil sementara sisanya hanya bisa memasang muka datar plus kebingungan lantaran menerka-nerka dimana letak kelucuannya. Kebingungan juga dipersembahkan oleh tanya, “bukankah sutradara film ini adalah orang yang sama dengan pembuat Get Married yang lucunya ger-geran itu? Lalu kenapa di sini sensitivasnya dalam ngelaba bisa tiba-tiba raib? Apa karena (lagi-lagi) film ini keberatan konsep?”. Belum juga menemukan jawab atas pertanyaan tersebut, belum juga benar-benar bisa menikmati film, Benyamin Biang Kerok mendadak memberikan kejutan sangat menyakitkan: cliffhanger (ending menggantung karena bersambung). Tidak seperti Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 yang memenggalnya dengan halus – bahkan menginformasikan melalui judul bahwa film terdiri lebih dari satu jilid, Benyamin Biang Kerok melakukannya secara kasar yang membuat penonton seketika heboh. Bahkan sinetron di layar beling yang tayang saban hari lebih halus dalam memberi cliffhanger (serius!). Jika memang diniatkan dibagi ke dalam dua jilid, kenapa tidak ada transparansi sedari awal sehingga penonton tidak merasa dicurangi? Lagipula, apa plot film memang sedemikian padatnya sampai harus dipaksa direntangkan ke dua judul? 

Kesemrawutan yang menghiasi sepanjang durasi Benyamin Biang Kerok semakin terasa sempurna berkat keputusan si empunya film untuk mengakhiri durasi secara semena-mena. Alhasil, sebelum melangkahkan kaki ke luar bioskop, saya mengoleskan minyak angin aromatherapy ke kepala terlebih dahulu agar tidak pingsan. Ini sungguh suatu ujian, Tuan dan Nyonya! Padahal, andaikata tidak diperparah oleh cliffhanger (serius, sakit hatinya seperti ditikung), Benyamin Biang Kerok sejatinya masih bisa (sedikit) dimaafkan. Penyelamatnya adalah performa tiga pemain utamanya; Reza Rahadian, Meriam Bellina, dan H. Qomar, yang cukup bagus ditengah segala keterbatasan. Meski lebih sering terlihat mengimitasi Benyamin Sueb daripada berlakon sesuai interpretasi pribadi, Reza tetap dapat memberikan energi tersendiri pada film berkat kehadirannya. Hal yang sama berlaku pula pada Meriam sebagai emak-emak galak yang interaksinya bersama Reza berikan dua adegan lucu yang membuat saya terkekeh dan H. Qomar sebagai villain jenaka nan mengancam. Tanpa performa mereka, tidak bisa dibayangkan betapa kering kerontangnya film ini. Bisa-bisa elemen musikal yang untungnya tergarap asyik – menampilkan Pengki berdendang dan berlenggak-lenggok bersama beberapa karakter pembantu – akan menjadi penyelamat tunggal Benyamin Biang Kerok.



Poor (2/5)

Selasa, 10 Oktober 2017

REVIEW : JOMBLO (2017)

REVIEW : JOMBLO (2017)


“Waktu dapat menghapus luka di hati, tapi kenangan manis akan selalu membekas di hati.” 

Jomblo garapan Hanung Bramantyo yang didasarkan pada novel laris berjudul sama rekaan Adhitya Mulya dan dirilis pada tahun 2006 silam merupakan salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. Tiga elemen utama penyusun film yang terdiri atas komedi, romansa, dan persahabatan bisa berpadu dengan sangat baik pula mulus. Siapapun yang pernah mengalami fase dibuat kesengsem oleh lawan jenis, lalu jatuh bangun dalam memperjuangkan cinta, ditolak seseorang yang telah lama didambakan, serta menjalin hubungan akrab bersama kawan-kawan yang setia mendampingi di kala susah dan senang, akan mudah untuk terhubung ke jalinan pengisahan yang digulirkan oleh Jomblo. Ditambah lagi, Jomblo versi 2006 mempunyai empat pelakon inti dengan chemistry ciamik; Ringgo Agus Rahman (dalam film perdananya), Christian Sugiono, Dennis Adhiswara, dan Rizky Hanggono, yang sanggup meyakinkan penonton bahwa mereka memang bersahabat dekat satu sama lain. Bisa dibilang nyaris sempurna di berbagai lini – film pun mampu mempermainkan emosi penonton sedemikian rupa – maka agak mengherankan tatkala Falcon Pictures memutuskan untuk menginterpretasi kembali tulisan Adhitya Mulya ke format film layar lebar hanya dalam rentang waktu satu dekade saja. Maksud saya, bukankah seorang bijak pernah berujar, “if it ain’t broke, don’t fix it”

