Tampilkan postingan dengan label December. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label December. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Januari 2018

JUMANJI : WELCOME TO THE JUNGLE (2017) REVIEW : Old Game, New Look,
Generic Taste

JUMANJI : WELCOME TO THE JUNGLE (2017) REVIEW : Old Game, New Look, Generic Taste


Mungkin ada beberapa dari penonton yang telah tumbuh menjadi dewasa dengan Jumanji. Ya, film tentang permainan papan yang menjadi nyata itu sudah sangat melegenda pada zamannya. Sehingga, ada beberapa orang yang mungkin tak menghiraukan rencana Sony Pictures untuk menghadirkan kembali kisah tentang permainan tersebut. Tetapi, Sony Pictures masih saja berusaha optimis dengan rencananya menghidupkan kembali Jumanji.

Tentu, para orang yang sudah tumbuh dengan Jumanji akan merasa ragu dengan apa yang dilakukan Sony Pictures. Banyak yang skeptis dengan bagaimana performa Jumanji : Welcome To The Jungle ini nantinya. Tetapi, Sony Pictures tetap percaya diri dengan performa Jumanji : Welcome To The Jungle. Dibintangi oleh banyak pemain terkenal seperti Dwayne Johnson, Kevin Hart, Karen Gillan, dan Jack Black, Jumanji : Welcome To The Jungle disutradarai oleh Jake Kasdan yang biasa menangani film komedi.

Jumanji : Welcome To The Jungleini rupanya tak digubah menjadi sebuah remake. Tetapi, film ini adalah sebuah kisah lanjutan yang diadaptasi lebih kekinian agar penonton baru pun bisa lebih relevan dengan apa yang ditampilkan. Adaptasinya pun mengubah permainan papan menjadi permainan konsol dengan cerita yang juga mengikuti perubahan tersebut. Secara cukup mengagetkan, Jumanji : Welcome To The Jungle memiliki performa yang pas untuk dapat dinikmati sebagai sebuah film yang sangat menghibur penontonnya.


Inilah kisah Jumanji : Welcome To The Jungle yang sedang menyasar sosok remaja sekolah menengah atas. 4 remaja yang sedang mendapatkan hukuman dan terjebak di satu ruangan untuk segera mereka bersihkan. Mereka adalah Spencer (Alex Wolff), Fridge (Ser’Darius Blain), Bethany (Madison Iseman), dan Martha (Morgan Turner). Di tengah mereka sedang membersihkan ruangan tersebut, mereka menemukan sebuah permainan konsol tua dan memutuskan untuk bermain dengan permainan tersebut.

Setelah memilih karakter permainan sesuai dengan yang mereka pilih, sesuatu aneh terjadi dengan diri mereka. Permainan tersebut menghisap keempat remaja tersebut dan masuk ke dalam dunia permainan yang datang dari antah berantah. Di sana, mereka menjadi sosok yang mereka pilih. Mereka tak bisa keluar dari permainan tersebut. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan menyelesaikan permainan tersebut yang ternyata bukan sesuatu yang mudah.


Jumanji : Welcome To The Junglememiliki konsep cerita yang sama dengan film pendahulunya. Sehingga, secara cerita pun sebenarnya tak ada hal baru yang berusaha ditampilkan oleh film ini. Tetapi, Jumanji : Welcome To The Junglediberkahi dengan jajaran aktor dan aktris yang berhasil membuat 115 menit filmnya memiliki performa yang sangat menyenangkan. Keputusan pintar dari Jake Kasdan untuk tak terlalu lama menceritakan kisah awal mula dari Jumanji : Welcome to the Jungle ini.

Cerita latar belakang setiap karakter dan alasan-alasan kenapa mereka bisa terjebak ke dalam permainan ini bisa disampaikan dengan cara yang pas. Kesibukan lainnya yang perlu untuk diperhatikan adalah bagaimana keempat remaja yang terjebak dengan karakter pilihan mereka bisa keluar dari permainan tersebut. Jumanji : Welcome To The Junglepunya segala keseruan dalam ceritanya yang bisa diandalkan. Sehingga, penonton akan sangat dengan mudah terhibur dengan apa yang ditampilkan oleh Jake Kasdan.

Punya paket lengkap dalam amunisinya untuk menghibur penonton lewat petualangan yang seru di dunia Jumanjiyang baru. Segala petualangan tersebut pun bisa semakin dinikmati karena dalam naskahnya diinjeksi lagi dengan humor segar yang semakin membuat Jumanji : Welcome To The Jungle ini terlihat segar. Segala keseruan itu tak hadir begitu saja, hal ini tentu berkat performa dari Dwayne Johnson, Kevin Hart, Jack Black, dan Karen Gillan yang berhasil meyakinkan penontonnya bahwa mereka tetap empat remaja yang sedang terjebak dalam dunia permainan konsol.


Pun, pemain pendukung seperti Nick Jonas pun bisa bermain dengan sangat baik. Sehingga, kelima karakter dalam Jumanji : Welcome To The Jungle ini memiliki ikatan emosi yang sangat baik. Ini pula yang mengangkat setiap sekuens aksi dan petualangan dalam Jumanji : Welcome To The Jungle sehingga dalam perjalanannya film ini tak terasa hambar. Meskipun, ada beberapa minor yang membuat Jumanji : Welcome To The Jungle tak selalu bisa menjaga tensinya dengan kuat. Pun, humor yang ada di dalam film ini pun beberapa kali memudar.

Selain itu, ikon legendaris tentang permainan papan yang berubah jadi nyata ini pun tak lagi diulik lebih dalam lagi. Tak ada penghormatan lain tentang permainan papan Jumanji yang bisa membuat penontonnya yang tumbuh dengan film tersebut bisa merasakan rasa nostalgia. Menyaksikan Jumanji : Welcome To The Jungle pun hanya seperti menyaksikan film action pada umumnya meskipun sama-sama menggunakan nama besar Jumanji untuk filmnya dan ini cukup disayangkan sekali.


