Tampilkan postingan dengan label Reboot. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Reboot. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 10 Maret 2018

REVIEW : TOMB RAIDER

REVIEW : TOMB RAIDER


“You messed with the wrong family.” 

Ladies and gentleman, Lara Croft is back! Bukan dalam bentuk sekuel yang melanjutkan dwilogi buruk tapi menghibur Lara Croft Tomb Raider (2001) dan The Cradle of Life (2003) dengan bintang Angelina Jolie, melainkan dalam bentuk reboot yang memulai segala sesuatunya dari awal mula. Keputusan ini bukannya tanpa alasan jelas mengingat: 1) rencana pembuatan film ketiga telah diurungkan lantaran Jolie emoh kembali dilibatkan, dan 2) seri permainan rekaan Crystal Dynamics yang merupakan landasan utama adaptasi ini pun me-reboot petualangan Lara Croft di tahun 2013. Dikontrol oleh Warner Bros. versi reboot yang menggunakan judul (sederhana) Tomb Raider ini menggunakan konsep dan pendekatan cukup berbeda dibanding seri-seri pendahulunya. Sang heroine yang kini diperankan oleh pemenang piala Oscar, Alicia Vikander, bukan lagi sosok lady pembangkang yang luar biasa tangguh dengan kemampuan tarung sulit untuk dikalahkan dan memiliki fisik aduhai bak Lara Croft versi Jolie. Sekali ini dia digambarkan lebih rapuh dan membumi, begitu pula dengan guliran pengisahan Tomb Raider versi 2018 yang mencoba agar lebih bisa diterima nalar penonton (walau hanya sedikit) dan memberi penekanan pada sisi petualangan alih-alih sebatas pada laga. Hasilnya, Tomb Raider era baru ini dapat tampil lebih baik ketimbang era lawas dan sebagai tontonan eskapisme pun film ini mampu hadir dalam kapasitas yang mumpuni. 

Menyandang status sebagai origin story, Tomb Raider memulai jalinan pengisahannya sedari awal sejak Lara Croft (Alicia Vikander) masih mencoba untuk berdamai dengan rasa duka akibat hilangnya sang ayah, Lord Richard Croft (Dominic West), tanpa jejak. Guna menekan rasa duka, Lara mencoba untuk hidup mandiri dengan meninggalkan mansion mewahnya, menyerahkan bisnis keluarga kepada orang kepercayaan sang ayah, dan memilih berkarir sebagai kurir sepeda yang memacu adrenalin tatkala tenggat waktu sudah mepet. Selama bertahun-tahun berada dalam fase ‘denial’, Lara akhirnya harus menghadapi kenyataan tatkala rekan bisnis Richard, Ana Miller (Kristin Scott Thomas), memperingatkan bahwa mansion milik keluarga Croft akan dijual apabila Lara tidak kunjung menandatangani surat pernyataan penerima harta waris yang secara otomatis turut menyatakan bahwa Richard telah tiada. Dalam keragu-raguan, Lara menemukan sebuah petunjuk penting yang mungkin mengungkap keberadan sang ayah. Petunjuk tersebut mengarahkan jagoan kita ke Yamatai, gugusan pulau di lepas pantai Jepang, yang konon kabarnya dikutuk karena menjadi makam bagi Ratu Himiko yang kejam. Hanya membawa modal seadanya berupa buku harian Richard dan kenekatan, Lara ditemani oleh pelaut Lu Ren (Daniel Wu) pun bertolak ke Yamatai demi menemukan kebenaran dibalik misteri menghilangnya sang ayah.


Ada satu kesamaan yang menautkan film-film yang diadaptasi dari permainan konsol; skripnya lemah dengan guliran penceritaan penuh lubang dan kerap dipertanyakan. Walau ini sejatinya bukan sesuatu mengherankan mengingat materi sumbernya sendiri cenderung abai soal plot karena inti dari permainan bukanlah kedalaman cerita melainkan terletak pada visualisasi dan tantangan yang dihadapkan ke pemain. Tomb Raider versi Roar Uthaug (The Wave) selaku film adaptasi dari video game berseri pun (tentunya) menghadapi persoalan serupa. Ya mau bagaimana lagi, plot memang bukan sesuatu yang benar-benar krusial di sini karena keberadaannya sendiri sebatas untuk menjustifikasi munculnya rentetan aksi yang dihadapi sang jagoan. Tapi jika boleh dikomparasi dengan dua seri Tomb Raider yang menampilkan Jolie, ini masih setingkat lebih baik. Narasi rekaan duo Geneva Robertson-Dworet dan Alastair Siddons setidaknya menaruh perhatian kepada sosok Lara Croft dengan memberinya latar belakang sekaligus karakterisasi cukup jelas sehingga dia terlihat manusiawi dan bukanlah sebatas karakter jagoan kosong. Penonton melihatnya berproses dari seorang perempuan yang mencoba mengatasi dukanya dengan melarikan diri menjadi seorang perempuan yang pantang menyerah dan berani menghadapi tantangan di depannya. Alicia Vikander mampu memperlihatkan perubahan ini secara meyakinkan baik melalui air muka maupun gestur tubuh yang terlihat dari kemampuannya menangani adegan aksi sehingga karakter Lara di tangannya dapat dikategorikan ‘badass’. 

