Tampilkan postingan dengan label January. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label January. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Januari 2018

INSIDIOUS : THE LAST KEY (2018) REVIEW : Trivia Kisah Elise dan Masa
Lalunya

INSIDIOUS : THE LAST KEY (2018) REVIEW : Trivia Kisah Elise dan Masa Lalunya


Franchise film horor satu ini memang sudah banyak mendapatkan antisipasi dari penontonnya. Sejak filmnya yang pertama, Insidious mendapatkan word of mouth yang sangat kuat. Tentu saja hal ini berpengaruh dengan bagaimana sang rumah produksi berperilaku untuk memberikan lampu hijau kepada film ini. Sukses secara finansial pun menjadi satu-satunya alasan kenapa Insidiousmasih bertahan meneruskan sisa-sisa warisan cerita yang bisa digunakan.

Meskipun kekuatan seri ini sudah melemah di seri ketiganya, nyatanya Insidious masih harus bangun dari tidur untuk membuat sebuah kisah baru. Maka, muncullah Insidious : The Last Key yang kali ini dibawahi oleh Sony Pictures dalam proses distribusinya. Pemegang kunci Insidious : The Last Key  ini diserahkan kepada Adam Robitel yang sudah pernah menangani sebuah film horor sebelumnya berjudul The Taking of Deborah Logan. Dibantu oleh Leigh Whannell yang sudah terbiasa menuliskan cerita-cerita dari Insidiouspertama.

Bisa jadi orang sudah lelah mengikuti seri dari franchise ini, tapi nyatanya Insidioussudah memiliki pamornya. Insidious : The Last Key akan dengan udah meraih banyak penonton di saat rilis tetapi bukan berarti hal tersebut akan dengan mudah merebut hati penontonnya. Insidious : The Last Key ini menunjukkan bahwa film ini sudah mulai tak menunjukkan taringnya sebagai film horor. Adam Robitel sebagai sutradara tak mampu membangkitkan amarah roh-roh jahat untuk sekali lagi menakut-nakuti penontonnya.


Problematika Insidious : The Last Key ini tak hanya sekedar tentang bagaimana caranya untuk menakut-nakuti penontonnya. Tetapi juga caranya untuk berusaha membuat penontonnya terjaga sepanjang durasi untuk ikut bersimpati dengan setiap karakter yang ada di dalamnya. Kali ini, fokus utama dari film ini adalah kisah tentang Elise, satu-satunya karakter yang masih bisa dikembangkan lagi untuk menjadi sebuah franchise yang baru.

Adam Robitel sangat berusaha menerjemahkan naskah yang ditulis oleh Leigh Whannell ke dalam layar. Hanya saja, usaha tersebut tak maksimal dan membuat Insidious : The Last Keysangat melelahkan untuk diikuti. Selama 104 menit, Insidious : The Last Key seperti menyaksikan kompilasi dua film pendek yang dipersatukan oleh satu karakter yang sama. Ada potensi menarik dalam kisahnya, tetapi sayangnya hal itu tak bisa berjalan dengan baik.


Menceritakan tentang Elise (Lin Shaye) yang harus menghadapi masa lalunya yang kelam. Dia mendapatkan sebuah telepon dari seseorang bernama Ted Garza (Kirk Acevedo) untuk membasmi hantu di rumahnya. Ternyata, rumah yang ditinggali oleh Ted Garza adalah rumah yang ditinggali oleh Elise dan keluarga saat masih kecil. Elise sudah tahu bahwa sejak kecil rumah yang ditinggali ini sudah berhantu yang membuat keluarganya dalam bahaya.

Elise berusaha untuk membasmi hantu yang ada di dalam rumah Ted Garza, tetapi apa yang dihadapi oleh Elise lebih dari itu. Ada hal lain yang harus berusaha diselesaikan oleh Elise selama sedang bertugas di rumah masa kecilnya. Oleh karena itu, Elise harus berkompromi dengan masa lalunya, menekan mimpi buruknya jauh-jauh agar bisa menghadapi makhluk astral yang sudah menganggunya dan keluarganya sejak kecil.