Tetapi, bagi yang tak terlalu mengenal Jumanji, tentu saja film terbaru dari Jake Kasdan ini adalah sebuah film yang akan menghibur Anda dengan sangat baik. Jake Kasdan sepertinya ingin membuat Jumanji : Welcome To The Junglesebagai sebuah film lanjutan yang bisa dinikmati secara universal tanpa perlu memikirkan sensasi nostalgia dengan beberapa easter eggs yang berlebihan. Cukup memberikan pengertian tentang seperti apa Jumanjipada zamannya. Ya, usahanya itu harus diakui cukup berhasil, tetapi sebagai film dengan nama besar Jumanji, film ini tak bisa mewarisi kelegendarisannya.

Senin, 15 Januari 2018

THE GREATEST SHOWMAN (2017) REVIEW : An Ordinary Musical Sequence

THE GREATEST SHOWMAN (2017) REVIEW : An Ordinary Musical Sequence


Di ujung tahun 2017, datanglah sebuah drama musikal yang diarahkan oleh Michael Gracey. The Greatest Showman, film musikal yang sudah bertahun-tahun mengalami pengembangan dalam banyak hal, akhirnya bisa tayang dan rilis juga di tahun 2017. Sebelum rilis, The Greatest Showman mendapatkan kesempatan untuk masuk ke dalam nominasi Best Comedy or Musical Motion Picture di Golden Globes 2017.

Banyak nama-nama besar yang ikut terlibat dalam film The Greatest Showman. Mulai dari Hugh Jackman, Michelle Williams, Zac Efron, hingga Zendaya dan nama-nama baru yang meramaikan film ini. Sehingga, film ini pun sudah memiliki antisipasi yang cukup besar dari calon penontonnya. Belum lagi, The Greatest Showman menggunakan duo musisi, Benj Pasek dan Justin Paul, yang sudah memenangkan banyak penghargaan lewat film La La Land tahun lalu.

Ini adalah debut awal Michael Gracey di kursi sutradara sebuah film besar. Michael Gracey pada awalnya bermain di ranah visual effects dan art departments dan di film debutnya kali ini dia berusaha menceritakan sebuah kisah nyata dari sosok P.T. Barnum. Meski begitu, Michael Gracey berusaha untuk membuat filmnya tak sekedar menjadi kisah seseorang semata. Melainkan, Michael Gracey berusaha membuat The Greatest Showman sebagai sebuah anthem untuk mereka yang terpinggirkan.


The Greatest Showman menceritakan sosok P.T. Barnum (Hugh Jackman), seorang anak dari pembuat sepatu yang hidup serba kekurangan. Kehidupannya yang serba kekurangan ini tak membuat Barnum mundur untuk mengejar siapa yang dicintai. Dialah Charity (Michelle Williams), perempuan yang sangat dicintai oleh Barnum meskipun orang tua Charity tak menyetujui hubungan mereka. Selepas menikah, mereka hidup jauh dari orang tua Charity.

Selama hidupnya, Barnum memiliki kesusahan secara finansial padahal dia harus membiayai kehidupan istri dan dua anaknya. Kehidupannya semakin susah ketika Barnum harus diberhentikan secara paksa di tempatnya bekerja karena bangkrut. Barnum bertekad untuk membeli sebuah museum patung lilin dengan sisa uang dan pinjaman dari bank. Sempat sepi, tetapi Barnum mengubah museum itu menjadi sebuah tempat pertunjukkan dan hiburan unik untuk semua orang.


The Greatest Showman memberikan sebuah sensasi menarik untuk mengikuti kisah perjuangan hidup seseorang. Menggunakan genre musikal dalam kemasannya untuk memberikan inovasi dalam menuturkan cerita yang berpotensi biasa saja ini menjadi sesuatu yang sangat berbeda dan segar.  Hal ini sangat efektif bagi The Greatest Showman yang memiliki tujuan tak hanya sebagai media hiburan, tetapi juga sebagai media menyebarkan semangat positivistik bagi setiap penontonnya.

Tak diragukan lagi, dengan rekam jejak Michael Gracey yang pernah berada di art departments membuat The Greatest Showman terlihat begitu mewah untuk ukuran film-film musikal yang ada. Set-set musikalnya dibuat begitu menghentak dan bisa membuat penonton berdecak kagum saat menontonnya. Segala musical sequence punya segala kedinamisannnya sehingga penonton bisa tahu alasan kenapa sosok P.T. Barnum adalah sosok yang sangat berpengaruh bagi semua orang yang ingin membuat sebuah pertunjukkan besar.

Belum lagi lagu-lagu gubahan Benj Pasek dan Justin Paul yang sangat ear-catchy. Sehingga, ketika penonton selesai menonton film ini, akan banyak beberapa lagu yang tetap terngiang di dalam pikirannya. Dengan begitu, perilaku yang timbul selanjutnya adalah penonton akan mencari setiap lagu yang ada di dalam The Greatest Showman. Lalu muncul sebuah efek domino bagi penontonnya yang terpukau dengan film dan berujung pada memberikan rekomendasi kepada orang lain.


Hanya saja, The Greatest Showman sebagai sebuah film musikal sebenarnya tidak memberikan sebuah pertunjukkan yang baru. Michael Gracey mampu membuat ilusi bagi penontonnya agar tak bisa melihat kekurangan pengarahannya lewat berbagai musical sequencenya. Itu pun sebenarnya segala keemosionalan The Greatest Showman hanya bertumpu dengan lagu-lagu gubahan dari Benj Pasek dan Justin Paul. Tanpa gubahan lagunya yang kuat, The Greatest Showman pun tak bisa tampil sekuat itu.

Dengan durasinya sepanjang 104 menit, banyak sekali cabang cerita dan sudut pandang yang harus dibebankan kepada film ini. Michael Gracey pun kesusahan memiliki kefokusan dalam pengarahan, sehingga The Greatest Showman hanya bisa bisa meraih permukaan setiap konfliknya. Ada banyak kisah yang berusaha disorot di dalam film ini. Hal ini sebenarnya bisa berpotensi bagi presentasi The Greatest Showman, hanya saja masih belum ada penanganan yang pas dari Michael Gracey untuk bisa memperdalam setiap konflik dan karakternya.

Pun, setelah tembang ‘This Is Me’ yang tampil begitu megah sekaligus menjadi anthem di dalam film ini, The Greatest Showman menunjukkan performanya yang melemah di 40 menit terakhir. Michael Gracey mungkin cukup bisa memberikan bridging karakter dan plot di satu jam pertama. Efeknya, Michael Gracey harus mulai kewalahan untuk menyelesaikan konfliknya yang ada di awal. Itu pun masih ada intensi dalam naskahnya untuk memberikan konflik tambahan lagi di 30 menit terakhir sehingga beban Michael Gracey pun harus semakin bertambah.