Ketiadaan plot yang mengikat – well, misteri tentang Pulau Yamatai dan Ratu Himiko ini sebetulnya menarik sampai kemudian perlahan raib saat sang heroine akhirnya menginjakkan kaki di pulau misterius tersebut – untungnya berhasil dikompensasi oleh Uthaug dengan kapabilitasnya dalam mengkreasi rentetan sekuens laga yang mampu memacu adrenalin di hampir sepanjang durasi. Beberapa adegan aksi di Tomb Raider yang memberikan impresi sangat baik kepada penonton meliputi puluhan sepeda yang saling berkejar-kejaran menembus jalanan kota London yang padat di menit pembuka yang seketika membangkitkan ketertarikan terhadap film, terjangan badai besar menyambut kedatangan Lara beserta Lu Ren di Pulau Yamatai yang memporakporandakan kapal yang mereka tumpangi, bergelantungan di bangkai pesawat yang nangkring di atas air terjun, duel Lara dengan salah satu anak buah dari villain utama film ini di atas kubangan lumpur, sampai petualangan menyusuri makam Ratu Himiko yang di dalamnya ternyata dipenuhi dengan jebakan mematikan yang menyulitkan siapapun untuk keluar dari makam tersebut hidup-hidup. Adegan-adegan ini berhasil dengan baik membawa penonton memasuki fase ‘harap-harap cemas’ seraya meremas-remas kursi bioskop dengan erat. Adegan-adegan ini juga yang memberikan alasan mengapa Tomb Raider layak ditonton di layar lebar. Meski penceritaannya mungkin saja akan membuatmu geleng-geleng, tapi setidaknya Alicia Vikander tampil meyakinkan sebagai Lara Croft dan rentetan laganya yang digeber hampir tanpa henti memberikan definisi dari kata mengasyikkan.

Exceeds Expectations (3,5/5)



Selasa, 01 Agustus 2017

REVIEW : WAR FOR THE PLANET OF THE APES

REVIEW : WAR FOR THE PLANET OF THE APES


“I did not start this war. I offered you peace. I showed you mercy. But now you're here. To finish us off, for good.” 

Usai sebuah virus bernama Simian Flu menyebar ke seantero dunia di penghujung instalmen pertama dari trilogi prekuel ini, perlahan tapi pasti jumlah kera yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata membengkak sementara populasi manusia terus menyurut secara drastis. Menyadari bahwa peradaban manusia berada di ujung tanduk, berbagai upaya untuk menundukkan pertumbuhan masif kera-kera cerdas pun terus dilakukan oleh faksi-faksi militan. Koba, salah satu kera yang menyimpan dendam pada manusia lantaran pernah menjadi bahan eksperimen, tentu tak tinggal diam mengetahui adanya upaya pemberantasan ini sehingga dia pun menghimpun pasukan yang berasal dari kaumnya sendiri untuk memerangi manusia-manusia keji di seri kedua. Pertentangan antara manusia dengan para kera berotak brilian selama bertahun-tahun ini akhirnya mencapai titik kulminasinya dalam War for the Planet of the Apes. Melalui jilid ketiga, Matt Reeves yang turut membesut instalmen sebelumnya, Dawn of the Planet of the Apes, menghadirkan peperangan penting yang bukan saja menentukan masa depan dari dua spesies tersebut di muka bumi tetapi juga membentuk jalan menuju semesta yang dihadirkan oleh Planet of the Apes rilisan tahun 1968 selaku dedengkot franchise ini. 

Kematian Koba (Toby Kebbell) di film kedua nyatanya tak mengubah keadaan sedikitpun. Para manusia terus melacak keberadaan para kera yang tersisa, utamanya kelompok dari Caesar (Andy Serkis) yang kini memilih untuk bersembunyi jauh di dalam hutan. Namun persembunyian ini tak bertahan lama karena pada menit-menit pertama War for the Planet of the Apes, penonton langsung mendapati fakta bahwa persembunyian Caesar telah terendus. Pertempuran tak lagi terelakkan yang mula-mula dimenangkan dengan mudah oleh pihak manusia sampai kemudian keadaan berbalik saat sang pemimpin kaum kera yang tidak lain adalah Caesar memutuskan untuk turun tangan dan mengerahkan pasukan perangnya. Beberapa prajurit yang selamat dari pertempuran tersebut lantas dibawa sebagai tawanan ke markas para kera yang belakangan dilepas oleh Caesar demi menyampaikan pesan perdamaian ke atasan mereka, Kolonel (Woody Harrelson). Alih-alih menyanggupi permohonan untuk berdamai, Kolonel yang kini telah mengetahui secara pasti lokasi markas para kera justru membantai keluarga Caesar. Diliputi amarah yang meluap-luap, sang raja kera pun memutuskan untuk meninggalkan kawanannya dan menempuh perjalanan panjang guna membalas dendam pada Kolonel.
 

Setidaknya di 15 menit awal, War for the Planet of the Apes memenuhi permintaan dari khalayak ramai yang berbondong-bondong memenuhi gedung bioskop: peperangan yang seru. Selepas menyegarkan ingatan penonton mengenai alur penceritaan dari dua seri sebelumnya, Matt Reeves tanpa banyak berbasa-basi langsung menempatkan kita di tengah-tengah penyergapan. Secara silih berganti, terdengar suara tembakan, lalu suara anak panah dilesakkan. Untuk ukuran sebuah film yang mengantongi rating PG-13 (13 tahun ke atas), pemandangan yang terhampar di adegan pembuka ini terhitung kelam – meski ya, darah tidak terlalu nampak karena cahaya nyaris absen. Intensitasnya pun tinggi. Ada baiknya, penonton cilik yang mudah ketakutan atau merengek, tidak diajak ikut serta menonton War for the Planet of the Apes di bioskop karena nuansa yang dikedepankannya menyesakkan sekaligus menghantui. Keputusan yang cukup mengagetkan sebetulnya mengingat seri ini diniatkan sebagai tontonan eskapisme untuk menyemarakkan liburan panjang. Usai pertempuran pertama di film yang dimenangkan oleh pasukan Caesar, nada penceritaan kian muram. Pemicunya, Kolonel menyelinap masuk ke markas para kera lalu membunuh istri dan putra sulung Caesar. Belum sempat kita pulih dari serangan membabi buta, hati kembali dibuat terhenyak dengan kematian tak disangka-sangka. 