Insidious : The Last Keymungkin sedang berusaha untuk menggali lebih dalam siapa itu Elise, sosok yang selalu menjadi juru kunci di setiap seri Insidious. Tujuan inilah yang sedang berusaha dilakukan oleh Leigh Whannell saat menuliskan ceritanya di dalam naskah. Tetapi sayang, Adam Robitel tak bisa membuat penonton cukup bersimpati dengan cerita yang ada di Insidious : The Last Key. Jatuhnya, seri keempatnya ini terlihat hanya mementingkan untuk mengekspansi dunia franchise ini untuk demi kelangsungan seri-seri berikutnya.

Tak ada kekuatan sama sekali dalam pengarahannya, baik dalam porsi dramanya maupun dalam membangun teror. Insidious : The Last Key hanya berusaha memanipulasi penontonnya dengan berbagai scoring atau musik latar untuk memunculkan nuansanya. Ketika masuk ke bagian human drama, musik latarlah yang berusaha mengelabui penonton untuk ikut andil dalam kisah Elise. Begitu pula dalam bangunan tensi horornya.

Musik menjadi cara untuk mengelabui penonton dalam mendapatkan sensasi menonton film horor di dalam Insidious : The Last Key. Tak ada atmosfir horor yang bisa dibangun dengan baik oleh sang sutradara. Begitu pula dengan teknik jump scaresnya yang sudah tak lagi inovatif dan hanya mengulangi formula-formula yang usang. Teknik jump scares yang biasanya efektif ini pun tak digunakan terlalu banyak di dalam filmnya. Sehingga, penonton tak lagi bisa mendapatkan sensasi apapun saat menonton film ini.


Di dalam 104 menit filmnya, Insidious : The Last Key serasa terbagi menjadi dua babak yang berbeda. Konflik awal di dalam film ini mungkin ditujukan sebagai pengantar cerita yang memunculkan sebuah koneksi di akhir film. Nyatanya, ketika konflik awal tentang Ted Garza ini diselesaikan, fokus cerita tiba-tiba berpindah dan tak sesekali memiliki koneksi dengan cerita di awal film. Hal ini malah menjadi bumerang bagi filmnya, karena tanpa cerita di 1 jam pertama sebenarnya cerita di paruh kedua bisa berjalan sendirian.

Hal ini memunculkan sebuah isu di dalam Insidious : The Last Key bahwa film ini hanyalah sebagai sebuah fitur film tambahan untuk memperluas dunia milik Insidious. Sehingga, nantinya Insidiousbisa menggunakan celah-celah yang ada untuk melanjutkan serinya meskipun penonton sudah mulai lelah. Terbukti dengan adanya adegan di akhir film Insidious : The Last Key yang memberikan sebuah koneksi ke seri-seri sebelumnya. Insidious : The Last Key hanyalah sebuah film trivia yang sebenarnya tidak ada pun juga tidak apa-apa.


Senin, 08 Januari 2018

2017’s Best Indonesian Film by Arul’s Movie Review Blog

2017’s Best Indonesian Film by Arul’s Movie Review Blog


Perfilman Indonesia di tahun 2017 mulai menunjukkan taringnya. Mulai dari segi jumlah penonton, bahkan beberapa film yang dirilis pun berusaha memiliki keberagaman tema dan kemasan. Apalagi di tahun 2017 ini adalah masa di mana bangkitnya film-film horor Indonesia. Mulai dari Danur : I See Ghosts hingga Jailangkung berhasil meraih jumlah penonton hingga 2,5 juta. Pun, hal ini berlaku dengan Pengabdi Setan yang diarahkan oleh Joko Anwar. Dengan berbagai ketelitiannya membangun atmosfir dan memperbagus sisi teknis, Pengabdi Setan perlahan tapi pasti menjadi film horor paling laris sepanjang masa dan bahkan menjadi film Indonesia terlaris di tahun 2017.  Selain itu, ada pula beberapa film Indonesia lain dengan tema-tema yang menarik seperti Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak yang dalam limited release-nya mampu meraih 150 ribu penonton. Pun, masih ada beberapa film yang rilis akhir tahun yang kali ini sudah mencapai kira-kira 1,5 hingga 2 juta penonton. Maka dari itu, 2017 adalah tahun yang menyenangkan bagi penonton Indonesia. Dengan banyaknya jumlah tontonan tersebut, ada beberapa film yang mungkin perlu untuk buatkan daftar sebagai film-film Indonesia terbaik.

