Tampilkan postingan dengan label Dwayne Johnson. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dwayne Johnson. Tampilkan semua postingan

Jumat, 13 April 2018

REVIEW : RAMPAGE

REVIEW : RAMPAGE


“It’s weird you like hanging out with animals more than people.” 

“Well, animals gets me.” 

Wahai generasi 80 dan 90-an yang gemar memainkan konsol permainan, apakah kalian masih ingat dengan sebuah video game berjudul Rampage? Itu lho, permainan yang misi utamanya menghancur-hancurkan gedung bertingkat. Ingat, kan? Kita menjelma menjadi monster raksasa berbentuk gorila, kepiting, tikus atau hewan buas lainnya akibat terpapar serum eksperimen. Aturan mainnya pun sederhana saja. Seraya menghindari tembakan-tembakan dari pihak militer jika ingin nyawa tetap utuh, kita mesti giat memporakporandakan seisi kota demi mengumpulkan poin. Kalau perlu, manusia-manusia pengganggunya dimakan juga! Menilik betapa mudahnya (dan serunya) memainkan game ini, tidak mengherankan jika kemudian Rampage terbilang populer di kalangan khalayak ramai sampai-sampai pihak Midway Games merilis beberapa seri kelanjutan. Dan seperti kebanyakan video game terkenal, tidak mengherankan juga jika kemudian ada petinggi studio di Hollywood yang meliriknya untuk diadaptasi ke film layar lebar. Demi merealisasikan Rampage versi layar lebar ini, maka duo Brad Peyton (sutradara) dan Dwayne Johnson (aktor) yang sebelumnya berkolaborasi untuk meluluhlantakkan pesisir barat Amerika Serikat dalam San Andreas (2015) pun direkrut. Tugas mereka sekali ini adalah mentranslasi kehancuran total yang dimunculkan versi game ke dalam tontonan popcorn yang mampu melepas kepenatan penonton. 

Dalam Rampage versi film, sosok monster yang mengamuk hebat di tengah kota bukan lagi manusia yang terpapar serum salah uji melainkan binatang-binatang buas. Salah satu korbannya adalah seekor gorila albino bernama George yang mendiami San Diego Zoo. George tertimpa kemalangan selepas sebuah stasiun luar angkasa milik Energyne meledak dan meluncurkan serum berbahaya bernama CRISPR ke beberapa titik di Amerika Serikat, termasuk tempat George bermukim. Reaksi dari serum ini terpampang nyata hanya dalam waktu semalam saja yang ditandai dengan ukuran tubuh si gorila yang membesar secara tidak wajar. Hal ini tentu mengejutkan ahli primata sekaligus sahabat baik George, Davis Okoye (Dwayne Johnson), lebih-lebih karena sahabatnya tersebut sanggup menumbangkan beruang grizzly dengan mudah. Ditengah kebingungannya melihat perubahan fisik dan sikap dari George yang mendadak, Davis mendapat kunjungan dari seorang ilmuwan, Dr. Kate Caldwell (Naomie Harris), yang mengaku tahu mengenai akar permasalahannya sekaligus obat penawarnya. Sebelum rencana untuk menyelamatkan si gorila selesai disusun, George tiba-tiba menggila lalu berkomplot dengan seekor serigala raksasa beserta buaya raksasa dan berlari menuju Chicago. Tujuan mereka sudah teramat jelas: menghancurkan gedung-gedung pencakar langit. Dibantu oleh seorang agen pemerintah bernama Harvey Russell (Jeffrey Dean Morgan), Davis dan Kate harus berpacu dengan waktu untuk menghentikan George sebelum semuanya terlambat. 