Dalam Jomblo versi 2017, tidak ada perubahan berarti pada konfigurasi karakter utama. Keempat sahabat yang menggulirkan roda penceritaan masihlah Agus (Ge Pamungkas), Bimo (Arie Kriting), Olip (Deva Mahenra), dan Doni (Richard Kyle). Persahabatan empat mahasiswa di Universitas B ini dipertautkan oleh kesamaan nasib yaitu sama-sama menyandang status sebagai jomblo meski dengan alasan berbeda-beda. Agus cenderung pemilih karena mencari perempuan yang dapat diajaknya membina rumah tangga ideal, kemudian Bimo kerap mengalami penolakan dari perempuan yang ditaksirnya, lalu Olip tidak memiliki keberanian dalam menyatakan perasaannya kepada Asri (Aurellie Moeremans) yang telah membuatnya jatuh cinta sedari tahun pertama, sementara Doni yang memiliki ketampanan paripurna justru enggan untuk berkomitmen dan hanya memanfaatkan para perempuan demi memenuhi hasratnya semata. Persahabatan diantara empat jomblo-jomblo bahagia ini (jojoba) mulanya baik-baik saja sampai kemudian kehadiran sosok Rita (Natasha Rizky), Lani (Indah Permatasari), serta Asri di tengah-tengah kehidupan mereka mulai mengacaukan segalanya. Hubungan pertemanan yang telah dipupuk dengan baik selama bertahun-tahun terancam bubar jalan begitu saja akibat persoalan asmara.


Sulit untuk tidak membanding-bandingkan Jomblo versi anyar yang tetap ditangani oleh Hanung Bramantyo ini dengan versi terdahulu mengingat rilisan 2006 memiliki kualitas penggarapan diatas rata-rata dan setiap adegannya pun masih melekat erat di ingatan sampai sekarang. Satu pertanyaan lalu terlontar, “mungkinkah si pembuat film mampu melampaui pencapaian dari rilisan sebelumnya?.” Pertanyaan tersebut coba dijawab oleh Hanung dengan menghadirkan warna berbeda ke versi 2017. Jika versi 2006 cenderung lebih kalem dalam bertutur dan banyak memberi ruang pada kisah persahabatannya, maka sekali ini aspek komedi lebih ditekankan dengan ritme penceritaan yang cenderung upbeat mengikuti barisan lagu beraliran EDM yang mengiringinya. Disamping itu, Agus yang masih bertindak selaku narator turut kebagian jatah tampil lebih banyak dari sebelumnya dengan pertimbangan kisah percintaan njelimetnya bersama Rita dan Lani memiliki potensi terbesar dalam memicu tawa sekaligus mudah bagi generasi muda sekarang untuk terhubung kepadanya. Imbas dari keputusan ini, konflik asmara yang dihadapi Bimo-Olip-Doni tidak pernah tergali secara mendalam dan plot mengenai persahabatan empat sekawan jojoba yang sejatinya merupakan kekuatan utama dari Jomblo terpaksa dikesampingkan. Dari sini saja sudah terjawab bahwa Jomblo versi 2017 tidak lebih baik ketimbang versi terdahulu.

Kalau ditanya menghibur atau tidak, Jomblo masihlah cukup menghibur. Beberapa kali diri ini dibuat tertawa melihat hubungan Agus dengan Rita yang tidak sesuai ekspektasi, walau saya sendiri merasa cukup terganggu lantaran peralihan nada hubungan dua sejoli ini terlampau cepat serta ujug-ujug. Adegan Rita marah-marah kepada Agus di kafe karena sang kekasih tidak berhasil memberi jawaban memuaskan perihal proporsi tubuhnya itu terasa sangat dipaksakan. Setidaknya dalam versi terdahulu, saya bisa mengetahui darimana munculnya pertanyaan jebakan tersebut dan sikap Rita yang sangat menyebalkan. Bertahap, tidak sekonyong-konyong terlontar. Jomblo versi anyar ini terasa kurang halus dalam melantunkan penceritaannya, terkadang terburu-buru terkadang berlarut-larut, yang menjadikan sejumlah konflik tidak memiliki impak benar-benar kuat dan barisan leluconnya pun menyerupai kumpulan sketsa. Alhasil, sekalipun Jomblo masih sanggup memancing tawa di beberapa bagiannya, film cukup mengalami kesulitan dalam menggoreskan kesan di hati lantaran minimnya emosi yang berhasil diinjeksikan ke dalam penceritaan. Disamping pengarahan dan naskah, faktor lain yang menyebabkan Jomblo terasa hambar adalah jajaran pemainnya. 