Sebelum memasuki daftar film terbaik, ada beberapa film yang harus tersisih untuk bisa masuk sebagai daftar film terbaik versi Arul’s Movie Review Blog. Mulai dari film remaja hits masa kini seperti Dear Nathan, yang berhasil memberikan warna dalam genre-nya bukan hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai film remaja yang diarahkan dengan baik. Lalu juga ada Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody yang mungkin punya konflik yang lebih personal, tetapi sebagai sebuah film tentang perjalanan dan pengembangan diri, film ini perlu untuk diapresiasi. Serta ada The Underdogs, film remaja yang memberikan sisi lain fenomena dunia digital dan menjadi penyutradaraan debut dari Adink Liwutang yang sangat menghibur. Jangan lupakan Ziarah, yang memberikan tontonan alternatif dari segi tema maupun kemasan.

Semuanya pantas untuk diapresiasi, tetapi hanya ada 15 film yang berhasil masuk dalam daftar film Indonesia terbaik versi Arul’s Movie Review Blog. Berikut adalah listnya.

15. Critical Eleven. 
Usahanya untuk mengembalikan sebuah kisah romansa dewasa ini patut untuk diapresiasi. Mengembalikan harapan tentang cinta dengan segala turbulensinya, Critical Eleven ini dibuat dengan sepenuh hati oleh para pembuatnya.

14. Stip & Pensil.
Stip & Pensil memang tak disangka menjadi sebuah film komedi satir yang sangat menghibur. Mengkritik dunia pendidikan dengan sangat fun tetapi tak lupa mementingkan konten di dalamnya. Naskah dari Joko Anwar ini benar-benar menggelitik.

13. The Guys.
Karya dari Raditya Dika ini memang tak bisa booming seperti Hangout yang bisa meraih jutaan penonton. Tetapi dalam The Guys, Raditya Dika berusaha memberikan nilai lain tentang persahabatan, jati diri, dan keluarga.

12. Moammar Emka’s Jakarta Undercover.
Fajar Nugros berusaha menceritakan ulang kisah yang ditulis di dalam buku milik Moammar Emka dengan cakupan yang jauh lebih besar dan lebih berani dari film sebelumnya. Sehingga, Moammar Emka’s Jakarta Undercover punya banyak kelebihan dibanding film sebelumnya. Juga, performa yang gemilang dari Ganindra Bimo.

11. Night Bus.
Pemenang film terbaik di FFI 2017 ini memang punya kelemahan dari banyak aspek filmnya. Tetapi, tema keberagaman dibalut dengan thriller yang sangat kuat menjadikan Night Busmenjadi salah satu film yang sangat jarang ada di kancah sinema Indonesia.

10. My Generation.
Film terbaru milik Upi ini punya cara yang berbeda dalam menunjukkan bagaimana dinamika sosial dari para remaja masa kini. My Generation adalah cara bagaimana Upi menunjukkan bahwa tak ada generasi yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Mereka terlahir sesuai dengan zaman yang ada.

9. Susah Sinyal.
Tak seambisius seperti Cek Toko Sebelah, tetapi Susah Sinyaladalah bukti bahwa Ernest Prakasa berhasil memiliki kematangan dalam pengarahan. Kesederhanaan dalam problematikanya tentang ibu dan anak inilah yang membuat Susah Sinyal jauh lebih bagus dari Cek Toko Sebelah.