Segala kemegahan yang ada di awal film The Greatest Showman pun sayangnya tak bisa memiliki sebuah penutup yang bisa sama megahnya dengan apa yang sudah ada di awal. Adanya sebuah rendition yang jauh lebih kekinian di dalam setiap lagunya ini pula yang membuat beberapa musical sequencenya tak bisa kuat. Sehingga, The Greatest Showman pun tak bisa memiliki identitasnya dalam sebagai sebuah film musikal. Efek akhirnya, penonton mungkin akan bisa berkali-kali mendengarkan lagunya dan tak lagi merasakan atau bahkan tak mengenali kekuatan di dalam adegannya.

Sehingga, The Greatest Showman pun bisa saja hanya dinikmati sebagai sebuah album lepas tanpa harus disangkutpautkan dengan filmnya. Ini karena lagu gubahan Benj Pasek dan Justin Paul pun sudah sangat bisa diterima di telinga pendengarnya. Tetapi, The Greatest Showman perlu mendapatkan apresiasi dengan caranya berusaha memberikan inovasi dalam menceritakan kisah sosok nyata di dunia. Masih punya kekuatannya sebagai film yang menghibur, tetapi sebagai sebuah film akan gampang berlalu begitu saja.

Senin, 25 Desember 2017

STAR WARS : THE LAST JEDI (2017) REVIEW : An Upgrade With Respectful
Treatment To The Legacy

STAR WARS : THE LAST JEDI (2017) REVIEW : An Upgrade With Respectful Treatment To The Legacy


Menghidupkan kembali sebuah franchise legendaris memang tak mudah. Apalagi ketika franchise tersebut sudah memiliki penggemar yang sangat luar biasa fanatik seperti Star Wars. Disney telah berhasil mengembalikan betapa sakralnya franchise petualangan antar galaksi ini sejak tahun 2015 lalu lewat Star Wars : The Force Awakens. Lalu, disusul dengan menceritakan asal mula pemberontakan dalam Star Wars lewat Rogue One : A Star Wars Story.

Kehadiran kembali sebuah trilogi Star Wars ini menuai pro dan kontra, meskipun mayoritas masih sangat menikmati The Force Awakens. Kemiripan dasar cerita dan pendekatannya dengan A New Hope sebenarnya memiliki tujuan agar dapat menjaring penggemar baru masa kini yang tak pernah mengikuti Star Wars. Lantas, sebuah tantangan untuk membuat Star Wars memiliki pendekatan yang berbeda akan dijawab lewat episode kedelapan dengan tajuk The Last Jedi.

Perbedaan mencolok sudah hadir lewat bagaimana poster film dan warna judul yang berbeda dengan film-film sebelumnya. Selain itu, film ini pun berganti tahta penyutradaraan dari J.J. Abrams kepada Rian Johnson. Serta adanya penambahan karakter-karakter baru yang membuat nuansa Star Wars terbaru kali ini jauh lebih meriah. Hal ini tentu semakin menunjukkan taring kepada banyak orang bahwa Star Wars sedang berusaha mengekspansi dunianya agar jauh lebih besar dari film-film sebelumnya.


Meski penuh dengan banyak sekali perbedaan dan pembaharuan, tak lantas membuat The Last Jedi lancar-lancar saja melakukan perjalanan. Banyak penggemar garis keras yang merasa bahwa The Last Jedi adalah sebuah tindakan penistaan di dalam film-film Star Warskarena berusaha keluar dari zona nyaman. Tetapi, dalam performanya, Star Wars : The Last Jedi tampil sangat luar biasa menghibur penontonnya dengan durasi sepanjang 151 menit.

Star Wars : The Last Jediini memang memiliki pendekatan yang sangat berbeda dibanding dengan film Star Wars sebelumnya. Episode kedelapannya ini memiliki elemen kejutan dengan dosis yang cukup banyak di dalam filmnya. Meski berbeda, apa yang dilakukan oleh Rian Johnson di film kedelapan ini penuh akan penghormatan kepada film-film Star Wars sebelumnya dengan cara yang lebih bersahaja. Selain itu, Star Wars : The Last Jedi berhasil memberikan eskalasi kedigdayaan trilogi terbaru dari franchise legendaris ini. 


Melanjutkan kisah Rey (Daisy Ridley) yang berangkat menemui Luke Skywalker (Mark Hamill) yang sudah lama dia cari. Rey meminta Luke untuk mengajarinya menjadi seorang Jedi yang baik. Sementara itu, Dipimpin oleh Princess Leia (Carrie Fisher), para Resistence berusaha keras untuk melarikan diri dari kejaran First Order yang dipimpin oleh General Hux (Domnhall Gleeson). Sayangnya, First Order berhasil mendeteksi keberadaan Resistance dan mereka sedang terancam bahaya.

Di tengah serangan First Order kepada Resistence, Kylo Ren (Adam Driver) berusaha bangkit dari keterpurukan dan memaksa Rey untuk bergabung di dalam timnya. Tetapi, Rey tetap berusaha melatih dirinya bersama Luke agar tetap bisa menjadi sosok Jedi yang kuat. Hanya saja, latihan untuk menjadi kuat bersama Luke tak berjalan dengan lancar. Ada sesuatu hal yang membuat keduanya menceritakan masa lalu penting yang kelam. 


Star Wars : The Last Jediini memberikan banyak intrik personal yang lebih punya ruang untuk bergerak. Dengan begitu, karakter-karakter di dalam trilogi terbaru ini punya kesempatan untuk berkembang menjadi sosok yang dapat dikagumi oleh penontonnya. Hingga pada akhirnya, penonton pun bisa menentukan untuk membela siapapun dalam film ini. Menariknya, Star Wars : The Last Jedi ini dipenuhi dengan misteri dan teka-teki yang membuat penontonnya aktif untuk menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.

Rian Johnson adalah sutradara yang tepat untuk mengarahkan cerita Star Wars ini. Gaya pengarahannya yang bisa membuat karakternya tampak begitu abu-abu ini mencerminkan bagaimana film-film Star Wars menimbulkan spekulasi tersendiri bagi penontonnya. Rian Johnson pintar membuat penonton penasaran hingga mereka rela mengikuti adegan demi adegan dalam Star Wars : The Last Jedi hingga tak terasa 151 menit mereka berlalu begitu saja. Dengan banyak spekulasi itulah, secara tidak sadar membuat penontonnya tak sabar menantikan film selanjutnya.