Ge, Arie, serta Deva bermain baik saat berlakon secara terpisah, tetapi saat disatukan, chemistry-nya mengawang-awang di udara. Saya bisa meyakini bahwa mereka adalah teman sekampus yang memiliki hubungan baik, tetapi saya tidak bisa meyakini bahwa mereka adalah teman sekampus yang memiliki ikatan persahabatan sangat erat. Itulah mengapa saat muncul pertengkaran besar yang berpotensi memecah belah keempatnya, saya tidak bisa merasakan apapun. Berlalu begitu saja.

Acceptable (2,5/5)



Rabu, 03 Mei 2017

KARTINI (2017) REVIEW : Refleksi Tentang Emansipasi

KARTINI (2017) REVIEW : Refleksi Tentang Emansipasi


Penikmat film Indonesia seakan tak akan pernah berhenti untuk diberi sebuah film biografi. Memberikan ruang bagi semua orang untuk sesekali mengintip kehidupan sosok penting di sebuah layar perak. Sosok itu bisa beragam, mulai dari yang sering orang kenal hingga siapa saja yang berjasa dalam melakukan perubahan. Hanung Bramantyo, bisa dibilang seorang sutradara yang sudah beberapa kali membuat film biografi. Mulai dari tokoh agama hingga mantan presiden Republik Indonesia telah memiliki memoir yang dibuat oleh tangannya.

Adanya inkonsistensi dalam berkarya membuat Hanung Bramantyo sering kali kehilangan kepercayaan penontonnya. Hingga April tahun ini, Hanung Bramantyo hadir menyapa penonton film Indonesia lewat film biografi tentang salah satu perempuan berjasa dan mahsyur dalam memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kartini, film ini mendapatkan sorotan yang cukup besar karena menempatkan nama Dian Sastrowardoyo sebagai pemeran Kartini.

Selain Dian Sastrowardoyo, Kartini juga memiliki nama-nama lain di dunia perfilman Indonesia yang memiliki kredibilitas yang luar biasa kuat. Dengan itulah, Kartini menjadi salah satu film biografi yang patut dinanti oleh banyak pihak. Hanung Bramantyo memang sudah sering mengarahkan film dengan genre serupa, tetapi Kartini memiliki pembeda antara karya yang lainnya. Meski masih ada beberapa ciri khas Hanung Bramantyo yang tak bisa dibendung lagi, Kartini adalah sebuah film Biografi yang sangat digarap dengan teliti. 


Tak bisa dipungkiri, setiap orang akan muncul suatu kekhawatiran tentang sebuah film biografi. Khawatir akan bagaimana mengolah informasi tentang seseorang ini agar tak menimbulkan persepsi dan bagaimana seorang sutradara bisa memiliki alternatif cara untuk menyampaikan informasi itu. Hanung Bramantyo menjadi sosok yang berbeda dalam mengarahkan Kartini. Film terbarunya ini tak berubah menjadi sebuah film biografi yang penting tetapi terasa tak memiliki ambisi apapun untuk disorot berlebih.

Kartini tak hanya sekedar memberikan informasi tentang seseorang, melainkan juga sebagai medium untuk memberitahukan tentang apa yang sedang diperjuangkan oleh sosok R.A. Kartini itu sendiri. Emansipasi, terlebih dalam hal menuntut ilmu yang sebenarnya tak terbatasi oleh gender tertentu menjadi momok penting untuk dibicarakan. Film Kartini adalah sebuah film tentang fenomena sosial yang ada tanpa dramatisasi berlebih tetapi bisa menyentuh hati sekaligus menginspirasi setiap penontonnya. 


Adegan dibuka dengan bagaimana Kartini kecil sedang berusaha agar ibunya, Ngasirah (Nova Eliza) bisa kembali tidur bukan di kamar pembantu. Pertanyaan itu akan membawa penonton menyelami cerita selanjutnya yang terfokus kepada Kartini (Dian Sastrowardoyo) yang sudah tumbuh dewasa. Dia sedang dipingit agar bisa menjadi seorang Raden Ajeng. Di tengah dia sedang jengah atas setiap aturan budaya yang mengekangnya, Kartono (Reza Rahadian) sebagai kakak Kartini memberikan semangat agar diri dan pemikirannya tak ikut dipingit oleh aturan yang ada.

