Rabu, 03 Mei 2017

KARTINI (2017) REVIEW : Refleksi Tentang Emansipasi


Penikmat film Indonesia seakan tak akan pernah berhenti untuk diberi sebuah film biografi. Memberikan ruang bagi semua orang untuk sesekali mengintip kehidupan sosok penting di sebuah layar perak. Sosok itu bisa beragam, mulai dari yang sering orang kenal hingga siapa saja yang berjasa dalam melakukan perubahan. Hanung Bramantyo, bisa dibilang seorang sutradara yang sudah beberapa kali membuat film biografi. Mulai dari tokoh agama hingga mantan presiden Republik Indonesia telah memiliki memoir yang dibuat oleh tangannya.

Adanya inkonsistensi dalam berkarya membuat Hanung Bramantyo sering kali kehilangan kepercayaan penontonnya. Hingga April tahun ini, Hanung Bramantyo hadir menyapa penonton film Indonesia lewat film biografi tentang salah satu perempuan berjasa dan mahsyur dalam memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kartini, film ini mendapatkan sorotan yang cukup besar karena menempatkan nama Dian Sastrowardoyo sebagai pemeran Kartini.

Selain Dian Sastrowardoyo, Kartini juga memiliki nama-nama lain di dunia perfilman Indonesia yang memiliki kredibilitas yang luar biasa kuat. Dengan itulah, Kartini menjadi salah satu film biografi yang patut dinanti oleh banyak pihak. Hanung Bramantyo memang sudah sering mengarahkan film dengan genre serupa, tetapi Kartini memiliki pembeda antara karya yang lainnya. Meski masih ada beberapa ciri khas Hanung Bramantyo yang tak bisa dibendung lagi, Kartini adalah sebuah film Biografi yang sangat digarap dengan teliti. 


Tak bisa dipungkiri, setiap orang akan muncul suatu kekhawatiran tentang sebuah film biografi. Khawatir akan bagaimana mengolah informasi tentang seseorang ini agar tak menimbulkan persepsi dan bagaimana seorang sutradara bisa memiliki alternatif cara untuk menyampaikan informasi itu. Hanung Bramantyo menjadi sosok yang berbeda dalam mengarahkan Kartini. Film terbarunya ini tak berubah menjadi sebuah film biografi yang penting tetapi terasa tak memiliki ambisi apapun untuk disorot berlebih.

Kartini tak hanya sekedar memberikan informasi tentang seseorang, melainkan juga sebagai medium untuk memberitahukan tentang apa yang sedang diperjuangkan oleh sosok R.A. Kartini itu sendiri. Emansipasi, terlebih dalam hal menuntut ilmu yang sebenarnya tak terbatasi oleh gender tertentu menjadi momok penting untuk dibicarakan. Film Kartini adalah sebuah film tentang fenomena sosial yang ada tanpa dramatisasi berlebih tetapi bisa menyentuh hati sekaligus menginspirasi setiap penontonnya. 


Adegan dibuka dengan bagaimana Kartini kecil sedang berusaha agar ibunya, Ngasirah (Nova Eliza) bisa kembali tidur bukan di kamar pembantu. Pertanyaan itu akan membawa penonton menyelami cerita selanjutnya yang terfokus kepada Kartini (Dian Sastrowardoyo) yang sudah tumbuh dewasa. Dia sedang dipingit agar bisa menjadi seorang Raden Ajeng. Di tengah dia sedang jengah atas setiap aturan budaya yang mengekangnya, Kartono (Reza Rahadian) sebagai kakak Kartini memberikan semangat agar diri dan pemikirannya tak ikut dipingit oleh aturan yang ada.

Maka, Kartini mendapatkan warisan ilmu dari buku-buku milik Kartono yang membuatnya bisa merasakan indahnya dunia. Dengan adanya hal tersebut, Kartini berusaha untuk bisa berkarya melalui tulisan-tulisan yang akan mengharumkan namanya. Kartini pun sudah mendapatkan sorotan dari berbagai pihak terutama orang-orang Belanda. Kartini pun mengajak adik-adiknya, Kardinah (Ayushita Nugraha) dan Roekminah (Acha Septriasa) untuk menyuarakan keluh kesahnya agar tumbuh kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. 