Memang, Star Wars : The Last Jedi akan terasa begitu berbeda dengan film-film Star Wars sebelumnya dan bahkan dengan The Force Awakens. Mulai dari karakter baru, penuturan cerita, dan juga injeksi komedi yang cukup intens di dalam film ini. Sehingga, penggemar fanatik dari Star Wars mungkin akan merasa bahwa menonton Star Wars : The Last Jedi ini bukan seperti menonton film-film Star Wars pada umumnya. Ada pula beberapa bagian penting dalam The Last Jedi yang membuat penggemarnya merasa marah. 


Tetapi, jika dilihat dengan baik lagi, Star Wars : The Last Jedi sebenarnya melakukan penghormatan atas warisan yang sudah turun temurun ini dengan sangat baik. Setiap tindakan yang dilakukan Rian Johnson di dalam film The Last Jedi ini berdasarkan alasan-alasan yang terjadi di semua film-film Star Wars yang ada. Rian Johnson tentu sudah sangat cermat dan siap untuk menentukan bagaimana nasib karakter-karakter yang ada dalam Star Wars : The Last Jedidi adegan selanjutnya. Dan di setiap perjalanan karakternya, ada rasa emosional yang dihadirkan kepada penontonnya.

Maka, setelah segala drama luar angkasa tentang Force dan Dark Side yang memang menjadi poin utama dari film Star Wars, ada pula adegan-adegan battle yang hadir begitu masif. Tidak hanya menjadi sebuah visual efek yang ekstravaganza, tetapi juga memiliki kadar intensitas yang sangat luar biasa membuat penonton ikut merasakan keseruan di dalamnya. Serta diperkuat dengan bagaimana adegan battle tersebut tertata dalam sebuah bingkai gambar yang begitu indah untuk ditonton. 


Dengan berbagai cara yang dilakukan oleh Rian Johnson dalam Star Wars : The Last Jedi, maka tak salah apabila Disney mendapuknya lagi untuk menjadi bagian dari trilogi terbaru di masa mendatang. Star Wars : The Last Jedi adalah sebuah kepuasan menonton Star Wars yang bisa beradaptasi di masa sekarang dengan tetap menjaga visi dan misi Star Wars sebagaimana hakikatnya. Tak salah apabila beberapa orang mungkin beranggapan bahwa Star Wars : The Last Jedi adalah salah satu film Star Wars terbaik yang pernah ada. Luar biasa!
WONDER (2017) REVIEW : A Message to Choose Kind.

WONDER (2017) REVIEW : A Message to Choose Kind.


Stephen Chbosky kembali hadir menyapa penontonnya setelah memberikan sebuah directorial debut yang menjanjikan lewat The Perks of Being Wallflower yang diadaptasi dari buku yang ditulisnya sendiri dengan judul yang sama. Kali ini, Stephen Chbosky Ingin membuktikan bahwa dirinya adalah sutradara yang mumpuni dengan karya yang berbeda. Tetapi, Stephen Chbosky tetap mencoba peruntungannya dalam adaptasi sebuah buku laris manis di Amerika.

Buku yang diadaptasinya ini adalah tulisan dari R.J. Palacio dengan judul Wonder. Bukunya sendiri sudah memiliki penggemar yang luar biasa besar, sehingga film Wonder ini cukup dinantikan oleh banyak orang. Dengan rekam jejaknya yang cukup menjanjikan, Stephen Chbosky menghadirkan sebuah adaptasi drama keluarga dalam Wonder dengan pemain yang tak kalah luar biasa. Wonderdihiasi dengan pemain-pemain yang luar biasa mulai dari Jacob Tremblay, Owen Wilson, dan Julia Roberts.

Banyak yang cukup menantikan film Wonderini dikarenakan oleh dua hal. Pertama, Wonderadalah sebuah buku bestseller yang perlu untuk diadaptasi. Kedua adalah apakah Stephen Chbosky akan berhasil membuktikan bahwa dirinya adalah sutradara yang bisa menjaga konsistensi karya-karyanya. Maka, bagi orang yang mengkhawatirkan kedua poin tersebut bisa bernafas lega. Wonder adalah sebuah karya adaptasi yang sangat hangat dan juga haru untuk para penontonnya


Menceritakan tentang Auggie Pullman (Jacob Tremblay) yang memiliki keterbatasan dalam fisiknya yaitu pada bagian wajahnya. Sehingga, Auggie perlu untuk berada di dalam pengawasan orang tua selama beberapa tahun dia hidup. Hingga suatu ketika, Nate (Owen Wilson) dan Isabel (Julia Roberts), sebagai orang tua memutuskan untuk memasukkan Auggie ke sekolah dasar umum untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Kehidupan Auggie di sekolah memang tak mulus, apalagi dia harus berhadapan dengan banyak temannya yang menganggap dirinya aneh dengan keterbatasan fisiknya. Perjuangan Auggie selama sekolah ini mengubah perilakunya saat di rumah. Sehingga membuat kedua orang tua dan kakaknya, Via (Izabela Vidovic) berusaha untuk mengembalikan semangat Auggie. Meskipun, setiap anggota keluarga Pullman sebenarnya memiliki kisah dan keluh kesahnya masing-masing. 


Wonder memang tak memiliki sebuah konflik yang rumit seperti The Perks of Being Wallflower. Film ini hanya sebuah catatan kisah setiap karakternya yang berusaha menghadapi kehidupannya masing-masing. Mulai dari sang tokoh utama Auggie, hingga tokoh-tokoh lainnya yang berada dalam lingkaran kehidupan milik Auggie. Tanpa begitu kuatnya pengarahan dari Stephen Chbosky, kesederhanaan di dalam kisah milik Wonder tak bisa tampil kuat untuk penontonnya.

Stephen Chbosky mempunyai kemagisannya memunculkan sebuah drama keluarga yang tak terlalu meletup dalam penuturannya tetapi memberikan dampak emosional yang sangat luar biasa besar. Penonton bisa saja masih meraba seperti apa konflik utama dari film Wonderyang ternyata menjadi kekuatan dalam filmnya. Stephen Chbosky mengajarkan penontonnya untuk tak memilih siapa yang lebih berat menanggung masalah, tetapi untuk merangkul semua yang memiliki masalah bahwa masalah sekecil apapun itu penting dan perlu untuk diselesaikan.