Maka, Kartini mendapatkan warisan ilmu dari buku-buku milik Kartono yang membuatnya bisa merasakan indahnya dunia. Dengan adanya hal tersebut, Kartini berusaha untuk bisa berkarya melalui tulisan-tulisan yang akan mengharumkan namanya. Kartini pun sudah mendapatkan sorotan dari berbagai pihak terutama orang-orang Belanda. Kartini pun mengajak adik-adiknya, Kardinah (Ayushita Nugraha) dan Roekminah (Acha Septriasa) untuk menyuarakan keluh kesahnya agar tumbuh kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. 


Inilah film Kartini yang dibuat dengan nilai produksi yang tak sembarangan, tetapi juga masih memiliki cara bertutur yang pas. Semua orang boleh menertawakan bagaimana rekam jejak karir Hanung Bramantyo di sepanjang karirnya, tetapi Kartini jelas sebuah karya yang tak boleh begitu saja dilewatkan. Dengan durasi sepanjang 115 menit, Kartini memiliki caranya untuk menuturkan segala konflik sekaligus pembagian latar belakang cerita sesuai dengan takaran yang pas.

Semua jajaran pemain di dalam film Kartini bermain sesuai dengan porsinya, tak ada yang berusaha untuk saling mendominasi satu sama lain. Inilah yang menjadi kekuatan utama dari film Kartini yang berhasil membuat filmnya begitu solid. Naskah milik Bagus Bramanti dan Hanung Bramantyo ini juga memberikan alternatif penceritaan lain di dalam sebuah film biografi. Teringat ketika pertama kali Kartini membaca buku milik kakaknya dan muncul sebuah visualisasi dari apa yang terjadi di bukunya. Inilah gambaran ketika buku bisa disebut dengan jendela dunia, dan membaca adalah tiket untuk bisa mengelilingi dunia tersebut. Menegaskan pula bahwa ilmu itu penting dimiliki oleh setiap orang.

Di sinilah cara bagaimana Bagus Bramanti dan Hanung Bramantyo mengemas informasi mereka dengan cara yang dapat menghibur penontonnya. Sehingga, informasi yang disampaikan tak sekedar untuk memberikan afirmasi tentang kebenaran, tetapi juga untuk memberikan pemahaman yang bisa terpatri di pemikiran penontonnya. Beruntungnya, naskah rapi itu bisa diterjemahkan dengan baik pula oleh Hanung Bramantyo secara visual, sehingga tercapailah sudah tujuan tersebut. 


Hanung Bramantyo sebagai sutradara tentu memiliki khasnya sendiri dan tentu Kartini masih memiliki kekhasannya dalam bercerita. Kartini adalah cara Hanung Bramantyo untuk bisa memuaskan setiap orang yang memiliki berbagai paradigma tentang nilai –mulai sosial hingga agama. Dalam hasil akhirnya, ada beberapa bagian cerita yang sedikit terlalu dilantunkan secara eksplisit, yang mungkin bertujuan agar setiap orang bisa mengakses informasi yang berusaha disampaikan oleh Hanung. Tetapi, hal tersebut masih dalam porsi yang wajar dan bisa diterima.

Film Kartini ini juga sebagai refleksi atas keadaan sosial Indonesia yang masih memiliki problematikanya dalam menempatkan seorang perempuan. Raden Ajeng Kartini adalah kiblat bagi para perempuan untuk mendapatkan emansipasi dan digunakan dengan benar. Maka itu pula yang ditekankan dalam film Kartini ini, bahwa perempuan juga bisa menjadi seorang yang mandiri. Bukan berarti terlepas dari sosok laki-laki, tetapi menjadi sosok yang setara karena manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan satu dengan yang lainnya. 


Sebagai sebuah film Biografi dengan pendekatan yang populer, Kartini adalah jawaban dari segala keluh kesah penikmat film. Kartini hadir dengan takaran yang pas tanpa berusaha untuk terlalu mendayu-dayu dan tak menimbulkan kesalahan persepsi tentang sosok tersebut. Inilah Kartini sebagai sebuah film biografi yang bisa memberikan informasi, inspirasi, dan sekaligus dapat dinikmati dengan khidmat oleh penonton dengan segala latar belakangnya yang berbeda. Hanung Bramantyo dan Bagus Bramanti memberikan naskah yang solid dan memberikan alternatif cara untuk menyampaikan informasi yang bisa diterima oleh khalayak luas. Mungkin, hal itu membuat beberapa ceritanya terkesan menggurui di beberapa bagian. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Kartini adalah film penting yang digarap dengan detil, hati-hati, dan akan menggugah hati penontonnya.