Apabila kamu pernah memainkan Rampage – kalaupun tidak, kamu bisa menerkanya dari penjabaran di paragraf awal – tentu mengetahui bahwa inti dari permainan ini hanyalah menghancurkan gedung sebanyak mungkin. Smash, smash, smash. Tidak ada misi yang mengharuskannya memiliki jalinan pengisahan (mencoba untuk) rumit dan diselaputi misteri. Kalaupun ada plot, itu sebatas latar belakang yang menceritakan tentang penyebab lahirnya monster-monster ini. Maka bisa dipahami jika kemudian Rampage garapan Brad Peyton yang mengerahkan empat penulis skenario ini tidak mempunyai plot yang bergizi tinggi. Lagipula, apa kamu benar-benar mengharapkan jalan cerita yang tertata dengan baik dari sebuah film yang diadaptasi dari video game? Video game-nya tentang monster penghancur gedung pula. Plot di sini hanya berfungsi untuk menjustifikasi munculnya serentetan sekuens laga sehingga tidak terkesan ujug-ujug. Jadi kamu mesti membiasakan diri bakal menerima ‘keajaiban’ dan ‘kekonyolan’ di sepanjang durasi Rampage yang bikin ngikik-ngikik geli di kursi bioskop karena memang, film ini tak pernah menganggap dirinya serius. Well, kamu tentu tidak menganggap film yang menampilkan serigala terbang secara serius, kan? Tujuan utamanya hanyalah mengajak penonton bersenang-senang melalui spektakel yang gegap gempita. Spektakel seru yang mengajak penonton melupakan kepenatan hidup selepas dihajar pekerjaan di kantor atau usai mendapat setumpuk tugas kuliah dan sekolah. Dan berdasarkan tujuannya tersebut, Rampage bisa dikatakan sukses. 

Rampage sendiri tidak menghabiskan banyak waktu untuk babak introduksi. Kita mendapatkan sekelumit penjelasan mengenai CRISPR, berkenalan dengan George dan karakter-karakter manusia seperti Davis, Kate, beserta duo villain dari Energyne, lalu tanpa banyak basa-basi, konflik perlahan mulai mengemuka menyusul jatuhnya serum-serum dari luar angkasa. Selepas tubuh George membesar seketika yang membuat dirinya merasa tidak nyaman, kita mendapati rangkaian peristiwa yang menjabarkan definisi dari ‘seru’ dan ‘menyenangkan’. Kita melihat George membobol kandangnya, mengamuk hebat di pesawat yang mengangkutnya sehingga menciptakan kekacauan di udara, bergabung dengan rekan-rekan mutannya yakni Ralph si serigala yang sebelumnya telah menghabisi sejumlah pasukan khusus dan Lizzie si buaya yang mengintai dari bawah air, sampai akhirnya yang telah kita nanti-nantikan selama durasi mengalun, memporakporandakan seisi Chicago. Menghancurkan gedung! Pertarungan antara monster dengan manusia! Pertarungan antara sesama monster! Woo hoo! Dihantarkan dengan laju pengisahan yang bergegas, mempunyai setumpuk sekuens laga dengan polesan efek visual meyakinkan yang dilontarkan nyaris tanpa henti, dan disokong karisma Dwayne Johnson yang memancar kuat sebagai jagoan tangguh (dia memang cocok dengan peran semacam ini), Rampage berhasil membuat saya seolah-olah terikat erat di kursi bioskop. Tak jarang pula, film membuat saya kegirangan seperti bocah yang baru pertama kalinya memainkan Rampage. Sisipan humornya yang berfungsi untuk mencairkan ketegangan pun bekerja dengan cukup baik sehingga disela-sela situasi serba genting, kita masih bisa terkekeh-kekeh. Asyik!

Exceeds Expectations (3,5/5)


Senin, 29 Januari 2018

JUMANJI : WELCOME TO THE JUNGLE (2017) REVIEW : Old Game, New Look,
Generic Taste

JUMANJI : WELCOME TO THE JUNGLE (2017) REVIEW : Old Game, New Look, Generic Taste


Mungkin ada beberapa dari penonton yang telah tumbuh menjadi dewasa dengan Jumanji. Ya, film tentang permainan papan yang menjadi nyata itu sudah sangat melegenda pada zamannya. Sehingga, ada beberapa orang yang mungkin tak menghiraukan rencana Sony Pictures untuk menghadirkan kembali kisah tentang permainan tersebut. Tetapi, Sony Pictures masih saja berusaha optimis dengan rencananya menghidupkan kembali Jumanji.

Tentu, para orang yang sudah tumbuh dengan Jumanji akan merasa ragu dengan apa yang dilakukan Sony Pictures. Banyak yang skeptis dengan bagaimana performa Jumanji : Welcome To The Jungle ini nantinya. Tetapi, Sony Pictures tetap percaya diri dengan performa Jumanji : Welcome To The Jungle. Dibintangi oleh banyak pemain terkenal seperti Dwayne Johnson, Kevin Hart, Karen Gillan, dan Jack Black, Jumanji : Welcome To The Jungle disutradarai oleh Jake Kasdan yang biasa menangani film komedi.