Oleh karena itu, ada banyak sudut pandang dalam film ini yang menjadi esensi utama dari bukunya. Memperlihatkan bagaimana setiap karakternya yang memiliki alasan-alasan dalam menentukan perilaku dalam hidupnya. Sehingga, skenario yang diadaptasi oleh Stephen Chbosky beserta dua rekannya, Steve Conrad dan Jack Thorne, ini berhasil mengangkat apa yang perlu untuk diceritakan di dalam filmnya tanpa mengurangi kekuatan asli dalam bukunya. 


Sehingga, Stephen Chbosky yang ikut menuliskan skenarionya memiliki keunggulan untuk memahami keseluruhan film yang diarahkannya. Hal ini berdampak kepada bagaimana performa dari Wondersebagai sebuah film dengan durasi 115 menit. Setiap adegan-adegan pentingnya berhasil dibangun dengan intensitas emosi yang sangat baik, sehingga tanpa perlu menggebu-gebu penonton bisa merasakan rasa emosional yang sangat luar biasa besar saat menonton film ini.

Bahkan, beberapa adegan penting dan emosional dalam film ini hadir tanpa alunan musik sama sekali. Alunan musik biasanya digunakan untuk menekankan adegan-adegan emosional dan bisa jadi sebagai alat manipulasi emosi penonton. Tetapi, Wonder memiliki musik yang sederhana tetapi bisa menghadirkan kehangatan di hati penontonnya dengan sangat luar biasa. Sekaligus, dengan ini membuktikan bahwa Stephen Chbosky adalah sutradara yang memiliki sensitivitas yang sangat hebat. 


Wonder bisa memberikan banyak sekali pesan moral tentang kebaikan dan menjadi kebaikan adalah pilihan hidup dalam kondisi apapun dengan cara yang tak sembarangan. Tanpa adanya sensitivitas dalam pengarahan milik Stephen Chbosky, Wonder akan bisa menjadi sebuah film yang akan tampil sangat menggurui dengan pesan kebaikan yang sangat harfiah. Tetapi, Stephen Chbosky berusaha untuk menyelipkan pesan-pesan itu dengan cara yang lebih implisit. Dengan begitu, pesan besar untuk berbuat kebaikan dalam film ini akan berdampak jauh lebih besar kepada penontonnya.

Segala usaha pengarahan yang sangat detil oleh Stephen Chbosky ini pun diperkuat dengan berbagai performa pemainnya yang sangat luar biasa. Jacob Tremblay, dibalik make-up prostetiknya masih dapat bermain dengan sangat emosional dan memberikan ikatan emosi yang sangat baik dengan semua lawan mainnya. Julia Roberts, Owen Wilson, dan Izabela Vidovic berhasil meyakinkan penontonnya bahwa mereka memang memiliki ikatan darah satu sama lain. Mereka adalah keluarga Pullman yang bahagia hidup di dalam konflik-konflik internal yang ternyata saling menguatkan. 


Dan pada akhirnya, di penghujung film Wonder ini penonton akan memberikan senyum haru terbaiknya. Mengikhlaskan setiap tetes airmatanya untuk ikut terenyuh dengan segala jatuh bangun kehidupan Auggie saat menjalani kehidupannya sebagai anak-anak pada umumnya. Serta, memberikan perasaan hangat dalam hati penontonnya yang sedang terinjeksi pesan ajakan untuk memprioritaskan kebaikan dalam sebuah film yang sangat luar biasa indah. Wonder is really a wonder

Minggu, 17 Desember 2017

COCO (2017) REVIEW : Journey to Find Meaning of Hope and Family

COCO (2017) REVIEW : Journey to Find Meaning of Hope and Family


Film-film Pixar biasanya memiliki pendekatan yang lebih menarik dan unik dibandingkan dengan film-film animasi lainnya. Mulai dari tema dan desain animasi yang jauh memiliki karakter dan inovasi di setiap filmnya. Sehingga, tak salah apabila film-film milik Disney Pixar ini akan selalu dinantikan oleh penonton baik fans maupun penonton biasa. Juga, memiliki cara bercerita yang memiliki intensitas emosional yang luar biasa besar.

Pixar kembali hadir di tahun 2017 ini setelah di bulan Agustus lalu, Cars 3 sudah menyapa penontonnya. Kali ini Pixarkembali dengan sebuah cerita baru yang diangkat dari sebuah kebudayaan meksiko, Dia de Muertos. Cerita dengan mengungkit budaya meksiko ini sudah pernah dihadirkan oleh Dreamworks Animation lewat film animasi underrated-nya berjudul The Book of Life. Sehingga, tak salah bagi orang awam yang tak tahu tentang budaya ini menganggap bahwa proyek teranyar dari Pixar ini menyomot dari The Book of Life.

Proyek terbaru dari Pixarini diberi judul Coco. Dengan latar budaya yang sama, dari trailer pun sebenarnya Coco dan The Book of Lifememiliki dasar cerita yang sangat berbeda. Cocoini diarahkan oleh sutradara dari Toy Story 3, Lee Unkrich. Di jajaran pengisi suara, lagi-lagi Pixar tak memiliki deretan yang sangat luar biasa tetapi tentu pengisi suaranya akan bisa menghidupi setiap karakter animasinya dengan baik. 

 

Di tangan Lee Unkrich, Cocotak hanya hidup sebagai sebuah film animasi yang menyenangkan untuk ditonton untuk segala usia. Lee Unkrich kembali menghadirkan rasa magisnya yang pernah dia salurkan lewat film Toy Story 3yang sangat luar biasa itu. Cocodengan segala kompleksitas ceritanya dan penggunaan setting budaya yang sesuai bisa memberikan penontonnya sebuah pengalaman sinematis yang sangat emosional di akhir film.

Lee Unkrich mengarahkan kisah Miguel dengan segala cara dan upayanya meraih mimpi dengan akumulasi emosi yang sangat kuat di sepanjang durasi. Sehingga, ketika adegan kunci di dalam film ini muncul, penonton dengan sukarela menitihkan air matanya dengan titik emosional sudah sampai puncak. Tetapi, Lee Unkrich juga tetap tak bisa melupakan bahwa Coco sebagai film animasi punya misi untuk menyenangkan penonton anak-anak. 