8. Bid’ah Cinta. 
Menunjukkan tentang fenomena islami tanpa menggurui. Memberikan perspektif yang solutif tentang bagaimana Islam menghadapi fenomena tertentu di negara ini. Bid’ah Cinta adalah karya Nurman Hakim yang menggelitik sama seperti film-film miliknya yang lain.

7. Buka’an 8
Ini adalah sebuah komedi yang chaotic tetapi ditata sedemikian rupa untuk menghibur. Sang sutradara membuat Buka’an 8 sebagai time capsule yang sangat personal tentang anaknya. Tetapi, karyanya yang personal ini akan membuka mata kalian agar sekali lagi memikirkan apa yang mau Anda putuskan, terlebih tentang menikah muda.

6. Posesif.
Memberikan kisah lain dalam kisah cinta remaja, Posesif adalah karya dengan pendekatan populer dari Edwin. Memberikan Anda sebuah peringatan dan awarenesstentang mental illness dan kekerasan dalam hubungan, inilah yang membuat Posesif sangat berbeda dengan film remaja lainnya.

5. Kartini.
Ini adalah sebuah karya biografi film yang dibuat dengan sangat baik oleh Hanung Bramantyo. Punya cara penyampaian yang menarik dan nilai produksi yang sangat diperhatikan, Kartini adalah salah satu film biografi Indonesia terbaik. Dian Sastrowardoyo pun bermain dengan sangat cantik.

4. Galih & Ratna 
Diangkat dari novel Gita Cinta Dari SMA, adaptasi dari Lucky Kuswandi ini berhasil memberikan adaptasi yang sesuai dengan zaman sekarang tanpa perlu berlebihan. Galih & Ratna adalah sebuah kisah cinta remaja melodrama yang manis sekaligus pahit, musik-musiknya pun asyik.

3. Sweet 20.
Sebuah remake dari film korea berjudul Miss Granny, Ody C. Harahap mengarahkannya jauh lebih bagus daripada film aslinya. Sehingga, Sweet 20adalah sebuah film komedi Indonesia sangat pas ditonton bersama-sama dengan keluarga. Performa Tatjana Saphira di film ini cadas!

2. Pengabdi Setan.
Joko Anwar di sini membuktikan bahwa film horor juga bisa digarap dengan serius dan detil. Pengabdi Setanadalah sebuah remake yang memperluas dunianya dengan cara Joko Anwar yang begitu teliti dalam pengarahannya. Atmosfir horor dan jump scare-nya sangat efektif!

1. Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak. 
Inilah film Indonesia terbaik di tahun 2017 dan beberapa tahun terakhir ini. Mouly Surya memberikan genre lain di dalam perfilman Indonesia lewat film ini. Menyuguhkan isu tentang perlawanan perempuan dengan pendekatan genre western, Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak adalah film yang sangat unik dan kuat dalam setiap babaknya. Performa Marsha Timothy di film ini sangat kuat sekali.

Senin, 20 Februari 2017

ARRIVAL (2016) REVIEW : Proses Negosiasi dalam Menyepakati Sebuah Bahasa

ARRIVAL (2016) REVIEW : Proses Negosiasi dalam Menyepakati Sebuah Bahasa


Science Fiction adalah sebuah genre yang bisa dibilang tak bisa disukai banyak orang. Tetapi di beberapa tahun terakhir, genre ini selalu memiliki satu film dengan presentasi yang memukau. Di tahun 2016 lalu, Denis Villenueve kembali menghadirkan sebuah film science-fiction yang diharapkan dapat bersanding dengan film-film seperti Gravity, Interstellar, atau The Martian yang mendapat banyak pujian di berbagai ajang penghargaan dan para kritikus film.

Denis Villenueve mengarahkan sebuah cerita yang diangkat dari buku kumpulan cerita pendek ‘Story of Your Life’ yang ditulis oleh Ted Chiang. Bersama dengan Eric Heisserer sebagai penulis naskah, Denis Villenueve berkolaborasi untuk menghasilkan karya terbaiknya. Arrival, karya terbaru dari sutradara yang mengarahkan film Prisoners, Enemy, dan Sicario ini  dibintangi oleh peraih nominasi Academy Awards, Amy Adams dan Forest Whitaker. Serta ada pula Jeremy Renner yang ikut serta meramaikan film ini.