Jumanji : Welcome To The Jungleini rupanya tak digubah menjadi sebuah remake. Tetapi, film ini adalah sebuah kisah lanjutan yang diadaptasi lebih kekinian agar penonton baru pun bisa lebih relevan dengan apa yang ditampilkan. Adaptasinya pun mengubah permainan papan menjadi permainan konsol dengan cerita yang juga mengikuti perubahan tersebut. Secara cukup mengagetkan, Jumanji : Welcome To The Jungle memiliki performa yang pas untuk dapat dinikmati sebagai sebuah film yang sangat menghibur penontonnya.


Inilah kisah Jumanji : Welcome To The Jungle yang sedang menyasar sosok remaja sekolah menengah atas. 4 remaja yang sedang mendapatkan hukuman dan terjebak di satu ruangan untuk segera mereka bersihkan. Mereka adalah Spencer (Alex Wolff), Fridge (Ser’Darius Blain), Bethany (Madison Iseman), dan Martha (Morgan Turner). Di tengah mereka sedang membersihkan ruangan tersebut, mereka menemukan sebuah permainan konsol tua dan memutuskan untuk bermain dengan permainan tersebut.

Setelah memilih karakter permainan sesuai dengan yang mereka pilih, sesuatu aneh terjadi dengan diri mereka. Permainan tersebut menghisap keempat remaja tersebut dan masuk ke dalam dunia permainan yang datang dari antah berantah. Di sana, mereka menjadi sosok yang mereka pilih. Mereka tak bisa keluar dari permainan tersebut. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan menyelesaikan permainan tersebut yang ternyata bukan sesuatu yang mudah.


Jumanji : Welcome To The Junglememiliki konsep cerita yang sama dengan film pendahulunya. Sehingga, secara cerita pun sebenarnya tak ada hal baru yang berusaha ditampilkan oleh film ini. Tetapi, Jumanji : Welcome To The Junglediberkahi dengan jajaran aktor dan aktris yang berhasil membuat 115 menit filmnya memiliki performa yang sangat menyenangkan. Keputusan pintar dari Jake Kasdan untuk tak terlalu lama menceritakan kisah awal mula dari Jumanji : Welcome to the Jungle ini.

Cerita latar belakang setiap karakter dan alasan-alasan kenapa mereka bisa terjebak ke dalam permainan ini bisa disampaikan dengan cara yang pas. Kesibukan lainnya yang perlu untuk diperhatikan adalah bagaimana keempat remaja yang terjebak dengan karakter pilihan mereka bisa keluar dari permainan tersebut. Jumanji : Welcome To The Junglepunya segala keseruan dalam ceritanya yang bisa diandalkan. Sehingga, penonton akan sangat dengan mudah terhibur dengan apa yang ditampilkan oleh Jake Kasdan.

Punya paket lengkap dalam amunisinya untuk menghibur penonton lewat petualangan yang seru di dunia Jumanjiyang baru. Segala petualangan tersebut pun bisa semakin dinikmati karena dalam naskahnya diinjeksi lagi dengan humor segar yang semakin membuat Jumanji : Welcome To The Jungle ini terlihat segar. Segala keseruan itu tak hadir begitu saja, hal ini tentu berkat performa dari Dwayne Johnson, Kevin Hart, Jack Black, dan Karen Gillan yang berhasil meyakinkan penontonnya bahwa mereka tetap empat remaja yang sedang terjebak dalam dunia permainan konsol.


Pun, pemain pendukung seperti Nick Jonas pun bisa bermain dengan sangat baik. Sehingga, kelima karakter dalam Jumanji : Welcome To The Jungle ini memiliki ikatan emosi yang sangat baik. Ini pula yang mengangkat setiap sekuens aksi dan petualangan dalam Jumanji : Welcome To The Jungle sehingga dalam perjalanannya film ini tak terasa hambar. Meskipun, ada beberapa minor yang membuat Jumanji : Welcome To The Jungle tak selalu bisa menjaga tensinya dengan kuat. Pun, humor yang ada di dalam film ini pun beberapa kali memudar.

Selain itu, ikon legendaris tentang permainan papan yang berubah jadi nyata ini pun tak lagi diulik lebih dalam lagi. Tak ada penghormatan lain tentang permainan papan Jumanji yang bisa membuat penontonnya yang tumbuh dengan film tersebut bisa merasakan rasa nostalgia. Menyaksikan Jumanji : Welcome To The Jungle pun hanya seperti menyaksikan film action pada umumnya meskipun sama-sama menggunakan nama besar Jumanji untuk filmnya dan ini cukup disayangkan sekali.