Kamis, 20 April 2017

REVIEW : KARTINI

REVIEW : KARTINI


“Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya.” 

Kartini garapan Hanung Bramantyo bukanlah kali pertama bagi kisah pahlawan nasional asal Jepara, Raden Adjeng Kartini, dalam memperjuangkan kesetaraan hak untuk para perempuan pribumi diboyong ke layar perak. Sebelumnya, sutradara legendaris tanah air, Sjumandjaja sudah menguliknya terlebih dahulu melalui R.A. Kartini (1982), dan Azhar Kinoi Lubis dibawah bendera MNC Pictures sempat pula memadupadankannya dengan tuturan fiktif lewat Surat Cinta Untuk Kartini (2016). Telah mendapatkan dua gambaran berbeda, sedikit banyak membuat kita bertanya-tanya, apa yang lantas hendak dikedepankan oleh Hanung Bramantyo di versi terbaru Kartini? Ketertarikan untuk mengetahui interpretasi Hanung Bramantyo terhadap sang pejuang emansipasi perempuan inilah salah satu yang melandasi keinginan untuk menyimak Kartini. Alasan lainnya, barisan pemain ansambel yang direkrutnya. Bukankah amat menggoda kala pelakon-pelakon papan atas tanah air seperti Dian Sastrowardoyo, Acha Septriasa, Christine Hakim, Ayushita Nugraha, Deddy Sutomo, Djenar Maesa Ayu, Denny Sumargo, Adinia Wirasti, serta Reza Rahadian berkolaborasi dalam satu film? Terlebih rekam jejak sang sutradara yang dikenal piawai mengarahkan pemain-pemainnya, Kartini jelas tampak menjanjikan. Dan memang, di tangan seorang Hanung Bramantyo, Kartini menjelma sebagai sebuah film biopik yang menghibur, emosional, sekaligus mempunyai cita rasa megah. 

Dalam menyampaikan tuturannya, Kartini mengunduh referensi utama dari “Panggil Aku Kartini Saja” buah karya Pramoedya Ananta Toer, buku kumpulan surat “Habis Gelap Terbitlah Terang” milik Armijn Pane, serta catatan Tempo bertajuk “Gelap Terang Hidup Kartini”. Periode yang dicuplik berada di satu dasawarsa terakhir sebelum Kartini (Dian Sastrowardoyo) tutup usia pada tahun 1904, atau dengan kata lain, setelah pemilik nama kecil Srintil ini cukup usia untuk dipingit. Menurut tradisi Jawa kuno, perempuan yang berada dalam fase dipingit, harus berdiam diri di dalam rumah sampai seorang pria datang untuk mengajaknya melangkah ke pelaminan. Guna menghabiskan waktunya, Kartini kerap menenggelamkan diri ke buku-buku serta majalah-majalah keluaran Belanda atau bermain-main bersama kedua adiknya, Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita Nugraha). Tidak seperti perempuan sebaya lainnya, ketiga bersaudari ini mempunyai pemikiran berbeda mengenai pernikahan dan longgarnya batasan yang diberlakukan oleh sang ayah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Deddy Sutomo), memungkinkan mereka berkawan akrab dengan keluarga Belanda yang mengagumi tulisan Kartini, lalu mendirikan sekolah untuk masyarakat kurang mampu, sekaligus membantu meningkatkan taraf hidup para pengrajin ukiran di Jepara. 