Canggihnya efek khusus yang membuat kita yakin bahwa para kera ini nyata adanya – bukan sebatas hasil kreasi komputer – sanggup mentranslasi perubahan mimik wajah dari Andy Serkis secara sempurna. Berkatnya, kita bisa mendeteksi adanya kepiluan, amarah, sekaligus kebencian yang melahirkan obsesi untuk membalas dendam dalam tubuh Caesar. Perlahan tapi pasti, jiwa Koba yang coba ditolaknya merasuk ke dalam dirinya. Dari sini, laju pengisahan film yang semula bergegas mulai melambat. Reeves ingin fokus kepada pertumbuhan karakter dari Caesar dengan menunjukkan peperangan sang protagonis dalam menekan sisi gelapnya yang mulai tumbuh tak terkendali. Sosok manusia yang mengayomi para kera tak lagi nampak disini dan sebagai gantinya, Caesar memperoleh bantuan serta wejangan dari sesamanya seperti Maurice yang bijak (Karin Konoval), Rocket yang setia (Terry Notary), Luca yang pemberani (Michael Adamthwaite), dan Bad Ape (Steve Zahn) yang celetukan berikut tindak tanduk menggelitiknya difungsikan untuk memberi sedikit keceriaan di sela-sela nuansa yang nyaris melulu tegang seperti bagaimana semestinya suatu medan peperangan. Disamping mereka, masih ada pula sesosok perempuan cilik bernama Nova (Amiah Miller) yang keberadaannya tidak saja memberi tribute pada Planet of the Apes tetapi juga untuk mengingatkan Caesar mengenai sisi ‘manusiawi’ dari dirinya. 

Ya, War for the Planet of the Apes bukan semata-mata sebuah spektakel pengisi liburan musim panas yang disesaki rentetan sekuens eksplosif – kamu akan mendapatinya di klimaks seru film ini – karena Matt Reeves mencoba pula untuk bercerita, mencoba memberi penutup layak bagi sebuah trilogi prekuel/reboot, dan mencoba membangun jembatan penghubung antar franchise yang dapat diterima dengan baik. Dalam War for the Planet of the Apes, selain menyoroti perjuangan beserta tumbuh berkembangnya Caesar sebagai suatu karakter sehingga pada akhirnya kita bisa memahami mengapa dia sangat pantas menyandang gelar ‘pemimpin sejati’, Reeves turut menyinggung isu gelap nan sensitif semacam rasisme, kekejaman peperangan, sampai sisi kelam makhluk hidup meliputi dendam dan ambisi yang disisipkannya secara cerdik ke dalam penceritaan bersama Mark Boomback. Alhasil, naskah War for the Planet of the Apes terasa bernas tanpa pernah terjerumus menjadi pretensius. Ini lantas diolah oleh Reeves menjadi bahasa gambar yang megah, mendebarkan, mengusik pikiran sekaligus menyayat hati. Kecakapan Reeves sanggup menempatkan War for the Planet of the Apes sebagai penutup trilogi yang amat baik sekaligus salah satu sajian musim panas paling berkesan tahun ini.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_8jiV

Outstanding (4/5)


Minggu, 16 Juli 2017

REVIEW : BAYWATCH

REVIEW : BAYWATCH


“She's the reason I believe in God.” 

Apabila kamu termasuk bagian dari generasi 80-an atau 90-an dan mengakrabi budaya populer pada masa itu, tentunya mengetahui serial televisi berjudul Baywatch dong? Berceloteh mengenai sejumlah penjaga pantai yang berjibaku dengan serentetan peristiwa di area kerja mereka, serial yang sempat mengudara di salah satu televisi nasional Indonesia (kalau tayang sekarang, bakal kena blur dimana-mana tuh sampai-sampai yang keliatan cuma kepala pemainnya doang) ini merengkuh popularitasnya bukan lantaran mempunyai plot berkualitas jempolan melainkan lebih disebabkan kemurahhatiannya dalam mengumbar keseksian pemain-pemainnya serta kemasannya yang norak-norak menyenangkan – tidak mencoba sok serius. Tontonan guilty pleasure gitu lah. Yang paling diingat dari serial ini pun sebatas adegan yang memperlihatkan Pamela Anderson berlari-lari di bibir pantai mengenakan bikini berwarna merah dalam gerakan lambat, sementara lainnya... yuk dadah bye bye. Menguap cepat dari ingatan. Tapi mungkin saja itu hanya saya karena Paramount Pictures nyatanya menganggap serial ini masih memiliki brand sekaligus basis penggemar cukup kuat. Mereka merasa perlu untuk membangkitkan Baywatch kembali dalam format film layar lebar bertajuk serupa dengan barisan pemain yang tentu saja dirombak habis-habisan menyesuaikan zaman dan merangkul genre komedi ketimbang sebatas berada di ranah drama aksi seperti materi sumbernya. 