Tetapi, bagi yang tak terlalu mengenal Jumanji, tentu saja film terbaru dari Jake Kasdan ini adalah sebuah film yang akan menghibur Anda dengan sangat baik. Jake Kasdan sepertinya ingin membuat Jumanji : Welcome To The Junglesebagai sebuah film lanjutan yang bisa dinikmati secara universal tanpa perlu memikirkan sensasi nostalgia dengan beberapa easter eggs yang berlebihan. Cukup memberikan pengertian tentang seperti apa Jumanjipada zamannya. Ya, usahanya itu harus diakui cukup berhasil, tetapi sebagai film dengan nama besar Jumanji, film ini tak bisa mewarisi kelegendarisannya.

Minggu, 16 Juli 2017

REVIEW : BAYWATCH

REVIEW : BAYWATCH


“She's the reason I believe in God.” 

Apabila kamu termasuk bagian dari generasi 80-an atau 90-an dan mengakrabi budaya populer pada masa itu, tentunya mengetahui serial televisi berjudul Baywatch dong? Berceloteh mengenai sejumlah penjaga pantai yang berjibaku dengan serentetan peristiwa di area kerja mereka, serial yang sempat mengudara di salah satu televisi nasional Indonesia (kalau tayang sekarang, bakal kena blur dimana-mana tuh sampai-sampai yang keliatan cuma kepala pemainnya doang) ini merengkuh popularitasnya bukan lantaran mempunyai plot berkualitas jempolan melainkan lebih disebabkan kemurahhatiannya dalam mengumbar keseksian pemain-pemainnya serta kemasannya yang norak-norak menyenangkan – tidak mencoba sok serius. Tontonan guilty pleasure gitu lah. Yang paling diingat dari serial ini pun sebatas adegan yang memperlihatkan Pamela Anderson berlari-lari di bibir pantai mengenakan bikini berwarna merah dalam gerakan lambat, sementara lainnya... yuk dadah bye bye. Menguap cepat dari ingatan. Tapi mungkin saja itu hanya saya karena Paramount Pictures nyatanya menganggap serial ini masih memiliki brand sekaligus basis penggemar cukup kuat. Mereka merasa perlu untuk membangkitkan Baywatch kembali dalam format film layar lebar bertajuk serupa dengan barisan pemain yang tentu saja dirombak habis-habisan menyesuaikan zaman dan merangkul genre komedi ketimbang sebatas berada di ranah drama aksi seperti materi sumbernya. 

Menggantikan David Hasselhoff untuk memerankan Mitch Buchannon dalam versi film adalah Dwayne Johnson. Bersama dengan Stephanie Holden (Ilfenesh Hadera), C.J. Parker (Kelly Rohrbach) dan rekan-rekannya dalam divisi elit penjaga pantai bernama Baywatch, Mitch bertugas untuk menjaga situasi di Emerald Bay, Florida, agar senantiasa kondusif sehingga para pengunjung yang menghabiskan liburannya di pantai tersebut tidak perlu mencemaskan apapun. Demi menambah personil Baywatch yang terus datang dan pergi seiring berjalannya waktu, Mitch beserta tim pun menggelar uji coba. Diikuti puluhan peserta, tiga anggota baru yang akhirnya terpilih di ujung hari antara lain Summer Quinn (Alexandra Daddario) yang cerdas, Ronnie (Jon Bass) yang bertekad baja, dan mantan atlet Olimpiade cabang renang yang karinya berakhir usai suatu insiden memalukan, Matt Brody (Zac Efron). Keterlibatan Matt dalam tim yang dilandasi keterpaksaan dan sikapnya yang cenderung semau gue memicu mencuatnya gesekan-gesekan diantara sesama anggota tim utamanya Mitch dan Summer. Namun konflik internal ini mau tak mau terpaksa dipinggirkan tatkala Mitch mengendus ada sesuatu yang tidak beres di Emerald Bay selepas menemukan bungkusan kecil berisi obat-obatan terlarang. Pengusutan demi pengusutan yang dilakukan Baywatch lantas menuntun mereka pada seorang pebisnis bernama Victoria Leeds (Priyanka Chopra) yang tengah berencana mengekspansi bisnisnya dengan cara kotor.