Inilah film Kartini yang dibuat dengan nilai produksi yang tak sembarangan, tetapi juga masih memiliki cara bertutur yang pas. Semua orang boleh menertawakan bagaimana rekam jejak karir Hanung Bramantyo di sepanjang karirnya, tetapi Kartini jelas sebuah karya yang tak boleh begitu saja dilewatkan. Dengan durasi sepanjang 115 menit, Kartini memiliki caranya untuk menuturkan segala konflik sekaligus pembagian latar belakang cerita sesuai dengan takaran yang pas.

Semua jajaran pemain di dalam film Kartini bermain sesuai dengan porsinya, tak ada yang berusaha untuk saling mendominasi satu sama lain. Inilah yang menjadi kekuatan utama dari film Kartini yang berhasil membuat filmnya begitu solid. Naskah milik Bagus Bramanti dan Hanung Bramantyo ini juga memberikan alternatif penceritaan lain di dalam sebuah film biografi. Teringat ketika pertama kali Kartini membaca buku milik kakaknya dan muncul sebuah visualisasi dari apa yang terjadi di bukunya. Inilah gambaran ketika buku bisa disebut dengan jendela dunia, dan membaca adalah tiket untuk bisa mengelilingi dunia tersebut. Menegaskan pula bahwa ilmu itu penting dimiliki oleh setiap orang.

Di sinilah cara bagaimana Bagus Bramanti dan Hanung Bramantyo mengemas informasi mereka dengan cara yang dapat menghibur penontonnya. Sehingga, informasi yang disampaikan tak sekedar untuk memberikan afirmasi tentang kebenaran, tetapi juga untuk memberikan pemahaman yang bisa terpatri di pemikiran penontonnya. Beruntungnya, naskah rapi itu bisa diterjemahkan dengan baik pula oleh Hanung Bramantyo secara visual, sehingga tercapailah sudah tujuan tersebut. 


Hanung Bramantyo sebagai sutradara tentu memiliki khasnya sendiri dan tentu Kartini masih memiliki kekhasannya dalam bercerita. Kartini adalah cara Hanung Bramantyo untuk bisa memuaskan setiap orang yang memiliki berbagai paradigma tentang nilai –mulai sosial hingga agama. Dalam hasil akhirnya, ada beberapa bagian cerita yang sedikit terlalu dilantunkan secara eksplisit, yang mungkin bertujuan agar setiap orang bisa mengakses informasi yang berusaha disampaikan oleh Hanung. Tetapi, hal tersebut masih dalam porsi yang wajar dan bisa diterima.

Film Kartini ini juga sebagai refleksi atas keadaan sosial Indonesia yang masih memiliki problematikanya dalam menempatkan seorang perempuan. Raden Ajeng Kartini adalah kiblat bagi para perempuan untuk mendapatkan emansipasi dan digunakan dengan benar. Maka itu pula yang ditekankan dalam film Kartini ini, bahwa perempuan juga bisa menjadi seorang yang mandiri. Bukan berarti terlepas dari sosok laki-laki, tetapi menjadi sosok yang setara karena manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan satu dengan yang lainnya. 


Sebagai sebuah film Biografi dengan pendekatan yang populer, Kartini adalah jawaban dari segala keluh kesah penikmat film. Kartini hadir dengan takaran yang pas tanpa berusaha untuk terlalu mendayu-dayu dan tak menimbulkan kesalahan persepsi tentang sosok tersebut. Inilah Kartini sebagai sebuah film biografi yang bisa memberikan informasi, inspirasi, dan sekaligus dapat dinikmati dengan khidmat oleh penonton dengan segala latar belakangnya yang berbeda. Hanung Bramantyo dan Bagus Bramanti memberikan naskah yang solid dan memberikan alternatif cara untuk menyampaikan informasi yang bisa diterima oleh khalayak luas. Mungkin, hal itu membuat beberapa ceritanya terkesan menggurui di beberapa bagian. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Kartini adalah film penting yang digarap dengan detil, hati-hati, dan akan menggugah hati penontonnya.
KARTINI (2017) REVIEW : Refleksi Tentang Emansipasi
4/ 5
By
Add your comment