Menggantikan David Hasselhoff untuk memerankan Mitch Buchannon dalam versi film adalah Dwayne Johnson. Bersama dengan Stephanie Holden (Ilfenesh Hadera), C.J. Parker (Kelly Rohrbach) dan rekan-rekannya dalam divisi elit penjaga pantai bernama Baywatch, Mitch bertugas untuk menjaga situasi di Emerald Bay, Florida, agar senantiasa kondusif sehingga para pengunjung yang menghabiskan liburannya di pantai tersebut tidak perlu mencemaskan apapun. Demi menambah personil Baywatch yang terus datang dan pergi seiring berjalannya waktu, Mitch beserta tim pun menggelar uji coba. Diikuti puluhan peserta, tiga anggota baru yang akhirnya terpilih di ujung hari antara lain Summer Quinn (Alexandra Daddario) yang cerdas, Ronnie (Jon Bass) yang bertekad baja, dan mantan atlet Olimpiade cabang renang yang karinya berakhir usai suatu insiden memalukan, Matt Brody (Zac Efron). Keterlibatan Matt dalam tim yang dilandasi keterpaksaan dan sikapnya yang cenderung semau gue memicu mencuatnya gesekan-gesekan diantara sesama anggota tim utamanya Mitch dan Summer. Namun konflik internal ini mau tak mau terpaksa dipinggirkan tatkala Mitch mengendus ada sesuatu yang tidak beres di Emerald Bay selepas menemukan bungkusan kecil berisi obat-obatan terlarang. Pengusutan demi pengusutan yang dilakukan Baywatch lantas menuntun mereka pada seorang pebisnis bernama Victoria Leeds (Priyanka Chopra) yang tengah berencana mengekspansi bisnisnya dengan cara kotor.


Menonton Baywatch di bioskop sudah barang tentu tidak mengharap apa-apa selain kesenangan yang adiktif. Sang sutradara, Seth Gordon (Horrible Bosses, Identity Thief), sanggup memenuhi itu setidaknya di separuh awal durasi. Lawakan-lawakannya yang dibaluri referensi ke budaya populer seperti saat Mitch memanggil Matt dengan nama-nama julukan (dari boyband sampai High School Musical!) atau olok-olok terhadap elemen-elemen absurd dari versi serial televisinya terhitung cukup ampuh dalam menggelitik saraf tawa. Levelnya sih memang sebatas bikin tertawa-tawa kecil saja tak sampai bikin tergelak-gelak hebat, tapi bagaimanapun juga tawa tetaplah tawa, bukan? Disamping suntikan humor pekat, hiburan yang diperoleh penonton di babak awal adalah gulali-gulali manis bagi mata. Atau dengan kata lain, pemandangan yang menjadi ciri khas dari Baywatch: perempuan bertubuh seksi dengan bikini ketat yang berlari-lari di pantai dalam gerakan amat lambat serta laki-laki dengan perut serata papan cucian yang hampir sepanjang waktu menanggalkan bajunya. Untuk sesaat, Baywatch sedikit banyak memenuhi ekspektasi dari para penontonnya sampai kemudian kita menyadari bahwa durasinya kelewat panjang untuk sebuah film yang konfliknya klise dan tidak lebih rumit dari satu episode serial televisi ini. Alhasil begitu memasuki pertengahan film, laju pengisahan Baywatch serasa diulur-ulur. 

Daya bunuh humornya pun ikut mengendor seiring terlampau sering dilontarkannya lawakan-lawakan ekstrim yang malah berakhir menjijikan ketimbang lucu. Mungkin hanya saya saja atau ada juga yang menganggap adegan Mitch meraba-raba selangkangan mayat laki-laki di kamar mayat itu mengundang rasa geli-geli mengusik kenyamanan? Kenyamanan dalam menonton Baywatch memang semakin menurun di paruh kedua terlebih kegaringan humornya mulai menandingi kulit ayam goreng kaepci dan rentetan laga yang muncul tak memberi impak apapun. Tak memberi sensasi harap-harap cemas atau sekadar bersemangat yang semestinya ada. Yang kemudian membuat Baywatch tetap mengapung alih-alih tenggelam hingga ke dasar samudera sampai bloopers di sela-sela credit title nongol adalah performa pemainnya. Maksud saya, performa Dwayne Johnson dan Priyanka Chopra – pemain lainnya seolah hanya dimanfaatkan sebagai tim hore, apalagi cameo dari Hasselhoff dan Anderson. Dwayne mempunyai karisma kuat sebagai jagoan yang mudah disukai dengan comic timing yang jitu pula sementara Priyanka memancarkan aura seduktif, intimidatif, dan berbahaya di saat bersamaan. Keberadaan mereka sangat membantu dalam menyalurkan energi positif ke film maka saat keduanya rehat sejenak untuk memberi kesempatan bagi tim hore beraksi, Baywatch ikut melemas. Untungnya Gordon menyadari hal tersebut sehingga potensi keduanya sebisa mungkin dimaksimalkan yang pada akhirnya membuat Baywatch masih dapat terhidang sebagai tontonan yang bisa dinikmati di kala (amat sangat) senggang.

Acceptable (2,5/5)


Kamis, 06 Juli 2017

REVIEW : SPIDER-MAN: HOMECOMING

REVIEW : SPIDER-MAN: HOMECOMING


"I'm nothing without the suit!"
"If you're nothing without the suit, then you shouldn't have it."

Reboot lagi, reboot lagi. Mungkin begitulah tanggapan sebagian pihak tatkala mengetahui film terbaru si manusia laba-laba, Spider-Man: Homecoming, memulai guliran pengisahannya dari awal mula (lagi!) alih-alih melanjutkan apa yang tertinggal di dwilogi The Amazing Spider-Man yang juga merupakan sebuah reboot dari trilogi Spider-Man asuhan Sam Raimi. Bisa jadi tidak banyak yang tahu – kecuali kamu rajin mengikuti perkembangan berita film terkini – bahwa keputusan untuk ‘back to the start’ ini dilandasi alasan agar Spider-Man dapat melebur secara mulus (dan resmi) ke dalam linimasa Marvel Cinematic Universe (MCU). Sebelum hak pembuatan film merapat lagi ke Marvel Studios yang diumumkan pada tahun 2015 silam, segala bentuk film yang berkenaan dengan alter ego Peter Parker ini memang berada sepenuhnya di tangan Sony Pictures. Itulah mengapa kita baru benar-benar bisa melihat Spidey bergabung bersama para personil Avengers untuk pertama kalinya dalam Captain America: Civil War (2016) selepas kesepakatan kerjasama antara Sony Pictures dengan Marvel Studios sukses tercapai. Menyusul perkenalan singkat nan berkesan yang menyatakan bahwa si manusia laba-laba telah ‘pulang ke rumah’ di film sang kapten tersebut, Spidey akhirnya memperoleh kesempatan unjuk gigi lebih besar dalam film solo perdananya sebagai bagian dari MCU yang diberi tajuk Spider-Man: Homecoming