Coco menceritakan tentang seorang anak kecil bernama Miguel (Anthony Gonzalez) yang hidup di sebuah keluarga yang melarangnya untuk bermain musik karena ada trauma di masa lalu. Tetapi, Miguel punya ketertarikan untuk bermain musik di dalam dirinya dan sangat mengidolakan Ernesto de la Cruz (Benjamin Bratt). Hingga suatu saat, dia ingin mengikuti kompetisi bermusik yang diadakan di sebuah alun-alun kota.

Keinginan Miguel ini sangat besar hingga suatu ketika dia harus melawan seluruh anggota keluarganya agar tetap bisa bermain musik. Sadar dirinya tak memiliki gitar untuk dimainkan, Miguel mencuri gitar pusaka miliki Ernesto de la Cruz yang diletakkan di dalam makamnya. Di saat Miguel mencuri gitar tersebut, dia ternyata terjebak di sebuah dunia orang mati. Miguel pun harus mencari cara agar dirinya bisa kembali lagi ke dunianya. 


Pengarahan yang cukup kuat oleh Lee Unkrich adalah kunci bagaimana Coco bisa berhasil membawakan tema tentang mimpi dan keluarga dengan sangat baik. Coco tampil dengan 104 menit penuh akan petualangan seru mencari arti tentang kedua tema tersebut dengan menjadikan musik sebagai penghubung ceritanya. Tak hanya sekedar sebagai pemanis filmnya, tetapi musik juga menjadi sebuah arc story sendiri yang berkesinambungan dan sekaligus menjadi nyawa dari Coco secara keseluruhan.

Tetapi, beginilah Pixaradanya, plot cerita tentang mimpi, musik, dan keluarganya tak berjalan lurus-lurus saja. Menyuguhkan sebuah kisah sampingan yang akan membuat penontonnya tercengang karena ada sedikit pendekatan cerita yang membuat film ini sedikit terasa kelam. Hal itu mungkin tak akan terasa begitu signifikan untuk penonton yang sudah dewasa. Tetapi, subplot satu ini akan butuh waktu sendiri bagi penonton kecil yang sedang menikmatinya. Sehingga, perlu bagi orang dewasa untuk siap-siap menjawab pertanyaan si kecil dengan sangat bijaksana.

Hal itu tak menjadi sebuah masalah berarti, karena Coco masih punya banyak adegan-adegan seru yang menyertai perjalanan Miguel di dunia orang mati. Meskipun setting tempatnya yang berada di dunia orang mati, tetapi visualisasi Coco adalah sebuah visual yang sangat imajinatif, indah, dan memiliki warna yang membuat mata tercengang. Sehingga, segala kesan menyeramkan tentang dunia orang mati bisa lebih bersahabat bagi segala rentang usia penontonnya. Pun, ada beberapa comic relief yang berhasil muncul lewat karakter animasinya bernama Dante. 


Sehingga, kisahnya yang kelam di beberapa bagian ini berhasil diimbangi dengan segala gelak tawa dan petualangan-petualangan seru beserta musik-musik yang indah. Coco berhasil menjadi sebuah film Pixar penuh keseruan tetapi tak melupakan jati dirinya sebagai produk hasil Pixar yang punya sesuatu yang berbeda dibanding dengan film-film animasi lainnya. Dan arahan Lee Unkrich yang sangat emosional, persembahan sebuah lagu berjudul “Remember Me” di dalam film ini akan selalu dikenang dengan perasaan haru dan hangat.
MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK (2017) REVIEW : Gebrakan Baru
Pesan Tentang Perempuan

MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK (2017) REVIEW : Gebrakan Baru Pesan Tentang Perempuan


Film Indonesia di tahun ini benar-benar memiliki keberagaman dalam tema. Di dalam satu genre saja, terdapat banyak sub genre lain yang bisa mendapatkan perhatian lebih. Begitu pula dengan film arahan dari Mouly Surya ini. Mouly Surya, sutradara perempuan Indonesia memiliki caranya sendiri dalam mendekati penontonnya dengan tema-tema yang sebenarnya berbeda di setiap film-filmnya. Mulai dari Fiksi, What They Don’t Talk About When They Talk About Love, hingga film terbarunya yang dirilis tahun ini.

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak ini sudah terlebih dahulu melanglang buana ke negeri lain ketimbang di negaranya sendiri. Banyak pujian yang disematkan kepada film ini dan beberapa penghargaan pun diraih oleh sang sutradara dan aktrisnya yang terlibat. Tak salah ketika film ini akan dirilis di dalam negeri, film ini sudah mendapatkan antisipasi yang sangat besar dari para calon penontonnya.

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak adalah memiliki keunikan dalam segi penyampaian yang akan mirip dengan berbagai film-film Western yang sudah pernah ada dengan pendekatan lokal. Menyematkan berbagai macam simbol kebudayaan yang sangat kental ke dalam filmnya yang tak sekedar sebagai setting belaka. Ada berbagai urgensi pesan muncul dalam film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak ini yang ditampilkan secara ekstrim tetapi punya caranya yang tepat sasaran. 


Inilah kisah tentang seorang perempuan Sumba bernama Marlina (Marsha Timothy) yang harus mengecap pahitnya hidup setelah ditinggal mati suami dan anaknya. Datanglah seorang pria bernama Markus (Egi Fedly) yang berniat untuk merampok harta dari Marlina. Niat Markus tak hanya ingin merampok harta, tetapi juga sekaligus menjamah Marlina ditemani dengan komplotannya yang berjumlah 7 orang.

Marlina yang merasa dalam bahaya, harus segera membela dirinya. Dia berusaha untuk melarikan diri dan melawan para lelaki dengan perilaku menyimpang itu. Markus tetap saja berusaha memperkosa Marlina meski sudah berusaha melawan. Hingga akhirnya, Marlina memiliki tekad yang sangat bulat untuk membunuh Markus. Setelah kejadian itu, Marlina pergi dari rumahnya untuk melaporkan perbuatan Markus ke polisi meski nyawa Markus sudah tak ada. 