Menonton Baywatch di bioskop sudah barang tentu tidak mengharap apa-apa selain kesenangan yang adiktif. Sang sutradara, Seth Gordon (Horrible Bosses, Identity Thief), sanggup memenuhi itu setidaknya di separuh awal durasi. Lawakan-lawakannya yang dibaluri referensi ke budaya populer seperti saat Mitch memanggil Matt dengan nama-nama julukan (dari boyband sampai High School Musical!) atau olok-olok terhadap elemen-elemen absurd dari versi serial televisinya terhitung cukup ampuh dalam menggelitik saraf tawa. Levelnya sih memang sebatas bikin tertawa-tawa kecil saja tak sampai bikin tergelak-gelak hebat, tapi bagaimanapun juga tawa tetaplah tawa, bukan? Disamping suntikan humor pekat, hiburan yang diperoleh penonton di babak awal adalah gulali-gulali manis bagi mata. Atau dengan kata lain, pemandangan yang menjadi ciri khas dari Baywatch: perempuan bertubuh seksi dengan bikini ketat yang berlari-lari di pantai dalam gerakan amat lambat serta laki-laki dengan perut serata papan cucian yang hampir sepanjang waktu menanggalkan bajunya. Untuk sesaat, Baywatch sedikit banyak memenuhi ekspektasi dari para penontonnya sampai kemudian kita menyadari bahwa durasinya kelewat panjang untuk sebuah film yang konfliknya klise dan tidak lebih rumit dari satu episode serial televisi ini. Alhasil begitu memasuki pertengahan film, laju pengisahan Baywatch serasa diulur-ulur. 

Daya bunuh humornya pun ikut mengendor seiring terlampau sering dilontarkannya lawakan-lawakan ekstrim yang malah berakhir menjijikan ketimbang lucu. Mungkin hanya saya saja atau ada juga yang menganggap adegan Mitch meraba-raba selangkangan mayat laki-laki di kamar mayat itu mengundang rasa geli-geli mengusik kenyamanan? Kenyamanan dalam menonton Baywatch memang semakin menurun di paruh kedua terlebih kegaringan humornya mulai menandingi kulit ayam goreng kaepci dan rentetan laga yang muncul tak memberi impak apapun. Tak memberi sensasi harap-harap cemas atau sekadar bersemangat yang semestinya ada. Yang kemudian membuat Baywatch tetap mengapung alih-alih tenggelam hingga ke dasar samudera sampai bloopers di sela-sela credit title nongol adalah performa pemainnya. Maksud saya, performa Dwayne Johnson dan Priyanka Chopra – pemain lainnya seolah hanya dimanfaatkan sebagai tim hore, apalagi cameo dari Hasselhoff dan Anderson. Dwayne mempunyai karisma kuat sebagai jagoan yang mudah disukai dengan comic timing yang jitu pula sementara Priyanka memancarkan aura seduktif, intimidatif, dan berbahaya di saat bersamaan. Keberadaan mereka sangat membantu dalam menyalurkan energi positif ke film maka saat keduanya rehat sejenak untuk memberi kesempatan bagi tim hore beraksi, Baywatch ikut melemas. Untungnya Gordon menyadari hal tersebut sehingga potensi keduanya sebisa mungkin dimaksimalkan yang pada akhirnya membuat Baywatch masih dapat terhidang sebagai tontonan yang bisa dinikmati di kala (amat sangat) senggang.

Acceptable (2,5/5)


Kamis, 20 April 2017

FAST AND FURIOUS 8 (2017) REVIEW : Spektakel Aksi Seru di Seri Terbaru

FAST AND FURIOUS 8 (2017) REVIEW : Spektakel Aksi Seru di Seri Terbaru


Fast and Furious adalah salah satu franchise lama dan terbesar milik Hollywood. Franchiseini sudah berkembang mulai dari tahun 2001 dan sebagian besar orang selalu menantikan setiap seri film ini. Furious7 adalah titik puncak karena anggota ‘keluarga’ dari Franchise ini meninggal yaitu Paul Walker. Daya tarik penonton untuk menyaksikan Furious 7 semakin besar karena ingin menyaksikan performa terakhir dari Paul Walker di seri ini.

Momen wafatnya Paul Walker juga berdampak pada angka penjualan tiket Furious 7 dan mendapatkan angka pembukaan yang fantastis. Hal ini tentu membuat produser memberikan lampu hijau agar seri ini tetap berjalan. Maka dari itu, tahun ini Fast and Furious memutuskan untuk merilis seri ke delapan dari Franchise-nya. Pergantian sutradara pun terjadi, dari James Wan ke F. Gary Gray dan berpengaruh pada pemilihan judul. The Fate and The Furious adalah judul terbaru dari franchise ini di US, meski judul di Indonesia tetap menggunakan Fast and Furious 8.