Dalam Spider-Man: Homecoming, Peter Parker (Tom Holland) dideskripsikan sebagai seorang remaja SMA berusia 15 tahun yang memiliki otak encer, penuh semangat, sekaligus masih labil. Pasca diajak berpartisipasi oleh Tony Stark (Robert Downey Jr) dalam pertempuran antar personil Avengers akibat perbedaan prinsip seperti diperlihatkan di Civil War, Peter berharap banyak dirinya dalam wujud Spider-Man akan dipercaya seutuhnya untuk menjadi bagian dari kelompok Avengers. Berbulan-bulan menanti panggilan dari Tony yang tidak kunjung datang, Peter pun memilih beraksi kecil-kecilan seorang diri di lingkungan sekitar tempat tinggalnya dengan harapan suatu saat akan menghadapi pelaku kriminal sesungguhnya. Tidak berselang lama, gayung bersambut. Peter berhasil menggagalkan aksi pembobolan ATM dari sejumlah perampok yang menggunakan senjata berkekuatan luar biasa dan berlanjut pada memergoki penjualan senjata ilegal dari pihak sama yang ternyata dikomando oleh mantan kontraktor yang menyimpan dendam kesumat pada Tony, Adrian Toomes (Michael Keaton). Dengan bantuan sang sahabat yang mengetahui jati diri Peter yang lain, Ned (Jacob Batalon), dan perlengkapan canggih hasil kreasi Tony, Peter/Spider-Man berupaya membuktikan kepada sang mentor bahwa dirinya telah memenuhi kualifikasi untuk bergabung ke dalam Avengers dengan cara menghentikan rencana besar Adrian untuk mencuri senjata berteknologi tinggi dari pemerintah.


Hanya butuh tiga huruf untuk mendeskripsikan seperti apa Spider-Man: Homecoming, yakni F-U-N. Ya, sajian rekaan Jon Watts (Clown, Cop Car) ini sanggup memberikan sebuah pengalaman sinematik yang bukan saja mengasyikkan tetapi juga memuaskan sehingga mudah untuk menempatkannya di jajaran terdepan dari film terbaik Spider-Man – menurut saya, hanya kalah dari Spider-Man 2. Guyonan yang dilontarkannya berulang kali menciptakan derai-derai tawa, sementara rentetan sekuens laga yang dikedepankannya pun amat seru. Terhitung sedari adegan Spidey melawan gerombolan Adrian Toomes di dalam bilik ATM yang menghadirkan semangat pula canda tawa, setahap demi setahap Watts mulai meningkatkan level kegentingan yang dihadapi pahlawan kita bersama ini yang membuat perjalanan selama 132 menit berlangsung tanpa terdengar helaan nafas panjang tanda munculnya kejenuhan. Tercatat setidaknya ada tiga momen laga mendebarkan yang mencuri atensi saya secara penuh di Spider-Man: Homecoming. Pertama, ketika si manusia laba-laba mencoba untuk menyelamatkan rekan-rekan sekolahnya yang terjebak di dalam lift yang hendak terperosok. Kedua, penghormatan terhadap adegan kereta listrik dari Spider-Man 2 tatkala Spidey melawan Vulture – jelmaan Adrian – di kapal feri yang berujung pada terbelahnya kapal tersebut. Dan ketiga, konfrontasi akhir yang panas dan dipicu oleh ‘interogasi’ tak disangka-sangka. 

Segala bentuk gegap gempita penuh kesenangan tersebut bisa kamu jumpai dengan mudah sejak babak pembuka hingga penutup dalam Spider-Man: Homecoming yang penceritaannya dilantunkan menggunakan pendekatan film remaja 80-an bertemakan coming of age seperti milik mendiang John Hughes (The Breakfast Club, Ferris Bueller’s Day Off) ini. Satu hal yang saya sukai sekaligus kagumi dari film solo untuk para superhero yang tergabung dalam MCU adalah adanya sempalan genre lain dibalik tampilan luar yang sepintas lalu tampak seragam sebagai superhero movie yang semata berhura-hura. Lihat bagaimana mereka membentuk Captain America: Winter Soldier selaiknya tontonan spionase, lalu Guardians of the Galaxy menyerupai space opera dengan bumbu komedi nyentrik, dan Ant-Man yang kentara terasa dipengaruhi oleh heist movie. Dalam Spider-Man: Homecoming, keputusan untuk membawanya ke arah film remaja pencarian jati diri terbilang masuk akal karena pendekatan ini efektif dalam mengenalkan pula mendekatkan penonton kepada sosok Peter/Spidey melalui serangkaian konflik internal khas remaja kebanyakan (contoh memendam asmara pada gadis tercantik di sekolah, teralienasi dari pergaulan dan haus akan pengakuan) yang dihadapi Spidey sebagai anggota paling muda di Avengers. Kita bisa mendeteksi semangatnya yang kelewat meletup-letup, idealismenya yang acapkali kebablasan, kepolosan generasi muda yang belum tersentuh pahitnya dunia, sampai ketidakstabilan emosinya sehingga membuat keberadaan Tony Stark di sisinya pun sangat bisa dipahami. Lagipula, bukankah menyegarkan melihat sepak terjang superhero remaja yang masih labil setelah selama ini kita lebih sering menyaksikan aksi para superhero dewasa yang memahami benar apa motivasi mereka dalam bertempur? 