Menerjemahkan kisah perjuangan Raden Adjeng Kartini ke bahasa gambar sebetulnya bukan perkara mudah. Malah cenderung beresiko tinggi. Betapa tidak, Kartini tiada pernah bersinggungan dengan peristiwa-peristiwa akbar yang mempunyai tingkat kegentingan tinggi dan cenderung lebih dikenang atas sumbangan pemikiran-pemikirannya mengenai kedudukan perempuan yang melampaui zaman. Dengan latar penceritaan yang juga terbatas, Kartini lebih berpeluang untuk terjerembab sebagai film biopik sejarah menjemukan ketimbang menyenangkan. Dua film terdahulu mengenai sang pahlawan adalah bukti konkritnya. Sempat was-was versi anyar ini akan bernasib serupa mengingat perpaduan Hanung dengan film biopik acapkali kurang menyatu (mohon maaf, Sang Pencerah dan Soekarno kesulitan mengetuk sanubari ini), alangkah terkejutnya diri ini tatkala mendapati bahwa Hanung Bramantyo sanggup mempresentasikan Kartini sebagai tontonan yang menghibur. Tunggu, tunggu dulu... menghibur? Betul. Hanung dan Bagus Bramanti yang merancang skrip agaknya memahami, garis dramatik dalam kehidupan Kartini seringkali berada di posisi horizontal. Apabila melulu dilantunkan serius, penonton dapat tergeletak kebosanan di dalam bioskop. Maka dari itu, setidaknya di paruh awal, si pembuat film secara cerdik menyelipkan cukup banyak kelakar sehingga membuat film terasa ringan untuk diikuti.


Berbeda dengan film dari genre seragam yang kerap memanfaatkan karakter sampingan sebagai comic relief, Kartini berani melibatkan sang karakter tituler untuk berpartisipasi dalam mengundang derai tawa penonton. Ini dimungkinkan lantaran Kartini tidak diglorifikasi sebagai perempuan Jawa cerdas yang anggun pula santun. Dalam interpretasi Hanung, sosoknya dimanusiawikan yang tampak dari lakunya yang tomboi, keisengannya, serta keengganannya untuk melulu sendiko dawuh (baca: tunduk patuh) utamanya kala bertentangan dengan apa yang diyakininya. Akibat tindakan sesuka hatinya, seorang pelayan di rumahnya bahkan beberapa kali kena semprot dan adegan ini ditampilkan menggunakan sentuhan komedi. Tawa canda lain di film mencuat pula dari interaksi lekat antara Kartini dengan kedua adiknya yang turut membantu sang kakak memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan pribumi dan rakyat kecil. Tidak semata-mata bergantung pada elemen komedik, imajinasi sang sutradara beserta visualisasi cantik hasil bidikan gambar dari Faozan Rizal yang berpadu mulus bersama kostum indah, iringan musik melodius, dan tata artistik ciamik turut membantu hadirkan ‘gelombang rasa’ di separuh awal. Ciptakan pula sensasi megah. Dalam kaitannya dengan imajinasi, terlihat melalui adegan kala Kartini tengah membaca buku maupun surat. Ketimbang sekadar menarasikan isi bacaan, Kartini ditampakkan tukar dialog bersama sang penulis. Terkadang berlatar sekitar pendapa, belakangan mulai melemparkan Kartini jauh ke negeri Belanda – sesuai asal surat korespondensi yang diterimanya. 

Seiring menanjaknya konflik yang ditandai oleh kepasrahan Kardinah menerima dirinya ditaklukkan adat yang kokoh membelenggu budayanya, nada penceritaan Kartini yang semula mengalun ringan perlahan bertransisi ke ranah dramatik berintensitas cukup tinggi yang sanggup menghadirkan momen-momen emosional. Kecermatan tim kasting menunjuk pelakon dan kepiawaian Hanung arahkan pemain kian menunjukkan hasilnya pada titik ini. Dian Sastrowardoyo bermain apik sebagai Kartini dengan karismanya yang menguar kuat. Kita bisa pula merasakan pertentangan batinnya antara memilih menerima realita atau mempertahankan idealisme. Karakter-karakter pendukukung di sekelilingnya yang berkontribusi mengenalkan penonton pada sosok Kartini lewat beberapa sudut pandang, dimainkan secara solid oleh barisan pemain ansambel. Acha Septriasa dan Ayushita Nugraha adalah pasangan yang klop bagi Dian, Deddy Sutomo pancarkan kebijaksanaan seorang ayah sekaligus Bupati, Djenar Maesa Ayu tunjukkan kegetiran mendalam dari seorang istri muda yang luka dari masa lalu belum kunjung pulih, Denny Sumargo yang memerankan kakak tertua Kartini berikan performa terbaik sepanjang karir keaktorannya, Reza Rahadian tunjukkan kelasnya dengan memberi effort lebih sekalipun perannya terhitung amat kecil, dan Christine Hakim adalah bintang sesungguhnya dari film ini. Air mukanya siratkan beragam rasa. Akumulasi emosinya di puncak durasi amat mengena di relung hati yang turut membantu Kartini dapatkan sebuah penutup sempurna. Wuapik!

Outstanding (4/5)