Perempuan sudah memiliki beban yang sangat berat dalam perilaku karena berbagai macam sistem yang mendiskreditkan mereka. Sebuah beban berat itu akan menjadi-jadi, ketika seorang perempuan pun harus direnggut pula hak dan kemanusiaannya oleh laki-laki. Inilah yang berusaha ditampilkan oleh Mouly Surya lewat Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak ini. Menceritakan sebuah realita perempuan yang berat dan satu-satunya perlawanan yang bisa mereka lakukan adalah diri mereka sendiri.

Mouly Surya benar-benar berusaha untuk menampilkan segala macam pesannya lewat adegan-adegan yang sangat subtil. Percakapan-percakapan yang metaforik tetapi dengan lantang menunjukkan bahwa perempuan sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak adalah sebuah representasi dari berbagai macam isu tentang perempuan yang perlu disoroti akhir-akhir ini.

Budaya pemerkosaan yang selalu merugikan perempuan yang seharusnya menjadi korban, bagaimana betapa terbatas dan susahnya perempuan untuk berperilaku. Juga, yang paling penting adalah betapa semena-menanya laki-laki memberi kontrol terhadap perempuan. Hal-hal itulah yang berusaha digarisbawahi oleh Mouly Surya untuk bisa dijadikan sebagai bahan kontemplasi penontonnya bahwa kesetaraan gender yang diwacanakan selama ini masih saja belum terlaksana dalam praktiknya. 


Sehingga, perlu ada tindak lanjut dari sosok perempuan itu sendiri agar segala haknya hidup sebagai manusia yang sama dengan laki-laki bisa direalisasi. Maka, Marlina ini adalah karakter perempuan yang lagi-lagi menjadi simbol bagi penontonnya memberikan relevansi. Marlina adalah sosok perempuan masa kini yang berusaha membela haknya meski dengan berbagai macam caranya yang digambarkan tak lagi seperti perempuan pada umumnya.

Membunuh Markus dengan cara memotong kepala dan membawanya pergi adalah cara ekstrim yang ditampilkan dengan berbagai macam tafsir pesan. Ini adalah pesan bahwa perempuan pun bisa menggertak maskulinitas laki-laki dan menyematkan bahwa perempuan pun bisa menjadi maskulin. Hal ini juga diperkuat dengan adegan di mana Marlina sedang buang air kecil di tempat terbuka. Sebuah pengadeganan yang sangat unik dan jarang terjadi di sinema Indonesia. Sekaligus, sebagai sebuah adegan yang menguji penontonnya tentang bagaimana perspektfinya tentang perempuan. 


Dengan berbagai adegan dan penyampaiannya yang cenderung lebih sarkastik, Mouly Surya tak hanya pintar dalam sisi penyutradaraannya tetapi juga betapa rapi penulisan naskahnya. Tak perlu khawatir bahwa Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak akan perlu keaktifan penontonnya untuk mengerti seperti film Mouly Surya sebelumnya. Film ini masih punya sebuah satu linimasa cerita yang utuh dan dapat dinikmati siapapun meski punya banyak sekali urgensi pesan yang perlu untuk dimaknai lebih.

Tetapi, Mouly Surya pintar untuk meredam ambisinya yang besar sehingga Marlina si Pembunuh dalam Empat Babakini tampil sederhana tetapi sangat lugas dalam penyampaian. Pun, didukung dengan berbagai macam sisi teknis yang juga digarap tak sembarangan. Mulai dari tata artistik, cara pengambilan gambar yang indah sekaligus memperkuat sisi subtil film ini oleh Yunus Pasolang. Juga, musik dari Zeke Khaseli dan Yudhi Arifani yang berhasil memperkuat sisi kultur lokal dengan cita rasa western sesuai pendekatan filmnya. 


Dengan adanya pendekatan film Western ini, ada sebuah istilah baru yang berhasil disematkan kepada film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak sebagai film satay western. Maka, film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak tak hanya sebuah gebrakan baru dalam sinema Indonesia saja melainkan juga, sebuah gebrakan baru sub-genre Western yang sudah ada di dunia. Dengan kemasannya yang masih kuat akan budaya lokal dan urgensi dalam pesannya tentang perempuan, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak sangat penting untuk disoroti oleh berbagai macam pihak. 

Selasa, 06 Desember 2016

HEADSHOT (2016) REVIEW : Kolaborasi Dua Genre Yang Memikat

HEADSHOT (2016) REVIEW : Kolaborasi Dua Genre Yang Memikat


Kebrutalan dalam film Martial Arts adalah sebuah indikator baru dari kualitas sebuah film milik perfilman nasional. Di poin inilah, ada sebuah titik balik yang muncul di dalam perfilman nasional. Diawali oleh film The Raid yang disutradarai oleh Gareth Evans, film ini menjadi sorotan banyak orang dan juga perfilman Internasional. Kedigdayaannya diakui oleh banyak pihak membuat perfilman nasional setidaknya mendapat citra baru baik domestik maupun mancanegara.

Dengan adanya poin itu, keragaman genre di perfilman nasional pun semakin bertambah. Film-film Indonesia berusaha mengekor keberhasilan The Raid dan film-film sadis menjadi sorotan banyak orang. Sebelum The Raid menjadi tersohor, ada The Mo Brothers yang terdiri dari Timo dan Kimo yang pernah membuat genre horor thriller yang tak kalah seru yaitu Rumah Dara. The Mo Brothers pun memiliki banyak penggemar karena setidaknya pada waktu itu berhasil membuat alternatif tontonan, apalagi dalam genre horor yang pada kala itu minim akan pembaruan.

Karya The Mo Brothers pun ditunggu-tunggu oleh penggemarnya dan setelah film keduanya, Killers, The Mo Brothers membuat sebuah proyek baru berjudul Headshot yang dirilis desember tahun ini. Penggemar The Mo Brothers menunggu proyek ini, apalagi film ini dibintangi oleh nama-nama seperti Iko Uwais, Chelsea Islan, Julie Estelle, dan masih banyak nama-nama besar lainnya. Yang terasa berbeda dari film Headshot adalah bahwa film ini dinaungi oleh rumah produksi Screenplay Infinite Films yang sebelumnya memiliki produksi film yang berlawanan genre dengan film ini. 