Arrival memang terlihat sebagai sebuah film dengan premis invasi alien yang sudah pernah ada di film-film sebelumnya. Tetapi, Denis Villenueve dan Eric Heisserer berbicara jauh lebih dalam ketimbang tentang sebuah invasi alien. Arrival menceritakan tentang sebuah proses komunikasi untuk memahami sebuah realita tertentu. Membahas tentang bagaimana seseorang berinteraksi,  menyepakati simbol-simbol baru yang dapat dipahami sesuai referensi dan pengalaman setiap individu yang bisa mewakili penyebutan fenomena itu. 


Kekuatan dari Arrival bukan berada visual efek megah, tetapi pada proses bercerita yang kaya sekaligus unik. Penonton awam mungkin akan kesusahan dengan bagaimana Denis Villenueve merangkai ceritanya. Denis Villenueve menitikberatkan kepada proses yang terjadi di dalam pengembangan ceritanya. Dengan durasi yang mencapai 116 menit, Arrival memang memiliki penuturan cerita yang lambat dan perlu keaktifan penontonnya untuk memahami setiap detil cerita.

Denis Villenueve ingin menunjukkan sebuah proses dalam memahami sesuatu. Bagaimana setiap individu berusaha keras merepresentasikan fenomena yang mereka lihat dengan suatu bahasa. Penekanan tentang bahasa itulah yang ingin dijadikan sebuah problematika di dalam film ini. Proses menyepakati bahasa visual yang ada di dalam Arrivalinilah yang membuat filmnya akan tersegmentasi. Tak semua orang bisa menyepakati bahasa visual yang dibuat oleh Denis Villenueve.  Sehingga, tak semua penonton bisa untuk menerima setiap rangkaian cerita dalam Arrival


Bagaimana Denis Villenueve ingin menceritakan tentang seorang ahli linguistik bernama Louise Banks (Amy Adams) yang mengajar di suatu universitas tertentu. Kala itu, kehidupannya berubah ketika fenomena alam muncul di hadapannya. Sebuah benda asing masuk ke bumi yang dipercayai bahwa benda tersebut adalah sebuah pesawat luar angkasa. Benda itu membawa alien-alien yang masih belum diketahui motifnya.

Louise Banks pun dipercaya oleh CIA untuk mengetahui apa maksud dan tujuan alien tersebut datang ke bumi. Louise Banks pun berusaha keras untuk mengetahui bahasa yang ingin mereka tampilkan. Memahami pola-pola yang dikeluarkan oleh Alien tersebut sehingga pola tersebut bisa dibentuk menjadi susunan bahasa manusia yang dapat diketahui artinya. Dengan begitu, manusia tahu apa tujuan makhluk luar angkasa itu datang ke bumi.


Alien adalah makhluk asing di luar ekosistem bumi yang telah dikenal oleh manusia. Di dalam film Arrival, Alien digunakan sebagai sebuah metafora tentang bagaimana setiap manusia memahami apa yang ada di sekitarnya. Alien di dalam film-film bertema sama selalu digunakan sebagai sosok yang menganggu susunan sistem yang ada di bumi karena ketidaktahuan manusia untuk memahami sesuatu yang berbeda di luar referensinya. Begitu pula yang terjadi di Arrival, bedanya sosok Alien di sini hanya sebagai sosok yang statis dan perlu keaktifan manusia untuk menyepakati setiap simbol yang diberikan oleh sang Alien untuk mengetahui tujuannya di Bumi.

Arrival adalah sebuah film yang membahas tentang bahasa dan kegunaannya di kehidupan manusia. Bahasa adalah perwakilan dari realita yang disaksikan oleh manusia, bagaimana seseorang dapat mengartikulasikan apa yang mereka lihat juga dengan bahasa itu. Begitu pula apa yang berusaha Denis Villenueve lakukan lewat Arrival dan direpresentasikan lewat karakter Louise Banks. Bagaimana karakter ini mencari tahu pola-pola simbol yang disampaikan oleh sang Alien kepada manusia dan pola itu ditranslasikan sebagai sebuah bahasa manusia yang dapat dipahami. 