Tom Holland mampu menerjemahkan itu semua secara prima, termasuk ketengilan Spidey kala beraksi dan kekikukkan Peter dalam berinteraksi sosial. Meyakinkan. Apiknya performa Holland turut mendapat sokongan pula dari lini pendukung yang menghadirkan lakonan tak kalah apik; Michael Keaton adalah seorang villain yang mengintimidasi baik saat mengenakan kostum maupun tidak (tengok adegan di mobil!) serta manusiawi di saat bersamaan menilik motivasinya yang bukan semata-mata ingin menguasai dunia, Jacob Batalon adalah seorang sahabat kocak yang ingin kita miliki, Zendaya sebagai teman sekolah Peter adalah seorang perempuan dengan aura misterius yang ingin kita kenal, dan Marisa Tomei sebagai Bibi May adalah seorang bibi keren yang kita kagumi. Disamping mereka masih ada juga sumbangsih peran dari Jon Favreau, Robert Downey Jr., Tony Revolori, serta Chris Evans (dalam peran singkat yang bikin gemes!) yang membuat film kian memiliki cita rasa meriah. Meriah? Ya, memang demikian adanya Spider-Man: Homecoming seperti halnya kebanyakan film yang tergabung dalam MCU. Namun lebih dari itu, nada penceritaan sarat hingar bingar yang dipilih oleh Jon Watts sendiri merupakan sebentuk representasi untuk Peter/Spider beserta masa mudanya yang penuh gejolak. Masa mudanya yang mengasyikkan, seru, dan penuh warna lantaran mempunyai banyak kesempatan mengeksplor kekuatan baru tak terbayangkan sebelumnya. 

Note : Pastikan kamu bertahan hingga layar bioskop telah berubah sepenuhnya gelap. Ada dua adegan tambahan tatkala credit title bergulir yang berada di pertengahan dan penghujung.

Outstanding (4/5)


Kamis, 08 Juni 2017

REVIEW : THE MUMMY

REVIEW : THE MUMMY


“Welcome to a new world of gods and monsters.” 

Disamping keranjingan mengeruk pundi-pundi dollar melalui sekuel, remake, reboot, atau apalah-apalah itu sebutannya, studio-studio raksasa di Hollywood tengah menggemari cara lain untuk membentuk sebuah franchise yakni menciptakan shared universe yang menghubungkan sejumlah judul film menggunakan ‘tali pengait’ berbentuk karakter, plot, sampai bangunan dunianya. Semesta-semesta film yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir antara lain Marvel Cinematic Universe, DC Extended Universe, MonsterVerse, hingga paling anyar Dark Universe yang menyatukan sederet makhluk jejadian legendaris dari dunia fiksi semacam Dracula, Frankenstein, Invisible Man, serta Wolf Man. Diinisiasi oleh Universal Pictures, Dark Universe mencoba mengawalinya dengan versi paling mutakhir The Mummy yang menggaet Tom Cruise untuk menempati garda terdepan menggantikan posisi Brendan Fraser dari trilogi sebelumnya dan menempatkan Alex Kurtzman yang lebih berpengalaman sebagai produser di kursi penyutradaraan. Apakah ini berhasil? Well, sayangnya saya harus mengatakan bahwa The Mummy versi Tom Cruise yang mengawinkan beragam genre ini bukanlah suatu upaya yang berhasil untuk memperkenalkan penonton kepada sebuah semesta film baru. Tidak buruk, hanya saja jauh dari kata greget. 

Dalam The Mummy, Tom Cruise memerankan seorang tentara Amerika Serikat bernama Nick Morton yang tengah ditugaskan di Irak. Guna menghabiskan waktu luangnya (atau memang pada dasarnya dia tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai tentara? Dunno), Nick mengajak serta rekannya, Chris Vail (Jake Johnson), untuk berburu barang-barang antik bernilai tukar tinggi. Dalam perburuan terbaru, Nick mencuri peta dari seorang arkeolog, Jenny Halsey (Annabelle Wallis), yang mengantarkannya pada sebuah makam. Belakangan diketahui, makam tersebut menyimpan sebuah sarkofagus yang ‘dihuni’ oleh mumi Putri Ahmanet (Sofia Boutella) yang dibuang jauh-jauh dari Mesir selepas sang putri membunuh ayahnya yang notabene seorang raja berpengaruh dan adik tiri laki-lakinya lantaran tidak beroleh kesempatan untuk berkuasa. Keinginan untuk menyelidiki lebih jauh tentang Ahmanet membuat Jenny berinisiatif memboyong sang mumi ke London. Sebuah keputusan yang tidak bijak, tentu saja, karena perjalanan ini membangunkan Ahmanet dari tidur panjangnya. Ahmanet yang dikuasai amarah dan kebencian berencana melancarkan agendanya untuk menciptakan kekacauan di dunia berbekal pisau sakti milik dewa kegelapan, Set. Berpacu dengan waktu, Nick dan Jenny pun harus bekerjasama untuk menghentikan rencana Ahmanet atau kekuatan gelap akan menguasai dunia.