Penonton mungkin akan was-was dengan siapa yang menaungi Headshot ini, karena rekam jejak rumah produksinya yang sebelumnya hanya memproduksi film-film genre drama romantis. Tetapi, The Mo Brothers bisa berhasil melawan segala keminiman naskah yang menjadi sesuatu yang ditakutkan oleh penggemar atau penonton filmnya. Headshot dikemas unik, menggabungkan dua genre yang berlawanan, tetapi menjadi suatu harmoni.

Naskah dari Headshot mungkin terlihat lemah, apalagi Headshot mempunyai dua genre yang saling bersebrangan. Maka, yang bekerja dengan efektif adalah pengarahan dari duo sutradara yang melebur menjadi satu nama. The Mo Brothers berhasil menjadikan Headshot sebuah Romance-Action yang terasa sangat pas. Dengan durasi yang mencapai 117 menit, Headshot semakin lama akan semakin mencengkram penontonnya. Sehingga, tanpa sadar, penonton telah menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mencari tahu siapa itu Ishmael, karakter di dalam film ini. 


Diceritakan bahwa Ishmael (Iko Uwais) adalah orang asing yang ditemukan di tengah lautan lepas di sebuah kota kecil. Ailin (Chelsea Islan) merawatnya di sebuah rumah sakit kecil dengan peralatan medis seadanya. Ishmael mengalami koma dengan waktu yang cukup lama dan Ailin selalu berharap agar Ishmael bisa bangun kembali. Hingga suatu ketika, Ishmael terbangun dan ingatannya benar-benar hilang, bahkan tentang siapa dia sesungguhnya.

Ailin berusaha untuk membuat Ishmael ingat akan siapa dirinya dengan membawanya ke tempat pertama kali dia temukan, tetapi hal itu tak membuahkan hasil. Sebelum akhirnya berhasil membuat ingatan Ishmael kembali, Ailin harus pindah tugas ke Jakarta. Di sana, Ailin akan berusaha mencari peralatan medis yang lebih baik agar bisa mengembalikan ingatan Ishmael. Tetapi, saat perjalanan menuju Jakarta, Bis yang ditumpanginya diserang oleh para pembunuh yang ingin menculik Ailin. Ternyata, pembunuh itu adalah salah satu bagian dari masa lalu Ishmael yang dia tidak ingat. 


Bila dalam Rumah Dara, The Mo Brothers berusaha untuk menampilkan sebuah sajian film thriller atau slasher yang menonjolkan kemasan secara visual. Di dalam Killers, The Mo Brothers berusaha untuk bercerita segala kompleksitas plotnya. Maka, di dalam film Headshot berusaha untuk menggabungkan kemampuan The Mo Brothers di dua film sebelumnya. The Mo Brothers bisa membangun dunia yang sengaja dibuat berbeda dengan realita yang ada. Dunia penuh kekacauan di dalam Headshot berhasil diceritakan dan berdampak pada keterikatan antara karakter dengan penontonnya.

Muncul sebuah relevansi yang timbul antara karakter fiktif milik The Mo Brothers dengan penontonnya. Dengan setting dunia yang dibuat jauh dari realita penontonnya, yang terjadi adalah apa yang ada di dalam film Headshot lantas dibuat begitu meyakinkan. Apa yang membuat film ini sengaja dibuat jauh dari realita adalah bagaimana warna di dalam film ini. Dibuat memiliki kekacauan lewat warna yang cenderung memiliki palette yang kuning lebih gelap. Waran inilah yang digunakan sebagai penanda atas tujuan dari The Mo Brothers agar tak terjadi pembiasan realita yang ada.

Perpaduan naskah yang bersebrangan mungkin terlihat lemah, penuh akan plot klise tetapi Headshot punya cara untuk mengemas hal itu menjadi tambang emas. Menjadikan drama romantis itu memiliki alternatif cara untuk dikemas dan dinikmati. Menggabungkannya dengan banyak koreografi aksi yang bisa memberikan tensi kepada penontonnya. Dalam aspek naratif, Headshot masih memiliki aspek-aspek yang dapat dikategorikan sebagai film aksi meski dengan tambahan bumbu romantisasi antar karakter. Masih ada villain, hero, dan princess yang menjadi aspek utama yang menandakan bahwa Headshot dapat dikategorikan ke dalam film-film aksi. 


Poin-poin itu mungkin tak ada bedanya bahkan cenderung terasa klise dengan film-film yang ada di dalam genre-nya. Struktur atau pola yang repetitif di dalam film yang berada di satu lingkup genre bisa jadi tak bisa menyenangkan penontonnya.  Tetapi, lagi-lagi kembali ke bagaimana The Mo Brothers mengemas Headshot ini. Keberhasilan sang sutradara untuk mengarahkannya sebagai sebuah film aksi yang tak sembarangan. Ada kesegaran di dalam filmnya sehingga penonton dapat mengikuti pencarian identitas Ishmael yang penuh rintangan.

Headshot mengangkat studi karakter Ishmael yang juga memiliki relevansi dengan isu sosial masyarakat tentang identitas. Banyak faktor yang dapat membentuk jati diri seseorang dan menganggap bahwa faktor itu yang dapat mewakili dirinya sebagai identitas mereka masing-masing. Identitas tak memiliki sifat statis, begitu pula yang berusaha disampaikan oleh The Mo Brothers lewat karakter Ishmael. Dengan keadaannya yang bisa jadi berubah ‘putih’ kembali, menimbulkan alegori tentang bagaimana karakter diri dibentuk dan siapa yang berpengaruh untuk membentuk karakter itu. 


Headshot bukanlah sebuah film yang menawarkan aspek cerita yang baru bila disandingkan dengan film-film belahan dunia lain, terutama Hollywood. Tetapi  di dalam perfilman nasional yang masih memiliki pakem dan cerita ‘seksi’nya sendiri, Headshot bisa dibilang punya sesuatu yang segar dengan  menggabungkan dua genre yang berbeda. Pun, hal itu tak bisa dijauhkan dari keberhasilan Timo dan Kimo dalam mengarahkan naskahnya yang mungkin dianggap cukup lemah. The Mo Brothers bisa membuat Headshot sebagai ladang emas lewat bagaimana cara dia bertutur dan membangun dunianya yang berhasil meyakinkan penontonnya. Dengan begitu, penonton dapat mengikuti perjalanan Ishmael yang sedang mencari identitas diri dari awal hingga akhir film.