Arrival memperlihatkan bagaimana arti kata ‘Alienasi’ dengan penggambaran secara harfiah, meskipun penyampaiannya pun berbeda. Menggunakan Alien sebagai pion cerita untuk memahami terbentuknya sebuah bahasa adalah sesuatu yang unik. Begitu pula dengan penyusunan cerita di dalam film ini. Penonton akan menyusun babak demi babak, adegan demi adegan, yang terjadi di film ini sehingga penonton sepakat dengan bahasa visual yang berusaha disampaikan oleh Denis Villenueve. Dan penonton yang cocok dan sepakat dengan bahasa visual di dalam Arrival akan beruntung dapat menyaksikan sebuah penuturan cerita yang luar biasa hebat dari Denis Villenueve.

Penuturan Denis Villenueve yang unik ini tak lupa disokong dengan tata teknis yang memperkuat keindahan kekuatan bahasa visual milik Arrival. Bradford Young sebagai tata sinematografi ini tahu tujuan Denis Villenueve yang membuat Arrival memiliki pengalaman sinematis yang puitis. Serta tata musik Jóhann Jóhannsson yang menguatkan sisi puitisnya yang sudah muncul lewat pengarahan dari Denis Villenueve itu sendiri. Sehingga, rasa puitis itu tak terasa manipulatif atau dibuat-buat. 


Memang, Arrival bukan sebuah film yang dapat diterima oleh semua orang, bukan karena genre-nya saja tetapi juga cara Denis Villenueve menuturkan setiap adegannya. Arrival adalah film yang perlu keaktifan penontonnya untuk merangkai setiap filmnya agar menjadi film yang utuh. Arrival adalah sebuah film mengenai bahasa, bagaimana setiap orang memerlukan bahasa untuk mewakili realita yang mereka lihat. Denis Villenueve menunjukkan bahwa filmnya lebih condong kepada proses pembuatan bahasa dan negosiasi agar penonton sepakat dengan bahasa visual yang ditampilkan. Sehingga penonton yang sepakat dengan bahasa visual di dalam Arrivalakan mendapatkan dampak yang luar biasa. Berdasarkan dengan referensi yang ditampilkan lewat Arrival itulah penonton bisa tahu bahwa penuturan Denis Villenueve lewat Arrival itu jenius! 
ISTIRAHATLAH KATA-KATA (2017) REVIEW : Keterbatasan Interpretasi
Menimbulkan Perbedaan Persepsi

ISTIRAHATLAH KATA-KATA (2017) REVIEW : Keterbatasan Interpretasi Menimbulkan Perbedaan Persepsi


Film adalah sebuah medium untuk menyampaikan pesan. Hal ini dapat digunakan oleh banyak pihak untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Salah satunya adalah menggunakan film untuk menunjukkan suara-suara yang terpendam di tengah kebisingan suara masyarakat yang sama setiap harinya. Menunjukkan realita lain yang perlu diangkat dan ditunjukkan kepada banyak orang di tengah realita yang itu-itu saja.

Mungkin tujuan inilah yang berusaha ingin disampaikan oleh Yosep Anggi Noen saat ini. Menggunakan film sebagai medium menyuarakan pendapat, menyuarakan orang yang telah lama hilang untuk ‘dihidupkan kembali’. Lewat film terbarunya, ‘Istirahatlah Kata-Kata’, Yosep Anggi Noen ingin mengingatkan sosok penting di tengah era orde baru. Wiji Thukul, salah satu simbol perlawanan orde baru yang hilang saat membela hak asasinya.