Apabila menengok presentasi yang digeber lewat trailernya, The Mummy seolah menjanjikan tontonan petualangan yang seru dan mendebarkan. Tidak juga sepenuhnya salah, toh kita mendapati kesan tersebut di separuh awal durasi yang gegap gempita. Bisa dikata, beberapa menit sekali ada kemeriahan yang menyeruak menghiasi layar bioskop. Mula-mula penonton diajak mengikuti ekspedisi penelusuran peta milik Jenny di Irak yang berlangsung mengasyikkan serta membangkitkan semangat untuk mengikuti lantunan kisah dalam film. Lalu berlanjut pada detik-detik jatuhnya pesawat yang sekalipun telah cukup sering disimak lewat materi promosi, masih berhasil memberikan ketegangan yang dibutuhkan. Inilah momen terbaik yang dipunyai oleh The Mummy sekaligus (sedihnya) momen puncak. Ya, selepas sekuens kandasnya pesawat dan latar penceritaan film dialihkan ke Britania Raya, daya cengkram berangsur-angsur mulai mengendur terhitung semenjak sang villain utama melahap mangsa-mangsanya. Ini tentu terasa ironis karena kebangkitan Putri Ahmanet yang seharusnya menjadi titik lontar dimana ketegangan mengalami eskalasi malah menjadi titik awal dimana film mengalami kemunduran. Seolah-olah sang mumi turut menghisap habis jiwa dari The Mummy sehingga sisa durasi pun berjalan gontai. 

Alex Kurtzman tampak kebingungan dalam menentukan nada penceritaan yang jelas bagi film. Elemen laga petualangan, horor, serta komedi dicampurbaur sesuka hati yang berdampak pada masing-masing tersaji setengah matang. Sisi laganya kurang menghentak (tak ada momen berkesan seperti badai gurun membentuk wajah di The Mummy terdahulu), sisi horornya tidak meneror (errr.. lebih banyak zombie ketimbang mumi di sini), dan sisi komedinya seringkali mentah sampai-sampai sulit mengundang derai tawa lepas. Alhasil, The Mummy terasa sungguh melelahkan nan menjemukan buat disimak. Pengarahan sang sutradara yang kurang efektif turut diperparah pula oleh susunan naskah berantakan dari trio David Koepp, Christopher McQuarrie, dan Dylan Kussman sampai-sampai tidak menyisakan ruang bagi perkembangan karakter. Jangan harap kamu bisa bersorak memberikan semangat kepada Tom Cruise, Annabelle Wallis, maupun Jake Johnson seperti yang bisa kamu lakukan kepada Brendan Fraser, Rachel Weisz, serta John Hannah dari The Mummy gubahan Stephen Sommers keluaran tahun 1999 (yang sungguh mengasyikkan itu!) karena tidak ada chemistry diantara mereka. 

Bahkan, karakter masing-masing pun amat hampa. Tom Cruise ya Tom Cruise yang terbantu karisma kuatnya sehingga penonton masih berkenan untuk peduli pada sosok Nick, Annabelle Wallis tidak lebih dari sekadar damsel in distress, dan Sofia Boutella sebagai villain pun lebih sering terbantu oleh make-up ketimbang benar-benar menguarkan aura berbahaya terlebih motivasi atas tindakannya serasa dibuat-buat. Jika ada yang sanggup menandingi Tom Cruise, maka itu adalah Russell Crowe (memerankan karakter ikonik) yang seperti halnya Cruise, terhalangi potensinya oleh naskah. Pada akhirnya menonton ulang The Mummy versi Fraser untuk kesekian kalinya masih terasa lebih menyenangkan ketimbang menyaksikan The Mummy versi Cruise. Sayang sekali. Semoga saja instalmen berikutnya dalam Dark Universe mampu menebus kesalahan dari tontonan ini.

Acceptable (2,5/5)


Sabtu, 25 Februari 2017

REVIEW : RINGS

REVIEW : RINGS


“7:10. I win, bitch.” 

Agaknya, hantu perempuan berambut hitam panjang bernama Sadako (atau Samara untuk nama bulenya) masih belum diperkenankan oleh para petinggi-petinggi studio film yang serakah untuk beristirahat dengan tenang di dalam sumur. Usai Jepang membangkitkannya kembali tahun lalu lewat film bermetode crossover dimana Sadako ditandingkan melawan memedi ikonik lainnya, Kayako, dalam Sadako vs Kayako yang level menghiburnya plus absurditasnya jauh melampaui pertarungan dua superhero galau, kini giliran Hollywood menjajal peruntungannya lewat Rings. Tidak jelas mengambil pendekatan sekuel atau reboot, Rings merupakan instalmen ketiga usai The Ring (2002) yang tidak dinyana-nyana seseram versi aslinya dan The Ring Two (2005) yang lempeng tapi masih bolehlah dalam urusan menciptakan atmosfer creepy. Barisan pemain Rings sama sekali baru – tidak melibatkan pelakon seri-seri sebelumnya termasuk Naomi Watts – begitu pula sang nahkoda kapal, F. Javier Gutierrez, yang baru sekali ini menangani film panjang untuk penayangan bioskop. Benang merah tersisa yang menautkan Rings dengan dua film terdahulu adalah kehadiran Samara beserta video kutukan kreasinya. 

Berselang tiga belas tahun usai peristiwa di film pertama, video kutukan garapan Samara Morgan (Bonnie Morgan) ternyata masih belum berhenti memakan korban. Yang terbaru adalah Holt Anthony (Alex Roe), mahasiswa anyar yang apes terkena kutukan “nonton video absurd, telepon berdering, lalu sepekan kemudian mati” usai mengikuti penelitian tentang hal-hal gaib dari dosennya, Gabriel Brown (Johnny Galecki). Gabriel tertarik meneliti video Mbak Samara setelah dirinya tanpa sengaja terpapar kutukan gara-gara menonton video tersebut via VCR bekas yang dibelinya di toko loak. Nah, Gabriel lantas mendapatkan solusi supaya para korban tidak ditemui Samara pada hari ketujuh yakni dengan meminta anggota penelitiannya menonton video kutukan ini, lalu menduplikatnya, dan meminta orang lain untuk menontonnya sebelum masa jatuh tempo tiba. Tapi rupa-rupanya mencari korban baru tidak semudah itu, terbukti salah satu anggota akhirnya tewas di tangan Samara. Untunglah Holt mempunyai kekasih luar biasa pengertian, Julia (Matilda Lutz), yang bersedia mengorbankan dirinya secara sukarela untuk menyelamatkan Holt. Mungkin karena Neng Julia menyadari bahwa dia adalah the chosen one yang bakal selamat sampai penghujung film apapun yang terjadi, kali ya? 

