Tampilkan postingan dengan label Review Arini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Review Arini. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 April 2018

REVIEW : ARINI

REVIEW : ARINI


“Kenapa kamu selalu optimis, Nick?” 

“Karena kamu selalu pesimis. Dan karena itu pula Tuhan menciptakanku untuk mendampingimu.” 

Ada banyak alasan mengapa seseorang memiliki ketertarikan untuk menyaksikan rilisan terbaru dari MAX Pictures, Arini. Bisa jadi dia memang menyukai film-film percintaan yang membuat baper. Bisa jadi dia penasaran karena strategi promosinya amat gencar apalagi trailernya memang bagus. Bisa jadi dia ingin melihat garapan terbaru dari seorang Ismail Basbeth selepas dibuat terkesima oleh Mencari Hilal (2015), salah satunya seperti saya. Bisa jadi dia adalah penggemar sejati dari duo pemain utama, Aura Kasih-Morgan Oey. Bisa jadi dia terpikat oleh premis ceritanya yang terbilang tidak umum untuk ukuran film romansa tanah air terkait hubungan asmara dua sejoli yang memiliki perbedaan umur cukup jauh. Dan bisa jadi pula, dia adalah generasi lawas yang ingin menyaksikan interpretasi baru dari novel rekaan Mira W bertajuk Masih Ada Kereta yang Akan Lewat yang sebelumnya telah diadaptasi ke format film layar lebar di tahun 1987 dengan bintang Widyawati dan Rano Karno. Ya, Arini memang memiliki banyak sekali alasan untuk menarik perhatian seseorang sehingga saat digoreskan di atas kertas membuatnya tampak seperti tontonan percintaan yang menjanjikan… sampai kamu melihat sendiri hasil akhirnya yang penuh dengan masalah. Alhasil, materi bagus dan tim dengan jejak rekam tidak main-main yang diusungnya pun tersia-siakan begitu saja. 

Duo sejoli yang dimabuk asmara dalam Arini adalah Arini (Aura Kasih) dan Nick (Morgan Oey) yang bertemu untuk pertama kalinya dalam sebuah perjalanan menggunakan kereta api di Jerman. Nick yang tidak membawa tiket mencari celah agar tidak bermasalah dengan kondektur dan melihat Arini sebagai dewi penyelamat. Lebih dari itu, Nick yang masih menimba ilmu di London sebagai mahasiswa, jatuh hati pada pandangan pertama dengan Arini yang usianya 15 tahun diatasnya. Berbagai topik obrolan dilontarkan demi menarik minat Arini yang senantiasa menanggapi setiap celotehan Nick secara dingin. Dari pertemuan perdana yang janggal tersebut, berharap bisa melihat dua manusia ini bersatu memang tampak mustahil. Terlebih, Arini menyimpan luka lama akibat dikhianati oleh mantan suaminya, Helmi (Haydar Saliz), dan sahabatnya, Ira (Olga Lydia), sehingga dia tidak lagi mempercayai apa yang disebut dengan ‘cinta’. Meski kerap mendapat penolakan dari Arini yang ketusnya bukan main ini, Nick tidak menyerah begitu saja. Segala upaya dia kerahkan agar hati perempuan pujaannya ini luluh termasuk mendatangi apartemennya, mengajaknya jalan-jalan, mengobrol panjang lebar (lebih tepatnya menggombal sih), sampai menghadapi langsung Helmi yang tiba-tiba kembali masuk ke dalam kehidupan Arini setelah sebuah rahasia besar terbongkar.


Menengok siapa-siapa yang berkontribusi terhadap Arini – berkaca pula pada materi sumber dan versi lawasnya yang disambut amat antusias baik oleh penonton maupun pengamat film – sudah barang tentu ada antusiasme tersendiri kala hendak menonton film ini. Terlebih, saya memang ‘kecanduan’ film romansa dan menggemari karya-karya Ismail Basbeth (termasuk film pendek buatannya). Akan tetapi, segala rasa bungah yang menyelimuti diri kala melangkahkan kaki ke dalam bioskop seketika rontok serontok-rontoknya hanya beberapa menit usai film memulai guliran pengisahannya. Cara si pembuat film mempertemukan kita dengan Arini dan Nick terasa janggal yang seketika menimbulkan pertanyaan, “kok si kondektur tidak mengecek toilet tempat Nick bersembunyi ya? Dan kenapa Nick mesti minta tolong ke Arini dengan menitipkan tas dan sebagainya jika pada akhirnya Arini juga tidak membantu apapun?”. Jangan harap pertanyaan ini akan terjawab dan jangan harap pula akan mendapat penjelasan memuaskan soal siapa mereka berdua karena film melaju secara tergesa-gesa. Apa benar saya sedang menonton Arini? Ini bukan remake dari Speed yang dulu dibintangi oleh Keanu Reeves dan Sandra Bullock kan? Oke, membandingkan Arini dengan Speed memang sangat berlebihan. Tapi mau bagaimana lagi, laju pengisahan dua film ini sama-sama ngebut. Wusss, wusss, wusss. Menonton Arini bak tengah menyaksikan film bergenre laga yang mengajak penonton melompat-lompat dari satu sekuens laga ke sekuens laga yang lain tanpa benar-benar memperhatikan perkembangan karakter. 