Meski kehilangan salah satu anggota keluarga besar di Franchise-nya, tetapi masih ada anggota-anggota lain yang masih memiliki kekuatan yang cukup besar untuk membuat seri ini tetap berdiri. Vin Diesel, Dwayne Johnson, Ludacris, dan baru-baru ini Jason Statham juga ikut hadir dalam seri ini. Mungkin ada yang mengira bahwa momentum dari seri ini akan berakhir pada seri ketujuhnya. Maka, singkirkan pemikiran tersebut, karena Fast and Furious 8 akan dengan mudahnya menyingkirkan pemikiran itu dari penontonnya. 


Menceritakan tentang Dominic Toretto (Vin Diesel) yang ketenangan hidupnya diganggu oleh seorang perempuan bernama Cipher (Charlize Theron). Ada masa lalu tentang Dom yang berusaha diancam oleh Cipher sehingga Dom merasa bahwa ketenangan hidupnya bersama Letty (Michelle Rodriguez) perlu dikorbankan. Ketika pada akhirnya, Dom bersama teman-temannya mendapatkan tugas untuk menyelamatkan sebuah misil, Dom memutuskan untuk menghianati mereka.

Misi yang dijalankan oleh Dom dan tim ini adalah berasal dari Hobbs (Dwayne Johnson). Kejadian ceroboh ini membuat Hobbs mendekam di dalam penjara. Di sana, dia bertemu dengan Deckard Shaw (Jason Statham) yang pernah menjadi salah satu musuh Dom dan teman-temannya. Ternyata, Deckard juga sedang mengincar Cipher yang telah membuat kehidupannya berantakan. Atas dasar itu, mereka berusaha agar bisa keluar dari penjara dan mencari cara agar bisa menangkap Cipher. 


Dengan nomor seri yang sudah tidak sedikit lagi, penonton tentu cukup khawatir apa yang berusaha diberikan oleh franchiseini. Dengan hilangnya Paul Walker, tentu harus mencari cara apa yang berusaha dijual oleh franchise ini, momentum seperti apa lagi yang akan diberikan. Maka, di dalam Fast and Furious 8, F. Gary Gray berusaha menjawab kekhawatiran penontonnya. Sang sutradara melimpahkan sebuah pertunjukkan aksi tanpa henti yang mampu membuat penontonnya berdecak kagum.

Fast and Furious 8 akan memberikan sebuah aksi spektakel yang tidak ada habisnya. Film ini menemukan kegembiraannya sendiri dengan memperlihatkan berbagai macam adegan mobil yang mengalami kedestruktifan yang luar biasa besar. F. Gary Gray tak hanya menggunakan banyak sekali adegan destruktif itu menjadi ajang pamer juga, tapi juga memiliki tensi yang mampu mencengkram penontonnya. Sehingga, penonton akan sangat menikmati setiap menit yang terjadi di Fast and Furious 8.

Poin lain dalam Fast and Furious 8 adalah bagaimana F. Gary Gray memiliki kemampuan untuk merapatkan naskah milik Chris Morgan. Secara cerita, Fast and Furious 8 tak memiliki hal baru dan sesuatu yang perlu untuk dipikir berlebihan. Chris Morgan menuliskan sebuah plot cerita yang linear tentang sisi baik melawan sisi buruk juga disisipi pesan tentang sebuah keluarga. Meskipun, dalam pengarahanya, F. Gary Gray masih belum menemukan kombinasi yang baik antara poin tentang keluarga itu ketika masuk ke dalam plot ceritanya. 


Beberapa bagian dalam Fast and Furious 8 memang terasa berusaha terkesan melankolis untuk menarik simpati penontonnya.  Beberapa bagian mungkin akan berhasil, tetapi kontinuitas yang terjadi muncul cukup berlebihan. Sehingga, akan terasa ada beberapa ketimpangan yang terjadi dalam tone cerita di dalam filmnya yang berdurasi 139 menit ini. Hal ini cukup mendistraksi kemasan Fast and Furious 8 tetapi untungnya film ini masih punya spektakel aksi sebagai senjatanya dan poin lain yang mengembalikan kepercayaan penontonnya.

Ada Charlize Theron yang menjadi seorang villain dengan performa yang sangat kuat dan prima. Charlize Theron berhasil meyakinkan penontonnya bahwa dia adalah seorang musuh yang benar-benar memiliki dampak besar kepada Dom dan timnya. Dengan begitu, karakter-karakter lain akan memiliki upaya yang cukup besar untuk berhasil menangkap atau mengalahkan musuhnya. Dan upaya-upaya itu berhasil ditampilkan sangat kuat oleh F. Gary Gray, sehingga penonton akan dengan mudah percaya dengan apa yang dilakukan oleh setiap karakternya. 