Mengenalkan kepada banyak orang tentang Wiji Thukul –mungkin –adalah tujuan utama dari Yosep Anggi Noen. Lewat ‘Istirahatlah Kata-Kata’, Yosep Anggi Noen ingin menumbuhkan, setidaknya awareness terhadap sosok tersebut. Wiji Thukul tentu adalah sosok yang unik, menyuarakan pendapatnya adalah nafas baru bagi perfilman Indonesia dalam genre film biografi. Keunikan sosok Wiji Thukul pun diarahkan dengan pendekatan yang ‘unik’ pula oleh Yosep Anggi Noen. 


Yosep Anggi Noen memang tak memiliki rekam jejak film dengan pendekatan yang populer. Sehingga, keunikan dari sosok Wiji Thukul ini memang menjadi kekuatan sendiri bagi Yosep Anggi Noen dalam merangkai ‘Istirahatlah Kata-Kata’. Muncul banyak ketenangan yang digambarkan lewat adegan-adegan statis yang digadang sebagai sebuah puisi visual layaknya Wiji Thukul yang memiliki keterampilan menulis puisi.

Di saat sosok Wiji Thukul adalah satu titik balik penting dari pemerintahan Indonesia dan sosoknya yang dekat dengan masyarakat, pengarahan milik Yosep Anggi Noen tak sengaja memberi jarak antara karakter tersebut dengan penontonnya. Sosok yang perlu mendapat sorotan dan didekatkan kepada penontonnya ini terasa memiliki eksklusivitas. Hal itu tak hanya muncul lewat cara penyampaian dari Anggi Noen tetapi juga bagaimana dia menggambarkannya. 


Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) adalah sosok pahlawan kata-kata yang sedang menjadi buronan di negaranya sendiri. Dia adalah salah satu orang yang melawan tatanan negara orde baru lewat puisi-puisi yang dibuatnya. Dia pun berkelana jauh, pergi dari pulau Jawa tempat tinggalnya ke pulau-pulau lain hanya untuk menyelamatkan dirinya agar tak tertangkap oleh polisi dan antek-antek orde baru lainnya.

Di tengah perjuangan Wiji Thukul menjauhkan diri dari para antek-antek orde baru yang berusaha menangkapnya, sisi lainnya Istri Wiji Thukul, Sipon (Marissa Anita) pun hidupnya ikut tak tenang. Sipon gelisah atas keadaan Wiji Thukul, juga gelisah karena hidupnya selalu diawasi oleh Polisi-polisi yang ingin menangkap Wiji Thukul. Sipon dipaksa untuk memberitahu di mana Wiji Thukul berada dan itu membuatnya tersiksa. 


Istirahatlah Kata-Katasebagai sebuah film harusnya memberikan informasi tentang sosok Wiji Thukul yang telah dibungkam berpuluh tahun lamanya. Tujuan Yosep Anggi Noen sebenernya  mulia untuk menghidupkan kembali suara-suara yang telah hilang. Lewat Istirahatlah Kata-Kata, Yosep Anggi Noen ‘menghidupkan lagi’ sosok Wiji Thukul yang memberikan dampak besar terhadap tatanan orde baru yang otoriter kala itu. Orang-orang perlu tahu siapa Wiji Thukul yang selama ini hanya diketahui oleh orang-orang tertentu.

Dalam menyampaikan informasi tersebut, ‘Istirahatlah Kata-Kata’ tak dapat menuntaskan misinya dengan baik. Sosok Wiji Thukul yang dikenal di segmentasi tertentu itu pun tak dapat dikenal secara universal. Hal itu, dikarenakan keunikan Yosep Anggi Noen dalam menuturkan ceritanya yang terkadang tak sepenuhnya berisikan informasi itu. Puisi yang dilantunkan Gunawan Maryanto sebagai pengiring adegan-adegannya itu belum bisa ditransalasikan dengan pintar. Ada kesempitan ruang bergerak dalam menyampaikan informasinya dikarenakan idealisme sang sutradara.