Langkah Paramount untuk merevisi jadwal edar Rings sebanyak empat kali sebetulnya telah menguarkan bau anyir. Dari awalnya bersemangat ingin menyambut kedatangan Samara, perlahan tapi pasti semangat ikut tergerus seiring semakin seringnya Rings berganti tanggal rilis. Jika tidak ada sesuatu yang salah, tentu mustahil krisis kepercayaan diri menyerang berulang ulang. Bukankah demikian? Dan betul saja, Rings memberikan siksaan yang meninggalkan rasa bingung dan jemu tak terperi kala menyimaknya. Tanda-tanda bahwa film tidak akan berlangsung semestinya sudah terpampang jelas semenjak prolog nggak nyambungnya. Maunya sih memberi kesan awal gahar dengan menempatkan teror di dalam pesawat yang tengah terjebak badai. Namun mempersilahkan Samara mengobrak-abrik sistem pesawat sehingga mengalami malfungsi dan pada akhirnya menyebabkan kecelakaan yang meminta tumbal ratusan nyawa penyumpang sementara korban incarannya hanyalah dua... sungguh tidak berkeprimanusiaan. Keji. Belum apa-apa, si pembuat film sudah lancang mengkhianati mitologi yang telah dibentuk susah payah sang kreator, Koji Suzuki. Parahnya lagi, adegan ini pun tidak mempunyai signifikansi ke jalinan kisah film keseluruhan (kecuali buat gaya-gayaan yang malah bikin ngakak!) karena ternyata ada prolog lainnya sebelum film resmi dimulai. Duh, dek.


Berjalan menit demi menit, Rings tidak kunjung membaik malah justru kian meracau. Memiliki dua karakter utama tak mengundang simpati yang hobinya berasyik masyuk di atas ranjang, sulit untuk bisa menaruh kepedulian terhadap nasib mereka terlebih lagi akting masing-masing sama sekali tidak membantu. Sekaku kayu. Padahal, keterikatan dengan karakter merupakan salah satu kekuatan jilid-jilid awal disamping guliran kisah menarik perhatian dan kecakapan membangun kengerian. Tidak bisa diharapkan dari sisi karakterisasi tokoh beserta lakonan pemain, Rings pun tidak bisa diharapkan dari caranya menampilkan teror. Memanfaatkan klakson truk atau gonggongan anjing untuk menciptakan daya kejut pada penonton, sekalipun teramat sangat klise, masih bisa diterima. Tapi suara payung dibuka? Iya, kamu tidak salah baca, payung dibuka! Ya Allah, Tuhan YME, ini sih menggelikan dan memprihatinkan. Apakah Gutierrez betul-betul sudah kehabisan trik menakut-nakuti sampai harus mendayagunakan jump scares sekacrut itu? Bahkan Sadako vs Kayako yang dari awal mula bertujuan buat ngelawak saja masih mempunyai satu dua momen yang bikin merinding. Lha Rings, bagian paling mengerikan dari film ini adalah tiap kali melihat ekspresi pemainnya atau mendengar mereka mengucapkan dialog. Samara yang malu-malu kucing disini pun kalah mengerikan! 

Mencoret “akting” dan “teror” dari daftar, tersisa “jalinan penceritaan”. Sejujurnya, usai elemen lain tidak bekerja, sudah tiada pengharapan lagi yang tersisa. Bisakah naskah diandalkan sementara sedari awal mitologi yang berkembang di semesta Ring sudah dikoyak sedemikian rupa? Berharap Rings mempunyai pengisahan apik sama halnya mengharapkan cinta dari seseorang yang bahkan tidak mengetahui keberadaanmu. Mus-ta-hil. Saya sendiri bingung terhadap bagaimana film ini menempatkan dirinya, reboot atau sekuel. Jika reboot, Rings kurang memberi paparan detil mengenai video kutukan Samara – menyinggung soal si hantu perempuan ini saja jarang – yang berdampak terciptanya kebingungan bagi penonton baru. Dan jika sekuel, lebih parah lagi. Menciptakan kisah asal mula baru bagi Samara dan sang ibunda, berarti dia menganggap dua film sebelumnya tidak pernah ada, dong? Juga membuat bertanya-tanya adalah metode pembunuhan yang diterapkan Samara di Rings. Coba ingatkan saya lagi. Bukankah si demit hanya perlu memberi tatapan manis andalannya dan si korban langsung tewas seketika? Kalau betul demikian, mengapa dia harus susah-susah menerjunbebaskan pesawat serta merobohkan tiang listrik hanya untuk membunuh satu dua orang? Rempong bener, bu. 

Dan saya juga masih belum habis pikir, kenapa para korban tidak menyebarkan video kutukan lewat media sosial saja, ya? Kan lebih gampang, to? Atau jangan-jangan mereka tidak ingin membebani Mbak Samara yang pastinya akan sangat sibuk di hari ketujuh? Pada suka ngerepotin diri sendiri deh! Dengan lebih banyaknya pertanyaan yang tertinggal sekaligus rasa geli dan bosan lantaran deretan terornya amat basi ketimbang rasa tercekam, Rings adalah sebuah aib bagi franchise The Ring. Tonton film ini hanya jika kamu memang sangat menggilai franchise ini atau sedang mempunyai uang serta waktu berlebih dan kebingungan hendak menghabiskannya buat apa. Kalau tidak, jangan coba-coba mendekatinya.

Poor (2/5)