Inilah Fast and Furious 8, sebuah seri terbaru dari franchisebesar milik Hollywood yang semakin lama semakin menjadi. F. Gary Gray mampu untuk menanggapi tuntutan para penggemar seri ini atau bahkan penonton awam yang butuh sebuah hiburan yang menyenangkan. Plotnya yang memang familiar dan linear ini berhasil disampaikan dengan baik dan begitu meyakinkan oleh sang sutradara. Sehingga, penonton akan mudah percaya dengan setiap alasan yang sedang dilakukan oleh setiap karakter di film ini. Meski ketimpangan sisi humanis yang diselipkan terlalu sering di film ini membuat adanya suatu ketimpangan dan mendistraksi, tetapi Fast and Furious 8 tetap menyanggupi ekspektasi penontonnya. Spektakel aksi yang seru dan mampu membuat penontonnya berdecak kagum adalah kunci suksesnya seri terbaru ini.

Senin, 28 November 2016

MOANA (2016) REVIEW : Film Animasi Penuh Misi yang Tak Termakan Ambisi

MOANA (2016) REVIEW : Film Animasi Penuh Misi yang Tak Termakan Ambisi


Disney di era yang baru ini memiliki misi di dalam film-film miliknya. Sehingga, filmnya tak sekedar menjadi film animasi pelipur lara biasa tetapi ada nilai-nilai yang berusaha disematkan lewat karakter-karakternya, terutama karakter-karakter putri yang biasa mereka buat. Disney berusaha merombak segala identitas Princess yang kadang kelewat putih dan terlihat sempurna. Mulai dari Princess and The Frog, Tangled, dan Frozen, Disney berusaha untuk mengontruksi ulang identitas dari sosok Princess.

Tak berhenti di ketiga film tersebut, Disney kembali berusaha mengonstruksi identitas karakter-karakter Princess-nya dalam film teranyarnya berjudul Moana. Film ini ditangani oleh orang-orang lama Disney yang pernah berkecimpung lewat Aladdin dan The Little Mermaid yaitu Ron Clements. Sehingga mungkin proyek Moana ini sudah berada di tangan yang tepat karena rekam jejak sang sutradaranya yang sudah terbiasa berkecimpung di karakter-karakter tuan puteri.

Di era sekarang di mana ilmu pengetahuan sudah semakin berkembang pesat, lantas juga ada pesan yang berubah di dalam film-film animasi Disney saat ini. Moana pun penuh akan misi untuk mengedukasi dengan baik tentang gender dan ras yang bermain di wilayah Disney seperti biasanya. Dengan misi yang terkesan serius itu, memperhalus cara penyampaian pesan itu sangat penting dan Moana memiliki itu sebagai kekuatan filmnya. 


Jared Bush selaku penulis naskah film ini berusaha untuk memberikan sebuah kampanye dengan dampak masif tentang perempuan masa kini yang perlu diberi tempat sejajar dengan laki-laki. Moana adalah perwakilan tentang suara-suara perempuan yang tak ingin dianggap remeh. Bahkan, ada konstruksi lain tentang kata ‘Princess’ atau ‘Tuan Puteri’ dalam bahasa Indonesia. Lewat Moana, konstruksi bahasa secara visual dan penampilan fisik dari seorang tuan puteri itu diperbarui. Bahwa semua orang bisa menjadi tuan puteri, tak melulu memiliki kulit putih atau badan kurus dengan berbagai gemilau perhiasan dan busana cantik.

Memperkenalkan hal-hal semacam ini mungkin akan susah, terlebih penonton telah mendapatkan terpaan tentang sosok tuan puteri yang ideal oleh media-media lain. Tetapi, Disney memiliki kecerdikan mengemas pesan serius itu lewat film Moana. Tanpa perlu mengumbar superioritas feminisme dengan kemasan visual yang terkesan ‘nyeleneh’, Moana memberikan sebuah pesan audio visual yang dapat diterima oleh segala kalangan dengan segala kerendahan hati atas berlimpahnya pengetahuan kesetaraan gender yang mereka miliki. 