Wiji Thukul adalah simbol atas perlawanan tatanan orde baru yang otoriter. Lewat ‘Istirahatlah Kata-Kata’, sang sutradara berhasil mengingatkan kembali kepada banyak orang tentang hak asasi manusia yang dilanggar di orde baru. Tetapi, lagi-lagi Yosep Anggi Noen tak bisa mengembangkan idenya yang luar biasa dengan visualisasi yang pintar. Menggambarkan perlawanan dalam sebuah narasi film seharusnya tak melulu harus menggunakan kata-kata tak beretika seperti ‘tahi’ atau ‘asu’ yang dalam bahasa Indonesia berarti anjing. Juga, menggunakan atribut minuman keras sebagai simbol perlawanan itu. 

 
Dengan kata-kata yang tak sepantasnya diucapkan itu memang memberikan penekanan bahwa memang seperti inilah realita yang ada di masyarakat. Menunjukkan bagaimana masyarakat kelas bawah berinteraksi satu sama lain tanpa ada dramatisasi. Kesalahan itu malah membuat film ini tak memiliki elegansi dan menunjukkan bahwa sang sutradara tak terlalu berpandangan luas dalam memberikan interpretasi. Padahal, ada satu adegan dalam ‘Istirahatlah Kata-Kata’ yang memberikan satu penggambaran ironi yang pintar saat sedang bervisualisasi.

Terjadi pula alienasi yang terjadi antara sosok Wiji Thukul dan penonton yang seharusnya memiliki intimasi karena sosok ini seharusnya memiliki atribut yang setara dengan masyarakat biasa pada umumnya. Tetapi, penggunaan narasi berbahasa inggris di awal dan di akhir film membuat ‘Istirahatlah Kata-Kata’ memiliki jarak dengan penontonnya. Dan hal itu, berbanding terbalik dengan bagaimana dialog atau naskah di dalam film ini yang dibuat begitu kasar dengan dalih menunjukkan realita yang sebenarnya.

Pun, terjadi penggambaran yang malah salah tentang sosok Wiji Thukul di dalam ‘Istirahatlah Kata-Kata’ ini. Bagaimana Yosep Anggi Noen melakukan pendekatan yang unik ini dan tak begitu hati-hati memperhatikan informasi yang berusaha disampaikan, maka akan terjadi kesalahan persepsi. Penonton akan menanyakan apa yang telah dilakukan oleh Wiji Thukul? Apa yang membedakan Wiji Thukul dengan pemberontak lainnya? Lantas, apa yang membuat Wiji Thukul PERLUuntuk disuarakan kembali kepada masyarakat luas?  Hal itu tak begitu dapat terjawab hingga akhir film ini.


Istirahatlah Kata-Kata memang tak menunjukkan perjalanan sosok Wiji Thukul dengan linimasa waktu yang runtut. Poin yang berusaha digambarkan oleh Yosep Anggi Noen memang ketika Wiji Thukul sedang menyelamatkan nyawanya. Tetapi, lantas tak ada visual apapun yang menyokong betapa pentingnya Wiji Thukul untuk bersembunyi dari kejaran orde baru. Malah, setiap visualisasi dan atribut pemberontakan klise ini memberikan pandangan bahwa sosok ini tak memiliki urgensi apapun untuk dikenalkan kepada masyarakat luas dan ini adalah kesalahan. 

Sebagai sebuah tontonan alternatif, ‘Istirahatlah Kata-Kata’ memang dapat menjadi salah satu referensi. Di dalam film ini, ada keunikan yang biasa dilakukan oleh Yosep Anggi Noen di film-film sebelumnya, apalagi sosok yang berusaha diangkat oleh Yosep Anggi Noen di dalam film ini juga mewakili keunikannya dalam bertutur. Sayangnya, keunikan dalam bertutur tak begitu matang sehingga mempengaruhi performa ‘Istirahatlah Kata-Kata’ sebagai film utuh. Kurangnya penuturan yang hati-hati oleh Yosep Anggi Noen menyebabkan beberapa bagian malah menimbulkan kesalahan persepsi. Begitu pula, menunjukkan bahwa Yosep Anggi Noen memiliki keterbatasan dalam berinterpretasi.