Belum sempat kita memahami sosok Arini, belum sempat kita memahami sosok Nick, kita ujug-ujug sudah diseret menuju sekuens rayu-rayuan atau marah-marahan yang lain tanpa ada kesinambungan berarti. Itulah mengapa ngikik dan “lha kok?” menjadi semacam reaksi langganan lantaran film sesak dengan adegan yang tidak sedikit diantaranya ‘kehilangan garis penyambung’ atau dieksekusi terlampau konyol (adegan telepon bocor. Ehem!) sampai-sampai sulit menganggapnya serius. Bahkan, hingga Arini mencapai penghujung durasi, saya masih belum kunjung mendapat jawaban atas pertanyaan, “apa sih yang membuat Nick sebegitu kesengsemnya dengan Arini?.” Arini memang paripurna dari segi fisik, tapi masa iya sih motivasi Nick untuk mendapatkan perempuan pujaannya ini (dia nguebet banget lho!) sedangkal itu? Jika ya, berarti keinginannya lebih didorong oleh hasrat semata dong? Saya kemudian benar-benar meyakininya setelah mereka berdua bertengkar hebat karena Arini menolak untuk diajak tidur bersama. Disamping naskah tipis dan penceritaan tergesa dari Ismail Basbeth yang membatasi pergerakan karakter, performa Aura Kasih yang cenderung datar juga tidak membantu sama sekali. Di tangannya, sosok Arini hanya terlihat seperti perempuan judes yang cemberut melulu, sangat menyebalkan dan sulit diberi simpati. Tidak pernah menunjukkan kompleksitas sedikitpun yang kemudian membuat kita mafhum atas tindakan-tindakannya. Morgan Oey yang tampil enerjik sebagai si berondong kasmaran sedikit banyak membantu menyelamatkan film, meski sebetulnya dia turut menjadi korban naskah. 

Ketiadaan motivasi yang jelas membuat Nick kadangkala lebih menyerupai seorang penguntit yang menyeramkan ketimbang pemuda yang charming. Bayangkan, dia ada dimanapun Arini berada (sekalipun telah ditolak!) termasuk menyelinap ke rumah pujaan hatinya tersebut yang berada di belahan dunia berbeda setelah sebelumnya mereka bertengkar hebat (yang kemudian diselesaikan begitu saja). Ini masih belum ditambah fakta bahwa dia selalu bisa menemukan keberadaan Arini tanpa menjumpai kesulitan berarti. Seram banget, nggak sih? Mempunyai dua karakter utama yang ajaib – masih ada pula karakter pendukung yang lagi-lagi jika diperhatikan akan mengundang kerutan lain di jidat – belum apa-apa telah menciptakan jarak antara penonton dengan film. Bisakah kita dibuat jatuh hati dengan dua karakter yang judesnya amit-amit (serius malah jadi pengen getok!) dan menyerupai seorang psikopat? Apabila didukung oleh performa berkelas dengan chemistry ciamik dan naskah yang tergarap baik, bisa saja. Tapi masalahnya di sini, ‘judes’ dan ‘psikopat’ itu sendiri muncul karena suatu kesalahan, bukan semata-mata diniatkan demikian. Sosok Arini dan Nick menjadi seperti itu akibat naskah yang tidak memberi latar belakang dan motivasi memadai. Tidak terlalu jelas, kalau tak mau disebut buram, penggambaran kedua karakter ini lebih-lebih Nick yang tidak pernah dijlentrehkan seperti apa kehidupan pribadinya sehingga dia bisa terobsesi kepada Arini. Yang lebih disayangkan lagi, Aura Kasih dan Morgan Oey pun tidak mampu menghadirkan chemistry yang membuat penonton yakin bahwa ada benih-benih cinta yang siap bermekaran dalam diri keduanya. Tidak ada pancaran di mata mereka yang menunjukkan rasa bernama cinta. Apabila hubungan ini sebatas nafsu belaka, masih agak bisa dipercaya. Namun jika dilandasi ketulusan hati? Masih sangat dipertanyakan.
 

Maka begitu mereka bermesra-mesraan, diri ini justru merasa geli-geli janggal ketimbang tersenyum-senyum gemas. Begitu pula saat big moment datang, tak ada rasa apapun yang hinggap kecuali rasa datar. Ya mau bagaimana lagi, lha wong kunci keberhasilan dari suatu film percintaan itu terletak pada dua karakter utama yang mampu membuat penonton bersedia untuk memberikan restunya. Jika kita tidak pernah benar-benar terhubung secara emosional dengan mereka lantas bagaimana mungkin sebuah restu bisa diberikan? Yekannn? Sayang banget lho ini. 

Poor (2/5)