Menceritakan tentang Moana (Auli'i Cravalho) yang hidup selalu serasi di tengah-tengah suku Polynesia yang dikepalai oleh ayahnya, Chief Tui (Temuera Morrison). Tetapi, Moana merasa bahwa dirinya ingin sekali berlayar di luar sana, tetapi sang ayah selalu melarangnya. Sebuah kabar buruk pun melanda pulau mereka yang sebelumnya serba berkecukupan. Ikan-ikan tak bisa lagi ditangkap dan hasil perkebunan mereka pun banyak tak jadi. Hal tersebut dikarenakan oleh “hati” berbentuk batu milik Te Fiti yang dicuri oleh sosok setengah dewa legendaris, Maui (Dwayne Johnson) belum dikembalikan ke asalnya.

Lautan yang merampas ‘hati’ milik Te Fiti dan Kail milik Maui memilih Moana untuk menyuruh Maui mengembalikan hati tersebut kepada Te Fiti. Moana pun memberanikan diri untuk mengarungi lautan, menempuh badai dan jarak yang jauh untuk bisa kembali mensejahterakan suku Polynesia dan mengemban misi yang diberikan Lautan kepadanya. Yang jelas, perjalanan itu tak akan mudah karena dia akan bertemu dengan banyak rintangan seperti suku Kakamora yang juga mengincar hati Te Fiti dan Te Ka sang monster yang siap menghabisi Moana. 


Moana memiliki banyak perbedaan dengan film-film Disney Princess sebelumnya, mulai dari penampilan Moana secara fisik maupun dari penyampaian dari naskah yang ditulis Jared Bush. Secara struktur plot, Moana memang tak memiliki sesuatu yang berbeda dengan film-film Disney lainnya. Perbedaannya adalah bagaimana penyampaian dari Ron Clements dan Don Hall kepada sosok Moana. Bagaimana Ron Clements dan Don Hall berusaha membuat sosok Moana memiliki kesempatan untuk menyelesaikan segala misinya sendiri. Memberikan kekuatan pada karakter Moana yang menjadi diferensiasi dari karakter Disney Princess lainnya.

Jika dalam film-film Disney Princess lainnya berisikan tentang mencari kebenaran, maka berbeda dengan Moana. Dalam film ini Moana diberikan sebuah misi dan segala aksi petualangan yang seru, hal ini seperti memperlihatkan bagaimana Moana adalah perumpamaan dari suara perempuan masa kini. Bagaimana perempuan bisa diberi tanggung jawab dan menyelesaikan pekerjaannya, bukan sekedar membantu pekerjaan orang lain. Inilah yang menjadi kekuatan Moana secara naratif, bagaimana dia digambarkan sangat kuat dan bisa berperilaku setara dengan Maui sebagai laki-laki. 


Ron Clements dan Don Hall tetap tak melupakan bagaimana film ini tetap memiliki sisi sentimentil yang pas dengan sosok Moana sebagai perempuan. Sehingga, penuturan yang ada di dalam film ini terkesan sangat lembut dan tak terlalu padat seperti Zootopia. Ron Clements dan Don Hall berusaha untuk memberikan ruang kepada penontonnya untuk beristirahat, menikmati indahnya visual yang dimiliki oleh Moana. Selipan-selipan unsur komedi lewat berbagai karakter yang bisa mencuri penontonnya seperti HeiHei, si ayam dengan tingkah aneh, dan Pua, si babi yang menggemaskan.

Di dalam film Moana juga memiliki beberapa sekuens musikal yang diselipkan di dalam film Moana, sehingga penonton sesekali diberi relaksasi. Sekuens musikalnya pun tak terasa dipaksakan, penuh akan nuansa eksotis seperti Moana dan suku-sukunya sebagai orang yang hidup di pulau-pulau penuh lanskap pantai. Bukan hanya lagu-lagunya, tetapi juga musik-musik pendukung yang ada di dalam film ini. Ada unsur budaya yang berusaha dimasukkan ke dalam film Moana dan dapat divisualisasikan secara indah. Menjadikan film ini memiliki cita rasa klasik yang khas milik film-film Disney di era yang berbeda. 


Moana adalah sebuah film animasi dengan misi yang luar biasa banyak, mulai dari sebagai representasi akan gender dan ras, nilai-nilai sosial, dan tribut untuk menumbuhkan kembali cita rasa klasik seperti film-film Disney terdahulu. Dengan banyaknya poin itu, Moana berhasil memberikan tontonan yang mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut. Moana memiliki presentasi yang gemilang mulai dari penuh dengan visual-visual indah, juga petualangan seru dan menyenangkan. Ron Clements dan Don Hall berusaha menyampaikan Moana dengan berbeda dan berani. Moana adalah cara menikmati cita rasa klasik lewat visual yang moderen.